BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan yang tinggi dan mungkin dicapai pada suatu saat yang sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152 menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya. Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena incidence ratenya yang terus meningkat dan penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data di atas, Pemerintah Indonesia terus berusaha memperbaiki program pemberantasan DBD. Program tersebut bertujuan untuk mengurangi penyebarluasan wilayah yang terjangkit DBD, mengurangi jumlah penderita DBD, dan menurunkan angka kematian akibat DBD. Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada upaya preventif, yaitu melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di daerah endemis DBD. Selain itu digalakkan juga kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media. Pada kenyataannya, tidak mudah memberantas DBD karena terdapat berbagai hambatan
Universitas Sumatera Utara
dalam pelaksanaanya. Akibatnya strategi pemberantasan DBD tidak terlaksana dengan baik sehingga setiap tahunnya Indonesia terus dibayangi kejadian luar biasa (KLB) DBD (Sungkar, 2007). Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila (Philipina) pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Menurut Perkiraan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention), Amerika Serikat bahwa setiap tahun di seluruh dunia terjadi 50 juta – 100 juta kasus DBD (BPPN, 2006). Sementara itu di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 kemudian menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun 1998 dengan Incidence Rate (IR) sebesar 35,19/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2% (BPPN, 2006). Pada tahun 2006 Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus dengue terbanyak di Asia Tenggara yaitu sebanyak 106.425 pasien (57%) dengan 1132 kematian, atau 70% dari jumlah seluruh yang meninggal di Asia Tenggara. Tahun 2007 dilaporkan terjadi 140.000 kasus DBD dengan angka kematian 1380 (CFR 0,98 %).Tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (IR = 59,02/100.000) dengan angka kematian 1187 (CFR 0,86%). Tahun 2009 terdapat 154.855 kasus dengan angka kematian 1.38 (CFR 0,89%). Tahun 2010 terdapat 156.086 kasus (IR = 65,70/100.000) dengan angka kematian 1.358 (CFR 0,87%). Tahun 2011 kasus DBD menurun cukup jauh yaitu menjadi 49.868 kasus (IR = 21/100.000) dan CFR 0,80% (Ditjen PP & PL,2010).
Universitas Sumatera Utara
Dari Januari sampai dengan November 2011 ada 5 provinsi dengan IR tertinggi yaitu Bali 81,08/100.000 penduduk, DKI Jakarta 72,24/100.000 penduduk, Kepri 49,70/100.000 penduduk, Sulawesi Tengah 47,37/100.000 penduduk, NAD 45,81/100.000 penduduk (Ditjen PP & PL, 2011). Angka kesakitan DBD di Sumut tahun 2006 yaitu IR 17,58/100.000 penduduk (2.091 kasus). Pada tahun 2007 jumlah kasus 4.195 dan tahun 2008 sebanyak 4.454 kasus. Sedangkan untuk tahun 2010 jumlah kasus DBD di Sumut telah mencapai angka 8.889 dengan korban meninggal sebanyak
87 jiwa (IR = 39,6/100.000
penduduk). Tahun 2011 jumlah kasus DBD adalah 4.535 dengan korban meninggal sebanyak 56 jiwa (IR = 10,26/100.000 penduduk) (Supriady, 2012). Penemuan kasus dan angka kesakitan DBD untuk kota Tebing Tinggi mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2007 sebanyak 394 kasus dengan angka kesakitan 285,59/100.000 penduduk, tahun 2008 sebanyak 176 kasus dengan angka kesakitan 126,25/100.000 penduduk, tahun 2009 sebanyak 230 kasus dengan angka kesakitan 163,05/100.000 penduduk, tahun 2010 sebanyak 381 kasus dengan angka kesakitan 262,00/100.000 penduduk, tahun 2011 sebanyak 176 kasus dengan angka kesakitan 121,00/100.000 penduduk (Dinkes Tebing Tinggi, 2011). Jumlah kasus DBD di kota Tebing Tinggi masih cukup tinggi mengingat indikator angka kesakitan DBD adalah 2/100.000 penduduk dan belum berhasil dicegah meskipun seluruh kasus yang ditemukan mendapat penanganan serius dari Dinkes dan jajarannya. Kasus tersebut telah ditangani 100% namun sangat perlu peningkatan upaya pencegahan yang lebih optimal. Kota Tebing Tinggi merupakan
Universitas Sumatera Utara
