BAB V PENUTUP V.1. Diskusi Temuan Studi Studi ini berlandas pada paradigma konstruktivisme. Sebagai sebuah studi yang berlandas pada konstruktivisme, studi ini bertujuan melakukan rekonstruksi pemahaman. Pengetahuan yang diperoleh adalah hasil dari rekonstruksi individu yang menyatu dengan lingkungan sosialnya. Individu melakukan konstruksi pemahaman atas dunia tempat ia hidup dan tinggal. Adapun kebenarannya tergantung dari kemampuan pengetahuan itu dalam menjelaskan fenomena atau persoalan yang terkait. Konstruktivisme sosiologis merupakan konstruktivisme yang memiliki keyakinan bahwa pengetahuan atau realitas sosial dikonstruksi dengan cara intersubjektif. Realitas itu bagi setiap individu memiliki makna yang bersifat subjektif. Bagi individu, makna ini menjadi dasar bertindak dalam aktivitas keseharian. Makna sangat interpretif, sehingga dikenal adanya makna ganda atau realitas ganda. Dalam pada itu sebagai paradigma penelitian, secara ontologis, paradigma ini membawa peneliti pada pandangan bahwa realitas sosial dikonstruksi secara spesifik dan bersifat lokal. Secara epistemologis, peneliti diarahkan pada peran sebagai subjektivis yang menghasilkan suatu temuan. Dalam aktivitas penelitian, terjadi transaksi antara kearifan lokal yang dikonstruksi oleh subjek penelitian dan kearifan peneliti. Oleh karena itu terjadi proses hermeneutik dan dialektik homemade theory dengan researcher theory.
181
Studi yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia dikenal sebagai studi fenomenologi. Asumsi pokoknya adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan pemaknaan, sehingga akan diperoleh pemahaman atau verstehen. Sebagai studi dengan perspektif fenomenologi, studi ini memandang objek atau peristiwa dari sudut pandang manusia atau individu yang mengalami peristiwa itu sendiri. Oleh karena itu analisis fenomenologis dilakukan atas hidup keseharian melalui sudut pandang orang yang mengalaminya sendiri. Dalam konteks ini adalah para anggota budaya perusahaan inti dan para anggota budaya petani plasma. Fenomenologi ini adalah hermeneutik, yakni bertolak dari fenomenologi persepsi dengan Merleau-Ponty. Dalam pandangan tokoh ini, semua pengetahuan manusia tentang dunia berasal dari sudut pandang manusia itu sendiri. Hal ini karena manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi dunianya, sehingga diperoleh verstehen yang menghasilkan pengetahuan untuk dasar bertindak dalam aktivitas hidup sehari-hari. Kemampuan tersebut dimiliki manusia karena adanya kesatuan fisik dan mental di dalam dirinya. Dengan kemampuan ini, manusia bisa menempati posisi sebagai subjek. Ia diakui sebagai orang yang mengetahui dunianya. Sementara itu, seperti pandangan dari Martin Heidegger, realitas sebagai konstruksi pengalaman diperoleh melalui persepsi atas informasi melalui penggunaan bahasa secara kontekstual. Dalam studi ini, konteks yang dimaksud adalah budaya. Hal ini berarti realitas yang dimaksud adalah konstruksi pengalaman yang diperoleh dari persepsi atas informasi melalui penggunaan bahasa dalam konteks budaya yang berbeda. Oleh karena itu, studi ini diletakkan dalam kerangka komunikasi antarbudaya.
