184 Nusya Kuswantin
BAB V PENUTUP
Etnografi, menurut Prof. PM Laksono dalam kuliahnya (23/9/2011), adalah ekspresi karya dari pengenalan yang sangat detil atas budaya lain dan bersifat holistik dalam arti dikaitkan dengan konteks besar. Guru Besar Antropologi UGM itu juga berpandangan bahwa etnografi yang tidak historis ataupun sebaliknya, yaitu sejarah yang tidak antropologis, adalah sama-sama otoriter. Mengacu pada dua pernyataan ini saya menyusun etnografi tentang komunitas Mbah Kerto dengan mengkaitkannya dengan peristiwa paling tragis di negeri ini pasca kemerdekaan, yaitu pembantaian besar-besaran di tahun 19651966 yang menewaskan setidaknya satu juta jiwa manusia (terbanyak di Jawa Timur-Jawa Tengah, Bali dan Sumatera Utara). Kekerasan di tahun 1965-1966 terhadap orang-orang yang dituduh dan disangka komunis – yang mana komunis juga seringkali dikonotasikan sebagai ateis -- telah mengubah suasana kemerdekaan beragama di Indonesia. Kebanyakan pembunuhan ditargetkan kepada orang-orang yang dituduh komunis, namun lepas dari apapun ideologi mereka, pada kenyataannya kebanyakan korban di Jawa adalah dari latar belakang abangan (Cribb 1990 dalam Hefner 2011: 84). Sementara itu, di Pasuruan, pembantaian terhadap kaum komunis oleh kalangan NU (dalam hal ini pemuda Anshor) adalah identik dengan pembantaian kalangan Kejawen oleh orang-orang Islam. Pemuda Anshor telah mengeksekusi beberapa pemimpin terkemuka yang anti organisasi Islam yang diketahui menganut agama
185 Nusya Kuswantin
Budhajawi Wisnu (Hefner 1987c). Markas agama tersebut terletak di sebuah desa Kejawen di kaki pegunungan Tengger yang didominasi oleh Nahdatul Ulama. Pasca G30S itu banyak kelompok kebatinan yang dibubarkan dan dilarang karena dicurigai terinfiltrasi oleh golongan komunis. Presiden Suharto menggunakan Pancasila sebagai ideologi negara untuk menghadapi komunisme sekaligus memperkuat kontrolnya terhadap penduduk. Ateisme dilarang dan semua warga negara diwajibkan berafiliasi dengan salah satu agama yang diakui negara dan ini harus disebutkan di dalam kartu tanda penduduk (Picard & Madinier 2011:14). Di bawah Orde Baru, situasi keagamaan kemudian diwarnai dengan program pembinaan. Pemerintah mengatur bahwa interpretasi yang layak terhadap Pasal 29 Konstitusi UUD 1945 adalah setiap warga negara haruslah menganut salah satu dari lima agama yang diakui negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu atau Buddha). Tafsir baru ini merupakan pengebirian terhadap kebebasan beragama yang dinikmati pada zaman Orde Lama (Hefner 2011: 85 dan Mulder 2007: 214). Pada tahun 1964 Biro Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) dari Departemen Agama telah mencatat adanya sebanyak 360 gerakan kebatinan . Setelah G30S 1965, banyak gerakan yang bersimpati pada PKI hilang, sehingga daftar PAKEM yang dibuat tahun 1971 hanya mencatat 217 gerakan saja, dan 177 buah di antaranya bertempat di Jawa Tengah (Koentjaraningrat 1984: 399). Budhojawi/Wisnu adalah termasuk yang hilang dari daftar ini.
