BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Permasalahan yang ditimbulkan dari perkembangan kota adalah banyaknya bangunan cagar budaya dan warisan budaya yang dihancurkan untuk kepentingan ekonomi maupun modernisasi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk melindungi cagar budaya dan warisan budaya tersebut adalah dengan melakukan penanganan hukum terhadap pelaku maupun pihak-pihak yang terlibat dalam kasus perusakan maupun pembongkaran bangunan cagar budaya dan warisan budaya berdasarkan undang-undang yang berlaku. Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang dilakukan pada penelitian tesis ini dapat ditarik kesimpulan tentang bagaimana penanganan hukum terhadap perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya dilakukan di Yogyakarta. Kasus perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya tidak semuanya ditangani secara hukum. Hal ini berkaitan dengan status yang dimiliki bangunan dan permasalahan yang ditimbulkan. Pada kasus perusakan bangunan SMA 17 Yogyakarta dapat ditangani secara hukum karena statusnya sebagai cagar budaya, putusan hukumannya berupa sanksi administratif dan sanksi pidana dengan denda Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan mengembalikan bangunan seperti semula. Hal ini lebih terkait dengan pengetahuan hakim terhadap upaya pelestarian bangunan cagar budaya. Apabila hakimnya memahami pentingnya
206
207
pelestarian cagar budaya dan kaidah-kaidahnya, putusan yang dijatuhkan kepada tersangka dapat diambil yang maksimal yaitu denda dan juga penjara. Pada kasus pemindahan bangunan Bale Mardiwuto yang juga statusnya sebagai cagar budaya, ternyata tidak ada penanganan secara hukum. Hal ini dikarenakan pemilik bangunan dan instansi yang memberikan rekomendasi pendirian bangunan ruko Yap Square beranggapan bahwa mereka telah menjalankan prosedur yang benar berkaitan dengan upaya pelestarian bangunan cagar budaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Prosedur tersebut antara lain sebelum mendirikan Ruko Yap Square, pihak pemilik telah minta izin kepada pemerintah, pemerintah pun telah melakukan kajian dari berbagai disiplin ilmu sebelum memberikan rekomendasi pembangunan Ruko Yap Square tersebut. Hanya saja mereka tidak mengetahui bahwa prosedur rekomendasi pembangunan Ruko Yap Square ini menyalahi aturan karena SK Penetapan Bangunan Cagar Budaya yang dikeluarkan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan RI Nomor: PM. 25/PW.007/MKP/2007 belum dicabut secara resmi. Pembangunan Ruko Yap Square seakan-akan sudah dianggap benar hanya berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan Direktur Peninggalan Purbakala. Padahal anggapan ini tidak benar secara hukum, karena diperlukan pencabutan SK terlebih dahulu. Di samping itu, tidak ditindaknya secara hukum terhadap pembongkaran bangunan Bale Mardiwuto ini karena tidak ada pihak yang memulai untuk melaporkan kasus ini ke ranah hukum. Selain itu, kasus pemindahan Bale Mardiwuto ini melibatkan pemerintah yaitu Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan saat itu dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala sebagai UPT pemerintah pusat yang seharusnya memiliki tugas dalam pelestarian cagar budaya sehingga tidak
208
mungkin pemerintah yang berwenang menindak, akan melaporkan dirinya sebagai perusak bangunan cagar budaya. Penanganan hukum terhadap perusakan bangunan warisan budaya di Kota Yogyakarta pun hanya dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu. Pada perusakan bangunan SMK Taman Ibu di Jalan Gajah Mada No.28 Yogyakarta tidak dilakukan penanganan hukum. Bahkan tidak ada tuntutan sanksi administratif maupun sanksi pidana. Kasus tersebut seakan-akan hilang tidak diangkat ke publik. Padahal jika dilihat nilai penting sejarah bangunan SMK ini sangat tinggi karena sebagai tempat dideklarasikannya Perguruan Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Hal ini juga terkait dengan kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta yang tidak menindak kasus perusakan bangunan warisan budaya di wilayah kerjanya. Seharusnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta dapat menindak pelaku perusakan bangunan warisan budaya ini, bahkan dapat meminta pihak perusak untuk mengembalikan bangunan seperti semula. Hal ini menunjukkan tidak ada upaya dari pemerintah Kota Yogyakarta dalam menindak kasus perusakan bangunan warisan budaya di lingkungan kerjanya. Seolah-olah terjadi pembiaran terhadap kasus perusakan bangunan warisan budaya di Kota Yogyakarta. Dalam kasus perusakan bangunan warisan budaya Rumah Cina Tjan Bian Thiong, dikarenakan ada laporan dari warga berkaitan dengan perusakan bangunan warisan budaya ini, maka pemerintah memberikan sanksi administrasi berupa pengembalian bangunan ke bentuk semula sedangkan sanksi pidana tidak dilakukan.