182
Dengan mengambil salah satu teori yang termasuk ke dalam teori-teori interpretif, studi ini berupaya untuk mengkonstruksi pengalaman komunikasi antar kelompok yang diasumsi memiliki budaya yang berbeda, yaitu komunikasi antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma. Komunitas perusahaan inti adalah karyawan PT Pagilaran dan komunitas petani yang menjadi subjek studi adalah petani yang menjadi plasma di Unit Produksi PT Pagilaran di Kaliboja. Secara adminitratif, pabrik masuk di Wilayah Kabupaten Pekalongan, namun untuk kebunnya masuk ke dalam dua wilayah, yaitu Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Banjarnegara. Dua kabupaten ini berada di Provinsi Jawa Tengah. Komunikasi antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani ini dipahami sebagai komunikasi antarbudaya. Dari pengertian komunikasi antarbudaya yang diambil dari Kim, Samovar dkk., dan Ting-Toomey dapat dikemukakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang mengacu pada fenomena perbedaan budaya yang signifikan atau relatif tinggi di antara para partisipannya. Dalam studi ini, komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma merupakan dua kelompok sosiologis yang berbeda budaya. Sebagai kajian komunikasi antarbudaya, studi ini menempatkan budaya sebagai konsep pokok yang kemudian berimplikasi pada perilaku komunikasi. Dalam kerangka ini yang dimaksud budaya adalah ide-ide atau gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan. Selain itu, aktivitas perilaku manusia yang berpola dipandang pula sebagai wujud budaya. Budaya dipahami sebagai agregat, karena budaya merupakan produk konsensus dari masyarakat. Sebagai produk konsensus, budaya muncul dari konvensi
183
yang dilakukan secara kolektif di antara para anggota masyarakat. Oleh karena itu bersifat agregat sebagai metafora masyarakat. Adapun perilaku komunikasi pada dua komunitas ini dilihat dari beberapa elemen penting komunikasi, yakni (1) sumber pesan, (2) isi , (3) gaya penyampaian pesan, dan (3) saluran yang digunakan. Perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan perilaku komunikasi. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa perbedaan budaya antara komunitas perusahaan inti dengan komunitas petani plasma akan diikuti pula oleh adanya perbedaan perilaku komunikasi di antara keduanya. Dalam proses penyuluhan, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan diperlukan strategi komunikasi yang mampu mengatasi adanya perbedaan-perbedaan. Semakin homogen pihak-pihak yang terlibat komunikasi akan semakin memperlancar proses komunikasi, semakin heterogen juga akan menghambat kelancaran berkomunikasi. Oleh karena itu, dalam proses komunikasi antarbudaya, diperlukan strategi adaptasi. Adaptasi adalah sebuah bentuk penyesuaian ketika seseorang atau sekelompok orang dihadapkan pada suatu perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini dapat juga dipahami ketika harus berinteraksi dengan pihak lain yang berbeda budaya. Terdapat beberapa strategi adaptasi, namun yang paling fundamental adalah strategi konvergen dan divergensi. Strategi konvergensi adalah strategi pihak yang satu untuk menyesuaikan dengan perilaku komunikasi pihak lain. Adapun strategi divergensi adalah strategi yang menunjukkan identitas budayanya sendiri terhadap budaya yang lain.
V.1.1. Budaya Komunitas Perusahaan dan Komunitas Petani Seperti dijelaskan di depan, studi ini merupakan kajian komunikasi antarbudaya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan budaya antara komunitas perusahaan inti 184
dengan komunitas petani plasma. Budaya komunitas perusahaan inti dicirikan oleh adanya standarisasi, orientasi, dan maskulinitas yang merupakan karakteristik dari budaya farmer dan komunitas berbudaya ketat yang bersumber dari nilai-nilai industrial. Budaya tersebut berimplikasi pada perilaku komunikasinya, sehingga kepada petani plasmanya, perusahaan inti memandang bahwa petani plasma tidak memiliki pengetahuan cukup tentang industri teh, lebih mementingkan relasi sosial tradisional daripada relasi kerja profesional. Selain itu, perusahaan inti juga memandang adanya perbedaan ritme kedisiplinan dalam bekerja. Namun demikian, dalam pandangannya petani plasma sudah mengalami perubahan nilai dan orientasi. Oleh karena itu, dalam pandangan perusahaan inti terdapat dua kategori petani, yaitu petani yang menjual ke perusahaan inti dan petani yang menjual ke luar perusahaan inti. Sementara itu petani plasma memiliki ciri subsisten, kolektivitas, femininitas, dan mobilitas ke luar yang rendah. Namun demikian sebagai hasil interaksinya dengan perusahaan inti ada yang dikategorikan sebagai petani maju. Oleh karena itu dalam kerangka ini ada golongan petani miskin dan ada golongan petani maju. Hasil interaksi tersebut pada akhirnya juga memunculkan beberapa kesamaan yang diasumsikan sebagai hasil dari adaptasi melalui budaya.
