BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sejarah perkembangan sastra Indonesia modern menunjukkan bahwa sebagai sastra nasional/lokal sastra Indonesia berinteraksi secara terus-menerus dengan sastra dunia (global). Pada kemunculan sastra Indonesia modern, seperti dinyatakan oleh Ajip Rosidi (1986: 8), pengaruh Eropa tidak hanya tampak dalam prosa melainkan juga dalam puisi. Pada sekitar tahun 1920, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Muhammad Hatta, dan Roestam Effendi banyak menulis soneta, bentuk puisi yang berasal dari Italia dan digemari di Inggris dan Belanda. Tidak sebatas bentuknya, pengaruh paham kesastraan Barat juga terlihat dalam sejumlah puisi Indonesia Modern. Romantisisme dalam puisi-puisi Pujangga Baru tidak bisa lepas dari pengaruh kelompak sastrawan Belanda tahun 1880-an. Ekspresionisme dalam puisi-puisi Angkatan 45, surealisme dan sufisme dalam puisi-puisi awal Orde Baru menunjukkan pengaruh paham kesastraan global dalam puisi-puisi Indonesia. Pada era ini, dimulai dari tahun 1990-an, dimana terdapat perubahan besar dari modernisme ke posmodernisme, arus realisme magis sebagai paham kesastraan global mulai masuk dan memperlihatkan pengaruhnya pada sejumlah karya sastra Indonesia. Kemunculan realisme magis yang dimulai dari sastra Amerika Latin dipandang sebagai respon terhadap modernitas Barat dengan memberi alternatif baru dalam memandang realitas. Seno Gumira Ajidarma
1
dengan cerpen dan novelnya menunjukkan pengaruh tersebut dalam prosa Indonesia. Sementara itu, dengan karakter berbeda yang dimiliki puisi, arus realisme magis menjadi lebih sulit ditemukan. Namun demikian, salah satu indikasi karya realisme magis yakni menghadirkan kembali segala citra dan pengertian yang bersifat magis, mistis, ataupun “irrasional” yang bersumber dari karya-karya mitologis, dongeng, legenda yang hidup secara tradisional dalam masyarakat-masyarakat etnik di Indonesia dalam karya sastra mutakhir dapat menjadi strategi melihat kecenderungan baru tersebut. Kecenderungan menghadirkan kembali mitos, dongeng, dan legenda sebagai yang magis dan tradisional ke tengah dunia modern ditemukan dalam sejumlah puisi Indonesia, salah satunya puisi Badruddin Emce dalam kumpulan Diksi Para Pendendam. Badruddin Emce menghadirkan kembali mitos dan legenda yang hidup di Cilacap dalam kultur Banyumasan ke dalam puisi-puisi yang ditulisnya pada tahun 1990-2000-an. Dibandingkan dengan sejumlah penyair Banyumasan lain yang menerbitkan kumpulan puisi sepanjang tahun 1990— 2000-an seperti Bambang Set (Kata di Padang Tanya, 1997), Eko Tunas (Basabasuki, 1999 dan Ponsel di Atas Sprei, 2013), Faisal Kamandobat (Alangkah Tolol Patung Ini, 2007), Triyanto Triwikromo (Pertempuran Rahasia, 2010), Teguh Trianton (Ulang Tahun Hujan, 2012), dan Alfiyan Harfi (Untuk Yang Mati dan Yang Tak Bisa Mati, 2013), Badruddin Emce menunjukkan pertemuan paling intens dengan yang magis dan tradisional itu. Oleh karena itu, puisi Badruddin Emce menjadi penting bagi penelitian ini.
