BAB V POLA TATA RUANG PERMUKIMAN TO KAJANG
Bagaimanapun sederhana dan kompleksnya data arkeologi dalam suatu situs tempat aktivitas manusia telah berlangsung, tentunya ada pertimbangan pemilihan ruang (spacel). Pemilihan ruang dalam suatu lokasi biasanya didasari oleh beberapa faktor, seperti alasan yang bersifat praktis merujuk pada strategi dan potensi lokasi, dan alasan yang bersifat ideologi merujuk pada konsepsi kepercayaan serta hal-hal lain yang menyangkut strategi adaptasi manusia. Pengaturan ruang pada suatu wilayah permukiman cenderung dilakukan oleh masyarakat dengan maksud untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai kondisi yang dihadapi. Pengaturan ruang yang terjadi ditentukan oleh kebutuhan budaya masyarakat tersebut, sehingga sangat mungkin terjadi beragam pengaturan ruang yang berbeda pada setiap masyarakat, tergantung dari kebutuhan budaya masingmasing. A. LATAR BELAKANG TATA RUANG PERMUKIMAN Beragam bentuk dan fungsi dari suatu ruang sebagai tempat berlangsungnya beberapa aktivitas tertentu tergantung dari jenis aktivitas yang pernah berlangsung di dalamnya. Namun secara umum, ruang terbagi menjadi dua kategori besar yaitu; ruang yang bersifat sakral dan ruang yang bersifat profan. Ruang sakral dimaksudkan sebagai tempat berlangsungnya beragam aktivitas yang terkait dengan alam kepercayaan masyarakat, seperti tempat pemakaman, dan lokasi untuk melaksanakan prosesi-prosesi kepercayaan tertentu. Sedangkan ruang profan dimaksudkan sebagai ruang tempat berlangsungnya beragam 320
aktivitas yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup secara praktis seperti ruang subsistensi dan tempat tinggal. Jenis aktivitas yang pernah berlangsung dalam suatu ruang dapat terefleksi dari komponen-komponen arkeologisnya. Dengan melakukan analisis terhadap data arkeologi dan sebarannya, maka perkiraan tentang jenis aktivitas yang pernah berlangsung dapat dilakukan. Hal tersebut menuntun untuk menemukan perkiraan jenis serta fungsi dari suatu ruang tertentu pada suatu situs. a.1. Kebudayaan To Kajang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendefenisikan masyarakat adat sebagai komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-menurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sosial yang khas. To Kajang adalah salah satu masyarakat komunitas adat yang masih hidup di Sulawesi Selatan. Masyarakat adat yang lain di antaranya adalah masyarakat Towani Tolotang, Suku Bajo, Suku Wana, To Balo dan masyarakat Aluk Todolo di Toraja. Masyarakat-masyarakat tersebut masih mempertahankan adat-istiadat yang sudah banyak ditinggalkan oleh orangorang Bugis-Makassar lainnya (Towani Tolotang, Bajo, Wana, To Balo), agama Islam yang sudah mereka anut tidak serta merta menggeser tradisi lamanya, bahkan mereka mampu memadukan keduanya. Dari kelima masyarakat adat tersebut di atas terdapat delapan hal yang juga ditemukan di Kajang, yaitu ; religi, pandangan hidup berupa pasang ri Kajang, kisah-kisah suci yang tabu dibeberkan pada sembarang waktu dan tempat, penghormatan dan pembagian jenis hutan, kebudayaan pola tripatri, orientasi sakral, kepercayaan kepada Ammatoa sebagai pemimpin adat dan masyarakat, 321
ketaatan pada adat dan kepala adat dalam segala bidang kehidupannya, dan kebudayaan yang dipenuhi tabu-tabu. a.1.1. Agama Patuntung: Religi To Kajang To Kajang menyebut agamanya sebagai agama patuntung, yang memiliki karakteristik yang khas, yakni agama tanpa kitab suci. Ajaran-ajaran agamanya tertuang dalam pasang yang selanjutnya disebut sebagai pasang ri Kajang. Bentuk ajarannya berupa pantun, tabu, mantera, folklor dan mitologi. Oleh sebab itu hampir semua isi pasang bernilai religius dan sakral. Pasang dianggap sebagai salah satu sumber pengetahuan yang mengandung nilai-nilai budaya yang selalu diacu untuk memperoleh bimbingan dalam tindak-tanduk individual dan sosial. Ajaran patuntung, termasuk pasangnya , diturunkan dan disebarkan turuntemurun secara lisan tanpa boleh ditambah apalagi dikurangi. Dalam pasang dikatakan : Pasanganga ri Kajang anre nakulle nitambai, Anre to nakulle nikurangi. Artinya : (Pasang di Kajang tidak boleh ditambah-tambahi, Tidak boleh juga dikurang-kurangi) Menurut Koentjaraningrat (1986: 377) ciri-ciri religi yang paling umum dalam setiap kebudayaan adalah adanya sistem keyakinan (dewa-dewa, makhlukmakhluk immateri, masalah penciptaan dunia dan struktur dunia, konsep siklus manusia, dan lain sebagainya); sistem upacara keagamaan (tempat, waktu, perlengkapan dan pelaku upacara); dan suatu umat yang menganutnya. Hal yang menarik dari religi To Kajang adalah agama mereka adalah agama “praktis”, lebih bertumpu pada apa yang harus mereka kerjakan (dalam kehidupan di dunia), bukan pada apa yang harus mereka percayai, sehingga ketika ditanya tentang 322
agama mereka, seringkali jawaban yang keluar anre kuissengi (tidak tahu), selain itu, agamanya pun dapat dikatakan “agama dengan ibadah yang diwakilkan”. Dengan demikian, agama bagi To Kajang adalah pegangan atau pedoman dalam kehidupan praktis. Secara umum atau yang dominan terlihat dalam keseharian, religi To Kajang tersusun dari kepercayaan kepada: Pertama, Tau’ Rie’a A’ra’na (Pencipta), yang menciptakan alam dan manusia. Kedua, mereka percaya dan memuja tanah---hutan yang mereka anggap sebagai anrong (atau ibu). Ketiga, mereka menghormati-bukan memuja-ruh-ruh tau mariolo (leluhur/nenek moyang) mereka. Keempat, “ajaran” agama mereka tertuang dalam bentuk pasang dan tabu, bukan kitab suci tertulis. Kelima, ibadahnya adalah perbuatan, perilaku dalam keseharian yang berpedoman pada pasang dan menjauhi apa yang ditabukan. Selain itu, ibadah terbesar mereka adalah taat kepada Ammatoa sebagai pelaksana pasang ri Kajang. Kepercayaan kepada Tau’ Rie’a A’ra’na adalah bentuk gagasan tentang Tuhan dalam kebudayaan To Kajang. Mereka yakin bahwa mereka “ada” di dunia bukan tanpa sebab; pasti ada Sang Penyebab di balik segala sebab, yakni Sang Pencipta: Tau’ Rie’a A’ra’na , asal manusia dan seluruh jagat. Dari kesadaran akan asal muasal manusia dan alam tersebut, To Kajang juga berkesadaran bahwa hidupnya di dunia amat bergantung pada tanah. Tanah bagi To Kajang bukan sekedar tempat manusia berpijak, tetapi juga simbol kehidupan, yakni mereka anggap tanah sebagai “ibu” mereka. Dalam kehidupan kekinian dan ke-kedisinian, mereka juga melihat ada lahir dan ada pula yang mati. Yang lahir tentu ada dikekinian dan ke-disini-an, tetapi yang mati tentu tidak seperti itu. Yang mati 323
telah berada di-kesana-an; kekinian orang yang sudah mati tidak lagi me-materi. Mereka sudah me-ruh, menjadi makhluk ruhani. Tetapi, kekinian yang immateri dari ruh para nenek moyang itu masih tetap terhubung dengan kekinian dan ke-di sini-an manusia yang masih hidup. Hal ini dianggap oleh To Kajang sebagai penuntun kehidupan. Fenomena kelahiran dan kematian itu memunculkan suatu pandangan, bahwa dari mana dia berasal, dan tentu dia akan kembali lagi ke sana. Bagaimana cara mereka agar dapat kembali ke asal? To Kajang menjawabnya dengan tapakkoro’--- berserah diri, pasrah, bukan dalam pengertian tidak melakukan apaapa, tetapi berserah diri dalam pengertian bekerja, menjalani kehidupan apa adanya dengan keterhubunngan pada yang Maha Kuasa. Untuk keperluan itu, To Kajang dibekali pasang dan tabu, tentang mana yang boleh dan mana yang tidak, tentang mana jalan yang benar dan mana jalan salah. Pembahasan mengenai pasang dan tabu akan dijelaskan pada sub bab tersendiri. Masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada ajaran patuntung ini. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang tinggal di kawasan Kajang dan mempraktekkan ajaran ini, disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa, dengan ciri selalu mengenakan pakaian serba hitam, memakai destar (ikat Kepala) bagi laki-laki, perempuan baju bodo, sarung, dan tidak memakai alas kali.
324
Istilah patuntung berasal dari kata tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari sumber kebenaran” (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran patuntung mengajarkan—jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Tau Rie’a A’Ra’na (Tuhan), tanah yang diberikan Tau Rie’a A’Ra’na , dan nenek moyang . Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tau Rie’a A’Ra’na merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama patuntung. Masyarakat Kajang percaya bahwa Tau Rie’a A’Ra’na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Bagi kalangan mereka, tumbuh konsep ketuhanan yang tunggal. Mereka percaya bahwa apabila terdapat lebih dari satu Tuhan, maka dunia menjadi tidak tentram dan kacau (konsep ketuhanan yang monotheistransendental). Seperti dalam pasang diungkapkan: Tau Rie’a A’rana ammantangi ri pangnge’rakkangna Anrei niissei rie’na Tau Rie’a A’rana, Naki pala’doang Padalo’ji pole Nitarimana pa’nga’ratta iya toje’na Nitarimana pa’nga’ratta iya toje’na. Artinya : Tau Rie’a A’rana tinggal dan berbuat sesuai kehendaknya Tidak diketahui dimana adanya-dimana tidak adanya Tau Rie’a A’rana, Tetapi kita memohon rahmatnya, Diterimanya permintaan kita, Dia yang tentukan. To Kajang mempercayai adanya roh atau makhluk halus yang berdiam pada tempat-tempat tertentu, seperti di hutan, gunung atau di tempat yang dipandang keramat. Roh atau makhluk halus terpilah dalam dua kelompok dan masing-masing mewakili “baik” dan “jahat”. Makhluk halus yang tergolong “baik” adalah roh yang selama hidup di dunia mengamalkan ajaran pasang dalam 325
perikehidupannya. Mereka inilah yang menjadi tu salama’ (orang yang selamat), orang yang dihari kemudian akan “menyatu” dengan Tau Rie’a A’rana. Mereka inilah yang menjadi objek pemujaan upacara ru’matan. Sedangkan roh atau makhluk halus yang tergolong “jahat” adalah mereka yang selama hidup di dunia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dipasangkan. Ada dua bentuk sanksi bagi orang Kajang yang tidak mentaati pasang, yakni sanksi sosial atau horizontal, dan sanksi yang sifatnya sakral atau vertikal. Sanksi sosial atau horizontal dalam pasang dikatakan : Nipalulu ahunna, nipasolong dasere’na Artinya : ditebarkan abunya, dihanyutkan jalinan bambu yang dipergunakan sebagai alas rumahnya. Makna ungkapan ini ialah bahwa seseorang yang tidak menaati dan mematuhi peraturan-peraturan kemasyarakatan yang berlaku, akan “diusir” atau dikucilkan. Sedangkan sanksi yang bersifat sakral atau vertikal, dalam pasang dikatakan: Naikko nu turi, naungko nu lompo bangngi Artinya : Kalau ia naik menjadi “kera”, dan apabila turun menjadi “babi”. Sanksi ini bermakna mereka yang dimaksud oleh pasang ini rohnya akan bergentayangan karena “ditolak” oleh Tau Rie’a A’rana . Hakekat keberadaan Tau Rie’a A’rana berada dalam semua ruang dan waktu, sehingga tidak diketahui secara tepat di mana dia berkedudukan. Namun apabila Tau Rie’a A’rana berkenan memberi rahmat dan anugrah, maka akan sampai ke manusia, sehingga meskipun kedudukan Tau Rie’a A’rana
tidak
diketahui secara pasti---transendental. Tetapi jika manusia taat menjalankan 326
perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang maka akan “bertemu” dengan Tau Rie’a A’rana . Dalam pasang dikatakan : Siitte maki anjo punna nigaukangi Passuroanna, na nililiangngi Pappisangkanna. Artinya: Manusia akan bertemu dengan Tau Rie’a A’rana apabila Dikerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. a.1.2. Pasang ri Kajang: Dasar Filsafati To Kajang Tau Rie’a A’Ra’na menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek, dan tingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang sebagai kumpulan pesan-pesan, petuah-petuah, petunjuk-petunjuk dan aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro dan mikro kosmos serta tata cara menjalin harmonisasi alam-manusia-Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas dalam mana ia mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniawian maupun keakhiratan. Fungsi pasang menjadi ukuran apakah sesuatu itu “baik” atau “buruk”---atau apakah sesuatu itu “boleh” atau “tidak”----apakah sesuatu itu yang akan “dituju” atau sebaliknya akan “dilawan”. Pilihan atas pertentanganpertentangan akan ditetapkan oleh To Kajang melalui yang dipasangkan (Akib, 2008: 62).
327
Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa ----masyarakat Kajang. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Agar pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh manusia, Tau Rie’a A’Ra’na memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan, dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antara Tau Rie’a A’Ra’na dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Tau Rie’a A’Ra’na ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tanah Toa (tanah tertua), tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah to manurung dari langit. Turunnya to manurung itu mengikuti perintah Tau Rie’a A’Ra’na atau Yang Maha Berkehendak. Di kisahkan, saat to manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung “koajang” yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa. Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang to manurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Di tanah tempat to manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanah Toa atau tanah tertua tempat pertama kali manusia ada. Karena itu, mereka meyakini to manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang) yang pertama dan mengikuti segala 328
ajaran yang dibawanya. Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam hidup keseharian, dan nama burung “koajang “ kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka. Melalui pasang, masyarakat Kajang menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis, yakni Tau Rie’a A’Ra’na (Tuhan), Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah (hutan) yang telah diberikan oleh Tau Ri’ae A’Ra’na kepada leluhur mereka. Bagi To Kajang, pasang mempunyai kedudukan yang tinggi dikarenakan isi yang dipasangkan sudah tersusun sedemikian rupa dan sudah ada sejak mula tau--leluhur sebagai asal mula manusia sekaligus sebagai wakil Tau Rie’a A’ra’na di bumi. Pewarisan pasang dari generasi ke generasi berikutnya melalui orang-orang yang mendapat ilham dari Tau Rie’a A’ra’na. Dengan demikian isi pasang tak lain adalah gagasan-gagasan keilahian Tau Rie’a A’ra’na yang disampaikan kepada manusia melalui orang pilihan-Nya. Dunia dalam pandangan To Kajang bertingkat tiga, yakni dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunianya yang ilahiah. Pengetahuan manusia tidak akan sampai ke sana. Dunia bawah tempat sukma manusia yang tidak suci. Dunia kekinian dan kedisinian manusia adalah dunia tengah, yakni dunia-antara yang berada di tengah-tengah dunia atas dan dunia bawah. Pandangan ini ditafsirkan dari sudut pandang pola tripatri sekaligus juga dilihat dari kacamata kebudayaan Kajang sebagai kebudayaan mitis. Dalam pembagian tiga dunia ini, manusia dibebani titipan hanya ketiga berada di dunia tengah. Hal ini terkait dengan posisi atau kedudukan dunia tengah sebagai 329
pengharmoni, medium dan menghubung dua dunia lainnya. Dalam mitologi mereka, pada awal penciptaan semesta, Tuhan telah menawarkan kepada segenap manusia yang sanggup dititipi/ diamanati sesuatu. Segala manusia tidak ada yang menyanggupi kecuali manusi Kajang. Maka sejak itu manusia Kajang yang dititipi meneguhkan amanat itu di dunia tengah. Apa yang dititipkan? Yang dititipkan kepada manusia Kajang adalah tanah Kajang sebagai poros dunia atau inti jagat. Pandangan To Kajang yang kedua adalah tentang alam semesta (kosmologi). Dalam pandangan mereka, titik permulaan atau cikal bakal jagat raya ini berada di Kajang, tepatnya di wilayah kamase-masea. Penanda titik permulaan itu adalah: pocci tana (pusat tanah/pusat bumi), batu pannurungang, (tempat turunnya tau mariolo/ manusia pertama),
ku’buru tunggalaka (makam
tunggal/tempat menghilangnya tau mariolo/manusia pertama) yang berada di dalam susunan batu temu gelang berbentuk persegi empat, berada di dalam hutan karanjang dan dianggap sebagai hutan suci oleh masyarakat Kajang. Oleh karena itu, To Kajang menyebut wilayahnya sebagai inti jagat, pusat dunia, atau poros dunia. Hal inilah yang meyebabkan sehingga mereka begitu kuat dan sungguhsungguh menjaga alamnya. Mereka menjaga alam Kajang bukan berdasarkan alasan fungsional, tetapi lebih merupakan alasan ontologis dan kosmologis. Sebagaimana halnya poros dunia yang diimani orang-orang dari kebudayaan lain, To Kajang juga menganggap inti jagat sebagai titik tersakral mereka. Jika dianalogikan dengan jaring laba-laba, maka konsep ini adalah simpul yang menyatukan seluruh konsep filosofis dan kebudayaan mereka terkait dengan pola hubungan manusia dengan 330
alam. Pertanyaan-pertanyaan mengapa hutan tidak boleh dirusak; mengapa pepohonan tidak boleh ditebang sembarangan; mengapa hewan-hewan tidak boleh dibunuh secara semena-mena; jawabannya hanya satu, yaitu karena semuanya ada di poros dunia, inti jagat yang mencakup seluruh kawasan Kajang. Kajang sebagai poros dunia yang bernilai sakral telah diberi tata aturan tentang kedudukan dan tata cara To Kajang berhubungan dengannya. Hal ini berlaku baik untuk To Kajang sendiri maupun untuk orang luar Kajang. Mereka tidak segan-segan menegur orang luar yang mencemari kesakralan poros dunia. Mereka senantiasa membela mati-matian wilayahnya, bukan karena alasan kekuasaan, tetapi lebih pada alasan Kajang sebagai inti jagat, dan mereka diamanati untuk menjaganya. Kepercayaan To Kajang yang ketiga adalah kepercayaan akan adanya Tuhan. Mereka percaya bahwa segala sesuatu bersumber dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya pula. Mereka menjadi kehidupan di dunia tengah memiliki tujuan hidup yakni kembali kepada-Nya dalam keadaan sukma yang suci, persis seperti ketika ia diturunkan/ diciptakan Tuhan pada mulanya. Tuhan juga menjadi orientasi moralnya. Hal ini dapat dilihat dari pandangan To Kajang tentang manusia yang dititipi inti jagat. Hal ini sesuai dengan anggapan mereka bahwa menjaga inti jagat adalah juga bagian dari agama dan tujuan hidup mereka. Pandangan To Kajang yang keempat adalah tentang manusia. Hal yang utama dari pandangan mereka tentang manusia adalah manusia merupakan emanasi dari Tuhan, dari Tau Rie’a A’ra’na. Tau Rie’a A’ra’na ini yang menurukan pasang ri Kajang dan dilaksanakan oleh Ammatoa dan pengikutnya di Tanah yang tua (atau Tanah Toa) atau keturunannya. Hal ini tentu saja terkait 331