daerah endemis DBD yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganannya karena dapat menimbulkan kematian pada penderita, dan upaya pencegahan dan penanggulangannya lebih diefektifkan dengan melibatkan semua aspek masyarakat (Dinkes Tebing Tinggi, 2010). Untuk saat ini, perkembangan penggunaan teknologi pengendalian DBD secara nasional, seperti pengembangan vaksin DBD, sedang dilakukan tahap uji coba ke tengah masyarakat.Pada 2011, telah dilaksanakan di 3 wilayah yakni DKI Jakarta, Bandung dan Denpasar (Fase 3). Disamping itu juga, beberapa penelitian tentang obat (herbal) untuk mempercepat kenaikan trombosit dan melakukan kajian distribusi serotype virus dengue dilakukan di beberapa daerah endemis di seluruh Indonesia (Ditjen PP & PL, 2011). Sistem Kewaspadaan Dini telah dilakukan di Malaysia dan terbukti efektif dalam menurunkan angka kejadian DBD. Pemerintah Indonesia perlu membentuk sistem tersebut untuk memberikan peringatan dini bagi masyarakat setiap tahunnya sebelum terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD sehingga masyarakat dapat mengantisipasinya. Sistem ini dapat memanfaatkan media elektronik sebagai sarana sosialisasi. Isi
sosialisasi mencakup gejala khas DBD yaitu demam tinggi,
perdarahan terutama di kulit, serta apa yang harus dilakukan terhadap penderita DBD. Sosialisasi juga perlu mencakup upaya pemberantasan DBD yang efektif dan efisien seperti PSN dan upaya perlindungan diri seperti pemasangan kelambu pada saat anak tidur siang, kawat kasa pada lubang ventilasi udara dan memakai penolak nyamuk (Sungkar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura, penelitian mengenai pengendalian vektor DBD di Indonesia masih tertinggal karena keterbatasan dana. Peningkatan anggaran untuk menunjang penelitian terhadap virus dengue
maupun
nyamuk
Aedes
Aegypti
dapat
mendorong
keberhasilan
pemberantasan DBD (Sungkar, 2007). Pemberantasan DBD tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun perlu dilakukan terus menerus sehingga kemungkinan terjadinya KLB atau peningkatan jumlah penderita DBD dapat dihindari. Kerjasama seluruh lapisan masyarakat mendorong keberhasilan pemberantasan DBD (Sungkar, 2007). Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Kota Tebing Tinggi menyatakan saat ini ada beberapa kebijakan pemberantasan DBD yang telah dilakukan diantaranya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu 3M Plus, Pemeriksaan Jentik Berkala 1 bulan sekali, Survailens pada setiap kasus DBD, adanya Laporan KD-RS (Kewaspadaan Dini Rumah Sakit). Kebijakan pemberantasan DBD di Kota Tebing Tinggi berasal dari kebijakan pusat, khusus tentang jumantik telah diatur Perda No.44.04/722/SK/V/2011. Dari data yang telah diperoleh peneliti tentang angka kejadian DBD 5 tahun terakhir mengalami fluktuasi yaitu tahun 2007 sebanyak 394 kasus, tahun 2008 sebanyak 176 kasus dengan angka kematian sebanyak 3 kasus, tahun 2009 sebanyak 230 kasus dengan angka kematian sebanyak 1 kasus, tahun 2010 sebanyak 381 kasus dengan angka kematian sebanyak 3 kasus, tahun 2011 sebanyak 176 kasus dengan
Universitas Sumatera Utara
angka kematian sebanyak 2 kasus, hal tersebut menggambarkan masih tingginya insidens DBD di Kota Tebing Tinggi. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh implementasi kebijakan DBD terhadap kejadian DBD di Kota Tebing Tinggi.
1.2 Permasalahan Dari latar belakang penelitian maka yang menjadi permasalahan adalah sudah adanya kebijakan DBD di kelurahan Bandar Sakti kota Tebing Tinggi namun kasus DBD masih tinggi.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh implementasi kebijakan meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi terhadap kejadian DBD di kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi.
1.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan pemberantasan DBD di kota Tebing Tinggi.
1.5 Manfaat Penelitian a. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi dalam menyusun kebijakan mengenai pemberantasan DBD.
Universitas Sumatera Utara
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar lebih mengetahui dengan jelas faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kejadian DBD sehingga diharapkan dapat berperan aktif dalam pencegahan DBD. c. Memberi kontribusi dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. d. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai kebijakan pemberantasan DBD
Universitas Sumatera Utara