2
Di antara sejumlah puisi Badruddin Emce yang menghadirkan simbolsimbol magis dan tradisional itu, penulis memilih puisi berjudul Gendhing Pulebahasan sebagai objek material penelitian ini. Selain ditulis pada tahun 2010 dimana kecenderungan realisme magis mulai masuk di Indonesia, puisi tersebut juga menghadirkan tokoh legenda penting di Cilacap, yakni Pulebahas bersama Kamandaka dan Ciptarasa, sebagai simbol mitologis atau legendaris yang hidup dan dapat ditelusuri dalam teks tradisional di daerah tersebut. Teks tradisional yang memuat kisah Pulebahas bersama Kamandaka dan Ciptarasa berupa serat yang berjudul Babad Pasir dan Babad Noesa Tembini. Menurut penelitian Sugeng Priyadi (2002: 29), naskah Babad Pasir pernah dipublikasikan oleh J. Knebel dalam VBG deel LI dengan judul Babad Pasir, Volgens een Banjoemaasch Handschrift, met vertalingen (1900). Babad ini terdiri atas 39 pupuh, dengan perincian Pupuh I-XXX berisi kisah Raden Kamandaka dan Pupuh XXXI-XXXIX berisi keturunan Raden Kamandaka hingga Kabupaten Purwokerto berdiri. Ketika penelitian itu dilakukan, ditemukan naskah serupa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931, 1961, dan 1985. Sementara itu, teks pertama dan kedua dari Babad Noesa Tembini merupakan teks Babad Pasir versi lisan yang tidak jauh berbeda dengan versi tembang (Priyadi, 2002: 47). Penelitian ini akan menggunakan acuan teks Babad Pasir yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1961 dengan judul Raden Kamandaka: Roman Sedjarah Muwi Sekar berdasarkan keperluan dari puisi yang diteliti, mengingat teks ini memuat ketiga tokoh mitis yang disebutkan dalam puisi, juga berdasarkan keterjangkauan naskah, mengingat naskah ini beredar di kalangan umum. Teks ini
3
juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hardjana HP dalam Raden Kamandaka, 1979. Untuk menelusuri karakteristik dan kadar karya realisme magis dari puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce itu akan digunakan konsep karakteristik karya realisme magis yang dikemukakan oleh Wendy B. Faris. Konsep tersebut terdiri dari the irreducible element, the phenomenal world, the unsettling doubts, merging realms, dan disruption of time, space, and identity. Segala elemen yang magis dan riil akan dipahami sebagai tanda-tanda yang dinarasikan kembali dalam kerangka lima karakteristik tersebut sehingga membentuk sebuah karya dengan ciri-ciri yang kurang atau lebih dari apa yang disebut realisme magis.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, masalah-masalah penelitian ini akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. a.) Bagaimana yang magis dan yang riil itu dinarasikan dalam puisi Gendhing Pulebahasan berdasarkan elemen-elemen karakteristik karya realisme magis? b.) Bagaimana hubungan antarelemen itu dan kadar realisme magis puisi Gendhing Pulebahasan? 2.
Bagaimana konteks wacana puisi Gendhing Pulebahasan dibandingkan dengan konteks sosial dan budaya di daerah asalnya?
4
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud mencapai dua tujuan pokoknya, yakni: 1. Tujuan teoretis Tujuan teoretis yang ingin dicapai adalah memanfaatkan konsep karakteristik realisme magis Wendy B. Faris untuk mengetahui keberadaan dan mengukur kadar realisme magis dalam puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce. Konsep karakteristik realisme magis Wendy B. Faris sebenarnya banyak digunakan untuk menganalisis prosa. Melalui penelitian ini, penulis berharap memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru secara langsung tentang penggunaan konsep tersebut dalam menganalisis puisi.
2. Tujuan praktis Tujuan praktis yang ingin dicapai adalah membantu pembaca sastra untuk memperoleh pengetahuan mengenai: (1) Kadar realisme magis dalam puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce (2) Konteks wacana puisi Gendhing Pulebahasan dibandingkan dengan konteks sosial dan budaya di daerah asalnya.
