BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penelitian ini hendak menjawab rumusan masalah tentang bagaimana perlindungan penonton film dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Setelah melakukan interpretasi dan pemaknaan dalam teks undang-undang tersebut serta dari peraturan lain yang berada di bawah undang-undang tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa: 1.
Sebagai sebuah undang-undang, UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dilihat dari ciri-ciri isinya, undang-undang ini berisikan segala peraturan yang mengatur perfilman di Inonesia. Dilihat dari aspek penyusunan undangundang, segala yang melatarbelakangi dibentuknya undang-undang ada di dalam konsideran menimbang dan konsideran mengingat. Salah satu yang melatarbelakangi dibuatnya undang-undang ini adalah perlindungan terhadap perfilman, dimana perlindungan ini yang menjadi isu dalam penelitian.
2.
Muatan isi yang tercantum dalam pasal-pasal, dari keseluruhan 90 pasal yang ada, peraturan yang tertulis selain mengatur tentang pertunjukan dan penayangan film, undang-undang ini juga mengatur semua aktor yang terlibat dalam perfilman. Aktor tersebut yaitu: masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, pengusaha film, insan perfilman, dan menteri.
3.
Ada kategori penggolongan usia penonton film, yang ditujukan untuk melindungi penonton film terutama bagi anak-anak. Penggolongan usia 115
penonton film yang meliputi film: (a) untuk penonton semua umur; (b) untuk penonton usia 13 tahun atau lebih; (c) untuk penonton usia 17 tahun atau lebih; dan untuk penonton usia 21 tahun atau lebih. 4.
Berlakunya sensor bagi film yang akan diedarkan merupakan salah satu bentuk perlindunngan terhadap penonton film. Sensor diberikan agar film yang beredar tidak mengandung hal-hal yang dilarang yaitu: (a) mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adkitif lainnya; (b) menonjolkan pornografi; (c) memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; (d) menistakan, melecehakn, dan/atau menodai nilai-nilai agama; (e) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau (f) merendahkan harkat dan martabat manusia.
5.
Untuk melaksanakan sensor pemerintah membentuk LSF yang bersifat independen. Tugas LSF adalah (1) Melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan (2) Melakukan penelitian dan penilaian judul, tema, gambar, adegan, suara, dan teks tersejmahan suatu film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum.
6.
LSF mempunyai fungsi perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukkan film dan iklan film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia; pemberian kemudahan masyarakat dalam memilih dan menikmati pertunjukan film dan iklan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film; dan
116
memberi informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat agar dapat memilih dan menikmati film yang bermutu. 7.
Penyelenggara
pertunjukan
film
wajib
memberitahukan
ketentuan
penggolongan usia penonton yang ditetapkan oleh lembaga sensor film, dengan cara: mencantumkan secara jelas pada seluruh reklame film, termasuk pada iklan-iklan film di media cetak dan media elektronik; mencantumkan pada pintu masuk dan loket-loket karcis atau tempat lainnya yang mudah dilihat; mempertunjukan bukti lulus sensor yang mencantumkan ketentuan penggolongan usia penonton sebelum film dipertunjukan. 8.
Sebagai masyarakat, penonton film berhak: memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman; memilih dan menikmati film yang bermutu; dan memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film.
9.
Undang-undang ini secara keseluruhan melindungi penonton film dilihat dari banyaknya pasal yang memberi batasan dan larangan terhadap film. Serta adanya pasal tentang sensor film dimana lembaga sensor fiilm sebagai penanggungjawab sensor pada film yang akan beredar. Tetapi secara tidak sadar, banyaknya larangan dan batasan terhadap film sebenarnya tidak akan menghentikan permasalahan bahwa penonton film akan terlindungi dari dampak negatif film. Apalagi dijaman dimana informasi dengan mudah bebas didapat dan diakses. Seperti di dalam sebuah kandang yang di dalamnya ada teleporter. Walaupun kandang tersebut terkunci, orang yang ada di dalamnya secara cepat bisa berada di Rusia, beberapa menit kemudian bisa berada di Afrika, dan dalam hitungan detik bisa kembali ke dalam kandang tersebut. 117
10. Terakhir, undang-undang ini tidak memberikan pendidikan terhadap masyarakat mengenai perfilman. Terlihat dari upaya LSF yang menjadi pemain utama dalam segala urusan dari adanya sensor sampai pada penyangan sebuah film. Perlindungan tidak hanya bisa didapat dengan memberi banyak batasan dan larangan, tetapi justru memberikan pengetahuan dan pendidikan terhadap konsumen merupakan perlindungan terbaik. B. Saran Dari hasil penelitian, ternyata UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman banyak menuai kritik dari berbagai kalangan terutama mengenai sensor film dan LSF. Atas pertimbangan hasil dari penelitian dan beberapa kritikan dari beberapa kelompok masyarakat terhadap UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, saran yang bisa diajukan adalah: 1.
Sensor bukan hanya menjadi tanggungjawab LSF, sensor juga merupakan tanggung jawab pengusaha perfilman, dan masyarakat.
2.
LSF yang lebih transparan dan terpisah dari pemerintah, sehingga tercipta LSF yang benar-benar independen.
3.
Sensor dan kriteria sensor harus disosialisasikan kepada semua masyarkat untuk semua golongan, tentu saja dengan masih mengedepankan pembatasan umur.
4.
Pengusaha pertunjukan dan penayangan film lebih tegas dalam seleksi penonton, hal ini untuk mengantisipasi penonton yang belum cukup umur menonton film dewasa.
118
5.
Pemberian pendidikan mengenai film, dan hal-hal yang dilarang dimuat di dalam isi sebuah film kepada masyarakat khususnya pada anak-anak. Hal ini dilakukan agar mereka bisa membatasi diri sendiri dari film-film yang tidak sesuai dengan ideologi dan budaya bangsa.
6.
Pemberian perlindungan hukum kepada masyarakat, sehingga saat dia merasa dirugikan atas film yang sudah mereka tonton dan bilamana pihak penayang film tidak memberikan fasilitas yang memadai, maka mereka bisa melakukan upaya hukum.
7.
Pengoptimalan Badan Perfilman Indonesia, sebagai tempat dialog masyarakat untuk menuntaskan masalah perfilman, serta pengoptimalan untuk pengaduan permasalahan terhadap perfilman.
8.
Setelah membaca hasil penelitian, diharapkan penonton film lebih kritis terhadap semua pelanggaran yang dilakukan baik itu yang dilakukan oleh pengusaha dan insan perfilman, serta pengusaha pertunjukan film agar perfilman Indonesia ke depan lebih baik dan lebih bermutu.
9.
Perbaikan pasal-pasal yang belum sesuai, yaitu: Pasal 45 menganai hak masyarakat, yang tadinya hanya ada lima hak, ditambah menjadi tiga yaitu: memperoleh pendidikan film, memperoleh perlindungan hukum, memperoleh ganti rugi. Pasal 61 mengenai sensor film, perbaikan pada ayat (3) yang tadinya berbunyi: “Lembaga sesnsor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang bermutu”, dirubah menjadi: Lembaga sensor film 119
mensosialisasikan secara intensif pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film dan kepada masyarakat demi mutu dan kualitas film. Pasal 69 yang menjelaskan tugas badan perfilman, yang tadinya hanya berisi delapan tugas, ditambah menjadi: menampung keluhan dari penonton film atas film yang ditonton; dan memfasilitasi dialog yang berkenaan dengan masalah perfilman yang terbuka bagi masyarakat.
120