V.1. 2. Perilaku Komunikasi Komunitas Perusahaan dengan Komunitas Petani Seperti sudah dijelaskan, perbedaan budaya akan diikuti dengan perbedaan perilaku komunikasi. Pada bab pembahasan telah disebutkan adanya perbedaan perilaku komunikasi antara komunitas perusahaan dengan komunitas petani.
185
Perilaku komunikasi perusahaan inti sebagai implikasi atas budaya yang dimilikinya ditunjukkan pada beberapa hal (1) sumber informasi haruslah orang memiliki standar kemampuan tertentu, (2) isi pesan selalu berorientasi pada kepentingan organisasi yakni perolehan keuntungan ekonomi atau material, seperti pesan tentang isi dan makna perjanjian kontrak sebagai landasan kemitraan, serta pesan yang berorientasi pada masa depan, misalnya pentingnya tanaman teh sebagai tanaman tabungan yang bermanfaat untuk hidup ke depan. (3) gaya penyampaian pesan yang low context, lebih banyak menggunakan simbol verbal dan langsung pada topik/tujuan komunikasi, serta (4) memilih media berkelompok dan formal. Salah satu contoh, dari seorang informan dari komunitas perusahaan inti menyatakan bahwa dalam proses penyuluhan, dia tidak berinteraksi langsung dengan para petani. Menurut pengalamannya, dalam melakukan aktivitas agrobisnis, para karyawan harus berpegang pada efisiensi, karena orientasi industri adalah efisiensi, sehingga strategi mandor mendekati petani dengan berkunjung dari rumah ke rumah, ngobrol, wedangan, dan tidak berbicara langsung ke topik inti dinilainya sebagai perilaku yang tidak efisien. Pada aspek lainnya, perilaku komunikasi perusahaan inti cenderung
berfokus pada peranan orang saat berkomunikasi, cara
berkomunikasi relatif sama sekalipun pada konteks yang berbeda. Keputusan yang diambil tidak mudah berubah karena dihasilkan dari pertimbangan rasional dan nalar. Budaya komunitas perusahaan inti juga berorientasi instrumental, sangat terikat oleh aturan dan koordinasi. Dari sisi komunitas petani, pada beberapa elemen, perilaku komunikasi mereka berbeda dengan komunitas perusahaan inti. Perbedaan itu terletak pada (1) pesan lebih
186
suka disampaikan oleh orang-orang lokal, tidak berorientasi pada standar kemampuan, (2) pesan-pesan yang disampaikan lebih berorientasi pada kepentingan pemeliharaan kelompok dan hubungan, dan lebih mengedepankan persoalan masa lalu, yang diwujudkan dari tradisi dan ritual (3) gaya komunikasinya lebih suka high context, banyak menggunakan bahasa non verbal, dan menyampaikan bahasa tidak secara to the point tetapi berputar-putar (coming around to the point), serta (4) menggunakan media informal dan interpersonal. Pada aspek lainnya, petani juga cenderung berubah-ubah dalam keputusannya oleh karena pengaruh sosial, cara berkomunikasi yang partikularistik, berbeda-beda dalam situasi yang berbeda. Petani juga cenderung memberi respon holistik dalam berkomunikasi. Petani berorientasi ekspresif, berbudaya longgar, oleh karena itu tidak banyak diterapkan aturan dan koordinasi. Saluran komunikasinya adalah saluran interpersonal. Mereka bergaul dalam bentuk srawung. Ditinjau dari beberapa elemen dan dimensi budaya ini, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi komunitas perusahaan inti dengan komunitas petani juga berbeda. Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk mencapai tujuan komunikasi, diperlukan penyelerasan pada budaya dan perilaku yang berbeda. Disinilah dibutuhkan strategi adaptasi. Proses adaptasi yang dilakukan oleh perusahaan inti adalah proses adaptasi melalui budaya yaitu melalui nepotisme (penggunaan sumber lokal), ngaruhke, komunikasi interpersonal.