1.4. Tinjauan Pustaka Pada saat penelitian ini dilakukan, tidak ditemukan sebuah kajian ilmiah serius tentang puisi Badruddin Emce yang berupa skripsi, tesis, maupun disertasi. Sejumlah tulisan yang dipublikasikan baik sebagai pengantar antologi ataupun esai di media massa dijadikan tinjauan pustaka penelitian ini.
5
Pada antologi puisi Badruddin Emce yang pertama, Binatang Suci Teluk Penyu, terdapat dua ulasan dari Triyanto Triwikromo dan Faisal Kamandobat. Dalam ulasannya yang berjudul Surat Pendek untuk Kamandobat tentang Cara Bergaul dengan Puisi Badruddin Emce (2006), Triwikromo memasuki sebuah teks sebagai sebuah piknik kata sebagaimana dikutipnya dari Tzvetan Todorov. Dalam sebuah piknik kata tersebut, ada beberapa hal yang ditemui atau ditemukan oleh Triwikromo dalam puisi-puisi Badruddin Emce: (1) puisi bagi Badruddin Emce adalah jalan lingkar bukan jalan lurus yang mudah dilewati, (2) puisi Badruddin Emce digubah dengan memperhitungkan kelokalan dan pemujaan terhadap bahasa ibu sehingga mengasingkan diri dari teks sastra mainstream, dengan kata lain melakukan defamiliarisasi, (3) puisi bagi Badruddin Emce adalah keberanian bermain sistem tanda, (4) metode yang tepat untuk membaca puisi Badruddin Emce adalah metode jalan lingkar, metode nonsens yang salah satunya dapat ditemukan dalam puisi Pulebahas, dan metode “lethe” (lupa) akan hakikat puisi itu sendiri, (5) arsitektur puisi Badruddin Emce tampil sebagai bangunan posmoderen yang mendekonstruksi konvensionalitas, dan (6) hampir semua sajak Badruddin Emce merupakan pewartaan “kehilangan sang aku lirik terhadap relasi timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan” serta “kehilangan sang aku lirik terhadap fatwa-fatwa indah masa lalu”. Faisal Kamandobat dalam tulisannya yang berjudul Dua Gaya dan Variannya: Surat Balasan buat Triyanto Triwikromo tentang Puisi-Puisi Badruddin Emce (2007) mengkritik tiga metode pembacaan yang digunakan Triwikromo: pertama, metode jalan lingkar hanya berlaku pada pembacaan pra-
6
reflektif dimana pembaca hanya terlibat secara alamiah saja dan tidak bergeser secara ilmiah, kedua, dalam metode “nonsens” asumsi tentang puisi yang otonom perlu ditempatkan pada posisinya sebagai simpul yang menghubungkan berbagai situs humaniora, dan ketiga, metode lethe mensyaratkan adanya asumsi penyair begitu larut dalam proses penciptaan sebab jika tidak dua metode sebelumnya bertentangan dengan metode yang terakhir. Dengan kritik terhadap metode-metode yang digunakan oleh Triwikromo itu, Kamandobat memasuki puisi-puisi Badruddin Emce. Beberapa pendapatnya mengenai puisi Badruddin Emce yakni: (1) suasana purba ditemukan ketika membaca puisi-puisi Badruddin Emce dimana jika dibaca dari beberapa judul puisinya dimaksudkan untuk memaknai “situs” budaya beberapa tempat di daerahnya, (2) beberapa situs dalam puisi Badruddin Emce itu dipahami berdasarkan alam pikiran masyarakat yang memilikinya, yakni orang dalam kebudayaan Jawa Banyumasan, (3) tetapi tidak sebatas itu saja, dengan metode naratif-interpretatif Badruddin Emce juga berusaha menyumbangkan pikiran pribadinya dengan berbagai macam pola, antara lain dengan membenturkan satu nilai dengan nilai lain, mengambil perspektif berbeda dari pandangan kolektif, dan dengan membaca “dunia lokal” melalui cara pandang di luar lokalitas itu, (4) hampir pada setiap puisi Badruddin Emce terdapat kosa kata dari bahasa Jawa Banyumasan lengkap dengan dialeknya, (5) kesulitan mempertemukan dua dunia dari dua bahasa tertangkap dalam puisi-puisi Badruddin Emce yang patah-patah, tetapi ia menahan diri untuk tidak dikuasai oleh kedua bahasa itu sehingga dengan cara itulah ia berusaha mencipta jarak dengan dunia yang hendak dipuisikan agar