dengan tempat To Kajang di dunia tengah yang istimewa, yakni di poros dunia. Karena keistimewaan ini pula, maka hanya To Kajang yang dititipi oleh Tuhan untuk menjaga poros dunia itu. Tau Rie’a A’ra’na mengemanasi manusia di titik di mana semesta bermula, yakni di hutan Karanjang. Kemudian Tuhan, mewahyuhkan agama patuntung melalui pasang ri Kajang sekaligus mentahbiskan Ammatoa sebagai pengemban dan pelaksana amanat (titipan) untuk menjaga poros dunia atau pusat dunia. Dengan demikian, pandangan tentang Kajang sebagai inti jagat diperkuat lagi dengan pandangan bahwa manusia pertama diturunkan Tau Rie’a A’ra’na juga di Kajang. Sebagai hasil emanasi Tau Rie’a A’ra’na , To Kajang meyakini bahwa yang hakiki dalam diri sebagai manusia adalah sukmanya. Proses meraganya sukma adalah dalam rahim ibu. Di sinilah sukma mulai terikat anasiranasir duniawi. Tanah bagi To Kajang adalah “Ibu” mereka. Hanya sukma-sukma yang bersih yang dapat kembali kepada Tuhannya. Oleh karena itu, manusiamanusia Kajang diwajibkan untuk senantiasa menjaga kesucian sukmanya ketika hidup di dunia tengah yang fana ini, dengan jalan pengamalkan ajaran pasang di dalam kehidupan mereka. To Kajang senantiasa mengidam-idamkan sukmanya dapat kembali dan berkumpul bersama para leluhur. Pandangan To Kajang yang terakhir adalah pandangan To Kajang tentang nilai (aksiologi). Nilai To Kajang bertumpu pada nilai intrinsik segala realitas. Bagi mereka, alam, manusia dan lainnya memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Secara umum, manusia itu memiliki dua nilai yang hakiki yang diberikan Tuhan, yaitu nilai ilahiah-karena manusia adalah emanasi Tuhan, dan nilai humanistik
332
sebagai pengembang amanat dari Tuhan. Alam juga memiliki dua nilai utama, yaitu nilai sakral dan nilai titipan. Keyakinan ini dalam sistem moral mengidentifikasikan dua hal. Pertama, hakikat aksiologis manusia yang bernilai ilahiah dan amanat itu menjadikan manusia sebagai pelaku moral. Kedua, hakikat nilai (aksiologis) alam adalah yang bernilai sakral dan titipan. Nilai ini menjadikan alam sebagai subjek (sasaran) moral dalam sistem etika dan moral To Kajang, sama dengan manusia; alam dipandang sejajar secara moral. Hal ini dapat dilihat pada tidak adanya pandangan bahwa manusia itu superior atas alam. Manusia sebagai pengembang amanat pasang, inti jagat senantiasa berjalin dengan nilai alam yang sakral dan dititipkan. Dasar nilai inilah yang “menjamin” berjalannya tata hubungan manusia Kajang dengan alam secara sejajar. Sikap To Kajang yang respect for nature, tidaklah melulu bersifat magis dan mitis seperti beberapa suku terasing lainnya di Indonesia. Misalnya sebuah gunung tertentu tetap terjaga hutannya disebabkan sifat angker yang dilekatkan padanya oleh satu komunitas atau masyarakat tertentu. To Kajang membangun hubungan dengan alam karena alasan yang lebih utama, yakni berdasarkan ikatan/perjanjian primordial dengan Tuhannya untuk menghormati alam dan menjaga pusat dunia di Kajang. Layaknya sebuah tempat yang disucikan, tentu saja banyak sekali aturanaturan yang mengikat, aturan itu terhimpun dalam pasang ri Kajang yang dijadikan pedoman oleh mereka. Baik kepada para penghuninya maupun kepada orang-orang luar yang berhubunngan dengan mereka. Atura-aturan itu mengikat 333
para penghuninya dalam hal hubunngan dengan wilayah yang berstatus wilayah suci dan dalam hal hubungan antar sesama penghuninya. Status wilayah Kajang sebagai wilayah adat menciptakan tata aturan yang mengatur To Kajang dalam memandang dan mempraktekkan alam yang membentang di sana. Dusun Benteng sebagai tempat suci atau sakral, tentu para penghuninya juga adalah orang-orang suci atau orang-orang yang menempa diri untuk tujuan spiritual tertentu. Seperti juga status wilayahnya yang mencipta tata aturan hubungan dengan alam, To Kajang juga mencipta tata aturan yang mengatur hubungan antar penghuninya, pada tabu-tabu yang akan dijelaskan kemudian. Kepercayaan To Kajang pada tanah-hutan, yang dianggap memberi penghidupan pada mereka sangat mengakar pada batin dan kebudayaan To Kajang. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh hidup mereka disibukkan dengan pertanian tanpa irigasi, mereka menggunakan teknik mengerit dan membakar. Jika suatu area tidak subur lagi, petani berpindah ke area penanaman lain dan membuka hutan. To Kajang tidak pernah mengumpulkan hasil hutan karena tidak diizinkan untuk mengambil hasil hutan seperti kayu, damar, rotan atau lainnya tanpa izin dari pimpinan mereka (Ammatoa). Hutan harus dijaga dalam kondisi naturalnya. Setiap orang yang bermaksud untuk mengambil kayu dari hutan untuk membangun rumah harus meminta ijin dahulu kepada Ammatoa dan harus menempatkan setiap satu pengganti untuk menggantikan yang dipotong. Barang siapa yang mengganggu ketentuan ini harus membayar biaya tradisional. Dapat dikatakan kebudayaan To Kajang masih berada pada tahap mitis, di mana manusia sebagai subjek melebur dengan alam. Dalam kebudayaan mitis, segala hal dan upaya manusia selalu dikaitkan dengan hal-hal supranatural, baik 334
itu kekuatan alam sendiri maupun kekuatan dari pengada supranatural. Oleh karena itu, dalam setiap tahap dalam ritus-ritus yang mereka adakan, To Kajang selalu melakukan dua hal, yaitu menjalin hubungan dengan supranatural (nenek moyang) dan meleburkan diri dengan alam raya yang mengepung mereka. Jika dilihat dari sudut pola tripatri, ritus-ritus yang dilakukan To Kajang berkaitan dengan hutan, misalnya ritus mengawinkan “pohon” yang terdapat di hutan dengan “istrinya”, yakni tanah. Tanah sebagai “istrinya”, diperlakukan oleh To Kajang sebagai yang sakral. Pandangan To Kajang tentang tanah juga diliputi kompleks tata aturan yang mengikat dan bernilai religi, tanah Kajang terlarang keras untuk dibolak-balik, seperti dicangkul dan dibajak, dan juga terlarang dinodai oleh hal-hal yang bersifat profan, seperti pupuk kimia dan pupuk kandang. Tanah diperlakukan To Kajang dengan membiarkannya apa adanya yang dibentuk oleh alam. Dari pandangan inilah, tata aturan tentang tanah To Kajang dibangun. Mereka mengagungkan tanah sama seperti mereka mengagungkan hutan. Bahkan ketika ditanya tentang mengapa mereka mentabukan alas kaki, mereka menjawab bahwa itulah bentuk penghormatan mereka kepada tanah. Mereka menganggap bahwa alas kaki (sandal, sepatu) dalam kebudayaan luar Kajang adalah sikap yang memandang tanah sebagai hal yang menjijikkan. Dalam pandangan To Kajang, tanah bukanlah hal yang menjijikkan, tetapi merupakan hal yang dihormati. Untuk menjaga kebersihannya, sebelum memasuki rumah, mereka terbiasa mencuci kaki dengan air yang selalu tersedia dalam gentong yang ada di disamping kanan tangga naik rumah mereka.
335
Untuk membentuk kesuburan tanah, To Kajang menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme kerja alam dengan cara menghutankan kembali lahan yang selesai digarap. Hal ini terkait dengan pandangan mereka bahwa alam adalah sesuatu yang benilai sakral. Mereka memasrahkan segalanya pada gerak alam. Alam sebagai yang sakral juga dibiarkan bekerja menyuburkan tanah yang bersifat sakral pula. Alam yang sakral juga dibiarkan bekerja menghidupkan hutan sebagai penjelmaan yang “mengadakan” yang sakral, yakni tau mariolo. Dengan demikian, To Kajang melihat keseluruhan alam sebagai yang sakral. Mata pencaharian hidup mereka yang utama yaitu bertani erat berkaitan dengan kepercayaan To Kajang tentang tanah yang dianggap sebagai “ibu” mereka. Begitu dominannya pertanian dalam kehidupan To kajang, hingga dapat dikatakan bahwa siklus kehidupan mereka adalah siklus pertanian. Permulaan tahun, upacara adat dan kepercayaan-kepercayaan mereka begitu dipengaruhi oleh siklus pertanian. Keseharian hidup, waktu dan tenaga mereka diperuntukkan bagi pertanian. Dalam sehari mereka menghabiskan hidupnya hanya dengan bercocok tanam. Dengan intensitas waktu keseharian mereka yang begitu dominan di alam, maka dapat dikatakan bahwa setiap saat To Kajang selalu terhubung dengan alam. Bertani sebagai kewajiban yang senantiasa dijalankan dengan patuh, ditambah dengan bentang alam yang menakjubkan. Mereka mengagungkan alam, oleh karena alam dipandang sebagai yang sakral, mereka tidak semena-mena memperlakukan pepohonan. Parang yang selalu ada di pinggang mereka tidak pernah digunakan di luar peruntukannya, seperti menebas pohon tanpa sebab, atau memotong pohon untuk sekedar iseng. Bahkan ketika mereka harus menerobos 336
ilalang, mereka tidak menebas perdu, dan rerumputan yang menghalangi. Untuk melewatinya To Kajang cukup dengan menyibaknya saja. Begitu dekatnya To Kajang dengan alam, mereka menggunakan hampir seluruh peralatan hidupnya yang terbuat dari bahan-bahan alamiah, seperti rumah, perlengkapan dapur, peralatan rumah tangga, alat pertanian, makanan, pupuk, hingga pakaian. Tidak satupun To Kajang yang memelihara binatang selain ayam dan kuda. Dasar kultural yang terakhir adalah ketaatan mereka pada pasang. Mereka sangat mentaati apa-apa yang telah digariskan dalam ajaran pasang, mereka menganggap bahwa yang panjang tidak boleh dipotong, yang pendek tidak boleh disambung, yang dilarang harus ditinggalkan, yang diharuskan harus dilaksanakan. Dengan demikian, mereka
hampir tidak pernah melakukan apa yang tidak
dilakukan leluhur mereka. a.1.3. Kajang dan Kebudayaan Pola Tripatri Masyarakat adat Kajang dikategorikan sebagai masyarakat yang memiliki pola tripatri. Mereka cenderung membagi sesuatu menjadi tiga bagian yang bertingkat, yakni wilayah ipantarang embayya sebagai wilayah yang kurang ketat penerapan adatnya, ilalang embayya sebagai wilayah yang masih ketat penerapan adatnya, dan wilayah ilalang rambanna i Amma sebagai wilayah yang masih ketat dalam menerapkan ajaran pasang. Pola tiga ini juga ditemui pada struktur rumah dan pembagian ruang. Secara vertikal (struktur bangunan), rumah orang Kajang di wilayah kamasemasea dan kuassayya terdiri atas bagian kaki, badan, dan atap rumah. Dalam hal kepercayaan pada yang gaib, masyarakat Kajang membagi yang gaib itu menjadi 337
tiga golongan, yaitu Tau Rie’a A’ra’na, Tau Mariolo, dan makhluk-makhluk halus yang menghuni tempat tertentu. Secara horizontal (pengorganisasian ruang), rumah To Kajang di kawasan kamase-masea terbagi menjadi tiga ruang, yakni : ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang. Ruang depan dianggap sebagai manifestasi wilayah laki-laki, ruang belakang dianggap sebagai manifestasi wilayah perempuan, dan ruang tengah merupakan ruang netral, yakni ruang yang bisa digunakan bersama-sama baik oleh laki-laki maupun perempuan. Di kawasan kuassayya pengorganisasian ruang juga terbagi tiga, yakni : ruang depan merupakan ruang netral yang bisa digunakan bersama-sama, ruang tengah dianggap sebagai manifestasi perempuan, dan ruang belakang sebagai manifestasi laki-laki. Masyarakat Kajang membagi wilayahnya menjadi tiga kawasan, yaitu : 1). Kawasan suci/sakral, yakni kawasan yang tidak boleh dikunjungi sembarang orang. Kawasan suci ini merupakan sebuah dusun yang disebut Dusun Benteng berada dibagian tengah dari Desa Tanah Toa. Di kawasan ini terdapat tiga area, yaitu lapangan yang berada di dalam hutan yang disebut hutan Karanjang – letaknya berada di bagian barat, merupakan area hutan larangan (hutan yang penuh pantangan), area ku’buru tunggalaka (makam tunggal) yaitu area tempat leluhur, dan area rumah Ammatoa, 2). kawasan bersih atau semi sakral, yaitu kawasan permukiman masyarakat kamase-masea. Di kawasan ini, selain rumah penduduk, terdapat juga hutan adat masyarakat, dan areal makam masyarakat kamase-masea, dan sungai sebagai batas tradisional yang memisahkan wilayah Kajang Dalam dan Kajang Luar. 3). kawasan kotor, yaitu kawasan yang berada di luar wilayah kamase-masea bersebelahan dengan sungai. Kawasan ini terdapat 338
tiga area yakni area sungai sebagai batas tradisional yang memisahkan wilayah kamase-masea dan kuassayya, yakni Sungai Limba, Sungai Doro, Sungai Tuli, dan Sungai Sangkala. Di kawasan ini terdapat tempat pemujaan, tempat pelantikan karaeng dan tempat musyawarah, kawasan permukiman masyarakat kuassayya, kandang ternak, pasar tradisional, sumber air, tempat pembakaran mayat, dan kompleks makam, hutan rakyat yang hasilnya dapat digunakan secara bersamasama untuk membangun rumah dan kayu bakar. Di samping kebudayaan berpola tripatri. Masyarakat Kajang juga mempunyai orientasi sakral. Pada masyarakat kamase-masea, orientasi sakralnya adalah timur-barat, arah gerak matahari; timur bersifat profan karena menandakan wilayah terluar dari kampung ini, dan barat bersifat sakral karena ada hutan keramat di sana. Pada masyarakat kuassayya juga berlaku hal yang sama, mereka memiliki orientasi sakral utara-selatan. Orientasi ini diterapkan salah satunya, pada pola permukiman dan struktur rumah. Pola tiga, menurut Sumardjo (2004), adalah perkembangan dari pola pikir masyarakat peramu dan pemburu. Pada masyarakat peramu dan pemburu, substansi realitas adalah dualisme yang kontradiktif. Hakikat hidup adalah pertentangan dan perang. Dalam pertentangan dan perang ada yang menang dan ada yang kalah. Dalam perang ada kematian yang memberikan hidup pada pasangan oposisinya. Pola pemikiran ini terbentuk dari pola hidup masyarakat peramu dan pemburu yang bergantung penuh pada alam. Kehidupannya berpindah-pindah mengikuti arah di mana makanan masih cukup untuk dipetik sehingga kehidupan terus berjalan. Dalam mencari kalori, masyarakat pemburu harus membunuh untuk kehidupannya. Tidak membunuh, berarti kehidupannya 339
terancam. Pada masyarakat peladang, hidup tidak lagi bergantung sepenuhnya dari alam. Memang alam masih sangat diperlukan oleh masyarakat peladang, tetapi pola hubungannya berbeda dengan masyarakat peramu. Masyarakat peladang mengolah alam. Mereka tidak perlu lagi berpindah tempat untuk mencari tanaman dan berburu binatang. Mereka mulai membudidayakan ; mereka mulai “‘mengawinkam”. Jadi, kehidupan muncul bukan dari kematian salah satu dari substansi, tetapi dari perkawinan dan substansi yang beroposisi, sehingga melahirkan substansi yang ketiga. Ada langit, ada bumi, dan ada kehidupan di tengah-tengahnya. Ada dunia atas, ada dunia bawah, dan perkawinan keduanya melahirkan dunia tengah, tempat manusia hidup. Dunia tengah, simbol penghubung dan dunia yang lain itu disebut penghubung, perantara, atau medium. Pola pemikiran dasar masyarakat perladangan di Indonesia, adalah tripatri atau tritunggal. Pola ini di pakai untuk segala hal yang menyangkut keselamatan hidup manusia. Tripatri ladang dimulai dengan membagi semua fenomena menjadi dua alamat yang memiliki substansi yang saling bertentanngan, faham dualisme ini dimulai dengan kenyataan diri manusia yang sama, tetapi sekaligus juga berbeda. Adanya lelaki saja tidak bermakna, begitu juga adanya perempuan saja tidak bermakna, Hidup ini bernakna kalau dua hal yang berbeda secara diametral tadi diharmonikan menjadi satu kesatuan. Lelaki harus dikawinkan dengan perempuan. Perkawinan dari dua hal yang saling bertentangan tadi baru menghasilkan makna (Sumardjo, 2004: 89). Dalam masyarakat tripatri/pola tiga, arah sakral hanya dikenal dua arah atau orientasi, yakni; gunung-laut, hulu-hilir. Setelah itu, barulah arah profan yang bersilangan misalnya timur-barat. Daerah hulu dianggap sebagai daerah sakral, 340
karena terkait dengan simbol asal, yang murni, bersih, bersifat ilahiah, dan penuh daya-daya ilahi. Sedangkan daerah hilir adalah arah tujuan, yang profan, dan yang kotor. Arah hulu-hilir ini disebut juga arah transenden. Arah persinggahan antara hulu-hilir disebut arah imanen (Sumardjo, 2004). Gunung itu sakral, karena juga terkait dengan simbol asal, yang murni, bersih, bersifat ilahiah, dan penuh dayadaya ilahi. Sedangkan laut adalah arah tujuan, yang profan, dan kotor. Kebudayaan To Kajang adalah kebudayaan yang mengikuti pemikiran pola tiga ini. Orientasi sakralnya adalah timur-barat, barat sebagai yang sakral ditandai dengan barat sebagai hulu, yakni hutan keramat . Timur sebagai yang profan ditandai dengan arah hilir hutan adat. Secara topografis, wilayah timur lebih rendah dari daerah barat, dan secara sosiologis, wilayah ini ditempati oleh to ilalang embayya, dan ipantarang embayya. Barat menjadi wilayah yang sakral karena wilayah barat terdapat axis mundi tersakral To Kajang, hutan Karanjang/hutan keramat didalamnya terdapat pocci tana (pusat tanah/pusat bumi), batu pannurungang, sebuah makam (kuburu’ tunggalaka) yang berada di dalam susunan lingkaran batu temu gelang berbentuk persegi empat. Arah sakral timur-barat menjadi orientasi seluruh warga Kajang dalam setiap aktivitas, baik hidupnya maupun adatnya. Barat sebagai hulu atau asal dalam geneologi To Kajang adalah tempat manusia pertama diturunkan. Dalam tata kampung, areal makam dan permukiman berada di sebelah utara-selatan. Dalam masyarakat Kajang, orientasi sakral adalah timur-barat; timur-barat adalah orientasi transenden. Dengan demikian, arah imanen To Kajang adalah utaraselatan. Mengapa pekuburan harus ada di sebelah utara-selatan?