186 Nusya Kuswantin
Jauh tersembunyi di pinggir hutan, komunitas Mbah Kerto tak terjangkau oleh kontrol staf Koramil, yang setelah pelarangan terhadap Budhojawi/Wisnu rajin mendatangi acara keagamaan umat Buddha di kantong-kantong exBudhojawi/Wisnu untuk memastikan bahwa para penganutnya telah berganti haluan dan benar-benar mengucapkan doa berbahasa Pali, bukan mantra Hong Wilaheng. Sementara 18 wihara Buddha tradisi Theravada lainnya yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten mulai menjalani Theravadic mainstreaming, komunitas Mbah Kerto – yang juga sudah bergabung dengan Theravada – tetap mendaras
mantra-mantra
Hong
Wilaheng
dan
melanjutkan
ritual-ritual
Budhojawi/Wisnu. Doa baru dalam Bahasa Pali bukanlah hal yang mudah untuk mereka pelajari, apalagi untuk dihayati. Pada tahun 1980 komunitas Mbah Kerto ini membangun sanggar pamujan dengan simbol cakra di atapnya. Pada malam Rabu dan malam Sabtu tembangtembang Jawa dengan teks buddhistis mengalun dari pengeras suara yang dipasang di bawah cakra. Salah satu anggotanya mengakui, ini sesungguhnya adalah semacam upaya membangkitkan Budhojawi/Wisnu. Toh anggota komunitas merasa harus bertindak „layak‟ ketika berhadapan dengan masyarakat luas dan terutama ketika berhadapan dengan negara. Maka jalan tengahnya adalah: Secara eksternal mereka bertindak sebagai umat Buddha tradisi Theravada, sementara secara internal mereka tetaplah menjalankan ajaran Budhojawi/Wisnu. Dalam kurun 45 tahun terhitung sejak pelarangan berbagai kelompok agama termasuk Budhojawi/Wisnu (1967), komunitas Mbah Kerto yang tinggal di
187 Nusya Kuswantin
tepi hutan berubah menjadi suatu komunitas dengan ciri eklektik-paradoksal: Mereka memasang simbol senjata cakra dan pengeras suara di atap wihara, secara internal mendaras mantra-mantra Budhojawi/Wisnu yang diawali dengan salam pembuka berbunyi Hong Wilaheng, secara eksternal berdoa ala Theravada yang diawali dengan salam pembuka berbunyi Namo tassa bhagavato arahato samma sambuddhassa, mereka mengenakan busana Jawa pada acara-acara keagamaan, dan kaum prianya senantiasa mengenakan identitas berupa penutup kepala blangkon. Ciri eklektik-paradoksal yang ditunjukkan oleh komunitas Mbah Kerto ini, menurut saya adalah manifestasi dari beberapa sikap hidup yang saling bertentangan namun terpaksa diadopsi demi salvation (keselamatan) dan perdamaian batin. 1. Mereka mengadopsi Theravada sebagai upaya integrasi sosial, agar dinilai sebagai warga negara yang „layak‟ karena Theravada adalah salah satu tradisi Buddhisme yang diperkenankan oleh negara. Maklum, negara hanya mengakui lima agama saja, (sekarang menjadi enam dengan diakuinya Konghucu berkat perjuangan yang didukung oleh Presiden Abdurahman Wahid). Menganut agama di luar aturan negara di negeri ini juga berarti mengucilkan diri sendiri dari pergaulan masyarakat. Celakanya negara juga mengatur bahwa warga negara harus mencantumkan agama yang dianutnya pada kolom agama di kartu identitas penduduk.
188 Nusya Kuswantin
2. Dengan memasang simbol senjata cakra di atap wihara, komunitas Mbah Kerto menunjukkan komitmen mereka pada agama Budhojawi/Wisnu, namun senjata cakra ini sekaligus juga adalah simbol permohonan maaf dan ampunan pada alam transenden andai mereka gagal dalam mempertahankan komitmen ini. Dengan simbol senjata cakra di atap wihara, mereka mengatakan kepada alam semesta bahwa mereka telah berjuang sekuat tenaga. 3. Kaum pria anggota komunitas Mbah Kerto senantiasa mengenakan identitas blangkon untuk menunjukkan sikap resistensi mereka terhadap kebijakan negara menyangkut agama yang dinilai tidak adil karena tidak mengakui agamaagama lokal dan juga terhadap agama-agama dari luar yang dinilai telah menjajah budaya Jawa. Hal ini jelas dari sikap mereka yang menolak sunat, karena bagi mereka sunat adalah bukti penaklukan oleh Islam. 4. Komunitas Mbah Kerto memasang pengeras suara di atap wihara, yang suaranya bisa terdengar di seluruh kampung. Pengeras suara ini lebih mengingatkan pada kebiasaan yang berlaku di tempat-tempat ritual kolektif umat Islam seperti masjid dan mushola dan pura-pura Hindu. Tradisi ritual Buddhis tidaklah mengenal pengeras suara kecuali sebatas di dalam ruangan saja. Secara diplomatis Mbah Kerto mengatakan bahwa alat pengeras suara ini bermanfaat untuk menghibur khalayak sekitar dengan tembang-tembang Jawa yang mereka lantunkan setiap malam Rabu dan malam Sabtu sebelum mereka melakukan kebaktian dan meditasi bersama. Namun saya kira pengeras suara ini adalah semacam teriakan bahwa mereka tidak takut kendati mempraktikkan tradisi Budhojawi/Wisnu, toh secara kelembagaan mereka berada di bawah naungan
189 Nusya Kuswantin
Theravada, selain bisa juga ditafsirkan sebagai simbol dari tuntutan atas persamaan hak dalam menjalankan keyakinan agama yang disuarakan dengan lantang.
