BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Penelitian ini mendeskripsikan keberadaan unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam tuturan di media sosial yang penuturnya dilaporkan dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Untuk mengetahui keberadaan unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam sebuah tuturan,
dilakukan
analisis
secara
menyeluruh
dengan
tujuan
untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan, variasi ekspresi, dan faktor-faktor yang mendukung penciptaan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial. Berdasarkan analisis terhadap tiga permasalahan dalam penelitian ini, diperoleh sejumlah kesimpulan tentang bentuk-bentuk tuturan, variasi ekspresi, dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik. Pertama, bentuk-bentuk tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam data penelitian ini berupa kalimat deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamatif. Keberadaan unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam sebuah tuturan dapat ditemukan dalam pilihan kata yang bermakna denotatif dan konotatif. Pilihan kata yang bermakna denotatif mengandung makna yang sebenarnya dan tidak memiliki nilai rasa tertentu.
161
162
Makna denotatif dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik mencederai harga diri dan nama baik objek penghinaan karena dianggap tidak faktual dibandingkan kenyataan yang ada. Sementara itu, unsur yang dianggap menghina dan mencemarkan nama baik objek penghinaan dalam pilihan kata yang bermakna konotatif adalah ketidaksesuaian antara makna tuturan dengan fakta yang ada dan keberadaan nilai rasa negatif yang merendahkan. Dari analisis di atas juga diperoleh kesimpulan bahwa gaya bahasa yang menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah sarkasme, metafora, dan sinekdoke totem pro parte. Gaya bahasa sindiran, seperti ironi, sinisme, satire, dan inuendo juga memiliki kemungkinan untuk menyebabkan munculnya unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam sebuah tuturan, tetapi dalam data penelitian ini tidak ditemukan. Sarkasme digunakan untuk menunjukkan ejekan yang langsung ditujukan kepada objek penghinaan. Adapun metafora mengandung unsur penghinaan karena pilihan kata yang bermakna negatif dan merendahkan objek penghinaan. Sinekdoke totem pro parte berisi tentang pernyataan yang terlalu umum sehingga melibatkan pihak yang seharusnya tidak ikut larut dalam unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Adapun strategi yang digunakan oleh penutur untuk menciptakan muatan penghinaan
dan
pencemaran
nama
baik
dalam
tuturan,
antara
lain
membandingkan objek penghinaan dengan seseorang yang lebih baik atau lebih buruk dan menyamakan objek penghinaan dengan seseorang yang buruk. Gaya bahasa hiperbola dan paradoks digunakan oleh penutur untuk mendukung maksudnya dalam melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik
163
terhadap objek penghinaan. Hiperbola menyajikan penggunaan bahasa yang melebih-lebihkan dan membesar-besarkan kenyataan. Pemanfaatan hiperbola dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dilihat pada pernyataan negatif yang diulang-ulang oleh penutur untuk menegaskan maksudnya. Gaya bahasa paradoks digunakan untuk menyampaikan situasi yang berlawanan dengan pendapat umum untuk menunjukkan gambaran negatif pada diri objek penghinaan. Selain itu, keberadaan unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam sebuah tuturan juga didukung oleh penggunaan huruf kapital dan tanda baca yang berlebihan. Huruf kapital yang berlebihan digunakan untuk menegaskan maksudnya dalam sebuah tuturan, sedangkan tanda baca yang berlebihan digunakan oleh penutur untuk menunjukkan tingginya emosi sekaligus spontanitas yang dialami oleh penutur saat menuliskan tuturan di media sosial. Kedua, variasi ekspresi dalam tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) tuduhan, 2) ejekan, dan 3) celaan. Pemerian tersebut dianalisis menggunakan strategi heuristik dengan melihat pelanggaran tuturan terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerja sama. Tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dapat diuji dengan maksim kualitas berwujud tuduhan. Sebuah tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik berwujud tuduhan bila berisi tentang: 1) persangkaan penutur bahwa objek penghinaan melakukan suatu perbuatan, 2) benar atau tidaknya pernyataan dalam tuturan bersifat mutlak, dan 3) kebenaran pernyataan didukung oleh bukti yang tersedia.
164
Wujud kedua, yaitu ejekan yang merupakan ungkapan yang digunakan oleh penutur untuk mengolok-olok dengan tujuan untuk merendahkan harga diri objek penghinaan sehingga merasa malu. Penutur ejekan melanggar maksim kuantitas, yakni memberi kontribusi lebih dari yang dibutuhkan oleh lawan tutur berupa pernyataan tentang objek penghinaan yang telah diketahui oleh khalayak umum. Wujud ketiga adalah celaan yang merupakan kata-kata yang keji dan kotor yang memburukkan diri seseorang yang diucapkan karena penutur merasa jengkel akibat perbuatan tidak terpuji orang tersebut. Bila dianalisis dengan strategi heuristik, celaan merupakan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang melanggar maksim hubungan. Ketiga, faktor-faktor yang ditemukan menyebabkan munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah sebagai berikut: 1) participants, meliputi: kelas sosial, jenis kelamin, kedekatan, konflik, emosi yang tidak terkendali, dan efek tuturan; 2) ends, yaitu tujuan yang menjadi sebab munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik adalah mengkritik, memprovokasi, memberitakan, dan menyampaikan kekesalan; 3) key, yaitu ekspresi, nada, atau cara penyampaian sebuah tuturan; 4) instrumentalities, yaitu akses media sosial yang mudah dan murah dibandingkan dengan terbatasnya kesempatan berbicara di dunia nyata; 5) norms, yaitu sasaran penghinaan yang mencerminkan aturanaturan yang harus ditaati dalam persepsi masyarakat penutur bahasa Indonesia, meliputi: fisik, integritas, kapasitas, religiusitas, moralitas, dan mentalitas.