209
Berkaitan dengan perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya di Kota Yogyakarta belum sepenuhnya dilakukan sesuai undang-undang yang berlaku. Berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku, seharusnya penanganan kasus perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya dapat dilakukan dengan proses hukum secara administrasi maupun secara pidana. Kenyataannya, penanganan kasus perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya di Kota Yogyakarta hanya dilakukan proses hukum secara administrasi. Hal ini ditunjukkan pada kasus perusakan bangunan cagar budaya SMA 17 Yogyakarta. Meskipun, bangunan SMA 17 Yogyakarta ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan terjadi perusakan, namun proses hukum yang dilakukan hanya berupa denda dan pengembalian bangunan saja. Pelaku perusakan tidak ditindak secara pidana penjara. Hal ini juga terjadi pada kasus perusakan bangunan warisan budaya.
5.2 Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian pada tesis ini, dapat direkomendasikan hal-hal yang berkaitan dengan penanganan kasus perusakan bangunan cagar budaya dan warisan budaya ke depannya. 1.
Undang-undang dan Peraturan Daerah yang Berlaku a. Di dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya belum tercantum sanksi-sanksi mengenai bangunan warisan budaya, bahkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU ini juga belum ditetapkan. Hal ini menimbulkan kekuatan hukum untuk pelindungan terhadap bangunan warisan budaya masih lemah. Untuk itu, segera ditetapkan
210
Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. b. Di Perda DIY No. 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya tidak diatur sanksi berkaitan perusakan bangunan warisan budaya, yang ada hanya sanksi terhadap pemugaran bangunan warisan budaya tanpa izin pemerintah. Tidak adanya sanksi ini bisa dimanfaatkan para pemilik bangunan untuk merusak bangunan warisan budaya demi kepentingan tertentu. Untuk itu, sebaiknya Perda ini direvisi demi pelestarian bangunan cagar budaya dan warisan budaya di Yogyakarta. c. Di Perda Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung, tidak diatur sanksi tentang pembongkaran terhadap bangunan warisan budaya tanpa izin pemerintah. Peluang ini dapat dimanfaatkan pemilik bangunan untuk melakukan pembongkaran bangunan miliknya kemudian menjual kepada investor tanpa ada sanksi yang menjeratnya. Untuk itu, perlu segera direvisi Perda No.2 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung ini, agar pembongkaran bangunan tidak marak terjadi di Kota Yogyakarta. Walikota hendaknya segera menunjuk SKPD yang terkait tentang permohonan pembongkaran bangunan di wilayahnya. d. Surat Keputusan Penetapan Cagar Budaya dan Warisan Budaya Di dalam surat keputusan penetapan sebagai bangunan cagar budaya yang dikeluarkan oleh Gubernur DIY maupun Surat Keputusan penetapan bangunan Warisan Budaya yang dikeluarkan oleh Walikota Yogyakarta hanya berupa daftar (list) saja, tidak disertai informasi detail tentang bangunan tersebut misalnya keluasan, batas-batasnya, nilai
211
pentingnya, dan sebagainya. Hal ini sangat merugikan pemilik bangunan dan membuat kesulitan dalam pelestariannya. Untuk itu, hendaknya ada revisi terhadap Surat Keputusan tersebut yaitu dibuat lebih detail lagi dan disertai dengan nilai penting yang terkandung pada masing-masing bangunan.
