BAB V PENUTUP Bab ini akan berisi kesimpulan hasil penelitian, dan saran-saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian. A.
Kesimpulan
1. Harmonisasi Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, dengan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Pasal 2 (g) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam rangka upaya mempailitkan BUMN, khususnya BUMN Persero, secara perundang-undangan terdapat masalah dalam harmonisasi antar undangundang, yang kemudian menjadi problematika baik bagi penegak hukum maupun bagi para pelaku usaha. Masalah harmonisasi bukan terletak pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, maupun UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ketidakharmonisan terletak tiga undang-undang, yakni UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (khususnya Pasal 11) di satu sisi, dengan dua undang-undang lainnya di sisi lain, yakni UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (khususnya Pasal 50), dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 2 (g). Solusi yuridis-formal untuk persoalan disharmoni tersebut adalah dengan mempertegas bahwa definisi “perusahaan negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” itu adalah BUMN berbentuk Perum. Oleh karena itu BUMN
123
berbentuk Persero tidak termasuk kategori “perusahaan negara yang bergerak di bidang kepentingan publik”, sehingga status hukumnya sama seperti Perseroan lainnya, sehingga berlaku Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan perundang-undangan lain yang berlaku pada Perseroan. Dengan ketegasan definisi “perusahaan negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” tersebut adalah BUMN berbentuk Perum, maka disharmoni antar-perundang-undangan diharapkan sudah tidak ada lagi.
2. Status Modal Negara yang Ditanamkan dalam BUMN Persero Negara merupakan badan hukum publik, maka segala sesuatu yang dimiliki oleh negara berasal dari uang publik dalam APBN, atau juga berasal dari non-APBN. Namun pada saat negara memberikan modal negara kepada badan hukum lainnya, dalam hal ini BUMN Persero, maka uang publik tersebut menjadi uang privat, karena sudah terjadi proses levering antara dua badan hukum yang berbeda. Pada saat negara menyerahkan modal negara yang notabene uang publik kepada BUMN Persero, maka uang publik tersebut menjadi privat karena sudah terjadi proses levering pada kedua badan hukum (badan hukum publik dan badan hukum privat). Status hukum uang negara yang telah menjadi saham telah tertransformasi secara hukum, dari “uang publik” menjadi “uang privat”. Persero sebagai suatu badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang
124
Saham (sebagai pemilik). Hal ini konsekuensi dari suatu badan hukum dimana terdapat prinsip pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Solusi dari terjadinya silang pendapat antara asset publik dan asset privat tersebut adalah dengan ditambahkannya minimal satu ayat yang mempertegas secara eksplisit bahwa modal negara yang ditanamkan dalam BUMN Persero bukan lagi sebagai asset negara melainkan sebagai asset dari BUMN Persero tersebut, sehingga sudah bersifat privat, dan posisi negara adalah sebagai pemilik lembar saham. Apabila asset BUMN Persero telah ditetapkan sebagai asset BUMN Persero itu sendiri, maka tidak ada alasan bahwa BUMN Persero tidak bisa dipailitkan dengan alasan assetnya merupakan asset negara.
3. Kemungkinan Norma Piercing the Corporate Veil Diterapkan untuk BUMN Persero yang Pailit. Norma Piercing the Corporate Veil pada prinsipnya hendak meniadakan sekat-sekat dalam Perseroan Terbatas. Pengertian Piercing the Corporate Veil secara harafiah adalah “Norma hukum Piercing the corporate veil merupakan norma yang membolehkan pengadilan menembus atau mendobrak sekat-sekat Perseroan, terutama menembus pertanggungjawaban terbatas (limited liability)”, sehingga memberikan pengertian bahwa tanggung jawab pemegang saham yang terbatas sebesar saham yang dimilikinya, menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability).
125
Terdapat sejumlah kondisi umum yang memungkinkan diterapkannya norma Piercing the Corporate Veil, yakni: (i) Penggunaan dana perusahaan secara pribadi; (ii) Ketiadaan formalitas pendirian perusahaan (tidak tuntasnya pendirian perusahaan; tidak melakukan rapat, pemilihan direksi atau komisaris; tidak melakukan penyetoran modal; pencampuradukan urusan Perseroan dengan urusan pribadi); (iii) Terdapat elemen penipuan; (iv) Terjadi transfer modal/ asset kepada pemegang saham; (v) Perseroan hanya sebagai alter ego/ dummy dari pemegang saham; dan (vi) Terjadinya kasus kuasi-kriminal, misalnya perjudian. Oleh karena itu solusi dari antisipasi terjadinya kewajiban perseroan melebihi kekayaannya sendiri dalam hal dipailitkan, maka apabila telah memenuhi persyaratan bagi pengadilan untuk memberlakukan norma Piercing the corporate veil, maka norma tersebut harus bisa diterapkan, dan mengenai hal ini harus ditegaskan secara eksplisit dalam satu ayat maupun pasal dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas.
B.
Saran
1. Saran Teoritis a. Hendaknya pengembangan ilmu hukum bisnis juga diarahkan pada teori-teori yang semakin dapat menjawab berbagai fenomena hukum bisnis yang terus dinamik, seperti norma Piercing the Corporate Veil.
126
b. Hendaknya untuk peneliti selanjutnya mengembangkan subjek Piercing the Corporate Veil, dan studi antara hukum privat dan hukum publik, dengan studi perbandingan antar-negara.
2. Saran Praktis 1. Perlunya judicial review terhadap UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, agar dalam Pasal atau ayat tetentu yang selama ini menjadi mis-interpretasi, tidak ada lagi. 2. Para perancang undang-undang, baik di kalangan eksekutif maupun legislatif, hendaknya mempertimbangkan lebih seksama berbagai silang pendapat, disharmoni pelaksanaan hukum perusahaan, sehingga cepat tanggap untuk segera mengambil langkah yang solutif agar masalah dishamoni perundang-undangan tersebut tidak berlarut-larut dan menimbulkan dampak yang tidak baik bagi dunia hukum perusahaan di Indonesia.
127