V.1.3. Strategi Adaptasi Seperti dijelaskan dalam BAB IV, strategi adaptasi dibagi ke dalam dua yakni strategi convergensi dan divergensi. Berdasarkan temuan studi, adaptasi lebih banyak 187
dilakukan oleh komunitas perusahaan inti. Hal ini berarti komunitas perusahaan inti lebih aktif melakukan penyesuaian terhadap budaya komunitas petani dibanding sebaliknya. Keaktifan ini disebabkan oleh adanya kepentingan ekonomi atau komersial dari perusahaan inti. Dalam konteks ini ada pergeseran orientasi dari sejak masuknya proyek PIR hingga kemitraan sekarang ini. Dari temuan lapangan tampak bahwa kesediaan PT Pagilaran berperan sebagai perusahaan inti dilandasi oleh komitmen untuk membantu pemerintah dalam program pembangunan perkebunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan. Hal ini sesuai dengan misi pengabdian dari PT Pagilaran sebagai sebuah perusahaan yang dikelola oleh UGM. Misi ini sebagaimana yang ada dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Strategi adaptasi yang digunakan adalah strategi konvergensi dan divergensi. Strategi konvergensi digunakan pada tataran perilaku komunikasi, sedangkan pada tataran budaya, strategi yang digunakan adalah divergensi. Dua strategi tersebut digunakan sepanjang mendukung kepentingan organisasi. Sementara itu sesuai dengan popososisi-proposisi teori antarbudaya, dapat dikemukakan bahwa adaptasi komunikasi secara fungsional dan setara dapat memfasilitasi penyelesaian tugas. Ketika situasi mendukung salah satu komunikator, maka komunikator lain memiliki beban adaptasi. Ketika semakin banyak seorang komunikator beradaptasi, semakin banyak pula perubahan dalam keyakinan kulturalnya. Namun demikian, merujuk pada temua studi, perubahan perilaku komunikasi komunitas perusahaan inti hanya merupakan upaya persuasi kepada komunitas petani. Dengan dasar itu, diharapkan petani dapat menyesuaikan budayanya sendiri dengan budaya komunitas
188
perusahaan. Ketika perilaku komunikasi perusahaan inti ”disamakan” dengan perilaku komunikasi komunitas petani, budaya komunitas perusahaan inti dicoba ditunjukkan kepada komunitas petani. Hal ini berarti, strategi kovergensi di tataran perilaku komunikasi dilakukan sekaligus bersama-sama dengan strategi divergensi. Sebagai pihak yang melakukan penyuluhan, perusahaan inti berkepentingan mengubah perspektif petani dari perspektif peasant ke farmer. Pesan-pesan penyuluhan diarahkan ke bisnis, produksi, dan kemitraan. Untuk kepentingan ini, perusahaan melakukan adaptasi komunikasi dengan menyesuaikan gaya komunikasinya dengan gaya komunikasi petani. Situasi komunikasi di tengah kehidupan petani, menyebabkan perusahaan inti memiliki beban untuk menyesuaikan gaya komunikasinya. Namun demikian, komunitas perusahaan inti tetap memiliki keyakinan kulturalnya. Gaya komunikasi juga disesuaikan dengan gaya komunikasi komunitas petani. Perusahaan inti cenderung memberi respon
yang beorientasi pada peran orang saat berkomunikasi,
berubah menjadi cenderung untuk merespon secara holistik. Hal ini ditunjukkan dari pengalaman seorang mandor yang menyatakan bahwa dirinya tidak hanya berfokus pada peran petani sebagai plasma, namun berfokus juga peran sosiokulturalnya, misalnya peran dalam keluarga, kelompok, dan masyarakat. Dalam kondisi tertentu, komunitas perusahaan inti mengubah orientasi komunikasinya ke masa lalu. Sebagai contoh ketika mandor berkepentingan untuk mendapatkan loyalitas petani. Dalam konteks ini, mandor menggunakan strategi pesan yang menekankan masa lalu atau ngelingi sing mbiyen. Melalui pesannya, mandor mengingatkan agar petani ngelingi bahwa yang membuka usaha perkebunan teh pertama
189