7
tidak jatuh ke dalam konvensi normativitas, dan (6) personalitas Badruddin Emce kerap berdampak pada kerancuan semantik dan metafor ketika ia mencoba menembus dan membenturkan dua dunia dari dua bahasa itu, tetapi juga amat kuat merefleksikan kosmos yang retak lewat fragmen-fragmen dan loncatanloncatan diksinya. Berbeda dengan dua pembahas di atas, Ahmad Munjid dalam pengantarnya untuk antologi Badruddin Emce, Diksi Para Pendendam, yang berjudul Menyingkap Ruang-ruang Kemungkinan (Mengantar Puisi-puisi Badruddin Emce) (2011) membaca puisi-puisi Badruddin Emce dengan cara yang ditawarkan Umberto Eco dimana ia berikhtiar mempertemukan tiga dunia, yakni dunia penulis, dunia teks, dan dunia pembaca. Namun ia juga bersepakat dengan Barthes bahwa pengarang sudah mati sehingga Badruddin Emce dalam konteks ini sederajat sebagai pembaca. Dengan begitu Munjid mengungkapkan beberapa pendapatnya mengenai puisi Badruddin Emce, yakni (1) sebagai pembaca ia terganggu dengan diksi dan gaya ungkapan Badruddin Emce yang tidak biasa seperti “ngikut”, “nerjang”, “mutar”, “nggenangi”, “nggores”, dan sejenisnya, (2) sebagai pembaca ia memasuki puisi Badruddin Emce melalui puisi Tumpah yang dari sana ia menafsirkan bahwa Badruddin Emce menulis puisi dengan “menimba” dan “menuangkan air”, mengambil dan memberi makna, menawarkan pada siapa bukan jawaban melainkan pertanyaan-pertanyaan, dan (3) kualitas makna yang menghidupi seseorang itu sebagaimana air tergantung pada banyak hal di lingkungannya, (4) sehingga kegelisahan Badruddin Emce seperti terungkap dalam puisi-puisinya adalah bagaimana menjaga air, merawat kata-kata, merawat
8
makna yang semestinya menjadi sumber utama kehidupan, agar tidak sampai tumpah, terbuang sia-sia, dan menetes bagai darah, dan (5) tema yang berulang kali diusung Badruddin dalam puisi-puisinya adalah proyek modernisasi dimana ia menolak bukan modernisasi pada dirinya sendiri tetapi watak eksploitatif di balik pandangan dunianya. Jika ketiga pembahas dengan sejumlah konsep teoritik berfokus melihat puisi Badruddin Emce itu sendiri, Raudal Tanjung Banua dalam esainya yang dimuat di Bali Post (2012) berjudul Suara dari Dua Kota Pelabuhan (Puisi Badruddin Emce dan Mardi Luhung) melihat puisi Badruddin Emce dengan membandingkannya dengan puisi Mardi Luhung. Kategori yang digunakan untuk membandingkan kedua puisi adalah kesamaan latar penyair yang berasal dari dan tinggal di kota pelabuhan. Namun dua kota pelabuhan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda yang kemudian juga terlihat dalam puisi dan sikap kedua penyair. Berdasarkan ukuran tersebut, Banua menyimpulkan bahwa: (1) Puisi Mardi Luhung yang berasal dari pelabuhan utara yang terbuka berbicara secara terbuka dan langsung apa adanya, sedangkan puisi Badruddin Emce yang berasal dari pelabuhan selatan yang lebih tertutup memiliki ungkapanungkapannya terasa lebih “ke dalam”. Diksi Badruddin dipenuhi kata dasar tanpa imbuhan atau, jika ada imbuhan lebih berupa konsonan “ng” dan sejenisnya yang membuat nuansanya menjadi “pedalaman”, (2) dalam persoalan sikap penyair pun ada perbedaan, terutama dari sisi publisitas karya, Mardi Luhung sangat produktif mempublikasikan karyanya di koran Minggu seolah cerminan Gresik sehingga sejumlah puisinya kehilangan daya gugah, kurang pendalaman, dan terjadi