341
Pola tripatri/ pola tiga di Kajang juga dapat dilihat, antara lain pada pandangan dunia, pembagian hutan, sanksi pelanggaran, pembagian wilayah (atau strata sosial), tata guna lahan, arsitektur rumah. Berikut gambaran masing-masing tersebut kecuali pandangan dunia, karena akan dijelaskan dalam sub bab tersendiri). Kawasan Kajang terbagi menjadi tiga, yaitu ilalang rambanna i Amma, ilalang embayya, dan ipantarang embayya. Wilayah ilalang rambanna i Amma adalah wilayah sakral, menempati tanah yang sakral juga, yaitu tana terlarang-tana mula tau-tanah toa (tanah terlarang, restricted area-tempat manusia pertama-tanah yang tua). Ilalang rambannna i Amma adalah simbol dunia atas, simbol kesucian, simbol asal mula, simbol keilahian. Oleh karena itu, banyak tabu dan adat yang melingkupi ilalang rambanna i Amma dan orang kamase-masea. Wilayah ilalang embayya menempati posisi tengah, wilayah kehidupan yang mulai ramai, wilayah manusia Kajang yang mulai manusiawi? Disebabkan karena mereka secara perlahan mulai mengenal barang-barang modern. Selanjutnya wilayah kuassayya adalah wilayah profan, simbol dunia bawah, wilayah yang kotor, wilayah tempat si pelanggar adat dari wilayah kamase-masea diasingkan (dihukum). Maka dari itu letaknya pun di wilayah terluar dari tanah adat Kajang. Wilayah ilalang rambanna i Amma dibagi lagi menjadi tiga bagian yang bersifat hierarkis. Secara berurutan, wilayah ilalang rambanna i Amma terdiri dari 1). wilayah hutan keramat (atau hutan karanjang)-wilayah tempat kedatangan manusia pertama (leluhur)-tempat pelantikan Ammatoa-tempat terdapat kuburu tunggalaka (makam tunggal), 2). rumah Ammatoa, dan 3). permukiman warga 342
yang masih mengikuti ajaran patuntung. Masing-masing itu mewakili simbol dunia atas, tengah, bawah. To Kajang mengenal pembagian/tata guna lahan berdasarkan fungsi dan kedudukannya. To Kajang membagi lahan/tanah adat menjadi tiga bagian (fungsi). Pertama, zona kaki bukit (lembah), biasanya secara geografis datar, sehingga dapat digunakan sebagai permukiman dan hutan rakyat (hutan kampung). Biasanya, daerah permukiman berada dekat dengan sumber air- sungai, atau mata air. Hutan kampung tidak boleh dibuka untuk ladang, karena hutan ini berfungsi sebagai penyangga lingkungan kampung dan dianggap sebagai pintu masuk arwah leluhur yang ingin menjenguk kampung. Halaman/pinggiran rumah biasanya ditanami tanaman fungsional seperti buah-buahan dan bahan kayu bakar. Kedua, daerah di atas zona pertama, yakni di lereng-lereng bukit. Zona ini dipergunakan untuk ladang dan kebun. Zona ini terdiri atas ladang dan hutan muda bekas ladang yang sengaja ditinggalkan untuk jangka waktu tertentu agar kesuburan tanahnya kembali. Ketiga, daerah puncak-puncak bukit, sebagai zona konservasi. Di dalamnya terdapat hutan tua yang tidak boleh digunakan untuk ladang. Pemanfaatannya hanya sebatas hasil hutannya- seperti buah atau madu, itupun dalam jumlah yang terbatas, tidak boleh berlebihan. Tiga zonasi di atas, mewakili simbol tiga dunia. Sebab jika tanpa makna tertentu, maka mengapa pula harus dibagi terbatas hanya tiga fungsi. Puncak bukit/ daerah ketinggian adalah simbol dunia atas. Kesakralannya diperkuat dengan adanya borong karama’,---- hutan yang tidak boleh digarap. Lembah/kaki bukit, tempat permukiman penduduk Kajang adalah simbol dunia bawah. Tetapi, mengapa tempat tinggal manusia justru yang menjadi simbol dunia bawah dalam 343
pembagian zona ini? Sebab biasanya, manusia dan segala kehidupan di atas bumi adalah simbol dunia tengah. Jawabannya terkait dengan zona kedua axis mundi dan posisi Kajang sebagai dunia-jika dihubungkan/ dipolakan dengan non Kajang. Pola tiga juga dapat dilihat pada arsitektur rumah To Kajang yang sarat dengan simbol-simbol. Proses membangunnya pun ada urut-urutannya yang diatur adat. Berikut gambar rumah To Kajang. Gambar 14 Pola Tripatri Pada Rumah To Kajang di Kawasan Kamase-masea
Dunia Atas-Kepala
Dunia Tengah-Badan
Dunia Bawah - Kaki
(Digambar oleh Erni Erawati) Gambar 15 Pola Tripatri pada Rumah To Kajang di Kawasan Kuassayya
Dunia Atas - Kepala
Dunia Tengah - Badan Dunia Bawah - Kaki
(Digambar oleh Darlan) 344
Pola tripatri dalam arsitektur rumah di kawasan Kajang, berlaku secara vertikal dan horizontal, yaitu struktur rumah, dan pembagian ruang. Pertama, struktur rumah To Kajang terdiri atas tiga, yaitu kolong sebagai simbol dunia bawah; badan rumah sebagai simbol dunia tengah; dan atap sebagai simbol dunia atas. Kolong rumah To Kajang adalah sisi yang dekat dengan tanah. Dalam kosmologi To Kajang, tanah adalah dunia bawah? dunia profan. Badan rumah adalah tempat keluarga tinggal, simbol dari kehidupan manusia saat ini dan di sini, yakni dunia tengah. Atap rumah adalah simbol dunia atas. Itulah sebabnya bubungan atap rumah mereka berorientasi timur-barat sebagai poros transenden. Secara umum, ruang rumah To Kajang terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu ulubola (bagian atas), alebola (bagian tengah), dan huribola (bagian bawah). Ulubola adalah simbol dunia atas, alebola simbol dunia tengah, dan huribola simbol dunia bawah. Pola tripatri juga dapat dilihat pada pembagian lahan hutan, yakni borong karama’ (hutan keramat), borong ada’a (hutan adat), dan borong tattakang (hutan kemasyarakatan). a.1.4. Penghormatan dan Pembagian Hutan Tanah dan hutan adalah “alamnya manusia”. Konsep tentang alam raya yang terdiri atas benua atas “angkasa/langit”, benua tengah “tanah/hutan”, benua bawah “lautan,air” terdapat dalam cara berpikir komunitas To Kajang. Tanah dan hutan merupakan bagian dari makrokosmos menjadi hunian manusia dan makhluk hidup lainnya, sedangkan “angkasa/langit” dan “lautan,air” adalah alam misteri, tak diketahui atau rahasia.
345
Bagi To Kajang, tetap terjaganya kelestarian hutan juga merupakan pertanda bahwa Ammatoa yang terpilih diterima oleh Tau Rie’a A’Ra’na dan alam. Ammatoa dianggap telah berhasil mengimplementasikan ajaran-ajaran pasang sebagaimana dititahkan oleh Tau Rie’a A’Ra’na. Konstruksi mereka tentang hutan yang bersifat sakral tersebut telah berperan besar dalam menjaga tetap lestarinya kawasan hutan mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turie A’Ra’na kepada leluhur Suku Kajang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan itu berasal dari arwah leluhur masyarakat Kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia. Jika ada orang yang berani merusak kawasan hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersebut akan menurunkan kutukan. Kutukan itu dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga dapat mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di kawasaan Kajang. Tallasa’ kamase-masea----hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai pemandu, dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallasa’ kamasemasea ini tercermin dalam pasang sebagai berikut: 1. Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase, a’meako nu kamase-mase (berdiri engkau sederhana,
346
duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana. 2. Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju (Kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya). 3. Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga (Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan). Pasang ini mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh warga masyarakat Kajang tak terkecuali Ammatoa, pemimpin tertinggi adat Kajang. Hal ini dapat dipandang sebagai filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya. Manusia hanyalah salah satu komponen dari makrokosmos yang selalu tergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen makrokosmos lainnya, manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang karena akan merusak keseimbangan yang telah tertata secara alami. Masyarakat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallasa’ kamase-masea ini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut: 1. Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu bermaksud 347
menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan. 2. Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan. 3. Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut pasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Tau Rie’a A’Ra’na. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan
yang
demikian,
tidak
memungkinkan
memikirkan
memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam hutan mereka. Dengan demikian, hutan akan tetap terjaga kelestariannya (Salle, 2000). 348
Tallasa’ kamase-masea juga merupakan representasi dari tiga prinsip utama, yaitu : 1). Perbuatan manusia di dunia akan mempengaruhi kehidupannya di akhirat. Jika manusia berbuat baik di dunia, maka ia akan menuai kebaikan pula kelak di akhirat. Sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan di dunia, maka kelak di akhirat ia akan mendapat celaka, 2). Setiap orang harus mengerahkan unsur dirinya, jasmani maupun rohani, kepada nasihat, petuah, dan petunjuk Yang Mahakuasa untuk mendapatkan kedudukan yang baik di sisi Tuhan, dan 3). Paham kehidupan materialistis di dunia dapat berakibat buruk dalam kehidupan manusia. Dengan prinsip tallasa’ kamase-masea ini, masyarakat Kajang, diharapkan mampu mengekang hawa nafsunya, selalu bersikap jujur, tegas, sabar, rendah hati, tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dan tidak memuja materi secara berlebihan. Selain ajaran tallasa’ kamase-masea, masyarakat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga kawasan di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat Kajang, yaitu: 1). Borong karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali untuk upacara-upacara adat. Jenis hutan ini masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon besar dan kecil dengan tingkat kerapatannya yang sangat tinggi, 2). Borong batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana 349
umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan. Syarat utama ketika orang ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Hutan ini terletak di sekitar permukiman, dan 3). Borong luara’ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Masyarakat adat Kajang sangat menghormati hutan. Hutan menurut orang Kajang adalah ciptaan Tau Rie’a A’ra’na dari empat unsur yaitu api (pepe), air (ere), tanah (butta) dan udara (anging). Makluk lain di dalam dan sekitar hutan juga dibangun oleh unsur yang sama. Dengan demikian, hutan bagi mereka sama kedudukannya dengan manusia. Pandangan ini terlukis dalam dalam pasang : punna nupanraki anjo borongga, lanupanraki kalennu (jika merusak hutan berarti merusak dirimu sendiri). Hutan adat tidak bisa diganggu gugat, karena merupakan amanah dan pusaka leluhur mereka. Hutan juga dipandang sebagai warisan leluhur (kunni pusakayya). Orang Kajang memandang hutan tidak hanya sebagai kumpulan makhluk hidup (organisme) di dalam sebuah habitat, melainkan juga memiliki nilai sosial dan budaya. Nilai-nilai ini tercermin dalam pola hubungan timbal balik (mutualisme) orang kajang dengan lingkungannya. Pola hubungan tersebut 350
menjadi amanah leluhur mereka untuk tetap menjaga kelestarian hutan. Merusak hutan adalah sebuah dosa besar (tunra), karena mengingkari komitmen janji dengan Tau Rie’a A’ra’na. Mereka membagi hutan baik berdasarkan fungsi maupun kedudukannya dalam adat (keramat). Mengenai sifat keramat yang melekat pada hutan mengindikasikan tiga hal, pertama karena sifat hutannya itu sendidri---- bisa karena kedudukannya sebagai hutan tua, atau bisa juga sebagai hutan yang dititipkan oleh leluhur untuk dijaga. Kedua, hutan tertentu menjadi keramat karena adanya faktor lain yang bersifat keramat pula. Pada hutan larangan di kawasan suci kamase-masea, hutan itu menjadi keramat karena di dalamnya terdapat tempat pelantikan Ammatoa. Tempat ini menjadi penting karena merupakan simbol dari asal mula diri dan komunitas Kajang. Sebagaimana masyarakat tradisional lainnya, bagi masyarakat Kajang, asal-usul itu adalah faktor yang sangat penting. Ketiga, hutan menjadi keramat karena alasan mistik, yakni hutan yanng di dalamnya dianggap ada makhluk halus penunggu dan penguasa hutan itu, baik itu yang bersifat mengganggu maupun yang bersifat menolong.
B. HUBUNGAN SOSIAL PADA TATA RUANG TO KAJANG b.1. Ideologi Masyarakat Kajang Manusia mengembangkan kebudayaannya selalu berorientasi kepada alam lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Beberapa persepsi manusia terhadap alam antara lain menganggap alam itu sebagai musuh, karena itu harus ditaklukkan dan dikuasai. Persepsi lain yaitu alam adalah sahabat, karena itu harus
351
selalu disayangi dan dirawat. Ada juga yang beranggapan bahwa alam itu sesuai dengan sifatnya, kadang-kadang bisa menjadi sahabat, tetapi tidak jarang menjadi musuh yang menakutkan, karena itu harus dihadapi dengan strategi. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut diatas, kita dapat melihat bahwa semuanya berakar pada kebudayaan masyarakat setempat. Pandangan seperti ini banyak dianut dalam masyarakat sederhana dan tradisional. Mereka menganggap bahwa dunia ini penuh dengan daya kekuatan pada setiap benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib tertentu. Kepercayaan tersebut kemudian berkembang menjadi kompleks dalam masyarakat, yakni yang menyangkut eksistensi dari dunia atas, tengah, bawah, dan di antara makro dan mikrokosmos. Makrokosmos merupakan pandangan tentang bentuk dan isi dunia nyata tempat manusia hidup, sedangkan mikrokosmos adalah kehidupan manusia itu sendiri. Kesejajaran antara makro dan mikrokosmos akan menimbulkan keselamatan dan kebahagiaan, sebaliknya ketidak sejajaran antara yang masih hidup dengan sosok si mati akan mengakibatkan malapetaka. To Kajang meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa hal untuk menjaga keseimbangan alam. Segala yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian, penataan permukiman dan segala aktivitas lainnya merupakan hal yang sangat penting dalam kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Kajang atau yang biasa disebut kepercayaan terhadap leluhur atau kepercayaan patuntung. Permukiman di Kajang sebagai salah satu daerah yang bercirikan tradisi megalitik dan Islam, dalam kaitannya dengan tata ruang permukiman sangat 352
dipengaruhi oleh makna religius yakni kepercayaan leluhur atau biasa disebut sebagai kepercayaan patuntung. Kepercayaan patuntung meyakini bahwa empat arah mata angin (utara---selatan----timur---barat) mempunyai fungsi masingmasing. Hal ini terdapat dalam ajaran pasang ri Kajang. Ajaran pasang ini bersifat vertikal
dan horizontal. Hubungan yang bersifat vertikal (hubungan manusia
dengan tokoh yang disembah) terdiri atas tiga tokoh, yakni: 1. Pemujaan terhadap Tau Rie’a A’ra’na 2. Roh-roh halus 3. Tau Mariolo Adapun hubungan yang bersifat horizontal (hubungan manusia dengan alam---tanah dan hutan). Aturan yang bersifat vertikal dan horisontal ini adalah manifestasi pandangan mereka dalam memandang hidup ini yang terdiri atas kelahiran, kehidupan, pemujaan, dan kematian. Pandangan kosmologi masyarakat Kajang mengenai pengklasifikasian jagat, yang dilakukan berdasarkan pandangan kosmologi dalam pasang. Pandangan tersebut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Arah timur Bagian
timur
identik
dengan
arah
munculnya
matahari
yang
menyimbolkan suatu kebahagiaan dan sumber kehidupan, dan merupakan tempat memuja para roh-roh baik bersemayam , seperti roh leluhur yang dianggap telah menjadi manuntungi, sehingga pemujaan selalu dilakukan di sebelah timur.
353
2. Arah barat Dalam bahasa Konjo arah barat biasa disebut iraja. Arah ini dianggap sebagai tempat tau mariolo (leluhur) menghilang----sajang, setelah menurunkan keturunananya untuk mengamalkan pasang. Dianggap sebagai tempat suci dan terhormat. 3. Arah utara Bagian ini merupakan bagian yang selalu diidentikkan dengan kepala--depan 4. Arah selatan Biasa di istilahkan dengan sebutan huri’ lino artinya bagian pantat atau belakang bumi. Bagian ini merupakan bagian paling rendah dan terakhir dalam pengklasifikasian jagat karena merupakan tempat para roh yang tidak diterima di dunia akhirat disebabkan oleh kesalahan yang pernah dia perbuat selama hidup. Roh ini dianggap sebagai sosok yang menakutkan dan
kadang-kadang
Berdasarkan
hal
mengganggu
tersebut
maka
keturunannya masyarakat
di
dunia
nyata.
yang
masih
hidup
keturunannya wajib melaksanakan persembahan sesaji kepada mereka di bagian selatan hutan keramat. Arah timur-barat dihubungkan dengan fase kehidupan mulai dari lahir yang diandaikan dengan matahari terbit di timur, dan perlahan-lahan bergerak naik sampai tenggelam ke ufuk barat. Pergerakan matahari, dianalogikan dengan pergerakan siklus kehidupan manusia dari kehidupan di dunia ke kehidupan alam arwah. Peredaran matahari timur-barat disimbolkan sebagai kosmos (jagat raya) yang menjadi pedoman bagi manusia di dunia (mikrokosmos). Pembagian timur354
barat juga berpengaruh terhadap hal yang berkaitan dengan kematian dalam hal ini jika akan dikuburkan dilaksanakan pada waktu sore hari, dan letaknya di sebelah barat, sedangkan yang berkaitan dengan kehidupan dilaksanakan di sebelah timur pada waktu pagi hari. Klasifikasi kosmos berdasarkan utara-selatan (kepala-pantat?)
berarti
kepala, bagian depan atau bagian atas bumi yang dianggap sebagai tempat orang yang dihormati, tempat suci atau tempat bersemayam para leluhur yang telah mencapai tingkat dewa, sedangkan huri sebagai bagian pantat, bawah, bagian belakang bumi dianggap sebagai tempat para bawahan, pengikut atau tempat bersemayamnya para arwah leluhur yang tidak mencapai kesempurnaan akibat upacara / pemujaan yang tidak memenuhi syarat. Pembagian kosmos berdasarkan alam atas---langit, alam tengah----tanah tempat manusia berada----alam bawah lautan. Alam atas dipersonifikasikan dengan laki-laki, alam bawah dipersonifikasikakn dengan perempuan, sedangkan alam tengah merupakan pertemuan kedua alam tersebut sebagai personifikasi dari kehidupan duniawi---keseimbangan alam, keseimbangan norma-norma, dan mobilitas horizontal, keseimbangan timur---barat, dan keseimbangan utara--selatan. Pembagian kosmos tersebut yakni timur-barat, utara-selatan, dunia atastengah-bawah menjadi pedoman bagi masyarakat Kajang dalam melakukan kegiatan dalam kehidupannya seperti pendirian rumah, bentuk permukiman, dan segala sesuatu yang dilakukan dalam masyarakat, bahkan diri manusia pun tidak terlepas dari kosmologi itu sendiri sehingga harus diselaraskan dengan kosmologi yang dianut. 355
Penataan kampung dipusatkan pada sebelah barat hutan keramat di tempat yang disebut Tombolo’ (tempat yang berbentuk tempurung). Hutan keramat mengandung pengertian yang luas dalam hubungannya dengan leluhur (Tau Rie’a A’ra’na----- roh nenek moyang----tau mariolo), dan juga hubungannya dengan manusia (pelantikan----musyawarah dan lain-lain). Tabel 2 Pandangan Jagat Raya dalam Aturan Pasang Arah Mata Angin
Pandangan Patuntung
Jenis Upacara
1.
timur
Simbol kebahagiaan dan sumber kehidupan
Dolle Lambua
2.
barat
Simbol kesusahan dan kedukaan
Dolle Lasa’ra
3.
utara
Bagian kepala dianggap sebagai tempat orang yang dihormati
Upacara Pemujaan kepada TRA dan nenek moyang
4.
selatan
Bagian belakang dianggap sebagai tempat bawahan, pengikut atau leluhur yang jahat
Upacara pemujaan roh
Unsur
pembentuk
dari
pengaturan
kampung
dipandang
sebagai
mikrokosmos dan unsur pendukungnya seperti tempat upacara, atau makam sesuai dengan kedudukannya harus berada di sebelah barat dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan berada di sebelah timur. Kesalahan dalam mempergunakan penjuru mata angin dalam pangganroang (upacara) serta kesalahan dalam memuja arwah nenek moyang dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan manusia utamanya keluarga yang bersangkutan atau keturunannya. Bencana bisa berupa kematian, kemiskinan, wabah penyakit, panen rusak dan 356
sebagainya. Semua hal tersebut merupakan ganjaran-ganjaran yang akan diterima apabila tidak mengindahkan aturan yang ada dalam patuntung, dalam hal ini ketertiban dalam mengimplementasikan kosmos yang telah diatur. Alam khususnya tanah sebagai “anrong” atau ibu mereka. Kepercayaan ini ada kaitannya dengan Islam, dimana nabi Adam (dalam wilayah kamasemasea, nama ini tabu disebut) sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan dari tanah. Tanah dianggap sangat penting sehingga simbol rumah mereka menggambarkan kedudukan tersebut dengan menanam tiangnya. Maksud penanaman tiang, ialah agar senantiasa terjalin hubungan antara manusia dengan “ibu”nya. Masyarakat Kajang beranggapan bahwa di dalam alam terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang apabila tidak diperlakukankan dengan baik, akan menimbulkan bencana. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsepsi orang Kajang, mengenai makrokosmos terdiri atas “tiga benua” yaitu menempatkan tanah diapit oleh dua benua, yaitu : benua atas----angkasa/langit, benua tengah-----tanah/hutan, benua bawah-----lautan/air. Tanah dan hutan adalah “alamnya manusia” dan makhluk hidup lainnya, sedangkan “angkasa/langit” dan “lautan/air” adalah alam misteri, tak diketahui atau rahasia.
