116
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan tentang permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu 1. Dasar
Pertimbangan
Bank
Muamalat
Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) Kongsi
sebelum
dikeluarkan
Produk
yang tertuang dalam notulen
atau berita acara rapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang dinilai tidak bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) yaitu antara lain : (a) Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) Kongsi dengan akad Musyarakah Mutanaqisah wal ijarah untuk lebih mensosialisasikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (b) pertimbangan yang kedua adalah bank muamalat mengikuti konsep dasar yang telah lama dikenal di negara lain yaitu penggunaan akad untuk pemilikan rumah secara syariah dengan akad musyarakah mutanaqisah yang merupakan kombinasi dari akad musyarakah dan ijarah sebagai salah satu system operasional pembiayaan pemilikan rumah secara syariah. Selain dua pertimbangan di atas ada dasar pertimbangan lain dikeluarkan nya pembiayaan hunian syariah (PHS) kongsi berdasarkan wawancara dengan pihak bank yaitu: (a) untuk mengantisipasi
117
penggenaan pajak yang besar, (b) untuk memudahkan pihak nasabah agar dapat memiliki rumah pada awal akad atau terjadinya akad dan (c) untuk mengantisipasi persaingan antar pasar antar usaha perbankan. 2. Implementasi penerapan prinsip musyarakah dan ijarah yang terdapat pada akad Musyarakah Mutanaqisah dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) Kongsi menurut Fatwa Dewan Syariah No.73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah ketentuan-ketentuannya adalah : a. Kewajiban nasabah dan bank untuk memberikan modal; hal ini telah dicantum dalam akad pembiayaan Musyarakah Mutanaqisah pasal 4 ayat 1 b. Kewajiban bagi nasabah untuk membelikan porsi kepemilikan bank; telah diatur dalam akad pembiayaan musyarakah mutanaqisah pasal 3 ayat 4 c. Kewajiban bagi nasabah dan bank untuk saling berbagi kerugian; telah dicantumkan dalam akad Musyarakah mutanaqisah pasal 7 ayat 5 d. Kewajiban membagi keuntungan atas ujrah yang disepakati bersama antara bank dan nasabah; dicantumkan dalam akad musyarakah mutanaqisah pasal 7. Sedangkan peraturan-peraturan terkait lainnya yaitu SK Dir Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan kebijakan perkreditan bagi Bank Implementasi penerapan prinsip
118
musyarakah dan ijarah yang terdapat pada akad Musyarakah Mutanaqisah dalam produk Pembiayaan Hunian Syariah (PHS) Kongsi telah dituangkan dalam ketentuan dalam Pedoman Umum Pelaksanaan Pembiayaan (PUPP) PT.
Bank
Muamalat
Indonesia,
selanjutnya
peraturan
PBI
No.10/17/PBI/2008 Tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang mensyaratkan adanya perizinan, hal ini telah dipatuhi oleh Bank Muamalat dengan telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia berupa Surat persetujuan Bank Indonesia nomor 12/1362/Dpbs tanggal 13 Agustus 2010. Dan peraturan yang terakhir adalah PBI No.13/13/PBI/2011 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha Syariah yang mewajibkan bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian, hal ini Bank muamalat merespon dengan membuat ketentuan mengenai analisis pembiayaan dalam panduan pembiayaan hunian syariah (PHS) kongsi yang terdapat dalam Bab x tentang Kualitas aktiva dan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) terkait penilaian aktiva produktif dan tata cara penilaian produkti dengan menilai prospek usaha nasabah, dan kemampuan membayar nasabah. 3. pembiayaan hunian syariah (PHS) kongsi dengan akad musyarakah mutanaqisah terdapat permasalahan dalam penggunaan akad ijarah, antara lain pandangan bahwa nasabah menyewa apa yang telah menjadi milik nya (penyewa dan yang pemilik sewa adalah orang yang sama) hal ini didasari
119
dengan pencantuman nama nasabah pada sertifikat kepemilikan hunian. Melalui obsevasi dan wawancara penulis dengan pejabat terkait di Bank Muamalat cabang Kalimalang Kota Bekasi, ditemukan bahwa tidak benar jika dikatakan demikian, karena nasabah membeli hunian bersama-sama secara musyarakah mutanaqisah dengan pihak bank, kepemilikan rumah tersebut murni milik nasabah dan bank. Mengenai hal ini, Bank Muamalat Indonesia pun telah menyiapkan instrument yang dapat menguatkan posisi kedua belah pihak, antara lain Surat Pernyataan Pengakuan bahwa nasabah mengakui bahwa hunian dibeli dengan dana musyarakah bersama Bank Muamalat Indonesia, adanya Surat Kuasa yang ditujukan kepada bank agar dapat menyewakan hunian, dan adanya pengakuan dari nasabah bahwa hunian baru menjadi milik nasabah ketika seluruh pelunasan telah dilakukan oleh nasabah, dan sebagainya. Masalah selanjutnya adalah mengenai proyeksi yield yang seolah sama dengan bunga bank yang ribawi. Setelah dilakukan wawancara dengan pejabat terkait BMI, ditemukan bahwa yield tidak sama dengan bunga, karena yield sifatnya tidak tetap dan terus berubah karena didasarkan pada keuntungan yang diperoleh, bukan pokok pembiayaan. Meski memang hasil akhirnya dapat diprediksi karena sewa merupakan salah satu sumber penghasilan yang jumlahnya tetap.
120
B. Saran 1. pada pembiayaan Hunian Syariah (PHS) Kongsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan fatwa yang berlaku namun masih banyak kerancuan dan ketidakjelasan dalam klausula dan rincian akad, sehingga diperlukan rekonstruksi akad dan klausula agar lebih dipahami. 2. Perjanjian atau akad pemberian kuasa atas rumah yang menjadi obyek pembiayaan dalam PHSK dan perjanjian pemberian kuasa atas hunian kepada bank sebaiknya dilakukan dengan akta otentik yang bersifat notariil, sehingga kedudukan nasabah dan bank menjadi lebih kuat secara hukum dibandingkan hanya dibuat dengan akta di bawah tangan. 3. Bagi Bank Muamalat Indonesia, untuk sesegera mungkin mencari alternative penerapan yang paling tepat dengan prinsip syariah terkait dengan sertifikat kepemilikan objek pembiayaan dalam PHSK. Karena, bagaimanapun juga, pencantuman nana nasabah di awal perjanjian bahkan sebelum adanya pelunasan sama sekali dari nasabah, adalah melanggar ketentuan dalam Fatwa MMQ.