165
Participants (partisipan tutur) menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial. Persaingan antarkelas sosial menyebabkan timbulnya permasalahan yang memicu penutur untuk mengungkapkan tuturan yang mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Konflik yang melatarbelakangi munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik timbul karena objek penghinaan melakukan tindakan yang merugikan penutur, seperti melakukan kecurangan, melakukan kekerasan fisik, dan mengganggu privasi. Konflik tersebut justru dialami oleh penutur yang tidak memiliki hubungan yang dekat dengan objek penghinaan. Sementara itu, penutur yang tidak mengenal objek penghinaan secara langsung akan mudah melakukan kritik di media sosial. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya komunikasi antara penutur dan objek penghinaan sehingga kritik yang sebenarnya dapat disampaikan secara pribadi di dunia nyata harus meluap di media sosial. Emosi yang tidak terkendali pada diri penutur menyebabkan tuturan yang ditulis oleh penutur tidak mengalami proses penyuntingan dengan baik sehingga cenderung berpotensi merugikan nama baik orang lain. Tuturan yang mengancam harga diri dan nama baik akan direspon secara cepat oleh objek penghinaan untuk dilaporkan ke pihak kepolisian. Sebaliknya, tuturan yang tidak membahayakan reputasi tidak akan mendapat respon yang serius dari objek penghinaan. Sementara itu, ends (tujuan tutur) yang ditemukan dalam data, antara lain mengkritik, memprovokasi, memberitakan, dan mengungkapkan kekesalan. Kritik dilontarkan dalam tuturan yang memiliki hubungan dengan ranah politik dan
166
pemerintahan, sedangkan provokasi berisi tentang aib, keburukan, dan kelemahan objek penghinaan dan dilakukan dengan tujuan agar lawan tutur sehingga mengurungkan niatnya untuk memilih objek penghinaan saat pemilihan umum berlangsung. Sementara itu, sebuah berita dinilai mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik karena informasi yang disuguhkan tidak melalui konfirmasi terhadap objek penghinaan terlebih dahulu. Penutur mengungkapkan kekesalan sebagai tujuan reaksi atas sikap objek penghinaan yang merugikan penutur, antara lain karena objek penghinaan melakukan perbuatan yang mengganggu penutur, objek penghinaan memberi pelayanan yang buruk, objek penghinaan mengganggu hubungan personal penutur, objek penghinaan mengganggu keadaan keuangan penutur, dan objek penghinaan melakukan tindakan yang berlawanan dengan paham yang dianut oleh penutur. Gaya bahasa sarkasme dan makian digunakan untuk mengungkapkan kekesalan, sedangkan deskripsi perbuatan digunakan untuk menjelaskan kerugian yang dialami akibat perbuatan objek penghinaan. Tuturan yang diungkapkan dengan tujuan untuk mengungkapkan kekesalan terjadi dalam berbagai ranah. Di dalam ranah pekerjaan, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik muncul akibat dari rasa kesal penutur terhadap objek penghinaan yang melakukan sejumlah kesalahan dalam pekerjaan. Sementara itu, di dalam ranah pergaulan, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik muncul karena penutur merasa dirugikan oleh perbuatan yang dilakukan oleh objek penghinaan. Adapun penyebab munculnya tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam ranah pelayanan jasa adalah
167
ketidakpuasan penutur sebagai konsumen atas pelayanan yang diberikan oleh objek penghinaan sebagai penyedia jasa; sedangkan tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang diujarkan dalam ranah keluarga disebabkan oleh tidak adanya titik temu antara dua anggota keluarga yang bermasalah. Di dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa para penutur yang berasal dari kelas sosial yang lebih rendah daripada penutur menggunakan gaya bahasa sarkasme dan pilihan kata-kata yang bernilai rasa rendah, sedangkan penutur yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi daripada objek penghinaan justru sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan di dalam media sosial, penutur dari kelas sosial yang lebih tinggi menyadari bahwa ia harus menjaga sikap di media sosial. Adapun hubungan antara tujuan tutur dan jenis kelamin penutur menunjukkan bahwa penutur yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan untuk lebih aktif dalam hal memprakarsai topik pembicaraan, seperti mengkritik, memprovokasi, dan memberitakan. Sementara itu, mayoritas penutur perempuan memiliki tujuan tutur yang bersifat reaktif, yakni untuk mengungkapkan kekesalan sebagai bentuk reaksi atas perbuatan objek penghinaan yang merugikan dirinya. Penutur dengan jenis kelamin perempuan ditemukan lebih dominan muncul pada tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik di ranah pergaulan, keluarga, dan pelayanan jasa, tetapi tidak ditemukan di ranah politik dan pemerintahan. Sementara itu, penutur laki-laki lebih dominan muncul di ranah politik dan pemerintahan.
168
5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang disimpulkan di atas, tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dideskripsikan dengan menganalisis bentukbentuk tuturan, variasi ekspresi dalam tuturan, dan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya tuturan. Penelitian serupa yang memiliki topik penelitian yang hampir sama dengan tesis ini dapat mengambil data dari tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dituturkan secara lisan ataupun dari tuturan yang melanggar pasal-pasal penghinaan yang lain dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHAP). Hasil penelitian dari data yang beragam diharapkan akan semakin memperkaya khazanah keilmuan dan teori mengenai tuturan penghinaan dan pencemaran nama baik.