Hutan sebagai bagian dari tanah, secara
kualitatif sama dengan jagat raya menjadi pusat dari segala aktifitas hidup mereka, dan dianggap sebagai personifikasi kosmos dalam bentuk kecil (mikrokosmos). Pandangan kosmologi ini, mengklasifikasikan jagat raya berdasarkan pandangan pasang yang diturunkan oleh Tau Rie’a A’Ra’na. Jagat raya diklasifikasikan atas empat penjuru mata angin. Penjuru mata angin tersebut merupakan satu kesatuan
357
walaupun telah dibagi dalam bagian-bagian yang berlawanan, yaitu utara-selatan, timur-barat. Tau Rie’a A’Ra’na sebagai pusat makro dan mikrokosmos, dalam pasang dikatakan:
ia ngase’naa
nukajariangnga
ri lino,
Tau
Rie’a
A’Ra’na
ampangnga’rakkangi saba’ pangnga’rakangnapi nakulle a’jari (segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah karena kehendak-Nya). Konsep mengenai mati bagi orang Kajang menempati posisi yang penting. Sebab mereka menganggap bahwa kehidupan yang muncul setelah berakhirnya kehidupan di dunia adalah bentuk kehidupan yang abadi. Tindakan-tindakan dan perbuatan selama hidup di dunia akan diganjar oleh Tau Rie’a A’ra’na sesuai kualitas tindakan dan perbuatan tersebut. Kesejahteraan dan kesentosaan pada kehidupan kedualah yang jauh lebih berharga. Untuk mencapai hal ini, seorang warga Kajang harus mengamalkan pasang yang tercermin dalam pola hidup Kamase-mase. Dalam pasang dikatakan : Anne linoa pammari-marianji ahera’ pamman-tangngan salama-lamana (Dunia hanya sekedar pemberhentian sementara, akhiratlah tempat yang abadi). Mati bagi mereka menjadi permulaan untuk memasuki kehidupan selanjutnya. Mereka percaya bahwa sesudah 100 hari kematian seseorang yang bersangkutan menghilang dari kubur menuju ke “sana” dalam wujud yanng disesuaikan dengan perbuatannya. Konsep tentang manusia erat kaitannya dengan konsep ketuhanan bagi mereka. Mereka percaya pada mitos tentang manusia pertama “mula tau”, yang dicipatakan oleh Tau Rie’a A’Ra’na dan ditempatkan di suatu tempat di Tana Toa, yakni di Tombolo. Manusia pertama ini menjadi Ammatoa pertama, sama
358
kedudukannya dengan tomanurung dan menjadi cikal bakal berkembang biaknya manusia. Tana Toa sebagai tempat munculnya mula tau dan sajang (lenyap, sirna) di borong karama’ ri Tombolo, melahirkan konsep tanah sebagai “anrongta” atau “ibu”. Sedangkan konsep tentang asal usul penciptaan manusia menurut pasang, manusia pertama yang menempati Tombolo adalah juga tomanurung dan menjadi Ammatoa pertama (Amma Mariolo). Kedua konsep ini menempatkan alam ke dalam kedudukan yang istimewa. Tau mariolo yang turun di Tombolo ini kemudian menjadi “wakil” Tau Rie’a A’Ra’na di bumi. Hubungan antara tau mariolo----yang kemudian melahirkan keturunannya di Tana Toa, dengan Tau Rie’a A’Ra’na, sehingga manusia dipandang sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi di antara makhluk ciptaan Tau Rie’a A’Ra’na lainnya. To Kajang menganggap alam khususnya tanah sebagai anrong atau “ibu” manusia. Dalam pasang disebutkan bahwa tidak diterima oleh Tau Rie’a A’Ra’na orang yang meninggal tanpa dikuburkan, dalam pasang diungkapkan : Anre’ kutarimai bate parekku punna ta naso’ri’i butta Artinya : Tidak kuterima ciptaanku jika tidak ‘persatukan’ dengan tanah Demikian pentingnya tanah bagi To Kajang sehingga simbol rumah mereka menggambarkan kedudukan tersebut dengan menanam tiangnya. Maksud penanaman tiang, agar senatiasa terjalin hubungan antara manusia dengan “ibu”nya. Akan halnya dengan alam, mereka beranggapan bahwa di dalamnya terdapat kekuatan-kekuatan gaib apabila tidak diperlakukan dengan baik, akan menimbulkan bencana. Dalam pasang disebutkan : 359
Punna larroi linoa rikau tala pattajangngi sinampe’ ammuko nacallako dewata. Artinya : Jika alam marah kepadamu, tak menunggu besok atau lusa Tuhan akan menghukummu. Tanah sebagai anrongta (ibu), dan hutan sebagai tempat upacara ritus kepercayaan Patuntung. Tanah dan hutan adalah “alamnya manusia”. Tanah dan hutan merupakan bagian dari makrokosmos menjadi hunian manusia dan makhluk hidup lainnya, sedangkan “angkasa/langit” dan “lautan/air” adalah alam misteri, tak diketahui atau rahasia. Bagi masyarakat Kajang, khususnya yang bermukim di kawasan kamasemasea, hampir semua aspek dalam kehidupan mereka yang dipedomani sistem nilai pasang ri Kajang berkaitan dan mengandunng ritus. Dan secara umum jenisjenis upacara yang dipraktekkan dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu upacara dolle’ lambua’ dan upacara dolle’ lasa’ra. Dolle’ lambua’ berkaitan dengan upacara gembira seperti kelahiran, perkawinan dan sebagainya, dan dolle’ lasa’ra adalah upacara yang berkaitan dengan kedukaan atau kematian (lihat gambar 16 dan 17). Terdapat dua tempat untuk melaksanakan upacara keagamaan, di samping upacara
tertentu
biasanya
yang
tergolong
life-circle
rites
yang
penyelenggaraannya di rumah yang punya hanyat. Sedangkan upacara yang berhubungan langsung dengan ritus keagamaan patuntung dilaksanakan ri borong karama’---di tempat yang dikeramatkan, yaitu borong pa’rasangngang ilau untuk upacara a’nganro pa’rasangang ilau’ , dan borong pa’rasangang iraja untuk upacara a’nganro pa’rasangang iraja.
360
Gambar 16 Alur Upacara Dalle’ Lambua U Siang hari
Sore hari
T Pagi hari
B Malam hari S
STU B = Sektor Upacara Dalle’ Lambue dilakukan mulai pagi hari hingga sore hari
Gambar 17 Alur Upacara Dalle’ Lasa’ra U Siang hari
Sore hari
T
B
Pagi hari
Malam hari S
UBS = Sektor Upacara Dalle’ Lasa’ra dilakukan mulai siang hari pukul 14.00 sampai malam hari A’nganro atau upacara doa yang dilaksanakan di borong pa’rasangngang iraja adalah upacara yang berkenan dengan kemakmuran dan kemaslahatan negeri, bertujuan untuk melindungi warga dari petaka dan bencana seperti kamarau panjang, berjangkit wabah penyakit dan negeri terancam musuh. Upacara ini dipimpin oleh Ammatoa. Sedangkan a’nganro pa’rasangang ilau’ atau upacara 361
doa di timur diselenggarakan di Bongki bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada Tau Rie’a A’Ra’na karena limpahan rahmat dan anugrahNya (hasil melimpah). Upacara ini dipimpin oleh Anrong. Dalam pasang diungkapkan : Bambang lantama, Ujung latoro A’nganroi I Amma Artinya : Panas akan masuk ‘ujung’ akan turun. Berdoa Amma
Hutan adalah “tempat” mempertemukan gagasan ke-Ilahian dan gagasan manusia, dan tempat meresmikan kapantuntungan warga. Dengan demikian hutan adalah kawasan yang keramat. Terdapat bahaya-bahaya gaib dan menjadi ajang untuk melaksanakan ritus kepercayaan patuntung, yaitu pa’nganmang---- ritus bermohon atau upacara doa untuk memohon kuasa dan campur tangan Tau Rie’a A’Ra’na yang pelaksanaannya di
karama’ (keramat di hutan Karanjang) yang
berbentuk batu temu gelang, di dalam batu temu gelang terdapat batu pannurungang,dan kuburu’ tunggalaka.
Di tempat ini juga sebagai tempat
pengukuhan Ammatoa yang hanya boleh diikuti oleh orang-orang tertentu, mange ri tau salama’ (ziarah bersama ke hutan suci) Selain itu, dilaksanakan upacara di sapo (rumah di Possi Tana) apabila terjadi musibah yang menyeluruh di bidang pertanian. Ru’matan (pemberian sesajen kepada arwah-arwah leluhur), tinja’ dan samaja (upacara syukuran berkenan terkabulnya nazar), adalah bentuk-bentuk upacara yang pelaksanaannya di arah timur. Konsepsi To Kajang mengenai makrokosmos terdiri atas “tiga benua” menempatkan tanah dan hutan diapit oleh dua benua. Posisi ini menjadikan tanah 362
dan hutan sebagai medan “pertentangan” antara “baik” (yang dianjurkan pasang, roh baik/ tu salama’), dan “buruk” (yang dilarang pasang/kasipalli, roh jahat). Apabila tidak menjalankan apa yang dipasangkan, maka benua tengah akan dikuasai oleh yang buruk yang merugikan manusia dan sebaliknya, apabila manusia mematuhi perintah dan menjauhi larangan Tau Rie’a A’Ra’na menyebabkan menangnya baik dalam realitas berupa kemakmuran serta terhindarnya manusia dari malapetaka. Tata ruang suatu masyarakat tidak terlepas dari sistem religi atau kepercayaan masyarakat yang bersangkutan. Dalam kehidupan, karena sifatnya yang paling hakiki, maka aspek religi atau kepercayaan termasuk sangat sulit berubah, bahkan mempengaruhi dan menjadi landasan dalam perilaku kehidupan lainnya. Pada masyarakat Kajang ideologi kepercayaan berperan dalam konsepsi mereka tentang tata ruang. Manusia yang mengembangkan kebudayaannya selalu berorientasi kepada alam lingkungan di mana mereka bertempat tinggal. Beberapa persepsi manusia terhadap alam antara lain menganggap alam itu sebagai musuh, karena itu harus ditaklukkan dan dikuasai. Persepsi lain yaitu alam adalah sahabat, karena itu harus selalu disayangi dan dirawat. Ada juga yang beranggapan bahwa alam itu sesuai dengan sifatnya, kadang-kadang bisa menjadi sahabat, tetapi tidak jarang menjadi musuh yang menakutkan, karena itu harus dihadapi dengan strategi. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa semuanya berakar pada kebudayaan masyarakat setempat. Pandangan seperti ini banyak dianut dalam masyarakat tradisional. Mereka menganggap bahwa dunia ini penuh dengan daya kekuatan yang terdapat 363
pada setiap benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib tertentu. Kepercayaan tersebut kemudian berkembang menjadi kompleks dalam masyarakat, yakni yang menyangkut eksistensi dari dunia atas, tengah, bawah, dan di antara makro dan mikrokosmos. Makrokosmos merupakan pandangan tentang bentuk dan isi dunia nyata tempat manusia hidup, sedangkan mikrokosmos adalah kehidupan manusia itu sendiri. Kesejajaran antara makro dan mikrokosmos akan menimbulkan keselamatan dan kebahagiaan, sebaliknya ketidak sejajaran antara yang masih hidup dengan sosok si mati akan mengakibatkan malapetaka. Masyarakat di kawasan Kajang meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa hal untuk menjaga keseimbangan alam. Segala yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian, penataan permukiman dan segala aktivitas lainnya merupakan hal yang sangat penting dalam kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Kajang atau yang biasa disebut kepercayaan terhadap leluhur atau kepercayaan patuntung. Kepercayaan patuntung mempercayai adanya tiga dewa, yaitu yang disebut Karaeng Ampatama sebagai pencipta alam dan tinggal di langit, Karaeng Kannuang Kammaya sebagai pemelihara alam yang tinggal di Tompo Tika, yaitu puncak gunung Bawakaraeng, dan Karaeng Patanna Lino, yaitu sebagai pembantu Karaeng Kannuang Kammaya, khusus memelihara manusia di bumi yang disebut juga Pattakok (Djamas, 1985 : 288-289). Kepercayaan patuntung juga mempercayai Puang Loheta- berarti Tuhan yang banyak-yang terdapat pada setiap keluarga, di rumah dan kerajaan. Kepercayaan patuntung mempunyai konsep tentang alam yang terdiri atas tiga 364
benua, yaitu benua atas yang disebut botinglangi, benua tengah yang disebut lino didiami oleh manusia, dan benua bawah yang disebut paratiki, dan dianggap berada di bawah air. Tiap-tiap benua mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi, dan pengaruh itu bisa pula terlihat pada rumah tempat tinggal orang Kajang yang berakibat pada manusia. Perwujudan konsep makrokosmos ini terlihat pada rumah tempat tinggal orang Kajang yang selalu terdiri dari tiga bagian. Bagian atas disebut pammakang biasa diisi dengan padi, atau hasil panen lainnya seperti jagung. Bagian tengah disebut padaserang (ada yang menyebutnya latta) dihuni oleh manusia. Bagian bawah disebut siring biasa dipakai untuk tempat binatang ternak, menyimpan alat-alat pertanian, dan kayu bakar, kadang juga dijadikan tempat untuk menenun. Jika dalam konsep tentang alam ada kepercayaan tentang pusat benua atas serta pusat benua tengah yang disebut pocci langi’ dan tana towa, maka pada rumah pun ada pusat rumah yang disebut pocci balla’ (Mks)/ possi bola (Bgs), yaitu salah satu tiang rumah yang kedua dari depan dan samping kanan. Sesajen-sesajen seringkali diletakkan di pocci balla’ karena disitulah roh-roh dianggap berkumpul, terutama jika ada kejadian dan peristiwa khusus dalam keluarga. Dan kepercayaan pada dewa-dewa ini nampaknya meliputi kepercayaan pada Dewa Sri (Sangyang Sri), yaitu dewa yang memelihara sawah dan padi-padi. Tanah Toa sebagai tempat munculnya mula tau dan sajang (lenyap, sirna) di borong karama’ ri Tombolo, melahirkan konsep tanah sebagai “anrongta” atau “ibu”. Sedangkan konsep tentang asal usul penciptaan manusia menurut pasang, manusia pertama yang menempati Tombolo adalah juga To Manurung dan menjadi Ammatoa pertama (Amma Mariolo atau Bohe Amma). Kedua konsep ini 365
menempatkan alam ke dalam kedudukan yang istimewa. Tau Mariolo yang turun di Tombolo ini kemudian menjadi “wakil” Tau Rie’a A’Ra’na di bumi. Hubungan antara Tau Mariolo----yang kemudian melahirkan keturunannya di Tana Toa, dengan Tau Rie’a A’Ra’na, sehingga manusia dipandang sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi diantara diantara makhluk ciptaan Tau Rie’a A’Ra’na lainnya. b.2. Sistem Sosial Sistem di sini diartikan sebagai suatu susunan atau aturan dalam pembentukan kelembagaan sosial dan pengaturan struktur sosial itu sendiri. Sedangkan struktur sosial diartikan sebagai suatu jaringan abstrak yang mengatur hubungan orang dengan orang lain di dalam kehidupan masyarakat dalam sistem sosial tertentu. Pasang sebagai sistem sosial bermakna sebagai suatu aturan yang mengatur jaringan dan hubungan yang timbul sebagai manifestasi dari doktrindoktrin dan ajaran yang dikandungnya. Pasang menggambarkan bahwa manusia berkembang dari Ammatoa yang mula-mula sebagai Tau Manurung, dan dunia meluas dari Tana Toa (tanah mulamula) di Tombolo di mana manusia pertama turun. Pasang juga mengemukakan bahwa Ammatoa yang mula-mula tidaklah mati (immortal), tetapi sajang atau lenyap ke botinglangi’ (kayangan), setelah menurunkan tujuh anak dari isterinya yang disebut ando atau anronta, yaitu : 1). Galla’ Pantama, 2). Galla’ Kajang, 3). Galla’ Puto, 4). Galla’ Lombo’, 5). Galla’ Anjuru’, 6). Yang menjadi segala tanaman seperti kapas, kayu, jagung dan sebagainya, dan 7). Yang menggantikannya sebagai Ammatoa-yang bisa mati (mortal). Anak pertama sampai kelima yang kemudian berkembang menjadi ada’ limaya dengan anak 366
sulung yakni Galla’ Pantama sebagai pimpinan atau pemegang kala’birang. Dalam pasang diungkapkan : 1. Rie sa’ra Tue Rie’a A’ra’na Angkua ikaw mintu Ammatoa Naikawmintu appa’rie’anna tallua Naikawto’mintu angkammai Tana toaya Somba ri Gowa Mangkau ri Bone Pajung ri Luhu. Naikaw to’mintu singkamua Ansonroi. Narihattu tappentenna Bocco-Tallua Nakuamo pole Ammatoa seppang-seppang iji tanaya. Artinya : Ada suara datang dari Tue Rie’a A’ra’na , katanya: Engkau itulah Ammatoa (maka engkau itulah mengadakan) hal yang tiga itu, Maka engkau jugalah yang menguasai Tana Toaya, Somba ri Gowa, Mangkau ri Bone, Pajung ri Luwu maka engkau janganlah Bagaikan dukunnya. “Maka ketika didirikan Bocco Tallua (tiga puncak: Gowa, Bone, Luwu), Maka berkatalah Ammatoa: “sempit-sempit masih tanah (ini).” 2. Appihalimi Tau Rie’a A’ra’na, Gae butta kalaw appa iyamintu Ambong, Taranate, tambelu, Tambora. Nagae pole butta anrai appa Sape Solo Kaili Salaparang na luaramo Tanaya suara’mi lino. Artinya : Menjawab Tau Rie’a A’ra’na : “Lebarkan tanah ke timur, empat, ialah Ambon, Ternate, Tambelu, Tambora, dilebarkannya pula tanah ke barat, empat, Sape, Solo, Kaili, Salaparang, maka luaslah tanah (=negeri), ramailah dunia.