kali di wilayahnya adalah perusahaan inti, sehingga mereka diharapkan tidak menjual ke lain perusahaan. Dalam pada itu, meski orang perusahaan disosialisasikan untuk berkomunikasi dalam konteks rendah guna menghindari pesan yang bermakna ambigu, namun di tengah petani, mereka membiasakan untuk memperhatikan pesan-pesan nonverbal petani. Pesan ini dipandang lebih memberi makna yang sesungguhnya, karena mengandung dimensi hubungan. Ketidaksetujuan petani sering diungkapkan melalui pesan nonverbal agar tidak mengganggu relasinya dengan pihak lain. Sementara untuk kepentingan mempertahankan stabilitas keputusan petani, perusahaan inti memperbanyak pesan-pesan yang berdasar argumentasi logis dengan pertimbangan nalar dan lebih banyak melakukan kunjungan ke petani plasma. Dalam aspek penggunaan bahasa, bahasa verbal yang dipakai oleh orang perusahaan adalah menyesuaikan dengan kemampuan petani dalam memaknainya. Oleh karena itu, orang perusahaan inti menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Di sisi lain, petani plasma sebagai pihak yang menyediakan pucuk teh untuk bahan baku industri beradaptasi dengan penyesuaian terhadap perspektif perusahaan inti. Mereka menyesuaikan perspektif tentang bisnis, produksi, dan kemitraan seperti yang dimiliki perusahaan inti. Oleh karena itu mereka mulai bisa bicara tentang aspek-aspek tersebut sesuai dengan pandangan perusahaan. Adanya situasi ketergantungan pemasaran dari petani pada perusahaan inti, menyebabkan petani memiliki beban adaptasi. Adaptasi ini kemudian menghasilkan pergeseran keyakinan kultural petani, yaitu dari keyakinan akan usahatani yang menjamin hidup keluarga dan komunitas ke orientasi agribisnis.
190
Sebagai plasma dari perusahaan inti yang peduli terhadap lingkungan, petanipun menyesuaikan dengan pandangan hidup selaras dengan alam. Merekapun memperhatikan pentingnya menjaga lahan dengan melakukan konservasi melalui tanaman teh dan teknik konservasi sebagaimana yang dia pahami melalui pesan-pesan penyuluhan. Mereka mulai bisa bicara tentang teknik konservasi, seperti terasering dan rorak. Merekapun meyakini bahwa tanaman teh merupakan tanaman masa depan. Tidak hanya itu, dari pengalaman narasumber, tampak bahwa petanipun berusaha melakukan penyesuaian dengan aturanaturan perusahaan. Contohnya, mereka belajar membiasakan diri berdisiplin waktu dalam melakukan pemetikan pucuk daun teh. Apabila peristiwa tersebut dijelaskan dari teori adaptasi pasangan interkultural, maka beban adaptif perusahaan inti akan gaya komunikasi petani adalah karena pihak ini merupakan partisipan yang memiliki inisiatif komunikasi. Hal ini karena perusahaan inti menghendaki terjaminnya pasokan, namun dari sisi harga dipandang oleh petani tidak menguntungkan. Inisiatif komunikasi tersebut muncul karena perusahaan ingin mempertahankan relasi dengan plasma. Relasi ini perlu dipertahankan mengingat berkurangnya pasokan pucuk teh petani ke perusahaan inti. Adanya pembeli dari luar yang memberi harga lebih tinggi dari perusahaan inti, menyebabkan sebagian produksi petani dijual ke perusahaan lain. Meski demikian masih ada ketergantungan petani terhadap perusahaan inti, karena pembeli luar membeli dalam jumlah terbatas dan tidak pasti. Beban adaptasi yang terletak pada perusahaan inti juga disebabkan karena petani memegang manfaat teritorial. Artinya petani berada di wilayahnya sendiri, sementara inti
191