9
pengulangan tema maupun cara ungkap. Sebaliknya Badruddin Emce terkesan alon-alon kelakon selayaknya pelabuhan Cilacap sehingga ruang jeda atau kontemplasi masih tersisa, (3) persamaan pertama dari kedua penyair adalah sama-sama gemar memungut hal “remeh-temeh” untuk dirangkai jadi puisi, kemudian didedikasikan kepada nama-nama yang sangat personal dan kurang signifikan sehingga secara referensial sulit dilacak urgensinya dan gagal berbicara banyak, (4) persamaan kedua adalah spirit untuk menghayati dan menggali budaya pesisir, sehingga perbedaan-perbedaan ekspresi mereka justru berkorelasi dengan obsesi dan visi mereka dalam memaknai realitas (budaya) dua kota pelabuhan yang berbeda karakteristiknya. Dari ulasan-ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keempat pengulas sama-sama menemukan keunikan dari puisi Badruddin Emce terutama dari ekspresi bahasa yang digunakan. Keunikan itu menawarkan suatu defamiliarisasi dalam pendapat Triwikromo, sebagai ikhtiar mempertemukan dunia-dunia dalam dua bahasa dalam pendapat Kamandobat, atau justru menjadikannya diksi yang mengganggu pembaca menurut Munjid sekalipun ia juga berpendapat bahwa penyair selalu berangkat dari lingkungannya, dan merupakan cerminan puisi pedalaman untuk menggali budayanya menurut Banua. Selain itu keempat pengulas juga menemukan bahwa lokalitas budaya Banyumasan atau Cilacap menjadi tema penting yang intens digali dan dituliskan oleh Badruddin Emce dengan segala fungsinya, misalnya memberikan pandangan pribadinya yang berbeda dengan perspektif kolektif seperti dikatakan Kamandobat, atau bahkan menolak karakteristik eksploitatif dari modernism seperti disampaikan Munjid.
10
Secara garis besar, pendapat-pendapat tersebut menunjang penelitian ini. Namun demikian, penelitian ini berfokus pada usaha yang belum dilakuan, yakni mengaitkan puisi Badruddin Emce dengan narasi global dari realisme magis.
1.5. Landasan Teori Untuk mengetahui apakah sebuah karya dapat dikatakan sebagai realisme magis atau bukan, perlu ditelusuri karakteristiknya. Perangkat teoritik yang digunakan untuk menelusuri karakteristik tersebut terdapat dalam buku Wendy B. Faris, Ordinary Enchantments: Magical Realism and The Remystification of Narrative. Menurut Faris karya realisme magis memiliki lima karakteristik yang terkandung di dalamnya, yakni the irreducible elements, the phenomenal world, merging realms, the unsettling doubts, dan disruptions of time, space and identity. Karakteriktik pertama, yakni the irreducible elements, memuat tokoh dan peristiwa magis. Elemen yang tak tereduksi (the irreducible element) adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan menurut hukum alam sebagaimana diformulasikan dalam wacana empiris Barat, yakni berdasarkan logika, pengetahuan umum, atau kepercayaan yang ada, sebagaimana dideskripsikan oleh David Young dan Keith Hollaman (2004: 7). Oleh karenanya, pembaca kesulitan menyusun bukti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status peristiwaperistiwa dan tokoh-tokoh dalam sebuah karya. Sesuatu yang tidak dapat dijelaskan tersebut disampaikan dengan cara yang biasa sehingga terasa menjadi sesuatu yang seperti (juga) nyata. Di sisi lain, yang magis tetap terlihat walaupun digiring melalui narasi sebagai sesuatu yang
