BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran gerakan perempuan yang ada di Yogyakarta telah dimulai sejak rejim orde baru berkuasa. Dalam tesis ini didapatkan temuan bahwa perjalanan gerakan perempuan bukanlah perjalanan yang terputus melainkan terus simultan tiap tahunnya. Meskipun simultan, situasi sosial politik ekonomi dan budaya yang berlangsung dalam konteks lokal, Yogyakarta, maupun nasional memiliki pengaruh besar terhadap dinamika gerakan yang berlangsung. Perubahan zaman juga rejim politik dan kebijakan penguasa berdampak signifikan terhadap persoalan perempuan yang bermunculan, hal tersebut juga berpengaruh terhadap dinamika yang berlangsung di dalam gerakan perempuan. Jaringan Perempuan Yogyakarta yang hadir pada tahun 2008 menandai kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski fragmentasi isu tetap terjadi, JPY menjadi satu diantara sedikit aliansi organisasi perempuan yang secara konsisten melakukan advokasi terhadap persoalan perempuan yang terjadi di Yogyakarta. Sebagai jaringan yang terdiri dari puluhan organisasi serta individu tidak menjadikan JPY kosong dari perdebatan. Perjalanan yang tidak stagnan menjadikan JPY sebagai representasi gerakan perempuan yang dinamis.
119
Dalam penelitian ini dinamika tersebut terdiri dari, pertama, dinamika isu yang muncul di JPY. Isu-isu yang dimiliki oleh tiap organisasi yang bergabung di JPY tidak tunggal namun bervariasi. Variasi ini memberikan implikasi yaitu adanya isu yang dominan dan isu yang marjinal. Situasi tersebut disebabkan oleh kepentingan organisasi yang bergabung, dan keaktifan aktor yang menggulirkan isu untuk kemudian ditangkap sebagai isu yang dikerjakan bersama. Dengan ragam organisasi yang memiliki isu yang diantaranya memiliki kemiripan ataupun berbeda sama sekali, menjadikan kepentingan organisasi yang diwujudkan dalam dukungan terhadap sebuah isu yang mengemuka di dalam JPY merupakan faktor yang menjadikan dinamika yang berlangsung di JPY dinamis dan terus bergerak. Aspek kedua adalah persepsi aktor terhadap dinamika gerakan. Dengan dinamika gerakan seperti yang disebutkan pada aspek pertama, persepsi aktor memiliki faktor signifikan dalam menentukan dinamika lain yang berlangsung, yaitu penentuan strategi advokasi dan implementasinya. Tiap aktor baik yang menjadi aktor utama maupun aktor pendukung memiliki persepsi yang berbeda terhadap dinamika yang berlangsung dan JPY itu sendiri. Ragam persepsi yang ditemukan antara lain JPY dianggap sebagai tempat berbagi pengetahuan, tempat untuk mencurahkan uneg-uneg yang berkaitan dengan isu yang dikerjakan di organisasi asal, tempat ‘rekreasi’ di tengah kepenatan kerja, ataupun tempat berbagi risorsis. Ragam persepsi yang dirasakan aktor JPY tersebut yang
120
menjadikan JPY tidak hanya sekadar sebagai gerakan perempuan namun juga menjadi ruang yang akrab atau congenial group bagi perempuan. Ruang ini penting terutama karena aktor yang bergabung adalah para aktivis perempuan, yang membutuhkan ruang-ruang akrab tersebut untuk burn out dari situasi yang dialaminya setiap hari. Aspek kedua adalah nilai yang disepakati secara tidak formal namun terus direproduksi dan diuji dalam praktiknya menjadi ideologi yang melandasi berjalannya Jaringan Perempuan Yogyakarta sebagai gerakan perempuan. Kedua aspek yang menjelaskan tentang dinamika di JPY tersebut menjadikan definisi tentang gerakan perempuan terelaborasi dari berbagai teori dan praktek tentang gerakan perempuan yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Jejaring individu dan organisasi perempuan menjadi analisis yang penting untuk dihadirkan dengan melihat situasi gerakan perempuan hari ini. Dalam konteks implementasi strategi keempat strategi yang dilakukan oleh JPY yaitu critical engagement dengan pemerintah, kampanye publik dan berjejaring dengan jejaring lain untuk menguatkan jaringan merupkan implementasi dari perluasan pemaknaan terhadap perlawanan yang tidak terbatas pada aksi kolektif atau demonstrasi saja, namun menggunakan strategi yang khas dan disesuaikan dengan situasi dan dinamika yang berlangsung di dalam JPY. JPY dengan karakteristiknya yang cair dan fleksibel memungkinkan adanya perdebatan tentang makna perlawanan dan taktik yang akan digunakan dalam gerakan perempuan. Dalam perspektif gerakan