justru merupakan ’pendatang’. Namun, di sisi lain petani, petani dapat dipandang sebagai pihak yang inferior dalam pasangan interkultural ini. Petani inferior dalam penguasaan teknologi. Oleh karena itu, ketika petani memerlukan bimbingan teknis dari perusahaan inti, maka petani memiliki beban untuk beradaptasi. Perilaku adaptif dari komunitas perusahaan inti semakin meningkat sesuai dengan keinginan untuk memelihara kemitraan. Perusahaan inti yang berkomitmen membangun kemitraan dengan plasma, semakin meningkatkan adaptasi perilaku komunikasi, menyesuaikannya dengan perilaku komunikasi komunitas petani. Salah satu proposisi adaptasi pasangan interkultural menyatakan bahwa ketika dari interaksi terbukti hanya satu pihak yang akan mengambil manfaat dari penyelesaian tugas, maka pihak ini akan mempercepat perilaku adaptif. Dari pengalaman informan, tampak bahwa perusahaan pada akhir-akhir ini adalah pihak yang cenderung mempercepat perilaku adaptif. Hal ini karena perusahaan akan mengambil manfaat yang berupa loyalitas petani pada inti. Loyalitas ini diperlukan untuk menjamin pasokan pucuk teh petani, sehingga pabrik bisa mengalami undercapacity. Kondisi demikian merugikan perusahaan karena ada ketidaefisienan dalam proses produksi. Adapun kapasitas produksi pabrik dirancang sesuai dengan luas lahan petani plasma. Adapun bangunan komunikasi antar dua kelompok budaya tersebut adalah seperti tampak pada Gambar V. berikut.
192
Gambar V MODEL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Kasus: Komunitas Perusahaan Inti dan Komunitas Petani Plasma)
DUALISME EKONOMI Kapitalisme Prakapitalisme Boeke (1948)
BUDAYA Dimensi Peasant-farmer Individualisme-kolektivisme Kluckhohn and Strodtberg Hofstede Parsons Keketatan structural
Komunitas Perusahaan Farmer Kontekstual Memelihara hubungan Kontekstual Netralitas Afektivitas Ketat
Strategi Divergensi
Komunitas Petani Plasma Farmer Kontekstual Memelihara hubungan Kontekstual Netralitas Afektif Longgar
PERILAKU KOMUNIKASI Element Sumber Pesan
Isi
Style
Media
Komunitas Perusahaan Orientasi organisasi Orientasi pada kepentingan organisasi • • • • •
Low context Verbal Langsung Formal Kelompok
Komunitas Petani Plasma Orientasi local Orientasi pada pemeliharaan hubungan dan kelompok Strategi Konvergensi • • • • •
High context Non verbal Tidak langsung Informal Interpersonal
193
Dari model komunikasi antarbudaya di atas dapat disimpulkan bahwa strategi adaptasi yang dikemukakan dalam beberapa teori adaptasi dapat digunakan untuk memahami fenomena komunikasi antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma di PT Pagilaran. Strategi adaptasi yang terjadi terjadi satu arah namun strategi yang dipakai berbeda pada tataran yang berbeda. Pada tataran budaya, komunitas perusahaan melakukan strategi divergensi dengan mencoba mengubah budaya tradisional pada komunitas petani plasma menjadi petani maju, yang berorientasi pada kepentingan bisnis, keuntungan material, dan ekonomi. Strategi ini tampaknya berhasil mengingat bahwa banyak ditemukan petani yang memiliki budaya komunitas perusahaan inti. Namun demikian, untuk mencapai tujuan tersebut komunitas perusahaan melakukan upaya penyesuaian perilaku komunikasinya mengikuti perilaku komunikasi petani. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam kerangka komunikasi antarbudaya, antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma, inisiatif adaptasi dilakukan oleh pihak yang inferior, dalam hal ini komunitas perusahaan inti terhadap pihak yang superior, dalam hal ini adalah komunitas petani plasma. Superior dalam arti bahwa komunitas petani yang memiliki sumber daya (baca: lahan, tanah), sedangkan komunitas perusahaan inti jelas bergantung pada tanah para petani ini. Namun demikian, strategi adaptasi ini tetap dikerangkai oleh adanya kepentingan pencapaian tujuan komunitas perusahaan inti yang pada dasarnya adalah kepentingan industri.