11
seolah-olah biasa, dengan cara penggambaran yang jelas, mendetail, dan konkret. Penggambaran yang demikian tampak seperti butiran pasir di dalam kerang realisme (2004: 9-10). Faris mengatakan bahwa the irreducible element yang digunakan dalam karya realisme magis biasanya menggarisbawahi isu-isu tertentu. Isu tersebut dapat ditelusuri dalam konteks yang terjadi di luar karya sastra. Dalam menggarisbawahi isu sentral, sering kali mengganggu logika sebab-akibat (2004: 10). Karakteristik kedua dalam realisme magis adalah sisi realismenya yang oleh Faris disebut sebagai the phenomenal world. Deskripsi-deskripsi realistic menciptakan sebuah dunia fiksional yang menyerupai dunia yang kita tinggali, sering dengan penggunaan detail yang panjang-lebar (2004: 14). Dunia fenomenal ini adalah bagian yang riil dari realisme magis yang mencegah fiksi tersebut menjadi bentuk fiksi fantasi yang melambung meninggalkan alam riil secara total. Hal inilah yang membedakan realisme magis dari karya-karya sastra prosa dalam bentuk fantasi dan alegori yang lain. Kehadiran dunia fenomenal adalah demi menjaga agar rasa yang magis tumbuh dari dalam yang riil, bukan sebagai sesuatu yang betul-betul fantastis seperti halnya yang terjadi dalam karya-karya fiksi fantastis dan alegoris yang mengalihkan dunia pembaca dari tataran dunia riil menuju dunia yang dipenuhi dengan fantasi semata. Dunia fenomenal yang menjadi latar bagi unsur-unsur magis tersebut terbagi ke dalam dua jenis, yaitu: (1) kenyataan (yang riil) di dalam teks dan (2)
12
kenyataan yang berlandaskan pada sejarah. Bila mengacu pada referensi, kenyataan (sejarah) menjadi unik, kadang menawarkan kenyataan alternatif. Karakteristik ketiga dari karya realisme magis yang disebut oleh Faris adalah the unsettling doubts. Keraguan yang menggoyahkan (the unsettling doubts) merupakan keadaan dimana pembaca merasa ragu-ragu di antara dua pemahaman kontradiktif atas peristiwa-peristiwa sebelum mengkategorikannya sebagai elemen yang tak tereduksi (the irreducible element). Kesulitan ini dikarenakan adanya banyak variasi. Keragu-raguan juga dapat mengaburkan the irreducible element yang konsekuensinya tidak selalu mudah dilihat sebagaimana demikian. Keraguan yang dialami oleh pembaca Barat kontemporer seringkali berada di antara memahami peristiwa itu sebagai mimpi atau halusinasi tokoh, kalau tidak memahaminya sebagai sebuah keajaiban. Adegan-adegan dalam realisme magis mungkin tampak seperti mimpi tetapi mereka bukanlah mimpi, dan teks dapat secara bersamaan mengkooptasinya dengan mengkategorikannya sebagai mimpi sekaligus melarang kooptasi tersebut (Faris, 2004: 17-18). Ada tiga variasi keraguan (hesitation) berdasarkan paparan Faris, yakni keraguan yang dipicu oleh teks (ontologis), keraguan yang dipicu oleh properti objek, dan keraguan yang disebabkan oleh latar budaya si pembaca itu sendiri. Karakteristik karya realisme magis selanjutnya adalah merging realms. Dalam karakteristik ini, pembaca dapat merasakan kedekatan dan nyaris bersatunya dua dunia. Dari sudut pandang sejarah kultural, merging realms dalam realisme magis sering menyatukan dunia tradisional dan modern. Secara ontologi, merging realms dalam realisme magis menyatukan dunia magis dan material.