121
sosial baru, kuantitas bukan lagi ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan. Hal ini dimungkinkan karena pendefinisian atas keberhasilan capaian juga dapat didiskusikan bersama. Namun secara khusus, pembesaran jumlah orang-orang yang memiliki kesadaran untuk bergerak bersama menuju sebuah tujuan besar merupakan hal yang dapat menjadi ukuran. Melibatkan lebih banyak orang yang melintas batas kelas, dilakukan oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta melalui proses kampanye publik. Desakan melalui advokasi kebijakan dilakukan oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta bersama dengan kelompok lain seperti anggota legislatif ataupun kelompok penekan dari kelompok masyarakat sipil lainnya untuk mendorong perubahan sosial yang akan secara langsung berimplikasi pada perempuan. Jaringan Perempuan Yogyakarta merupakan organisasi tanpa bentuk yang terdiri dari 22 organisasi perempuan dengan beragam isu dan pendekatan aksi. Pengalaman yang dimiliki oleh Jaringan Perempuan Yogyakarta merupakan praktik khas yang menggabungkan antara gerakan sosial baru dan gerakan perempuan yang tidak dibatasi oleh kesatuan ideologi dan struktur organisasi yang dapat dipahami dalam kerangka feminis postmodern. Karakter dan nilai tersebut menjadikan JPY sebagai gerakan perempuan yang konsisten dan progresif dan mampu menjadi representasi gerakan perempuan di Yogyakarta.
122
5.2. Saran bagi Jaringan Perempuan Yogyakarta Meskipun dinamis namun JPY sebagai gerakan perempuan juga tidak serta merta terlepas dari tantangan. Dalam analisis yang dihasilkan dalam pembahasan, beberapa tantangan yang mungkin akan dihadapi di masa depan diantaranya 1) Adanya dependensi kepada kekuatan voluntary; meski memberikan keuntungan tetapi ketergantungan terhadap kekuatan voluntary ini akan membawa pada kemungkinan surutnya gerakan jika aktor-aktor yang mengambil peran pemimpin meninggalkan jejaring, hal ini akan semakin mungkin terjadi jika tidak ada upaya regenerasi yang dilakukan secara organis oleh gerakan perempuan; 2) proses regenerasi tersebut juga perlu menemukan aktor yang mampu memimpin gerakan sesuai dengan langgam jaringan, dan memastikan bahwa actor tersebut tidak memiliki sikap yang elitis terhadap gerakan; dan 3) gerakan harus mampu melakukan analisis untuk menyusun strategi yang terus menerus diperbarui untuk berkonfrontasi dengan oposisi. Selain itu ketiadaan tujuan yang disepakati bersama dapat menjadi situsi buruk bagi JPY. Hal tersebut juga dapat mengarahkan JPY hanya sebatas sebagai ruang berkumpulnya para aktivis tanpa ada tujuan besar yang disepakati bersama. Meskipun para aktivis yang tergabung di dalamnya memiliki irisan tujuan, dan JPY telah menjadi representasi gerakan perempuan yang konsisten dan progresif di Yogyakarta, namun tanpa adanya tujuan bersama hanya akan menjadikan JPY sebagai kelompok reaksioner yang melakukan respon atas
123
persoalan-persoalan yang mengemuka tanpa kemudian membuat analisis besar terhadap situasi yang sedang dihadapi perempuan. Perdebatan yang muncul sebagai konsekuensi dari perbedaan cara pemaknaan terhadap jaringan untuk menentukan strategi gerakan dirasakan oleh para aktivis perempuan yang bergabung di dalam jaringan. Perdebatan terus dimaknai sebagai diskursus yang alamiah terjadi. Kesamaan visi dan perspektif akan perjuangan untuk kualitas hidup perempuan menjadi hal yang menyatukan perbedaan tersebut. Namun visi ataupun perspektif yang menjadi ideologi atau semangat gerakan, tidak kemudian menegasikan perbedaan. Dinamika yang berlangsung di dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta dapat disimpulkan ke dalam situasi dimana, perbedaan tetap didiskusikan dan tidak dihilangkan ataupun malah dibungkam. Perbedaan tersebut diatasi dengan cara-cara yang disepakati bersama sebagai konsekuensi dari perspektif perempuan ataupun feminis yang dimiliki oleh para aktivis perempuan di Jaringan Perempuan Yogyakarta.
124