194
V.2. Kesimpulan Dari temuan studi tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan sebagai berikut. (1) Pada hakekatnya terdapat perbedaan budaya antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma. Budaya komunitas perusahaan inti cenderung berorientasi pada kepentingan ekonomi (komersial), sedangkan budaya komunitas petani cenderung berorientasi pada kepentingan kelompok dan pemeliharaan hubungan. (2) Namun demikian, seiring dengan proses adaptasi, kedua komunitas tersebut cenderung memiliki budaya yang sama. Keduanya berorientasi pada kepentingan perolehan kapital. (3) Adaptasi dilakukan oleh komunikasi perusahaan inti dengan melakukan strategi divergensi, yaitu penyesuaian dengan tetap mempertahankan budayanya sendiri, dan dengan menunjukkan budayanya kepada budaya komunitas petani. (4) Oleh karena itu, budaya yang sama antara perusahaan inti dan petani plasma dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi perusahaan inti, budaya yang sama adalah karena pada dasarnya orang-orang perusahaan inti berasal dari budaya yang sama dengan petani. Selain itu juga karena adanya pengaruh lingkungan karena pabrik berada di wilayah petani. Sementara itu, dari sisi petani, budaya yang sama adalah karena adanya hasil dari adaptasi budaya. (5) Adapun budaya yang berbeda antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani plasma adalah karena adanya aturan-aturan normatif yang harus dipegang
195
oleh orang-orang dari perusahaan inti. Selain karena adanya perbedaan tingkat pendidikan dan wawasan yang dimiliki. (6) Budaya berimplikasi pada perilaku komunikasi. Pada komunitas perusahaan inti, budaya yang berorientasi pada perolehan kapital ini berimplikasi pada perilaku komunikasi yang pesannya berfokus pada kepentingan bisnis, sumber informasinya haruslah memenuhi standar kemampuan tertentu, low context, verbal, to the point, dan mengandalkan kelompok-kelompok formal. Adapun perilaku komunikasi pada komunitas petani lebih beorientasi pada kepentingan lokal, pemeliharaan hubungan dan kelompok, high context, menggunakan simbol non verbal dan berputar-putar, tidak langsung pada inti pembicaraan, serta menggunakan saluran informal dan interpersonal. (7) Perbedaan komunikasi pada dua komunitas ini menghambat proses pencapaian tujuan organisasi, oleh karena itu perusahaan berinisiatif melakukan adaptasi dengan menggunakan strategi konvergensi. Perilaku komunikasi komunitas perusahaan inti diubah dan disamakan dengan perilaku komunikasi komunitas petani. (8) Inisiatif komunikasi perusahaan inti untuk melakukan adaptasi perilaku komunikasi didasarkan pada ketergantungan komunitas ini pada komunitas petani sebagai pemilik lahan. (9) Namun demikian, upaya konvergensi pada tataran perilaku komunikasi sematamata untuk dapat mengubah budaya komunitas petani menjadi sama dengan budaya komunitas perusahaan, yang pada akhirnya, dapat mengarahkan pada
196
relasi kemitraan dengan petani plasma, yang merupakan faktor kunci keberhasilan perusahaan inti