13
Secara umum, dilihat dari pemaduan kata realisme dan magis dalam genre ini, maka teknik naratif ini dapat dilihat sebagai teknik yang mempertemukan sisi dunia yang berlawanan, yaitu menggabungkan elemen kenyataan dan fantastis. Dalam proses penyatuan kedua dunia tersebut, realisme magis terlihat berada pada ruang antara (a space of the in-between) atau ruang ketidakpastian (a space of uncertainty). Dua dunia yang diperluas dan bukan lagi merupakan masalah mana yang riil maupun imajiner namun lebih kepada sisi lain dari realitas yang tampak. Dalam proses penyatuan atau pemindahan antardunia tersebut, realisme magis memburamkan batas antara yang fakta dan fiksi dengan cara menghilangkan mediasi antara kenyataan yang berbeda. Karakteristik kelima karya realisme magis menurut Faris adalah disruptions of time, space, and identity atau gangguan terhadap waktu, ruang, dan identitas. Pada bagian ini, Faris membuka argumennya dengan mengutip Frederic Jameson. Sebagaimana Frederic Jameson mencetuskan proyek realisme, satu hal yang diperoleh ialah “kemunculan ruang yang baru dan waktu yang baru” karena homogenitas spasial realisme menghapuskan bentuk-bentuk lama ruang sakral. Begitu juga ukuran jam yang baru dan rutinitas yang baru mengganti “bentukbentuk lama dari ritual, sakral atau perputaran waktu” (Faris, 2004: 24). Jika hitungan-hitungan temporal modern menjadi sasaran bagi realisme magis untuk menghadirkan kembali bentuk-bentuk hitungan temporal yang magis yang dibuang oleh paham modern, maka bentuk-bentuk spasial yang juga diasingkan oleh konsep tata ruang modern juga kembali dihadirkan melalui teknik naratif ini. Dalam realisme magis, batas-batas spasial magis yang semestinya
14
terpisah dari spasial riil, mengalami kebocoran ke seluruh bagian teks dan sebaliknya. Dalam penggambaran tentang identitas individu, sifat multivokal naratif dan hibriditas kultural merasuk ke dalam identitas karakter-karakter. Sifat-sifat ini bahkan dapat mewujud ke dalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang dipahami dalam dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam diri seseorang dan membedakan dirinya dengan entitas lainnya, mengalami gangguan sehingga tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang individu. Dengan demikian ciri akhir ini merusak tatanan yang dikenal dalam dunia modern dan menampilkan bentuk-bentuk lain yang termarjinalkan dalam modernisme, sesuai dengan yang dikatakan Faris. Secara keseluruhan kelima karakteristik yang mendefinisikan karya fiksi realisme magis tersebut memberikan gambaran bagaimana struktur naratif realisme magis sebagai sebuah teknik naratif mempertemukan unsur-unsur magis dan teknik naratif realisme di dalam dirinya. Melalui kelima karakteristik itu juga kemudian dapat terlihat bagaimana hubungan relasional di antara keduanya seperti ketumpang tindihan yang magis dan riil yang menimbulkan keraguan (doubts), pertemuan yang magis dan riil dalam dunia antara (in-between), dan gangguan (disruptions) sebagai akibat interaksi unsur-unsur magis terhadap konsep-konsep realisme. Dalam realisme magis, posisi dan hubungan antara yang magis dan yang riil serta yang tradisional dan yang modern hendak disejajarkan sehingga tidak bersifat hierarkis lagi seperti terhadap dalam kecenderungan modern. Dengan demikian, muncul alternatif baru dalam memandang realitas yang menjadikan
15
realisme magis memiliki kecenderungan posmodern. Tidak hanya itu, realisme magis yang juga merupakan strategi naratif mengangkat ke permukaan isu-isu penting yang terkait dengan konteks sosial, budaya, dan ideologis di daerah tempat karya berasal.
1.6.