Dari sudut pandangan pasang nampak bahwa Ammatoa merupakan tokoh sentral, paling sedikit di bidang adat kepercayaan. Rekonstruksi “kawasan adat” berdasarkan pasang dalam arti luasnya ialah: 1). Lalang rambanna (dalam pekarangan) atau tana embayya atau tana kamase-masea yang meliputi daerah 367
yang lebih luas sedikit daripada wilayah adat yang dikenal sekarang, 2). Rambang Seppang (pekarangan luar) yang meliputi daerah buatan (sinjai-sangkala-lombo’Tanuntung-Tomatto (ujungloe, Bulukumba), 3). Rambang ilalangngana (pagar dalam) yang meliputi Limba (Lembanna atau Anjuru)-Tuli (Tanah Toa)-Babunna (Possi’ Tana)-Balukang dan Lolisang-Tokka-Kalasa dan Erasa-Manimpahoy di Sinjai, dan 4). Rambang luara (pagar luar) yang meliputi wilayah Gowa dan Bone: Sape (daerah Selat Sape di Lombok, Solo, Kaili atau desa kaoli di Palu (Sulawesi Tengah), Salaparang (sebuah desa di Lombok), Tambelu-Tambora (Sumbawa), Ambon-Ternate. Dengan meluasnya kekuasaan Gowa, maka muncullah apa yang disebut karaeng tallua di Kajang dan terjadilah pengalihan kala’birang dari pihak Ammatoa- dalam hal ini Galla’ Pantama, kepada karaeng. Sejak itu fungsi ada’ limaya kian mengecil hingga keadaannya seperti sekarang, sementara peranan Ammatoa kian menyusut juga mengikuti perkembangan sejarah. Dengan masuknya agama Islam, dan perkembangan-perkembangan kemudian, interaksi memunculkan dua pola sosial, yaitu: tanah kamase-masea dan tanah kuassayya. Dalam proses perkembangan atau interaksi tersebut, Ammatoa berfungsi sebagai pengayom dan pelantik karaeng di Possi’ Tanah. Hubungan-hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, khususnya Gowa, dijalankan secara luwes dan tercermin dalam pasang : Kajang tannapepelima ri Gowa Gowa tannapepelima ri Kajang Punna timbuburu ri pantarang Rammu’-rammusu’ji ri Kajang. Artinya : Kajang tidak halangi Gowa Gowa tidak halangi Kajang 368
Kalau demam atau menggigil di luar Hanya sakit-sakit saja di Kajang. Dalam menjalankan fungsinya, mereka----adat limaya karaeng tallua melakukan saling kontrol, kerjasama dan tidak saling kira-mengira: karaeng sebagai langit-langit menjalankan pemerintahan , dan adat sebagai tabir mengamankan pelaksanaan. Karena itulah turunan kentarang (turunan Ammatoa , adat, sanro, guru) dan turunan karaeng (termasuk turunan gallarang) masingmasing harus menjaga “turunannya” dalam artian mutu dan fisik. Turunan kentarang yang menempati wilayah kamase-masea menjaga kesalehannya, dan turunan karaeng di wilayah kuassayya menjaga kemuliannya. Dengan nilai-nilai pasang tersebut, Ammatoa dan masyarakatnya memberikan layanan secara luwes kepada pemerintah, dan dengan cara demikian “wilayah kamase-masea” dapat bertahan hingga sekarang dari pengaruh modernisasi, dan “wilayah kuassayya” bisa dengan mudah menerima pengaruh yang berasal dari luar Kajang. b.2.1. Kamase-masea dan Kuassayya Hubungan antar Komunitas di Kajang Meskipun terjadi “pelapisan masyarakat” yaitu masyarakat di wilayah kamase-masea dan wilayah kuassayya, namun mereka tetap saling mengenal satu dengan lainnya. Mereka merupakan satu ikatan kekerabatan yang disebabkan karena adanya hubungan darah: saudara, ayah atau ibu, kemenakan, sepupu sekali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali; atau melalui perkawinan---- suami-istri, mertua, ipar. Di samping ikatan kekerabatan yang kuat karena perkawinan endogami, faktor lain yang mempererat kebersamaan To Kajang adalah adanya ikatan emosional akibat keekslusifan wilayah. Wilayah kamase-masea sebagai tempat bagi mereka yang bersedia hidup dengan cara akkamase-mase, dan adanya makna
369
filosofis mitos mula tau---manusia pertama yang diturunkan Tu’ Rie’ A’ra’na di Tombolo Tana Toa dan menjadi cikal bakal manusia di kawasan Kajang. Ada saling hubungan antar sistem nilai yang terdapat pada pasang yang terdiri atas sistem sosial dan sistem kepercayaan dalam membentuk sikap hidup To Kajang. Sistem nilai budaya yang mereka amalkan dan taati sedemikian rupa oleh pendukungnya kemudian melahirkan suatu bentuk permukiman tersendiri. Bentuk khusus yang berasal dari pengamalan sistem nilai budaya pasang di dalam realitas sosial komunitas Ammatoa adalah “keterbatasan” ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, yang dibarengi sikap moral yang dijunjung dan tidak cinta materi, yang disebut kamase-mase. b.2.2. Tabu (Kasipalli) di Kajang Tabu atau Kasipalli berarti terlarang (haram). Secara terminologis, kasipalli adalah pantangan, tabu, pemali dan sesuatu yang dianggap melanggar ajaran pasang. Berdasarkan keberlakuannya, tabu di Kajang itu ada dua macam, yaitu tabu di kawasan kamase-masea dan tabu di kawasan kuassayya. Karena dua hal tabu ini, maka seringkali dapat dilihat sesuatu yang ditabukan bagi to kamasemasea- seperti memakai alas kaki dan naik kendaraan moderen, sedangkan bagi to kuassayya justru tidak. Tabu di Kajang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga yaitu tabu untuk melindungi kemurnian sukma manusia, tabu untuk melindungi kemurnian lino (dunia), dan tabu untuk melindungi kemurnian tradisi. Tabu untuk melindungi kemurnian sukma terkait erat dengan pandangan To Kajang tentang manusia. Manusia bagi mereka hakikatnya adalah sukma (ruhaniah), sebab, asal-usul manusi itu ruhania, dan pada saat kembali pun yang menghadap adalah yang ruhani itu. Agar kesucian sukma tetap terjaga, maka To 370
Kajang mengenal beberapa tabu untuk menjaga kesucian sukma. Sukma yang kotor, ia tidak dapat langsung kembali ke Tau Rie’a A’ra’na , melainkan terkunkung di alam lain sampai kiamat tiba. Tabu perlindungan bumi (lino) terkait dengan pandangan To Kajang bahwa tanah Kajang adalah bumi (lino), inti jagat yang tidak boleh diperlakukan sembarangan. Tabu ini pun ada tingkatannya, berdasarkan tingkat kesuciannya. Secara hierarkis, kualitas tabu itu dimulai dari hutan karanjang--- pocci tana, batu pannurungang dan kuburu’ tunggalaka, wilayah ilalang rambanna i Amma, wilayah ilalang embayya, dan wilayah ipantarang embayya. Tabu di hutan Karanjang sangat ketat, bahkan meludah di atas tanahnya saja dilarang keras. Di tanah Kamase-masea pun tidak kalah ketatnya, misalnya ketika memasuki tanah larangan---batas ilalang rambanna i Amma dengan ilalang embayya, pengunjung atau tamu tidak dibolehkan memotret. Tabu yang ketiga yakni pelindungan tradisi. Tabu ini diberlakukan tentu saja untuk menfilter tradisi dari luar Kajang. Hal yang paling menonjol dari tabu ini adalah larangan bersekolah secara formal dan peralatan modern, seperti radio dan televisi. Satu-satunya kelonggaran adat untuk tabu perlindungan tradisi adalah wilayah ilalang embayya yang meliputi Dusun Pangi di utara, Dusun Lurayya dan Balangnipa di selatan, Dusun Tombolok di timur, dan Dusun Sokbu di barat di Desa Tanah Toa. Dusun-dusun ini adalah dusun-dusun di tanah adat yang tidak terikat ketat dengan adat. Pola permukiman di dusun-dusun ini mulai mengikuti pola permukiman Bugis/Makassar yang kebanyakan mengikuti aliran sungai atau rumah didirikan berderet sepanjang jalan atau saling berhadap-hadapan. Pola
371
permukiman tidak lagi berkelompok. Semakin jauh dari wilayah inti, pola permukiman memanjang berderet disebelah menyebelah jalan. Berikut ini beberapa contoh tabu yang didasarkan pada norma-norma yang berlaku di kawasan To Kajang: 1. Tabu menyebut nama Tuhan, Malaikat dan Nabi 2. Tabu melakukan kawin sumbang 3. Tabu perkawinan antara turunan kentarang dan ata’ 4. Tabu menduakan suami (poliandri) dan isteri (poligami) 5. Tabu hubungan kelamin tidak syah 6. Tabu merobah konstruksi rumah yang telah diwariskan turun temurun, seperti merubah tempat dapur dari ruang depan ke ruang belakang 7. Tabu menebang pohon-pohon di hutan adat tanpa izin 8. Tabu mengenakan pakian selain warna hitam, bukan hanya memakai tapi juga memasukan ke wilayah kamase-masea 9. Tabu memakai perhiasan emas atau membawa perhiasan emas masuk ke wilayah kamase-masea----ke wilayah inti 10. Tabu menyalakan lampu minyak-hanya diperkenankan memakai lampu kanjoli 11. Tabu memasukkan barang-barang bikinan pabrik 12. Tidak boleh merubah kontur tanah ketika membangun rumah di kawasan kamase-masea 13. Rumah tidak boleh menggunakan tembok, paku, atap genting, dan cat. Bentuknya pun tidak boleh seperti orang luar di kawasan kuassayya, melainkan harus seperti yang telah ditentukan adat 372
14. Sekolah formal dilarang 15. To kamase-masea tidak boleh membuat kampung baru 16. Pupuk kandang tidak boleh digunakan 17. Pohon-pohon di hutan keramat tidak boleh ditebang, pohon buah boleh dimanfaatkan buahnya. 18. Orang di kawasan kamase-masea, tidak diperbolehkan memiliki lahan, hanya hak guna saja. untuk orang di kawasan kuassayya tanah boleh dimiliki dan disewakan/ diperjualbelikan sesama orang kuassayya, tetapi tidak boleh dengan orang luar. 19. Tanah tidak boleh dicangkul, tidak boleh dipupuk kandang dan kimiawi, tidak boleh di bajak (untuk tanah di kawasan kamase-masea) 20. Mencuri, bertengkar, berkelahi sesama orang kamase-masea dan berzina tidak mengikuti ketentuan adat yang telah amanatkan dalam pasang adalah pelanggaran berat yang menyebabkan seseorang dari kamase-masea dikeluarkan dari ke-kamase-mase-annya 21. Dilarang keras berpindah agama, sanksinya adalah dikeuarkan sebagai To Kajang 22. Tidak boleh memperlakukan kuburan secara berlebihan 23. Perkawinan yang dilakukan dengan orang yang berasal dari wilayah kuassayya harus mengikuti tata aturan pasang, apabila tidak, dikeluarkan dari wilayah kamase-masea 24. Tidak boleh memotret di tanah larangan 25. Tidak boleh meracun ikan 26. Tidak boleh berpakain seperti orang luar dari kawasan kuassayya 27. Di kawasan kamase-masea, rumah tidak boleh memakai umpak 373
28. Halaman rumah tabu dikunjungi orang luar tanpa seizinnya 29. Di wilayah kamase-masea, tidak boleh ada kendaraan bermotor-harus berjalan kaki 30.Tabu memasuki hutan keramat tanpa seizin Ammatoa bagi orang Kajang,tidak dibolehkan sama sekali bagi orang luar Kajang 31. Tabu menempel hiasan dinding dan mengisi rumah dengan hiasan-hiasan lainnya-kecuali hiasan tanduk kerbau dan lukisan manusia? 32. Tabu berbicara dengan lawan jenis yang belum sah atau yang tidak terikat hubunngan kekeluargaan dan pernikahan 33. Untuk orang kamase-masea, tidak boleh menggunakan alas kaki 34.Tabu bagi seorang janda yang kematian suaminya mengenakan baju selama 40 hari sejak dari meninggalnya suami, dan selama waktu tersebut mereka dilarang ketawa atau banyak berbicara 35. Pada waktu memasuki kawasn kamase-masea dilarang menegur jika melihat atau mendengar sesuatu yang luar biasa, seperti bunyi giringgiring atau bunyi burung dan semacamnya. 36.Tidak boleh meludah atau tertawa terbahak-bahak di dalam kawasan kamase- masea. b.2.3. Hukum dan Aturan Adat Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat atau perkara yang diselesaikan secara adat biasanya dikenakan passalla (denda), pasau-sau (pembacaan kutukan di depan api pedupaan) dan pengucilan. Jarang ada bentrokan antara hukum adat dan hukum pemerintah. Orang-orang yang bersangkutan dapat memilih salah satu di antaranya. Perkara-perkara yang tak 374
dapat diselesaikan oleh pemangku adat di tingkat kampung diajukan kepada Ammatoa. Pelanggaran adat di Kajang dilakukan oleh orang Kajang sendiri ataupun orang luar Kajang. Setiap pelanggaran terhadap adat tersebut memiliki sanksi. Oleh karena pelanggaran adat dianggap sebagai penodaan, maka setelah sanksi dijalankan oleh si pelanggar, sebuah ritus harus dilaksanakan sebagai penghapus dosa. Sanksi terhadap pelanggaran adat ini terkait dengan perlindungan kemurnian sukma (manusia), kemurnian bumi (lino) (tanah di Kajang), dan kemurnian tradisi (pasang). Di bawah ini akan dijelaskan hal-hal yang terkait dengan pelanggaran adat, sanksi dan ritus penyuciannya. Untuk itu, pembahasan akan dibagi menjadi tiga fokus utama, yaitu pelanggaran oleh To Kajang sendiri, pelanggaran oleh orang luar Kajang dan ritusnya. a.Pelanggaran Adat oleh To Kajang Pelanggaran adat beserta saksinya paling ketat diterapkan pada kawasan inti kamase-masea. Hal ini terkait dengan struktur sosial dan kedudukan To Kajang yang terdiri atas kamase-masea ilalang rambanna i Amma, kamase-masea ilalang embayya, dan kuassayya ipantarang embayya. Di antara ketiganya, kamase-masea ilalang rambanna i Amma sebagai golongan yang masih murni dan terikat erat dengan adat. Lapis bawahnya adalah kamase-masea ilalang embayya, golongan ini dipandang sudah tidak semurni dan seketat ilalang rambanna i Amma dalam hal pelaksanaan adat. Pada lapis terbawah adalah kuassayya, golongan ini dipandang sebagai golongan yang paling jauh dari ketaatan pada adat Kajang. Kehidupan mereka pun sudah seperti masyarakat non Kajang pada umumnya. Kawasan kuassayya hanya dipergunakan sebagai tempat penghukuman 375
To Kamase-masea yang melanggar. Penulis membagi sanksi adat berdasarkan timbangan pelanggarannya, yakni pelanggaran berat, sedang, dan ringan. Menurut Ammatoa, ada perbedaan mendasar antara pengambilan keputusan melalui sistem peradilan adat Kajang yang mengacu pada pasang dengan sistem peradilan nasional yang menggunakan hukum positifisme, yang diputuskan dalam peradilan adalah kepintaran berbicara (abballoi bicara), sehingga siapapun yang mampu memperbaiki bicaranya dialah yang akan memenangkan perkara tersebut. Untuk memperbaiki bicara yang masih kurang baik, seseorang berhak mengambil orang yang pintar bicara (pengacara). Ini memberi peluang kepada seseorang untuk melakukan penyogokan (passogo’). Peradilan adat Kajang (ada’ tanayya ri Kajang), di pihak lain, tidak memutuskan bagus tidaknya bicara seseorang, tetapi kejujuran (lambusu’) dan kebenaran (bicara tojeng). Sekalipun balloi bicarannu mingka anre’ natojen, kittemintu nipatabai sala (sekalipun bicara anda bagus, tetapi tidak benar andalah yang dianggap bersalah). Para pengambil keputusan (pa’ranrang bicarayya) tidak berani menerima sogokan (passogo’) dalam bentuk apapun dan memihak kepada siapapun (anggalepei). Sekalipun anak sendiri kalau salah tetap juga harus dipersalahkan-manna ana’ta punna salai, nipatabai tonji sala. Menurut Ammatoa, yang namanya sogok-menyogok (passogo’) sangkamma racung balahowa. Sangkamma pepe’ ri sahu kalukuawa. Sangkammai ere’ ribujangga, sangkamma tonji poeng garring doti rikalennu. Injomi nikua garring anre pabballena nakuwa toriolowa sangadinna kamaseyannai Karaeng Lompowa (sama dengan bisa racun tikus, sama dengan bara api di sabut kelapa, sama rembesan air di atas kertas dan
376
sama pula dengan guna-guna di dalam dirimu. Itulah yang disebut penyakit tidak terobati, kecuali ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa). Besar kecilnya sanksi pelanggaran harus ditentukan secara adat melalui peradilan adat (ada’ tanayya ri kajang). Keputusan-keputusan tersebut diikuti sanksi hukum adat berupa hukum denda (passala), yang dijatuhkan pada pelanggaran berupa pengrusakan sumberdaya hutan. Segala bentuk pengambilan keputusan beserta sanksi-sanksinya diatur di dalam pasang: rie’ tallu dahona tunggaukang anu pasala ri ada’a iyaminntu (ada tiga akibat yang harus diterima pelanggar adat) : 1) tunu panroli (pembacaan sumpah melalui pembakaran adat)), 2) tunu passau (pembacaan kutukan dengan membakar sarang lebah), 3) passala (denda). Sanksi lain berupa pengucilan kadang-kadang dijatuhkan kepada seseorang yang didakwa bersalah, karena telah melakukan pelanggaran adat. Sanksi ini juga dijatuhkan kepada pelaku yang membangkan dan mengulur-ulur waktu untuk membayar dendanya. Sanksi berupa denda (passala) dalam bentuk uang tunai dijatuhkan kepada pelanggar hukum adat (ada’ tanayya ri Kajang), terutama pelanggaran pengrusakan hutan. Denda ini diasosiasikan dengan cambuk (babbala’) untuk menghukum tersangka. Ukuran besar sebatang cambuk (babbala’) umumnya berbeda dari pangkal hingga ke ujung. Pangkal cambuk lebih besar daripada bagian tengah dan bagian tengah lebih besar daripada ujungnya. Pelanggaran sanksi berat (poko’ babbala’) dikenakan kepada orang yang melakukan penebangan hutan (flora) dan pemanenan satwa lebah (fauna) di dalam hutan keramat tanpa seizin Ammatoa. Pelanggaran sedang (tangnga babbala’) dikenakan kepada seseorang, yang apabila kelalaiannya menyebabkan kayu dalam kawasan hutan adat mengalami 377
kerusakan atau tumbang pada saat melakukan penebangan. Sanksi serupa juga dijatuhkan kepada seseorang yang tidak segera mengangkut kayu-kayu hasil tebangannya. Berzina, membunuh, mencuri, merusak hutan adat adalah termasuk ke dalam pelanggaran berat. Bagi orang kamase-masea yang melakukan pelanggaran ini, pertama-tama si pelanggar terlebih dahulu disidang di hadapan para pemangku adat. Dalam sidang tersebut, si pelanggar diwajibkan memohon maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Setelah sidang adat, si pelanggar akan diasingkan selama beberapa hari ke rumah pemangku adat. Selama menjalani hukuman ini, dengan diawasi oleh pemangku adat, si pelanggar membantu mengarap tanah pemangku adat. Selesai menjalani hukuman, si pelanggar adat tersebut diturunkan status kewargaannya menjadi orang kuassayya dan tidak boleh kembali ke kawasan kamase-masea asalnya. Kawin sumbang, adalah perkawinan yang tidak diperbolehkan, misalnya perkawinan antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, saudara laki-laki kandung dengan saudara wanita kandung, keponakan laki-laki dengan saudara ibu atau ayah, cucu dengan neneknya/kakeknya, perkawinan dengan saudara istri/ suami. Hal ini merupakan pelanggaran berat. Menurut kepercayaan masyarakat Kajang melakukan kawin sumbang bisa menyebabkan garring ri tana (sakitnya tanah), dan karena itu dahulu hukumannya ialah galangang. Di kawasan Kajang hak seseorang untuk diadili dihormati sepenuhnya , seperti diungkapkan dalam pasang : Sepanrembassang talantenna ri bola ada’a, talassai, tammate 378
Artinya : Sepelemparan batu si pelanggar dari rumah adat, ia hidup, tidak mati
Maksudnya: sepelemparan batu dari rumah pemangku adat atau kantor pemerintah, si pelanggar tidak boleh diganggu karena dengan demikian ia telah meminta perlindungan adat atau hukum, dan adat atau pemerintah wajib melindungi. Si pelanggar baru dapat kembali ke rumahnya setelah perkaranya diputuskan, dan dinasehati atau diperingatkan (nideppoi) oleh Ammatoa atau pemangku adat. Dalam pasang diungkapkan : Ey....langgere: Limang bangi mako a’bola ada’ Nanarapi mako inne alloa kamoa To’do haji mako, tangnga kodi, Tallassa’, tammate Naapanna=apanna nugaukangiya Pinruang makatanaola mi sau Silappa pamarenta mami balinnu Le’ba maintoi. Artinya : Hei-disebut nama si pelanggar Dengarlah: Lima malam (kalau memang lima malam) engkau berada di rumah adat Mulai hari ini engkau sudah baik, tidak lagi tidak baik’ Hidup, tidak mati. Kalau engkau berbuat lagi untuk kedua kalinya, maka engkau tidak akan diperiksa lagi, dan terus saja digolongkan orang yang bersalah, Yang melawan pemerintah Putuslah demikian.
