BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Deskriptif Secara keseluruhan dari tahun 2010-2014 APBD di Kabupaten/ Kota Provinsi DIY terus mengalami peningkatan. Rata-rata pendapatan tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp. 1.594.634.235.550, kemudian diikuti Kabupaten Bantul sebesar Rp. 1.367.840.915.735, kemudian Kota Yogyakarta sebesar Rp. 1.138.815.780.938, kemudian Kabupaten Gunung Kidul sebesar Rp. 1.091.103.214.972, dan terendah Kabupaten Kulon Progo sebesar 886.221.243.591. Kontribusi terbesar berasal dari dana perimbangan, kemudian diikuti lain-lain pendapatan yang sah, kemudian PAD. PAD memiliki kontribusi terendah dalam pendapatan daerah, hal tersebut menunjukkan bahwa daerah masih rendah dalam mengoptimalkan potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah. Rata-rata belanja daerah tertinggi adalah Kabupaten Sleman sebesar Rp. 1.484.212.881.757, kemudian diikuti Kabupaten Bantul sebesar
Rp.
1.307.038.326.482,
kemudian
Kota
Yogyakarta
menghabiskan dana rata-rata sebesar Rp. 1.484.212.881.757, kemudian Kabupaten Gunung Kidul sebesar Rp. 1.044.884.324.526, kemudian
164
165
terendah Kabupaten Kulon Progo sebesar Rp. 860.075.567.363. Belanja daerah lebih dominan dialokasikan pada belanja tidak langsung daripada belanja langsung. Belanja tidak langsung lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai. Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya program dan
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
Daerah
untuk
pembangunan sarana dan prasarana atau fasilitas publik. 2.
Kuantitatif a.
Kinerja Keuangan Daerah 1) Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY, secara rata-rata tertinggi adalah Kota Yogyakarta sebesar 53,59% dengan kriteria sedang dan pola hubungan partisipatif, kemudian Kabupaten Sleman sebesar 36,92% dengan kriteria rendah dan pola hubungan konsultif, sementara Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul masing-masing sebesar 21,40%, 13,76%, dan 10,01% dengan kriteria rendah sekali dan pola hubungan instruktif. 2) Efektivitas PAD Secara
keseluruhan
rata-rata
Efektivitas
PAD
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY dari tahun 2010-2014 dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah dapat dikategorikan sangat efektif karena rasio efektivitasnya lebih dari 100%. Hal tersebut menunjukkan
166
bahwa Pemerintah Daerah mampu merealisasikan PAD yang telah ditargetkan. 3) Aktivitas Belanja Rata-rata aktivitas belanja daerah Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY tahun 2010-2014 lebih dominan dialokasikan pada belanja tidak langsung daripada belanja langsung. Secara keseluruhan rata-rata rasio aktivitas belanja langsung diatas 55% sementara aktivitas belanja langsung kurang dari 45%. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan dana untuk pembangunan sarana dan prasarana atau fasilitas publik cenderung lebih sedikit. 4) Pertumbuhan PAD Pertumbuhan PAD di Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY berfluktuasi. Rata-rata pertumbuhan tertinggi adalah Kabupaten Bantul yaitu sebesar 45,28%, kemudian Kabupaten Gunung Kidul sebesar 41,63%, kemudian Kabupaten Sleman sebesar 37,17%, kemudian Kabupaten Kulon Progo sebesar 35,99%, dan terendah Kota Yogyakarta sebesar 27,87%. b.
Kemampuan Keuangan Daerah 1) Derajat Otonomi Fiskal DOF Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY terus mengalami peningkatan. Daerah yang memiliki rata-rata DOF tertinggi adalah Kota Yogyakarta yaitu sebesar 27,35%, kemudian Kabupaten Sleman Sebesar 20,47% dengan kriteria sedang,
167
kemudian Kabupaten Bantul sebesar 13,22%, lalu Kabupaten Kulon Progo sebesar 9,31%, dan terendah Kabupaten Gunung Kidul sebesar 7,10% dengan kriteria rendah sekali. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan PAD dalam menyumbang pendapatan daerah masih dalam kategori sangat kurang mampu. 2) Indeks Kemampuan Rutin IKR Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY berfluktuasi. Daerah yang memiliki rata-rata IKR tertinggi adalah Kota Yogyakarta yaitu sebesar 51,64% dengan kriteria sangat baik, kemudian Kabupaten Sleman Sebesar 34,30% dengan kriteria cukup, kemudian Kabupaten Bantul sebesar 21,37% dengan kriteria sedang, lalu Kabupaten Kulon Progo sebesar 14,03%, dan terendah Kabupaten Gunung Kidul sebesar 10,32% dengan kriteria kurang. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan PAD dalam membiayai belanja tidak langsung dikategorikan kurang mampu.
B. Saran Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan diatas, maka penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1.
Otonomi daerah di setiap Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY tidak dapat tercapai apabila Pemerintah Daerah tidak mampu menggali dan mengelola potensi-potensi yang tersedia dan masih bergantung dengan bantuan dari pihak ekstern baik Pemerintah Pusat/ Provinsi. Apabila
168
Pemerintah Daerah mampu menggali serta mengelola potensi-potensi yang ada untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan juga mengurangi ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern baik Pemerintah Pusat/ Provinsi
maka
dapat meningkatkan kemandirian
Pemerintah Daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Maka sebaiknya
Pemerintah
Daerah
mulai
mengoptimalkan
proses
pemungutan pajak dan retribusi, serta melakukan pemetaan terhadap potensi-potensi yang ada agar dapat meningkatkan serta menghasilkan sumber Pendapatan Daerahnya. 2.
Pemerintah Daerah sebaiknya lebih memperhatikan aktivitas belanja, antara Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Agar tidak terjadi ketimpangan yang begitu besar. Pemerintah agar lebih memprioritaskan pada belanja yang dapat meningkatkan pelayanan publik dan juga infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat dengan cara mengurangi porsi pada belanja tidak langsung terutama pada belanja pegawai.