V.3. Implikasi Studi (1) Dalam dimensi akademis/teoritis, struktur teoritik yang membahas tentang adaptasi antarbudaya seperti yang dikemukakan oleh Ellingsworth hanya dikaitkan dengan pencapaian tujuan, orientasi, gaya komunikasi, konteks situasi, dan kekuasaan yang memengaruhi inisiatif dan percepatan adaptasi. Dari studi yang dilakukan, dapat dikembangkan pemikiran tentang perlunya perluasan cakupan teoritis dengan memasukkan aspek strategi untuk mencapai tujuan ketika adaptasi tersebut dilakukan. Dari sini kemudian bisa dimunculkan tipe adaptasinya, apakah konvergensi atau divergensi. (2) Dalam dimensi teknis/metodologis, penelitian ini menggunakan perspektif teoritik fenomenologi untuk menginterpretasikan pengalaman komunikasi antarbudaya. Dimulai dengan mengkaji perbedaan budaya di antara dua kelompok, kemudian dilihat perbedaan dalam perilaku komunikasinya. Dengan metode ini dapat dijelaskan perbedaan perilaku komunikasi sebagai implikasi dari perbedaan budaya, karena komunikasi pada hakekatnya adalah fungsi dari budaya. Dalam studi lebih lanjut, untuk melihat langsung perilaku komunikasi, dapat digunakan
metode etnografi
komunikasi. Dengan metode ini dapat dilihat kode-kode pembicaraan (speech codes) dari masing-masing kelompok. Dari situ kemudian dapat dijelaskan variabilitas budaya dari sisi komunikasi.
197
(3) Dalam dimensi praktis, dari studi ini ditemukan solusi atas masalah dalam relasi kemitraan. Sebagai pelaku usaha kemitraan, sering tidak disadari bahwa perbedaan budaya antara pengusaha besar dan petani kecil dapat berpengaruh pada perilaku komunikasi masing-masing, sehingga menyebabkan komunikasi di antara mereka tidak dapat mencapai tujuannya. Masalah yang muncul dalam pambangunan berbasis kemitraan adalah karena pihak yang menyampaikan ide-ide pembangunan tidak menyadari bahwa persoalan komunikasi di antara mereka sebagai akibat dari adanya perbedaan budaya. Solusi yang ditemukan dari studi adalah bahwa dengan menyadari adanya perbedaan tersebut, dapat dilakukan adaptasi pada tataran komunikasi dengan pilihan strategi yang sesuai dengan orientasi perusahaan. (4) Dalam dimensi sosial, dari studi dapat ditemukan ketrampilan komunikasi yang bisa dimiliki oleh pelaku usahatani lain dalam relasi kemitraan. Ketrampilan itu berupa penggunaan strategi adaptasi menuju langgengnya kemitraan. Para pelaku usaha kemitraan tidak hanya memandang cara yang efisien sebagai satu-satunya orientasi produksi, namun perlu menekankan pada efektivitas, meskipun suatu cara bisa dipandang tidak efisien. Dari temuan studi tampak bahwa ketrampilan ini dikembangkan oleh pihak perusahaan yang bekerja di lapangan, yaitu mereka yang langsung berhubungan dengan petani plasma. Artinya bukan sebagai hasil pelatihan yang resmi diberikan oleh perusahaan inti. Dalam kerangka ini, agar tidak menimbulkan kecemburuan karyawan bagian lain yang dengan patuh berpegang pada nilai-nilai industrial. Strategi ini kemudian menjadi policy perusahaan bagi karyawan lapangan yang berhubungan langsung dengan petani plasma.
198