Hipotesis Penelitian Melihat latar belakang, rumusan masalah dan landasan teori, maka
hipotesis yang dapat diambil dalam pengamatan sekilas terhadap fenomena naratif realisme magis dalam puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce adalah bahwa teknik realisme magis mempertemukan unsur-unsur magis dan unsur-unsur riil. Unsur-unsur magis dihadirkan tetap dalam kerangka realisme sehingga ia tidak menjadi suatu bentuk narasi fantastis dan asing bagi kehidupan dunia riil. Secara kontekstual, realisme magis dengan cara membawa kembali hal-hal yang termarjinalkan, digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik terhadap fenomena-fenomena sosial maupun tatanan diskursif yang hegemonik baik dalam ranah lokal maupun global. Dengan demikian, maka puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce memiliki akar keterkaitan yang kuat dengan konteks sosial dan budaya yang dialami penyair yakni budaya Banyumasan di daerah Cilacap.
1.7.
Metode Penelitian
1.7.1. Data Primer dan Data Sekunder Data Primer yang dijadikan acuan dalam penelitian ini ialah satuan-satuan tekstual yang berasal dari puisi Gendhing Pulebahasan karya Badruddin Emce.
16
Data-data tekstual tersebut dapat berupa satuan-satuan kata, tanda baca, frase, baris, bait ataupun rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam puisi tersebut. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah data yang berasal dari teks-teks yang berada di luar Gendhing Pulebahasan yang dianggap terkait. Secara khusus, teks-teks yang dimaksudkan adalah teks-teks tradisional yang berupa babad, dan sumber-sumber penelitian ilmiah lain, baik berupa jurnal, buku maupun artikel yang dianggap mampu menjelaskan kondisi dan situasi sosial dan budaya yang menjadi konteks puisi tersebut.
1.7.2. Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data primer, satuan-satuan data yang disebutkan sebelumnya dikumpulkan dan dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu kategori data magis dan kategori data riil, yang kemudian dinamai menurut teori Faris sebagai the irreducible elements untuk kategori pertama dan the phenomenal worlds untuk kategori kedua. Kemudian data-data yang berada dalam dua kategori tersebut dirangkai kembali hubungannya untuk melihat pola relasinya. Bentuk pertama yaitu elemen magis yang bertemu dengan elemen riil yang menimbulkan keraguan yang disebut sebagai the unsettling doubts. Bentuk kedua adalah saling bercampurnya antara elemen magis dan elemen riil sehingga berada dalam ruang antara (in-between) yang kemudian dinamai merging realms. Kategori selanjutnya dibangun berdasarkan gangguan terhadap nilai-nilai modern tentang waktu, ruang dan identitas yang kemudian dinamai disruptions of time, space, and identity.
17
Pada bagian konteks, pengumpulan data disesuaikan konteks sosial dan budaya puisi Gendhing Pulebahasan tersebut, yakni konteks sosial dan budaya di Cilacap. Konteks sosial dan budaya di Cilacap itu dibandingkan dengan data-data diskursif yang ada dalam puisi tersebut.
1.8. Sistematika Penyajian Laporan penelitian ini disajikan dalam lima bab sebagai berikut. Bab I berupa pengantar yang berisi: 1.1. latar belakang, 1.2. rumusan masalah, 1.3. tujuan penelitian, 1.4. tinjauan pustaka, 1.5. landasan teori, 1.6. hipotesis, 1.7. metode penelitian, dan 1.8. sistematika penyajian.
Bab II berupa Karakteristik dan Kadar Realisme Magis dalam puisi Gendhing Pulebahasan yang berisi: 2.1. Karakteristik realisme magis, terdapat lima satuan dalam bagian ini, 2.2. Relasi Antarelemen, dan 2.3. Kadar Realisme Magis dalam puisi Gendhing Pulebahasan.
Bab III berupa Puisi Gendhing Pulebahasan dalam Konteks yang berisi perbandingan konteks wacana dalam puisi dengan konteks sosial dan budaya di Cilacap.
Bab IV berupa Penutup yang berisi kesimpulan, kritik dan saran.
18