Kesimpulan Sinkretisasi, termasuk dalam bentuk-bentuk simbolik yang eklektik, adalah upaya (sekelompok masyarakat) untuk mencapai salvation (keselamatan) yang merupakan hakikat agama itu sendiri. Sinkretisasi terjadi di dalam masyarakat hibrida seperti masyarakat Jawa yang sejak dulu kala telah mengalami interaksi sosial-budaya dengan berbagai kalangan pendatang dari berbagai belahan dunia dengan nilai-nilai yang beraneka-ragam. Dalam proses kehiduan yang pluralistik seperti itu sinkretisasi adalah hal yang tak terelakkan demi keberlangsungan hidup masyarakat dan demi perdamaian batin. Dengan kata lain sinkretisasi adalah merupakan keniscayaan sejarah peradaban manusia. Tesis ini adalah studi sinkretisme satu komunitas kecil dalam perjuangannya mempertahankan nilai-nilai keyakinan lama ketika dihadapkan pada perubahan yang dipaksakan dari luar oleh penguasa. Sinkretisme di sini antara lain ditampilkan dalam simbol-simbol eklektik, yaitu simbol yang bisa diterima bukan berarti tanpa syarat. Syarat di sini adalah jarak antara lokasi komunitas dengan lokasi aparat yang membuat komunitas Mbah Kerto lepas dari kontrol aparat yang hendak memaksakan nilai-nilai keyakinan baru. Indonesia selama 32 tahun pasca tragedi 1965-1966 hingga tahun 1998 berada di bawah rezim Orde Baru yang otoriter-militeristik dan terobsesi pada
190 Nusya Kuswantin
formalisme serta penyeragaman massa. Hingga saat ini sikap aparat dan perilaku mayoritas masyarakat sudah terbiasa dengan pola penyeragaman ini, sehingga golongan sinkretik semacam komunitas Mbah Kerto – mau tak mau -- digiring menuju kepunahan. Di dalam komunitas yang tinggal 16 keluarga ini kini tidak lagi ada pengajaran agama Budhojawi/Wisnu secara terbuka ataupun secara sistematis, sementara generasi mudanya mendapatkan pendidikan agama ala Theravada di sekolah. Dengan gencarnya Theravadic mainstreaming, generasi baru komunitas Mbah Kerto akan makin menjadi lebih Theravada, dan itu artinya berhentinya regenerasi Budhojawi/Wisnu dalam komunitas Mbah Kerto. Contoh konkretnya jelas: Mbah Kerto yang anti sunat dan bisa membuat anak-anaknya tidak sunat (kecuali satu dari empat anak lelakinya), tak kuasa mencegah cucunya untuk tidak disunat, oleh karena ajaran Theravada tidak melarang sunat. Selain itu, pernikahan antar-budaya – karena kecilnya peluang bagi anak-cucu mereka untuk mendapatkan jodoh dari sesama latar belakang keyakinan agama -- pada akhirnya adalah juga media penciptaan budaya baru sekaligus pengikis budaya asal. Alhasil, kendati demikian gigih upaya resistensi komunitas Mbah Kerto, nyatanya pada tahun 2015 komunitas ini menunjukkan aktivitas keagamaan yang lebih Theravada, dimana doa Theravada dalam Bahasa Pali lebih banyak didaras dibandingkan mantra Hong Wilaheng dalam kebaktian keliling di rumah-rumah anggota komunitas setiap malam Rabu dan setiap malam Sabtu di wihara. Sebagai „kompenasinya‟, sejak tahun 2014 komunitas ini memiliki seperangkat gamelan sederhana sebagaimana mereka idam-idamkan, yang mereka peroleh dari dana
191 Nusya Kuswantin
bantuan „pembinaan keagamaan‟ alias Theravadic mainstreaming. Maka, bisa diramalkan, ajaran Budhojawi/Wisnu kemungkinan bisa sirna dalam satu generasi, yaitu ketika generasi Mbah Kerto sudah tidak ada lagi.