Hukuman biasanya dilakukan secara bertahap: bila si pelanggar menolak denda, maka kutukan akan dijatuhkan, dan dalam perkara-perkara yang lebih berat seperti pelanggaran kehormatan seorang wanita, yang bersangkutan dikucilkan dengan segala haknya atas tanah, warisan dan sebagainya hapus.
379
Bila terjadi suatu pencurian, maka orang-orang kampung dikumpulkan, dan pemangku adat membacakan kutukan di depan pedupaan supaya pencuri akan a’kanre bu’bu (dimakan bubuk, sakit-sakitan terus sampai mati). Bagi yang tahu siapa pencurinya, tetapi diam juga kena kutukan tersebut. Bila si pemilik menemukan kembali barangnya yang hilang, maka barang itu diserahkan kepada pemangku adat. Kalau diambilnya, maka ia yang kena kutukan. Tindakan pelanggaran, digolongkan ke dalam tiga kategori: berat, sedang, ringan. Pelanggaran berat akan dikenakan poko’ ba’bala (gagang cambuk) berupa 12 real atau 12 ohang (rupiah VOC). Pelanggaran sedang: cappa’ ba’bala (ujung cambuk) berupa 4 real atau 8 ohang. Uang denda dibagikan kepada pemangku adat dan saksi-saksi Misalnya menebang pohon tanpa izin: denda berat. Diizinkan satu menebang dua: denda sedang. Menebang saja tetapi tidak mengambil: denda ringan. Kalau pelanggar menolak denda maka ia akan dikenakan pasau-sau (kutukan) menjadi “kera dan babi” (tidak menjadi anggota masyarakat lagi: segala kegiatannya seperti pesta dan sebagainya tidak dihadiri). Dalam pasang diungkapkan : Naungko nu’lampa bangngi Naikko nu turi Artinya : Engkau yang turun malam (babi) Engkau yang naik menjadi kera Hukuman seperti ini dirasakan demikian beratnya sehingga yang bersangkutan meminta ampun dan bersedia membayar denda. Zaman dahulu bila anak gadis seorang puto’ (turunan kentarang) diperkosa oleh seorang ata, maka ke duanya tidak akan dikawinkan tetapi di galagang (digulung dan diikat dengan anyaman bambu) dan ditenggelamkan ke laut. 380
Menjelang masa tanam, diadakan a’borong galung (rapat menentukan giliran pengolahan tanah) berdasarkan silsilah bilineal lelaki berhak satu pikulan atau dua kali atau dua tahun, wanita memperoleh sejunjungan atau satu kali atau satu tahun, Pewaris pada garis ayah memperoleh bagian dua kali dan pewaris pada garis ibu satu kali. Karena itu seseorang bisa memperoleh bagian beberapa kali. Perkara-perkara berkenaan dengan penggiliran dan bagian ini jarang dapat ditangani oleh pemerintah, karena para pemagku adat yang menguasai tentang silsilah. Anak-anak dari seseorang yang menolak denda dapat membebaskan diri dari hukuman kutukan dengan mange naro ri Amma (membayar kembali pukulannya Amma) dengan membayar denda yang dikenakan pada ayah mereka. Rapat yang dihadiri oleh unsur-unsur adat dan pemerintah (dahulu ada’ limaya dan karaeng tallua) menerima denda yang kemudian dibagi-bagikan di antara mereka dan semua orang yang hadir sebagai saksi. Seorang ata (hamba) dapat membebaskan diri dengan membayar uang 44 real, dua ekor kerbau, yang dibagi-bagikan kepada semua orang yang pernah menjadi majikannya, memberikan passidakka (sedekah) kepada unsur-unsur adat dan pemerintah yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan. Caranya: ata tersebut membawa talang (baki) berisi gulungan-gulungan sirih ke hadapan unsur-unsur adat dan pemerintah, menjabati tangan mereka sambil memberikan sedekah itu. Kemudian pemangku adat menyampaikan pa’deppona ansuluiya ata (nasehat kepada sahaya yang bebas). Dalam perkara-perkara yang menyangkut hubungan tidak sah antara lelaki dan wanita, si lelaki disebut bombong sulena pamarenta (orang yang menjadi 381
urusan pemerintah atau adat). Dalam hal perbuatan itu dikenakan denda berat atau denda sedang, maka keduanya dapat dikawinkan dengan sunrang ditambah dengan denda. Kalau perbuatan itu didenda ringan (karena tidak sampai menodai), si lelaki disebut panyambung lolo (penyambung tali: kalau ia ingin, lamaran dapat diajukan)
dan
perkawinan
dapat
dilangsungkan
sebagaimana
mestinya.
Perkawinan sebagai akibat perbuatan pertama dan kedua tidak disertai baku’pulli na kanre ana’ (bakul kue dan makanan anak), dan uang denda dan mas kawin dibagi-bagikan di antara anggota-anggota keluarga pihak perempuan. Setelah denda diputuskan, pemangku adat berkata : Angkuaya langere ke’nang ikaw Ngase nuri’ea rate ri bolaya iyatoppa, Nurie’a pantarangngang bola Kunnu-kuni sikua malinna........... Tantontong ri mataea amahoja-hoja Ri kalibingnga na inne alloa (bangngia) Rie;mi nahaung ulunna na tatontong tau talassaya Anremo nasambangngi kaliling Natijo katinting, nasaba’rie’mi Napalisere ri pangkuayya pangarengngi naiya Pangarengngiia Andeko mi naung ri dallekanna Ada’a, nanisa bingase ri tampe Bahine ri urung ri tampe buru’ne Na haji’mi, tangnga kodi. Le’bamaintoi. Artinya : Dengarlah semua yang berada di Rumah ini, dan yang di luar rumah saat ini, Sudah berapa lama.......... Berada di antara hidup dan mati, Mukanya sudah hampir masuk kuburan dan hari ini (malam ini) Sudah bangun kembali kepalanya dan ada bayangan akan hidup kembali Ia tidak lagi dihalangi, dililiti tali, tidak lagi tertusuk duri, karena sudah ada Dia laksanakan yang dinamakan penggarisan pemerintah atau adat yang sudah dia siapkan di depan, disaksikan oleh pihak perempuan dan laki-laki, Sudah baik dan bukan lagi orang tidak baik. Putuslah demikian. 382
Melakukan pertumpahan darah di “Benteng” yang disebut juga donro tangayya (daerah pusat atau tengah). Pelanggar akan dikenakan denda berat. Sanksi terhadap pelanggaran sedang sama denngan sanksi pelanggaran berat. Perbedaannya adalah, si pelanggar adat diperkenankan kembali ke wilayah kamase-masea jika yang bersangkutan menunjukkan penyesalan dan perilaku yang baik. Kalau yang terkena terlambat melaporkan perbuatan pelanggaran, walau pelanggaran tersebut dapat dikenakan denda berat, si pelaku bisa hanya dikenakan denda sedang saja. Bila seseorang menyadari kesalahan perbuatannya terhadap seseorang, dan ia ingin meminta maaf atau berdamai maka ia datang menuju rumah orang tersebut, dan sepelemparan batu dari rumah orang itu, ia berteriak : Haji’, tamakodi Tallasa’ma, tannamate. Artinya : Saya baik, tidak jahat lagi Hidup, tidak mati. Untuk pelanggaran jenis ini tidak diberikan sanksi adat kecuali teguran dan peringatan oleh para pemangku adat. Bagi To Kamase-masea ilalang embayya, sanksi adat yang berlaku juga memiliki tingkatan yang berdasarkan tingkat kesalahannya pula. Sangsi yang paling keras adalah diusir dari Kajang, dalam pengertian dicabut kewargaan Kajang-nya. Untuk kasus-kasus luar biasa , seperti sering melakukan pelanggaran adat dan tidak mau meminta maaf ketika memang diketahui oleh masyarakat umum Kajang bahwa yang bersangkutan telah melanggar adat, To Kajang ilalang embayya tersebut dapat diusir dari Kajang. Hak garap tanahnya di tanah adat 383
Kajang akan dicabut. Untuk pelanggaran lain, sanksinya berbentuk teguran keras berupa sidang adat oleh para pemangku adat, perinngatan, dan razia terhadap halhal yang ditabukan. Bagi To kuassayya tidak ada sanksi adat. Mereka dikatakan dapat hidup seperti layaknya orang luar Kajang yang tidak terikat tabu. Hubungan kuassayya dengan kamase-masea hanyalah terkait dengan urusan sanksi adat to kamasemasea dan terikat oleh hubungan darah saja. Untuk penegakan hukum adat dan penjagaan kemurnian Kajang, maka para pemimpin-pemimpin adat, dalam setiap kesempatan, selalu menyampaikan kembali pasang ri Kajang. Di samping itu pula, para pemimpin adat juga selalu memberikan pembinaan kepada to iIlalang embayya untuk selalu menjaga pasang yang telah diwariskan oleh Tau Rie’ A’rana. To ilalang embayya yang melanggar adat itu diwajibkan meminta maaf atas kesalahannya. Sebab jika hal ini tidak dilakukan, To Kajang percaya bahwa suatu saat si pelanggar adat tersebut akan merasakan buah dari pelanggaran yang tidak insyafinya itu. b.Pelanggaran Adat oleh Orang Luar Kajang Pelanggaran adat yang dilakukan oleh orang luar Kajang yang paling sering terjadi adalah perambahan hutan Kajang, pengambilan gambar-baik dengan kamera foto maupun kamera video-di tanah larangan ataupun pada upacaraupacara adat tertentu, dan memasuki areal-areal terlarang. Untuk kasus perambahan hutan, To Kajang menyerahkan penanganannya pada pemerintah dan kepolisian. Sedangkan pengambilan gambar, seringkali hanya ditengur. Biasanya, para pelanggar ini menerima saja teguran dari pemangku adat dan enggan berkonfrontasi, karena mereka sebenarnya tahu dan 384
sadar akan kesalahnnya. Di samping dilarang untuk diambil gambarnya, daerahdaerah terlarang tertentu juga dilarang keras dikunjungi oleh orang luar Kajang. Jangankan bagi orang luar Kajang, To Kajang sendiri tidak dibolehkan memasuki kawasan-kawasan tertentu tanpa seizin Ammatoa. Bagi To Kajang yang melanggar larangan inipun akan dikenakan sanksi-seperti yang telah dijelaskan di atas, bagi orang luar Kajang yang melanggar, maka yang bersangkutan harus meminta maaf dalam sidang adat limayya yang dipimpin oleh Ammatoa. b.3. Lingkungan Menurut Bintarto (1997: 14) istilah lingkungan mengacu pada sesuatu yang ada di sekitar seseorang yang dapat memberi pengaruh terhadap sikap dan perilaku manusia. Lingkungan itu sendiri terdiri dari tujuh macam, yaitu : 1. Lingkungan fisik, yaitu lingkungan yang mengandung unsur atau komponen alam yang terdapat dalam atmosfer, litosfer, hidrosfer, dan biosfer yang dapat, secara langsung ataupun tidak berpengaruh terhadap kehidupan dan perilakunya. 2. Lingkungan sosial, yaitu lingkungan yang mengandung komponen sosial yang membentuk sustu jaringan interaksi sosial dan dapat berpengaruh terhadap sikap atau tindakan seseorang atau sekelompok penduduk. 3. Lingkungan ekonomi, yaitu lingkungan yang mengandung unsur atau komponen ekonomi yang membentuk suatu jaringan interaksi dan interdependensi ekonomi dana dapat berpengaruh terhadap orientasi dan tindakan ekonomi.
385
4. Lingkungan politik, adalah lingkungan yang mengandung unsur atau komponen politik yang dapat menumbuhkan kontak, proses, dan tindakan politik antar berbagai lembaga formal atau antar berbagai negara. 5. Lingkungan religi, yaitu lingkungan sosial yang dapat menumbuhkan suatu suasana dan kegiatan keagamaan. 6. Lingkungan persepsi, yaitu lingkungan yang mengandung tingkat atau kondisi pendidikan, budaya, sosial, ekonomi, teknologi yang dapat mempengaruhi tingkat kemajuan masyarakat. 7. Lingkungan perilaku, yaitu lingkungan yang mencakup berbagai tindakan adaptasi, aspirasi, partisipasi, dan kebiasaan penduduk yang dapat mempengaruhi sikap atau tindakan manusia. Lingkungan sosial, lingkungan religi, dan lingkungan persepsi dijadikan pengamatan pada penelitian ini, untuk melihat bagaimana manusia menempatkan diri dalam ketiga lingkungan tersebut, dan bagimana cara manusia membedakan ruang tertentu serta aspek pembedanya merujuk pada latar belakang konsep strata ruang aktivitasnya. Dijadikannya dua kawasan adat (kawasan kamase-masea dan kawasan kuassayya) di kawasan Kajang sebagai ruang aktivitas manusia pada masa lalu, didasari oleh sejumlah pertimbangan rasional agar mereka dapat mengeksploitasi sumber daya lingkungan secara teratur dan seimbang. Keseimbangan yang dimaksud adalah cara manusia mengeksploirasi lingkungan tanpa melampaui batas daya dukung lingkungan tersebut. Lingkungan terdiri atas topografi lokasi, geografi, iklim dan sumber daya alam. Lingkungan yang dijadikan pengamatan 386
pada lokasi situs tidak hanya terfokus pada lingkungan fisik, untuk melihat bagaimana manusia menempatkan diri dalam lingkungan alam dan bagaimana cara manusia membedakan ruang tertentu serta aspek pembedanya yang merujuk pada latar belakang konsep strata ruang aktivitasnya. Namun pengamatan juga dilakukan terhadap kepercayaan masyarakat dalam pemilihan ruang untuk melakukan aktivitas. Keadaan lingkungan fisik situs-situs di kawasan Kajang secara umum dibedakan atas dua macam bentuk topografi, yaitu : bentuk topografi perbukitan landai, dan bentuk topografi dataran luas. Kedua bentuk topografi tersebut mempengaruhi pola adaptasi manusia yang ada di dalamnya, tetapi tidak sepenuhnya mempengaruhi seluruh aspek perilaku manusia. Posibilisme lingkungan memandang bahwa lingkungan tidak bisa menciptakan fenomena sosial budaya atau lingkungan secara tidak langsung menyebabkan perkembangan kebudayaan yang spesifik (Preston-White, 1980; Bennet, 1978; Rambo, 1983; dalam Ramelan, 1989: 234). Jadi wujud budaya yang tercipta sama sekali bukan produk lingkungan semata melainkan sebagai tanggapan aktif manusia dalam adaptasinya terhadap lingkungan. Bentuk lahan perbukitan/ ketinggian dan dataran di kawasan Kajang telah dimanfaatkan sebagai potensi sumber daya. Potensi lingkungan fisik tersebut, selain yang disebutkan di atas terdapat pula potensi lain seperti penyediaan sumber bahan baku pembuatan perangkat peralatan pemenuhan kebutuhan primer dan sungai sebagai potensi fisik penyediaan sumber air termasuk unsur biotik di dalamnya serta jenis tanahnya berpotensi untuk lahan pertanian dan perklebunan. Dalam kasus tertentu, potensi lingkungan fisik dimanfaatkan dengan pola adaptasi 387
yang tinggi sehingga bentuk permukaan lingkungan fisik situs mengalami perubahan dari lingkungan alami menjadi lingkungan buatan. Topografi perbukitan dimanfaatkan berdasarkan aspek ideologi yang merujuk pada simbol kepercayaan mereka dan bentuk topografi lainnya merupakan ruang aktivitas sosial yang bersifat profan. Uraian selanjutnya melihat dari sistem penempatan bangunan berdasarkan strata ruang. Empat sungai yakni: Sungai Tuli, Sungai Doro, Sungai Limba, dan Sungai Sangkala yang mengelilingi kawasan kamase-masea yang sakral dan semi sakral, menjadi batas alam yang memisahkan dengan kawasan kuassayya sebagai wilayah profan, dan adanya pembagian fungsi hutan merupakan pertimbangan utama dalam penempatan bangunan di kawasan Kajang. Adanya sungai-sungai tradisional dan pembagian hutan adat tersebut merupakan pertimbangan rasional bahwa sungai dan hutan adat adalah sumber kehidupan dan melakukan aktivitas, baik aktivitas sakral dan profan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tingkat ketergantungan terhadap potensi hutan adat menyebabkan pola penempatan dan pembagian tata ruang permukiman To Kajang menyebabkan kawasan ini terbagi tiga bagian kawasan yakni : kawasan sakral, kawasan semi sakral dan kawasan profan. Selain hal tersebut diatas, ada juga pertimbangan lain dalam penempatan tata ruang permukiman To Kajang. Pertimbangan tersebut adalah bentuk topografi permukaan tanah yang bertopografi perbukitan dan dataran. Kenyataan sekarang merupakan bukti bahwa pola permukiman penduduk masih tetap mengikuti aturan tradisi yang tertuang dalam pasang yang menjadikan empat sungai tradisional dan
388
hutan adat sebagai batas wilayah kawasan, kemungkinan besar pola keletakan permukiman penduduk tidak berubah sampai sekarang. Memperhatikan bentang lahan situs-situs yang terdapat di kawasan Kajang berupa perbukitan dan dataran dalam pembagian ruang nampak adanya perbedaan yang ketat bagi masyarakat di kedua kawasan adat (kawasan kamasemasea dan kawasan kuassayya). Perbedaan tersebut merujuk pada penempatan bangunannya, yaitu bangunan yang berfungsi sakral dan bangunan yang berfungsi profan. Bangunan yang berfungsi sakral dan mencirikan tradisi megalitik ditempatkan pada bagian perbukitan. Hal yang mendasari penempatannya dilatari oleh konsep kepercayaan megalitik seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Penempatan bangunan sakral menunjukkan bahwa ruang aktivitas ritual difokuskan pada bagian puncak bukit. Data arkeologi berupa batu datar, menhir dan batu berdiri, batu bergores, dolmen/ batu pemujaan, batu pannurungang, batu temu gelang, dan makam pra Islam, sumur keramat dan sumur jodoh serta keramik asing dan keramik lokal (gerabah) memberikan tanda yang jelas akan adanya sistem strata ruang aktivitas ritual masyarakat di kawasan Kajang dan Di sisi lain, juga terdapat unsur pewarna dalam penempatan bangunan yaitu tradisi Islam menentukan pula corak penempatan dan pembagian ruang. Konsep Islam tidak membedakan tempat yang tinggi dengan yang rendah dalam penempatan bangunan. Keberadaan makam di kawasan Kajang seperti yang telah diuraikan sebelumnya terdapat pada daerah perbukitan dan dataran. Hal ini menandakan adanya dua konsep yang berkembang dalam satu kelompok masyarakat dan mengalami pertautan dalam sistem penerapannya. Penempatan bangunan makam Islam secara tidak langsung mempertimbangkan pemilihan 389
