BAB V PENUTUP
Berdasarkan seluruh uraian tersebut diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A.
Kesimpulan 1.
Pada dasarnya perkembangan hukum mengenai aborsi di Indonesia
sudah menuju ke arah yang lebih baik, hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang sebetulnya dalam undang-undang tersebut lebih memberikan kepastian hukum pada kasus aborsi, baik itu aborsi yang dilakukan dalam indikasi kedaruratan medis ataupun aborsi yang disebabkan oleh akibat dari tindak pidana perkosaan. Hal utama yang perlu digarisbawahi dan perlu diingat adalah bahwa dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada dasarnya sama sekali tidak memperbolehkan dilakukannya aborsi, secara tegas dan jelas undang-undang tersebut melarang aborsi, adapun aborsi yang diperbolehkan hanyalah pada dua kondisi tertentu yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu hanya pada saat terjadinya indikasi kedaruratan medis serta apabila perempuan tersebut mengandung anak hasil perkosaan. Tujuan dari diperbolehkannya aborsi bagi korban perkosaan sebetulnya sangat mulia dan bijaksana, yaitu untuk menyelamatkan kondisi baik itu dari ibu maupun dari janin yang dikandung, karena korban perkosaan cenderung menderita tekanan secara psikis dan menuju ke arah
90
depresi maka pembuat undang-undang memutuskan untuk memperbolehkan aborsi dilakukan bagi korban tindak pidana perkosaan dikarenakan kondisi psikis dari korban tersebut, karena wanita yang dalam kondisi tertekan seperti itu dikhawatirkan akan sulit untuk membesarkan anaknya nanti dan justru apabila dipaksakan untuk melahirkan ditakutkan anak tersebut akan ditelantarkan dan malah akan menimbulkan masalah baru baik bagi si ibu, anak, maupun keluarga dari ibu dan anak tersebut. Secara yuridis aborsi dibolehkan bagi perempuan yang menjadi korban tindak pidana perkosaan, namun hal pelegalan tersebut juga diiringi oleh sebuah peraturan dan tahapan prosedur yang sangat ketat, sehingga meskipun perempuan tersebut ingin melakukan aborsi karena menjadi korban perkosaan, perempuan tersebut tetap harus mengikuti segala bentuk prosedur yang telah dipersyaratkan seperti harus melakukan konseling dan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Pengaturan mengenai tata cara serta prosedur untuk melakukan sebuah aborsi bagi korban tindak perkosaan sendiri diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan pemerintah tersebut mengatur mengenai tahapan demi tahapan yang harus dilalui bagi korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandung olehnya. Sebelum dilakukannya aborsi terhadap janin milik korban perkosaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi maka kehamilan tersebut haruslah terlebih dahulu dibuktikan apakah betul diakibatkan oleh
91
perkosaan, dimana cara pembuktian tersebut adalah dengan membandingkan antara usia kehamilan dengan tanggal kejadian perkosaan serta berdasarkan kesimpulan dari keterangan penyidik, psikolog serta ahli lain yang turut serta melakukan pemeriksaan terhadap korban. Apabila memang korban sudah disimpulkan sebagai korban perkosaan, maka tahapan berikutnya adalah memasuki tahapan konseling sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dimana pada intinya tahapan konseling haruslah diadakan baik di saat sebelum melakukan aborsi dan sampai dengan di tahap setelah selesai melakukan aborsi. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan, korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandungnya dibatasi dalam jangka waktu 40 hari, pembatasan ini semata untuk meminimalisir resik yang timbul dari tindakan aborsi tersebut. Pada kesimpulannya, sebetulnya baik Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan
Reproduksi
sudah
menerapkan
bentuk-bentuk
persyaratan yang ketat dalam hal untuk melakukan aborsi bagi korban tindak pidana perkosan, dan juga telah diatur tahapan-tahapan yang harus dilalui bagi korban tindak pidana perkosaan tersebut apabila ingin melakukan aborsi terhadap janin yang dikandung olehnya.
92
2.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam hal faktor-faktor yang menjadi
hambatan
yang
dihadapi
oleh
kepolisian
dalam
rangka
mengimplementasikan kewenangannya dapat dibagi menjadi empat faktor penghambat yaitu: a. Tidak kooperatifnya korban tindak pidana perkosaan dalam proses penyidikan sehingga menyulitkan penyidik kepolisian dalam rangka mengembankan dan mengambil tindak lanjut yang berkaitan dengan kasus perkosaan yang dihadai oleh korban. b. Belum terdapatnya suatu tim terpadu yang bertugas untuk melakukan penilaian, pemeriksaan, serta pendampingan bagi korban saat dilakukannya penyidikan. c. Belum adanya upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada warga masyarakat yang berkaitan dengan cara menghadapi kasus perkosaan. Ketiga
faktor
yang
menjadi
penghambar
tersebut
apabila
dikelompokkan maka akan didapatkan penghalang yang berasal dari dalam tubuh kepolisian sendiri sebagai penegak hukum dan hambatan yang terjadi karena koordinasi lintas sektoral belum sepenuhnya berjalan dengan baik, sehingga karena hal tersebut
pada akhirnya membuat implementasi
kewenangan dari kepolisian yang diamanahkan oleh Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjadi sedikit terhambat dalam pelaksanaannya.
93
B.
Saran 1.
Penting untuk dilakukan sebuah sosialisasi secara meluas dalam hal
untuk melakukan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai apa yang menjadi faktor pendorong utama dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang di dalam salah satu pasalnya memperluan pengaturan mengenai aborsi. Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat menjadi paham akan landasan bergerak dari undang-undang tersebut, sehingga kemelut kesalahpahaman yang selama ini terjadi di masyarakat yang menganggap bahwa Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melegalkan pembunuhan terhadap janin yang tidak bersalah yang dalam hal ini terdapat di kasus aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan dapat terurai dan masyarakat dapat menjadi paham mengenai tujuan dari mengapa diperbolehkannya aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan. 2.
Terhadap kendala yang dihadapi oleh penegak hukum, atau yang
dalam hal ini adalah kepolisian, pihak kepolisian harus melakukan suatu upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai cara menghadapi serta menangani kasus perkosaan, harapannya dengan adanya sosialisasi ini maka masyarakat menjadi paham dan apabila melihat atau mengalami perkosaan dapat segera melapor ke kepolisian, sehingga dengan jangka waktu pelaporan yang cepat pihak kepolisian dapat mengumpulkan barang bukti yang berkaitan dengan perkosaan tersebut dengan mudah
94
Selanjutnya, mengenai pembentukan tim terpadu, sudah seharusnya tim terpadu dibentuk dan ditempatkan di setiap provinsi, kabupaten dan kota, hal ini agar mendorong terjadinya proses penilaian serta pemeriksaan secara profesional dalam hal menangani kasus yang berkaitan dengan perkosaan, sehingga dengan adanya tim terpadu tersebut sekat-sekat birokrasi di masing-masing instasi serta lembaga dapat terlebur menjadi satu dan membuat pelayanan pemeriksaan mengenai korban perkosaan menjadi lebih cepat dan tepat.