Refleksi Pribadi Saya seolah menemukan diri saya sendiri berada di dalamnya ketika saya hidup bersama komunitas Mbah Kerto dan mengamati dari dekat praktik-praktik keagamaan yang dijalankan anggota komunitas in, juga ketika saya mempelajari mantra-mantra Budhojawi, terutama ketika saya mengetahui alasan di balik sinkretisasi yang harus diadopsi komunitas ini. Saya menemukan berbagai persamaan antara komunitas Mbah Kerto dan keluarga saya dari pihak ibu maupun dari pihak ayah. Yaitu sama-sama dari keluarga Jawa, sama-sama mengalami era tragis tahun 1965-1966 dan dampak ikutan sesudahnya, juga samasama mengadopsi sinkretisme dan eklektisisme sebagai ekspresi ikutannya. Saya menemukan beberapa ritual yang dulu pernah dipraktikkan oleh ibu, nenek dan kakek saya, seperti misalnya selamatan dan sesaji yang ditujukan untuk para arwah leluhur. Ketika masih kanak-kanak saya juga sempat diajar ibu saya untuk setiap kali menyebut “Kakang kawah adi ari-ari, jare bapa ora ana apaapa, jare biyang ora ana barang-barang, sluman-slumun-slamet” di pintu depan ketika hendak meninggalkan rumah. Kata ibu agar saya selamat di jalan. Ketika tinggal bersama komunitas Mbah Kerto saya baru mengerti bahwa untuk mempelajari mantra ini haruslah disertai dengan laku puasa mutih dan patigeni.
192 Nusya Kuswantin
(Menurut cerita, ibu saya ketika masih gadis pernah menjalani puasa mutih 40 hari lamanya, kendati sejak beberapa tahun terakhir ibu saya telah menjalani sholat lima waktu bukan atas inisiatif sendiri melainkan atas dorongan adiknya yang kini tinggal bersama ibu saya setelah sebelumnya lama tinggal di Jakarta. Saya paham, migrasi telah membuat adik ibu aya mengadopsi agama Islam dengan lebih kafah, tidak sebagaimana keluarga ibu saya yang tetap tinggal di kampung halaman yang lebih lamban mengadopsi praktik-praktik keislaman. Ibu saya bahkan kini ikut-ikutan mengenakan jilbab dengan dalih bahwa di kampungnya jilbab sudah merupakan semacam etika berpakaian bagi perempuan. Tampak sekali ibu merasa diri tidak pantas bila tidak mengenakan jilbab ketika keluar dari rumah). Perbedaan antara komunitas Mbah Kerto dan keluarga orang-tua saya adalah Mbah Kerto dan komunitasnya jauh lebih gigih melakukan resistensi terhadap pengaruh budaya baru dari luar, sementara keluarga orang-tua saya, demi alasan survival dan juga demi kepantasan, bersikap lebih adaptif dan adoptif terhadap nilai-nilai baru dari luar. Dengan pengalaman seperti itu maka menulis etnografi ini membuat saya seolah telah menuliskan perjalanan sejarah keluarga orang-tua saya sendiri. Tak berlebihan agaknya apabila saya mengatakan bahwa menulis etnografi – atau yang bisa juga saya sebut sebagai belajar antropologi – adalah proses penemuan diri dan proses pendewasaan diri. Mengutip pernyataan Prof. Laksono, proses belajar antropologi perlu saya lalui secara asketis, tak terburu-buru, mengingat sifat ilmu antropologi yang holistik. Asketisme di sini ternyata bukan hanya bermakna
193 Nusya Kuswantin
analogis, melainkan juga bermakna harafiah, karena untuk mempelajari mantramantra Budhojawi/Wisnu saya juga harus menjalani puasa mutih berhari-hari disertai patigeni. Demikianlah. ***