ruang. Hal ini disebabkan karena mungkin pengaruh dari lokasi kawasan Kajang yang memang berada pada daerah ketinggian. Selain itu, juga mengikuti pola permukiman masyarakat jadi pertimbangan energi dan waktu juga terpikirkan dalam penempatan ruang penguburan. Dalam konsepsi Islam penguburan tidak membedakan ruang bermukim dengan ruang sakral, dan bagaimana cara untuk melaksanakan prosesi penguburan dalam waktu yang cepat dan tidak membuangbuang energi. Terdapat pertimbangan penguburan yang terus berlanjut pada setiap situs makam di kawasan Kajang. Jadi perencanaan penempatan penguburan dan permukiman telah ada meskipun sifatnya masih sangat sederhana. Pada bagian awal telah dijelaskan bahwa konsep penerapan Islam masih dipengaruhi oleh konsepsi sebelumnya, yaitu konsep pra Islam (Megalitik). Selama ini, para arkeolog di Indonesia menjadikan orientasi makam, dan letak makam pada puncak bukit serta terdapatnya tulisan pada makam untuk menandakan siapa yang dimakamkan, dijadikan sebagai penanda untuk membedakan makam pra Islam dan makam Islam. Orientasi makam timur-barat, letak makam pada daerah ketinggian, bentuk nisan dan jirat, dan tidak adanya tulisan/ inskripsi dan ragam hias pada nisan dan jirat dijadikan penanda sebagai makam pra Islam. Dan orientasi makam utara-selatan, letak makam, bentuk nisan dan jirat, dan terdapatnya tulisan/ inskripsi dan ragam hias pada nisan dan jirat sebagai makam Islam. Namun kenyataannya, makam-makam di kawasan Kajang tidak memperlihatkan hal yang demikian. Dalam satu kompleks makam kadang terdapat dua orientasi makam, dan pada kompleks makam tidak terdapat makam yang memiliki tulisan sebagai penanda siapa yang di makamkam seperti yang terdapat di kompleks makam Ammatoa di kawasan kamase-masea. Penempatan bangunan makam pada daerah ketinggian 390
kemungkinan disebabkan dengan pertimbangan bahwa pada daerah ketinggian tidak mudah mengalami gangguan yang meyebabkan kerusakan dan memiliki batas yang jelas dalam penempatan ruang gerak aktivitas manusia pendukungnya. Pemilihan ruang aktivitas ritual pada tempat ketinggian adalah merupakan pertimbangan yang ideal karena disesuaikan dengan konsep ideologi mereka. Pandangan terhadap daerah ketinggian sebagai daerah yang memiliki nilai khas dibanding daerah yang ada disekitarnya, tentunya tidak terlepas pada anggapan bahwa bukit sebagai tempat roh arwah nenek moyang mereka. Konsep kosmologi inilah yang menjadi alasan penempatan bangunan sakral seperti susunan batu temu gelang, batu bergores, batu pemujaan, dolmen, batu datar, batu pannurungang, makam pra Islam, batu datar. Meskipun dalam pencapaiannya membutuhkan banyak energi, tetapi nilai suatu konsep yang dianut oleh mereka dan tersedianya lahan perbukitan merupakan sasaran yang paling sesuai dalam penyaluran konsep ideologi mereka. Pemilihan ruang aktivitas profan (tempat bermukim) cenderung tidak jauh dari kawasan hutan yang secara fungsional terbagi tiga zona yakni; hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan hutan rakyat. Pembagian zona hutan ini berpengaruh terhadap sistem perilaku pemilihan ruang aktivitas manusia pada lokasi situs. Dipilihnya ruang bermukim yang dekat kawasan hutan adalah merupakan pertimbangan yang ideal, yang melihat hutan sebagai sumber potensi penyediaan kebutuhan sehari-hari maupun sebagai sarana kelancaran proses penyaluran religi mereka. Kawasan hutan dan daerah ketinggian (bukit) dianggap sebagai suatu hal yang sangat berpotensi untuk menyalurkan konsep ideologi mereka. Empat sungai tradisional dijadikan sebagai batas wilayah sangat banyak berpengaruh terutama 391
aktivitas yang bersifat profan. Konsep lokasional juga ada dalam sistem penerapan pembagian strata ruang aktivitas mereka. Tidak hanya pada pertimbangan ruang bermukim tetapi lebih jauh dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan variabel budayanya yang berfungsi sakral tidak jauh dari kawasan hutan. Penempatan tersebut melahirkan suatu pola permukiman dengan bentuk memusat untuk pola permukiman di kawasan kamase-masea dan pola permukiman menyebar untuk permukiman di kawasan kuassayya. Pemilihan ruang dalam suatu lokasi untuk bermukim biasanya didasari oleh beberapa faktor, seperti alasan yang bersifat praktis merujuk pada strategi dan politisasi lokasi, sedangkan alasan yang bersifat ideologi merujuk pada konsepsi kepercayaan (kosmologi) serta hal-hal lain yang menyangkut strategi adaptasi manusia. Berdasarkan pembagian masyarakat, kawasan Kajang terdiri atas kawasan kamase-masea dan kawasan kuassayya. Secara hirarki wilayah (lihat peta hierarki kawasan Kajang), kedua kawasan ini terbagi kedalam: 1. Wilayah sakral atau wilayah inti yang terletak di Dusun Benteng Desa Tanah Toa, 2. Wilayah semi sakral meliputi Dusun Tombolok, Dusun Sokbu, Dusun Panggi, Dusun Lurayya, dan Dusun Balangnipa. Kelima Dusun ini juga terletak di Desa Tanah Toa, 3. Wilayah profan meliputi Desa Bonto Biraeng, Desa Bontorannu, Desa Lembang, Desa Lembaglohe, Desa Laikang, Desa Pantama, Desa Possi Tanah, Desa Lembanna, Desa Tambangan, Desa Sangkala, Desa Bonto Baji, Desa Pattiroang, Desa Sapanang, Desa Batunilamung, Desa 392
Malleleng, Desa Mattoanging, Desa Lolisang, dan Kelurahan Tanah Jaya. Adanya pembagian masyarakat ini berdasarkan ajaran patuntung sebagai religi masyarakat Kajang, terutama masyarakat yang bermukim di wilayah inti kamase-masea. Kamase-masea adalah suatu konsepsi dengan muatan: lambusu’, gattang, sa’bara’, dan apisona---jujur, tegas, sabar, dan pasrah sepasrah pasrahnya. Prinsip ini diselimuti oleh ikatan-ikatan emosi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem kepercayaan karena mengandung nilai-nilai keramat yang disertai “imbalan” dan “sanksi” yang juga keramat. Adanya spesifikasi di antara orang Kajang, seperti tata cara hubungan sosial, tata cara memperlakukan alam, tatacara tindak religi, dan tidak mau menerima hal-hal baru secara tidak langsung membuat sebagian dari mereka terisolir dari dunia luar, di samping sistem nilai yang mereka anut membuat sejumlah pantangan yang apabila tidak diindahkan akan menyebabkan hal-hal yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa Konjo disebut husung---ganjaran yang berakibat sanksi sosial dan dipercaya akan berakibat buruk di “alam sana” bagi yang melakukannya. Sikap hidup sebagian To Kajang yang dengan sengaja mengisolir diri dengan maksud supaya terhindar perbuatan yang tidak dipasangkan, dan dengan mengutamakan kehidupan “miskin” di dunia agar memperoleh imbalan “kekayaan” dari “Tuhan” di hari kemudian, disebut prinsip kamase-masea. Mereka kemudian membentuk masyarakat tersendiri di Tana Toa---- Tanah Tertua. Wilayah yang mereka tempati kemudian mereka sebut “wilayah kamase-masea”, yang kemudian disebut sebagai komunitas Ammatoa bersama sistem nilai budayanya yang khas dan menampilkan fenomena sosial tersendiri. 393
Mereka cenderung konservatif dan membatasi diri dari semua kegiatan yang mengutamakan tujuan kehidupan sekuler. Hal-hal yang bernilai dalam kehidupan ini bagi To Kajang seluruhnya tercakup di dalam ajaran pasang ri Kajang. Pasang meliputi sistem religi, upacara, dan sistem sosial. Tradisi lisan ini merupakan sistem pengetahuan yang mengandung nilai-nilai budaya yang selalu diacu untuk memperoleh bimbingan dalam tindak-tanduk individual dan sosial (Usop, 1985: 119). Pasang sebagai pedoman tertinggi kemudian menjadi acuan , dan semua yang tertera dalam pasang membentuk pola pikir dan cara-cara bertindak komunitas termasuk pemilihan daerah untuk bermukim. Pasang adalah kumpulan pesan-pesan, petuahpetuah, petunjuk-petunjuk dan aturan –aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro dan mikrokosmos serta tata cara menjalin harmonisasi alammanusia-Tuhan. Pasang merupakan sistem nilai yang menjadi pedoman tertinggi bagi komunitas dalam mana ia mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan, baik yang berorientasi keduniawian maupun keakhiratan (Akib, 2008: 62). Pasang berarti pesan lisan yang wajib dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan dan akan menimbulkan hal-hal atau akibat yang tidak diinginkan bila tidak diindahkan . Hal ini menunjukkan bahwa pasang disamping memuat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan komunitas dengan Tu Rie’ A’ra’na, dalam kepercayaan patuntung juga terdapat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antar komunitas, dan komunitas dengan alam.
394
Gambar 18 Peta Hirarki Kawasan Kajang Berdasarkan Sistem Sosial
Digambar oleh Arafah Saing 395
b.3.1. Kamase-masea dan Kuassayya Hubungan Komunitas dengan Alam Tanah yang mula-mula diciptakan Tu’ Rie’ A’Ra’na di dunia ini adalah Tombolo’ (tempat yanng menyerupai tempurung kelapa) yang disebut Tana Toa atau tanah yang tua atau yang pertama. Menurut pasang dan mitos yang berkembang di Kajang, di tempat itulah muncul mula tau atau tau mariolo atau manusia pertama yang menjadi cikal-bakal berkembangnya manusia dan menjadi “wakil” Tu Rie’A’ra’na di dunia. Tana Toa sebagai tempat munculnya mula tau dan sajang---lenyap di borong karama’ ri Tombolo’---hutan keramat, melahirkan konsep tanah sebagai “anrongta” atau “ibu”. Sedangkan konsep tentang asal usul penciptaan manusia menurut pasang, manusia pertama yang menempati Tombolo adalah juga tomanurung dan menjadi Ammatoa pertama yang disebut Bohe Amma. Kedua konsep ini menempatkan alam ke dalam kedudukan yang istimewa. Gabungan cerita di atas akan menampilkan konsepsi tentang manusia pertama, dan konsepsi tentang tomanurung. Jadi menurut ajaran pasang manusia berkembang dari Ammatoa yang mula—mula sebagai tomanurung kemudian dunia meluas dari Tana Toa --- Tana Mula-mula di Tombolo di mana manusia pertama turun tersebut. Menurut cerita yang berkembang pada mulanya Ammatoa pertama adalah juga tomanurung---manusia yang turun dari langit atas kehendak Tu’ Rie’A’ra’na. Alam beserta isinya mengandung sacre value. Nilai kekeramatannya disebabkan karena alam didiami roh-roh jahat, yaitu jiwa-jiwa manusia yang “tidak diterima” Tau’ Rie’ A’ra’na karena selama hidupnya di dunia banyak
396
berbuat dosa, dan roh-roh baik yaitu jiwa-jiwa manusia yang manuntungi---orang yang selamat. Pasang ri Kajang dan agama patuntung sebagai perangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Hubungan ini di asumsikan sebagai variabel indikator yang menetukan terpilihnya kawasan kamase-masea dan kawasan kuassayya sebagai tempat bermukim. Sementara lingkungan dalam hubungannya dengan manusia tidak menentukan hanya mempengaruhi dan menawarkan berbagai kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Keadaan lingkungan fisik yang dibentuk oleh topografi perbukitan dan dataran luas mempengaruhi pola adaptasi manusia yang ada di dalamnya, tetapi tidak sepenuhnya mempengaruhi seluruh aspek perilaku manusia. Keadaan lingkungan budaya yang terbentuk dari pandangan hidup masyarakat yang bersumber dari ajaran pasang. Adapun gambaran keletakan artefak dan bangunan terhadap variabelvariabel tersebut pada situs-situs di Kawasan Kajang adalah sebagai berikut: b.3.1.1. Rumah Rumah yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah rumah-rumah yang terdapat di wilayah kamase-masea Dusun Benteng Desa Tana Toa, dan rumah yang terdapat di Situs Possi Tana. Rumah di wilayah kamase-masea Dusun Benteng menempati lahan di bagian tengah situs. Rumah terletak pada ketinggian kawasan dan berada disekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Rumah-rumah di wilayah inti seluruhnya menghadap ke arah barat yang diasumsikan sebagai arah kiblat yaitu arah yang dianggap tempat tenggelamnya 397
matahari. Secara filosofis makna ini memiliki arti munculnya kegelapan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah inti selalu identik dengan warna hitam sebagai simbol kegelapan. Selebihnya, kendati tetap mengikuti aturan bangunan lama, tetapi letaknya sudah meluas dan tersebar hingga di luar kawasan inti. Wilayah perluasan ini kemudian menjadi wilayah yang semi sakral dan wilayah profan. Secara keseluruhan bentuk arsitektur rumah tradisional Kajang di wilayah kamase-masea (wilayah inti-sakral) adalah sama, baik dari segi bahan, ukuran, denah ruangan, dan fungsi ruangannya. Model rumah adalah rumah panggung yang ditopang oleh 16 buah tiang kayu berfungsi sebagai tiang rumah. Tiang rumah tidak menggunakan umpak, melainkan hanya ditancapkan dalam tanah. Ini merupakan simbolisasi yang memiliki arti bahwa manusia ketika mati jasadnya akan ditanam di dalam tanah. Tinggi lantai rumah dengan permukaan tanah antara 1,5-2 meter. Luas rumah rata-rata berukuran sama yaitu 7 x 9 meter². Dinding dan lantai rumah umumnya terbuat dari kayu dengan atap dibuat dari daun rumbia. Lantai pada bagian belakang bangunan merupakan tempat istirahat keluarga, dan berada lebih tinggi dibandingkan lantai pada ruangan lainnya dalam rumah. Untuk memperkuat struktur bangunan, tidak satupun bagian rumah yang menggunakan paku. Untuk menyatukan satu bagian dengan bagian lainnya umumnya hanya diikat dengan rotan atau digunakan pasak dari kayu/bambu. Secara umum filosofi tentang rumah tradisinal Kajang di wilayah kamasea-masea dilatarbelakangi makna pasanga ri Kajang (pesan di Kajang)
398
yang meminta agar masyarakat hidup sederhana dan kamase-mase (saling mengasihi dan menyayangi). Bentuk rumah tradisional di wilayah kuassayya mulai bervariasi, adanya variasi ini memperlihatkan sudah adanya status sosial dan ekonomi bagi pemiliknya. Rumah pada umumnya berbentuk rumah panggung, dan mulai ada pembagian ruangan sesuai fungsi, kedudukan, dan jumlah anggota keluarga. Bahan konstruksi rumah pada umumnya masih menggunakan kayu, dan terdapat juga rumah yang sudah menggunakan batu bata. Kehidupan mereka mulai memperlihatkan adanya status sosial, status sosial ini kadang ditandai dari bentuk bubungan rumah yang bertingkat. b.3.1.2. Batu Temu Gelang/Pagar Batu Batu temu gelang (stone enclosure) yang terdapat di kawasan Kajang terdiri atas dua bentuk yang berbeda. Dari segi bentuk fisik batu temu gelang tersebut memperlihatkan perbedaan yang menonjol, ada yang berbentuk persegi panjang dan lingkaran. Mengapa terjadi perbedaan bentuk fisik dan diterapkan dalam satu komunitas masyarakat pendukungnya? Apakah perbedaan bentuk fisik tersebut memperlihatkan pula fungsi yang berbeda atau hanya variasi tipe batu temu gelang saja? Batu temu gelang berbentuk pagar terdapat pada wilayah kamase-masea, dan di wilayah kuassayya. Penggunaan nama “temu gelang” dipakai apabila artefak tersebut berfungsi sakral, sedangkan penggunaan nama “pagar batu” apabila artefak tersebut hanya berfungsi profan saja. Di situs Tanah Toa, ada kecenderungan perbedaan fungsi yang diperlihatkan diantara batu temu gelang tersebut, yaitu batu temu gelang yang terdapat didalam hutan keramat berfungsi 399
sakral yaitu sebagai tempat pelantikan Ammatoa, sedangkan batu temu gelang (pagar batu) yang terdapat sekitar permukiman warga berfungsi profan yakni hanya merupakan pembatas antara halaman rumah dengan jalan. Penyusunan pagar hanya merupakan tumpukan batu yang ditata sedemikian rupa membentuk sebuah pagar. Bagian tengah pagar batu terdapat pintu. Pintu pagar yang digunakan berupa palang kayu dan bambu. Selasar yang terdapat pada bagian halaman depan rumah berupa susunan batu andesit.