2.
Pemerintah a. Pemerintah Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) dan BPCB Yogyakarta Pemerintah Pusat hendaknya melakukan koordinasi dengan BPCB Yogyakarta sebagai UPT di daerah dalam melakukan penetapan bangunan cagar budaya tingkat nasional agar tidak terjadi kekeliruan seperti dalam kasus penetapan bangunan cagar budaya Rumah Sakit Mata Dr. Yap. Jika menetapkan bangunan cagar budaya tingkat Menteri hendaknya lebih diteliti dan dipahami tentang bangunan tersebut, misalnya nilai penting, keluasan, batas-batas, dan sebagainya. Apabila terdapat kekeliruan hendaknya dilakukan perubahan atau revisi sesuai dengan prosedur undang-undang. Tidak justru membenarkan upaya perusakan bangunan cagar budaya. b. Dinas Kebudayaan Provinsi DIY dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta 1) Hendaknya di dalam melakukan rekomendasi terhadap bangunan warisan budaya dan cagar budaya, Dinas Kebudayaan Provinsi DIY berkoordinasi
dengan
DP2WB
dan
Dinas
Pariwisata
dan
212
Kebudayaan Kota Yogyakarta berkoordinasi dengan TP2WB. Sebelum memberikan rekomendasi dilakukan peninjauan ke lokasi bangunan warisan budaya tersebut agar tidak terjadi kesalahan seperti pada bangunan warisan budaya di SMK Taman Ibu dan Rumah Cina Tjan Bian Thiong di Jalan Pajeksan No. 16 Yogyakarta. 2) Hendaknya segera dilakukan proses penetapan cagar budaya terhadap bangunan warisan budaya agar bangunan warisan budaya dapat memiliki kekuatan hukum berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. 3) Membuat formulasi supaya penegakan hukum berjalan baik dengan cara peninjauan terhadap objek yang diduga cagar budaya. 4) Dilakukan sosialisasi terkait dengan penetapan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya atau bangunan warisan budaya karena banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa bangunan yang dimilikinya itu merupakan bangunan cagar budaya atau warisan budaya sehingga akan ada konsekuensi hukum apabila melakukan perusakan serta akan mendapatkan insentif maupun kompensasi apabila turut melestarikannya. c. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta 1) Sebelum memberikan izin mendirikan bangunan, hendaknya Dinas Perizinan melakukan koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota
Yogyakarta.
Dilakukan
pertemuan
dalam
membahas izin bagi bangunan cagar budaya dan warisan budaya yang akan dimanfaatkan masyarakat pemiliknya karena selama ini
213
tidak pernah dilakukan tatap muka antara Dinas Perizinan dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. 2) Sebelum memberikan izin, hendaknya pemohon diminta melengkapi semua persyaratan yang telah ditentukan, jangan sampai seperti kasus perizinan bangunan Hotel Amaris Malioboro, pemohon baru melengkapi persyaratan setelah IMBB keluar dan setelah mencuat kasus perusakan terhadap bangunan warisan budaya ini.
3.
Masyarakat a. Masyarakat hendaknya mempunyai kepedulian terhadap pelestarian bangunan cagar budaya dan warisan budaya, karena berasal dari masyarakatlah segala informasi berkaitan dengan keberlangsungan bangunan cagar budaya dan warisan budaya diperoleh. b. Masyarakat diharapkan mempunyai kesadaran dan lebih mengerti arti pentingnya bangunan cagar budaya dan warisan budaya bagi generasi berikutnya sehingga masyarakat dapat turut serta melindungi, menjaga, dan tidak memberi ancaman negatif berkaitan dengan keberadaan bangunan cagar budaya dan warisan budaya miliknya.