Berdasarkan data
wawancara batu temu gelang yang terdapat di dalam hutan keramat berbentuk persegi empat. Batu temu gelang tersebut sebagai tempat berkumpul pemangku adat untuk mendegarkan penuturan pasang dari calon Ammatoa, sekaligus berfungsi sebagai tempat pelantikan Ammatoa terpilih. Batu temu gelang yang terdapat di Situs Possi Tana berbentuk lingkaran, dan berada pada tata guna lahan perbukitan yang disebut bukit Bongki, baru temu gelang ini berorientasi timur-barat. Batu temu gelang tersebut dahulunya berfungsi sebagai tempat sidang dan musyawarah. Seorang calon pemimpin sebelum diangkat, dimusyawarahkan dulu didalam lingkaran batu temu gelang. Dari hasil musyawarah tersebut lalu ditetapkanlah siapa yang berhak untuk diangkat sebagai pemimpin di kawasan Kajang. Fungsi batu temu gelang di Possi Tana sekarang adalah sebagai tempat untuk upacara-upacara adat atau tempat untuk melakukan upacara yang erat kaitannya dengan mata pencaharian mereka, seperti: upacara pergantian musim, waktu membuka ladang baru, membakar hutan, mohon hujan atau menghindari terjadinya bencana alam. Batu temu gelang yang terdapat di Situs Anrong Guru Lagoppo terletak pada daerah perbukitan, dan menempati tata guna lahan perkebunanan dan 400
permukiman. Sekarang ini batu temu gelang tersebut memperlihatkan komposisi yang tidak beraturan lagi, tetapi bekasnya masih dapat direkonstruksi kembali. Menurut masyarakat disekitar situs bahwa batu temu gelang dahulunya masih utuh, hanya karena tidak terawat dan ulah dari sebagian orang yang datang saat melakukan ritual sehingga menjadi rusak dan berserakan, batu temu gelang tersebut dahulunya berbentuk melingkar (bulat). Fungsi batu temu gelang di Situs Anrong Guru Lagoppo sebagai penanda batas daerah sakral, dan menjadi batas dalam pelaksanaan upacara yang berlangsung di dalamnya. Secara umum fungsi batu temu gelang dan pagar batu di kawasan Kajang terdiri dari beberapa unsur yang memperlihatkan hubungan fungsional secara kontekstual yang berdasarkan bentuknya, tidak menunjukkan perbedaan fungsi, melainkan justru keadaan (struktur yang ada pada bagian dalam yang dapat menunjukkan fungsinya. Dengan demikian susunan batu temu gelang dan pagar batu itu sendiri, hanya sebagai pembatas antara daerah sakral dengan profan (Duli, 1996: 10). b.3.1.3. Batu Pelantikan Batu pelantikan di kawasan Kajang hanya terdapat di wilayah kuassayya. Batu pelantikan tersebut terdiri dari dua bagian dengan fungsi yang berbeda. Batu pelantikan 1 oleh masyarakat disebut sebagai batu Tamalate, berfungsi sebagai tempat pelantikan karaeng yang dianggap sebagai unsur pemerintah di kawasan Kajang. Sedangkan batu pelantikan 2 disebut sebagai batu Kadaha, berfungsi sebagai tempat pelantikan pemangku adat. Kedua batu pelantikan ini, sampai sekarang masih dikeramatkan oleh masyarakat. Sekarang ini, fungsi batu pelantikan mulai bergeser dari fungsinya sebagai tempat pelantikan karaeng yang 401
dianggap sebagai unsur pemerintah, dan tempat pelantikan pemangku adat. Masyarakat setempat saat ini, menjadikan kedua batu pelantikan tersebut sebagai tempat melaksanakan upacara biasa seperti melepas nasar, saat sembuh dari sakit, ingin merantau, habis kena musibah, sehabis panen atau setelah melaksanakan pesta pernikahan. Upacara dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dengan dihadiri oleh satu keluarga atau beberapa keluarga dekat. Meskipun telah terjadi perubahan fungsi dalam suatu upacara sekarang tidaklah merubah makna dan tujuan dari upacara tersebut, karena kesemunya adalah upacara yang bersifat religius yang bertujuan untuk pengangungan kepada arwah leluhur. Aktivitas masyarakat yang bertujuan untuk mengagungkan arwah leluhur telah lama mengakar pada masa pra Islam di kawasan Kajang. Prosesi upacara yang dilakukan pada batu pelantikan di Situs Possi Tana masih berkaitan dengan artefak yang lain, seperti pada saat akan mengadakan upacara melepas nasar, terlebih dahulu orang ke batu pemujaan Bongki untuk meletakkan sesajian, kemudian upacara dilanjutkan ke batu pelantikan. Biasanya orang yang melakukan upacara di batu pelantikan akan dimandikan oleh seorang dukun (sanro), air untuk memandikan diambil pada sumur yang berada tidak jauh dari batu bergores. b.3.1.4. Dolmen/ Batu Pemujaan Dolmen atau batu pemujaan di kawasan Kajang menjadi sentrum dari pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat. Dolmen ini menjadi pusat dari pemujaan karena dianggap dapat mendatangkan keselamatan maupun kesuburan. Dari hasil penelitian dan berbagai informasi, maka dolmen/batu pemujaan tersebut berfungsi sebagai sarana untuk mengajukan suatu permintaan kepada yang dipuja 402
atau untuk pelaksanaan upacara. Pada masa sebelum masyarakat di kawasan Kajang mengenal sistem pemerintahan seperti sekarang ini, dolmen/batu pemujaan di Situs Possi Tana berfungsi sebagai tanda, dan sebagai tempat pengumuman hasil-hasil musyawarah. Sekarang ini, dolmen/batu pemujaan di Situs Possi Tana ini hanya berfungsi sebagai tempat upacara biasa seperti apabila salah satu keluarga ada yang sakit, mereka ke dolmen/batu pemujaan untuk minta kesembuhan, mulai tanam padi atau pada saat sehabis panen, minta jodoh, saat akan bepergian jauh atau datang dari bepergian jauh. Upacara dilaksanakan perseorangan maupun bersama-sama sesuai dengan keperluan,dan biasanya upacara dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Bentuk pelaksanaan upacara dengan cara membuat saji-sajian yang ditujukan kepada Tau rie A’rana dengan melakukan kurban kerbau atau sapi, kambing, ayam, atau sesuai dengan nasar dan kemampuan dari orang yang melakukan pemujaan. Fungsi dolmen/batu pemujaan di Possi Tana sekarang ini, sama dengan fungsi dolmen/batu pemujaan yang terdapat di Situs Anrong Guru Lagoppo. Adanya perubahan fungsi dolmen/batu pemujaan yang diperlihat oleh dolmen/batu pemujaan di Situs Possi Tana dalam suatu upacara sekarang, tidak merubah makna dan tujuan upacara tersebut, karena kesemuanya adalah upacara yang bersifat religius dengan maksud pengagungan arwah leluhur. Pengagungan arwah leluhur ini telah berakar pada masa tomanurung. Batu pemujaan merupakan
komponen
penting
sebagai
medium
penghormatan
yang
mencerminkan kesatuan sakral dan kesatuan sosial. Peranan dolmen/batu pemujaan di kawasan Kajang yang mencerminkan kesatuan sosial dan kesatuan masyarakat dapat dilihat dalam pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung 403
kepentingan masyarakat umum seperti upacara mohon hujan, mohon kesembuhan dari pemyakit yang melanda masyarakat, mohon perlindungan supatya terhindar dari segala ancaman mara bahaya dan bencana alam yang dilakukan oleh seluruh penduduk kampung. Pelaksanaan upacara yang masih dilakukan pada dolmen/batu pemujaan di kawasan Kajang, masih tetap dilakukan sampai sekarang walaupun agama Islam telah lama berkembang disini. Karena masyarakat pendukungnya percaya bahwa sumber kekuatan dan sumber kesuburan berasal dari bangunan tradisi megalitik tersebut. b.3.1.5. Sumur Sumur yang ditemukan di kawasan Kajang sebanyak enam sumur. Di kawasan kamase-masea sumur berjumlah empat (sumur keramat/buhung tau mariolo, sumur tunikeke, sumur bersebelahan, sumur jodoh), dan dua sumur terletak di kawasan kuassayya. Sumur di kawasan kamase-masea terdapat pada areal tata guna lahan perkebunan, dan hutan adat. Sumur tersebut ada yang sampai sekarang masih tetap diperlakukan sebagai sumur yang dikeramatkan, seperti sumur jodoh dan sumur keramat yang terletak didalam hutan adat. Sumur yang terletak didalam hutan adat, mempunyai pertalian fungsi terhadap susunan batu temu gelang yang terdapat pada bagian selatan. Berdasarkan informasi penduduk bahwa air sumur tersebut merupakan air suci yang hanya diperuntukkan pada halhal yang bersifat supranatural. Sumur ini hanya digunakan saat diadakan upacara adat yang dilaksanakan didalam hutan keramat. Sumur jodoh berdasarkan fungsinya juga dinyakini sebagai sumur suci. Sedangkan sumur tunikeke dan sumur bersebelahan hanya berfungsi profan, air yang ada di kedua sumur ini 404
digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti memasak, mencuci, dan mandi. Masyarakat memanfaatkan sumber air ini pada lokasi untuk mandi dan mencuci, kecuali untuk memasak yang harus diambil kemudian dibawa ke rumah. Sumur yang terdapat di kawasan kuassayya hanya dua, satu sumur terletak di Situs Possi Tana dan satu sumur berada di Situs Sugi Daeng Manontong. Sumur yang berada di Situs Sugi Daeng Manontong oleh penduduk disebut dengan nama sumur Laikang. Sumur tersebut tidak difungsikan sebagai tempat pengambilan untuk keperluan sehari-hari, tetapi diperuntukkan pada keperluan tertentu yang berhubungan dengan hal-hal ritual. Keberadaan sumur tua di kawasan Kajang mengisyaratkan kuatnya sistem kepercayaan masyarakat yang bercorak pra Islam, dan mengisyaratkan pula kompleksnya aktivitas ritual masyarakat pemukim di kawasan Kajang. Nampaknya sumur mencerminkan pula terjadinya berbagai aspek kehidupan manusia karena sumur dalam proses pembuatannya memerlukan keterlibatan sejumlah energi yang cukup tinggi. Selain itu tujuan dari pembuatan sumur berkaitan dalam hal ritual, maka secara langsung mengisyaratkan pula adanya organisasi seremonial yang berlaku dalam masyarakat pada saat itu. Sumur tua serta seluruh rangkaian tinggalan ciri megalitik lainnya merupakan bukti kuat aspek religi telah ada dan berlangsung cukup lama. b.3.1.6. Makam Situs-situs Makam di kawasan Kajang memperlihatkan adanya wujud pengaruh konsepsi megalitik (pra-Islam), yang berkembang dan berlanjut sampai sekarang. Wujud perilaku tersebut terlihat pada beberapa situs makam yang ditempatkan pada puncak bukit (daerah ketinggian), dan umumnya makam405
makam kuno tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat. Dijadikannya makam-makam tersebut sebagai makam keramat dan pada waktu-waktu tertentu selalu diadakan upacara ritual pada makam tersebut, seperti yang diperlihat antara lain oleh makam Tosalama Rijallayya dan makam Sugi Daeng Manontong, makam tunggal (kuburu’ tunggalaka) dan makam Rangkana’ dan Bannenna secara tidak langsung mencerminkan adanya sistem organisasi politik. Pemilik kuburan tersebut dianggap telah berjasa pada masyarakat semasa hidupnya, sehingga cara untuk mengenang jasa mereka dilakukan upacara ritual pada tempat penguburannya.
Aktivitas
semacam
ini
dijadikan
pula
sebagai
tempat
melaksanakan ritual oleh masyarakat hingga sekarang ini. Hal ini menunjukkan pula adanya rasa solidaritas yang tinggi oleh masyarakat terhadap pemilik kuburan tersebut sebagai orang yang berjasa dalam hidupnya. Makam-makam kuno yang terdapat di kawasan Kajang umumnya memiliki batasan kubur berupa nisan dan jirat dengan ciri, bangunan, dan orientasi makam yang berbeda. Orientasi makam yang berbeda dalam kompleks makam diperlihatkan oleh beberapa situs di kawasan Kajang, seperti di Kompleks Makam Ammatoa, Kompleks Makam Karaeng Cidu’ Daeng Mattarang, Kompleks Makam Mattu Daeng Pahakang, dan Kompleks Makam Kambangtia. Makam umumnya menggunakan nisan yang terbuat dari batu andesit berbentuk pipih, bulat, balok, dan tidak beraturan. Beberapa nisan juga memiliki pola hias yang dibuat dengan teknik yang sederhana, seperti pola hias geometris berbentuk segitiga (tumpal). Pahatan yang dihasilkan tidak dalam sehingga hanya menyerupai goresan bentuk garis.
406
Menurut informasi masyarakat, adanya dua orientasi makam (utaraselatan, dan timur-barat) dalam satu kompleks makam sebagai penanda bahwa orang yang dikubur merupakan penduduk asli setempat, orientasi makam timurbarat berarti yang dikubur masih menganut kenyakinan patuntung. Meskipun prosesi penguburan yang dilakukan masyarakat sudah dilakukan menurut ajaran Islam, namun orientasi makam tidak mengikuti arah utara-selatan. Makam dengan orientasi timur-barat mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat di Kajang masih mengikuti konsep orientasi makam pra-Islam. Dalam prosesi pemakaman, orang mati yang dimakamkan namanya tidak boleh disebutkan tetapi hanya diucapkan dalam hati. Hal ini dikarenakan penduduk di kawasan Kajang sangat mengsakralkan nama dari orang yang mati tersebut. Adanya unsur sakral ini sehingga nisan-nisan makam sebagian besar tidak menuliskan nama dari orang yang dimakamkan. b.3.1.7. Hutan Hutan menurut To Kajang adalah warisan Tu Ri’ A’Ra’na. Tu’ Ri’ A’Ra’na mewariskan pasang ri Kajang kepada To Kajang dalam hal ini Ammatoa dan dewan adat Kajang untuk mengelola hutan. Berdasarkan fungsinya hutan dikelompokkan atas tiga, yaitu: 1. Hutan adat disebut juga hutan pusaka seluas 317,4 ha. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat. Rumah-rumah di kawasan adat Tana Toa tidak boleh membelakangi atau dibangun di sebelah kanan dari hutan adat.
407
2. Hutan kemasyarakatan seluas 144 ha, boleh digarap dengan syarat harus menanam terlebih dahulu bibit pohon yang jenisnya sama dengan pohon yang akan ditebang dan ditanam di sebelahnya. 3. Hutan rakyat seluas 98 ha, digarap secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dan hasilnya dinikmati bersama-sama. b.3.1.8. Keramik Temuan keramik terdapat di empat situs, yaitu di sekitar Situs Possi Tana, Situs Anrong Guru Lagoppo, Situs Karaeng Cidu’ Daeng Mattarang, dan di Situs Tanah Toa. Keramik yang ditemukan terdiri atas keramik asing dan keramik lokal (gerabah), khusus di Situs TanahToa hanya ditemukan keramik lokal. Keramik lokal (gerabah) yang ditemukan di Situs Possi Tana dan Situs Karaeng Cidu’ Daeng Mattarang berupa fragmen dan utuh, sedangkan yang ditemukan di Situs Anrong Guru Lagoppo hanya berupa fragmen. Sebagaimana diketahui bahwa keramik adalah indikator kuat tentang adanya permukiman, maka dalam menginterpretasikan keramik yang ditemukan pada situs-situs di kawasan Kajang mengisyaratkan akan adanya jejak-jejak pemukiman pada masa lampau. Hanya dalam kapasitasnya sebagai situs pemukiman. Kehadiran keramik di situs ini memiliki hubungan dengan orang-orang yang melaksanakan kegiatan ritual di tempat ini, serta sebagai jejak-jejak pemukiman. Keramik-keramik yang ditemukan di situs-situs di kawasan Kajang, selain jumlahnya sangat sedikit, keramik ini terdiri atas wadah-wadah berupa mangkuk, piring dan cangkir. Asal keramik ini umumnya dari Cina, Vietnam dan Eropa. Untuk keramik Cina berasal dari dinasti Ming Swatow (abad 15) dan Ching (abad 17). Keramik yang berasal
408
dari Vietnam diperkirakan berasal dari abad 14. Sedang keramik Eropah berasal dari abad 19. Selain keramik asing juga ditemukan keramik lokal. Setelah diidentifikasi terdiri atas jenis periuk, tempayan dan pedupaan. Kehadiran keramik asing dan lokal pada lokasi situs tidak terlepas dari aspek fungsi dimana keramik-keramik tersebut telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat dan berlaku secara umum. Kehadiran keramik di situs-situs ini dapat dilihat dalam dua proses, yaitu sebagai benda yang digunakan dalam kegiatan upacara serta sebagai bukti tentang pemukiman masa lampau di kawasan tersebut. Data keramik merupakan bagian terpenting dalam konteks permukiman. Temuan keramik dalam penelitian ini digolongkan atas dua bagian, yaitu keramik asing yang dicirikan oleh bahan batuan dan porselin, dan keramik lokal atau gerabah. Pembagian tersebut sengaja dilakukan untuk melihat peranannya dalam kontek tata ruang permukiman di kawasan Kajang. Berdasarkan bentuknya, keramik secara keseluruhan berupa mangkuk, piring, cangkir, tutup, tempayan, guci, periuk dan pedupaan. Keramik ini ditemukan dalam bentuk sebaran pada empat situs yaitu: Situs Ammatoa, Situs Possi Tanah, Situs Anrong Guru Lagoppo, dan Situs Karaeng Cidu’ Daeng Mattarang. Keramik lokal (gerabah) ditemukan di kawasan kamase-masea (Situs Ammatoa) dan di kawasan kuassayya (Situs Possi Tanah). Temuannya berupa fragmen dan bentuk utuh. Keramik lokal paling dominan ditemukan di sekitar rumah penduduk di Situs Tanah Toa, sedangkan keramik asing tidak ditemukan. Temuan keramik asing paling banyak ditemukan di kawasan kuassayya yaitu: di Situs Possi Tanah temuan keramik asing dalam keadaan fragmen dan utuh, begitu
409
juga di Situs Karaeng Cidu’ Daeng Mattarang. Sedangkan di Situs Anrong Guru Lagoppo temuan keramik hanya berupa fragmen. Kehadiran keramik pada lokasi situs, tentunya tidak terlepas pada aspek fungsi dimana keramik telah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat dan berlaku secara umum. Meskipun keramik asing yang termasuk benda yang bernilai tinggi dan tidak semua orang dapat memilikinya tetapi bukti nyata yang selalu dimunculkan dalam kaitannya dengan situs permukiman selalu terdapat data keramik. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa keramik sifatnya berlaku umum. Seluruh lapisan masyarakat dapat memilikinya, tergantung kemampuan penganutnya. Temuan keramik yang didapatkan pada situs-situs di kawasan Kajang meskipun tidak terlalu banyak tetapi dapat memberikan gambaran bahwa keramik telah pula dikenal pada masa itu. Penyertaan benda keramik dalam aktivitas kehidupan manusia (pemukim di kawasan Kajang) pada masa lalu mengisyarakat adanya kontak dengan daerah lain yang berarti sudah terciptanya pola tatanan kehidupan masyarakat yang telah mapan dan kompleks. Keramik di kawasan kamase-masea merupakan suatu kebutuhan yang bersifat primer, sebab didalam kehidupan keseharian mereka hingga saat ini mereka masih mempergunakan gerabah (keramik lokal). Sedangkan di kawasan kuassayya, keramik bukan suatu kebutuhan yang sifatnya primer tetapi memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan merupakan sugesti bagi orang yang memilikinya. Keramik dapat digunakan untuk mengungkapkan beberapa segi kehidupan dan kebudayaan masa lampau, misalnya adat istiadat, kehidupan sosial, perekonomian dan perdagangan serta menerangkan adanya hubungan politik dan ekonomi dalam suatu wilayah atau negara (Harkantiningsih, 1982: 386). Jadi 410
dapat disimpulkan bahwa keberadaan keramik di kawasan Kajang di masa lalu dapat dijadikan parameter dalam melihat kemajuan pola pikir manusia pada saat itu. Nampaknya pemahaman dalam bidang politik, ekonomi, ideologi dan teknologi semakin nyata dalam pola permukiman mereka. Dijadikannya keramik sebagai pelengkap pemenuhan kebutuhan rumah tangga, memberikan asumsi bahwa bagian yang terlihat dalam hal ini bukan hanya satu rumah tangga saja melainkan gabungan kelompok keluarga atau masyarakat. Hal tersebut dikuatkan oleh data keramik yang terdapat pada tata guna lahan situs. Kemungkinan keramik juga telah dipergunakan dalam aspek kultural ditandai oleh sebarannya pada empat situs di kawasan Kajang. Jadi selain dipergunakan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga dipakai dalam prosesi aktivitas ritual. Penafsiran umur relatif situs-situs di kawasan Kajang berdasarkan data keramik yang ada yaitu umumnya berasal dari Cina yakni dari dinasti Ching dan Ming yang diproduksi akhir abad 15 sampai abad ke 19. Sebagian lainnya berasal dari Vietnam dan Eropa. Namun umur relatif keramik tersebut nampaknya tidak bisa dijadikan patokan satu-satunya dalam melihat umur relatif ke empat situs di kawasan Kajang, karena temuan lainnya diperkirakan telah ada jauh sebelum keberadaan data keramik. Artefak lainnya yang berciri megalitik juga perlu diperhitungkan. Perbedaan rentang waktu tradisi antara data keramik dengan megalitik di kawasan Kajang merupakan pula bukti kuat sebagai artefak dalam konteks permukiman. Peranan keramik lokal (gerabah) dalam kehidupan manusia di wilayah kamase-masea nampaknya tidak pernah tergantikan oleh keberadaan keramik 411
asing
sebagai bagian aktivitas bermukim. Adanya larangan didalam ajaran
pasang yang mereka terapkan didalam kehidupan keseharian mereka untuk tidak menerima hal-hal yang “berbau” modern sehingga masyarakat di wilayah kamasemasea masih bertahan menggunakan gerabah didalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuktikan bahwa tingkat ketergantungan mereka terhadap gerabah cukup tinggi. Dari temuan gerabah berupa periuk, belanga dan tempayan mencerminkan pola perilaku masyarakat pertanian. Wadah gerabah yang ditemukan di Situs Possi Tanah sebagai bagian dari aktifitas bermukim berasosiasi dengan temuan keramik asing. Temuan ini mengisyaratkan peranan fungsi yang sama dalam kehidupan masyarakat tertentu. Masyarakat di Situs Possi Tana memperlakukan gerabah sebagai pemenuhan pengolahan bahan dasar dan pemenuhan kebutuhan rohaniah. Temuan fragmen gerabah dan gerabah utuh bentuk pedupaan berasosiasi dengan temuan keramik asing di sekitar makam Rangka’na dan Bannenna, membuktikan bahwa gerabah tidak hanya berperan dalam pemenuhan kebutuhan dasar tetapi juga berperan pada aspek rohani. Gerabah yang ditemukan berpola hias horisontal dan titik-titik. Teknik pembuatan adalah masih sederhana (teknik pijat), adonan kasar, bahannya bercampur dengan pasir. Kemungkinan gerabah diproduksi pada daerah setempat dimana lingkungan situs banyak mengandung jenis tanah lempung dan dewasa ini jenis tanah tersebut dimanfaatkan untuk pembuatan batu bata. Dari uraian diatas diperoleh gambaran bahwa penempatan bangunan pada situs-situs di kawasan To Kajang memperlihatkan bahwa lingkungan religi, lingkungan sosial, dan lingkungan persepsi merupakan indikator utama sehingga lokasi kawasan kamase-masea, dan kawasan kuassayya dipilih untuk bermukim, 412
sedangkan lingkungan fisik merupakan indikator kedua dalam penempatan bangunan.
413