Bab V Pembahasan
V.1 Peringkat Batubara
Peringkat batubara merupakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam proses pembatubaraan. Tahapan ini sangat dipengaruhi oleh proses diagenesa yang melibatkan faktor tekanan, panas dan waktu. Tekanan yang terus meningkat dalam proses diagenesa akan lebih mempengaruhi sifat fisik batubara, sementara panas dan waktu akan lebih mempengaruhi sifat kimia batubara. Salah satu sifat fisik batubara yang dapat dipergunakan sebagai indikator peringkat batubara adalah nilai reflektansi maseral vitrinit. Nilai reflektansi vitrinit dapat dipergunakan sebagai indikator peringkat dikarenakan selalu ada korelasi yang kuat antara dua variabel tersebut (Hoffman & Jenker 1932, dalam Stach et.al., 1982).
Tabel V.1. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-01 dan peringkatnya NO
Nama Seam
Sampel
KEDALAMAN (m)
Rv (%)
Peringkat
1
A
GBJ01-01A
113.20
0.35
Lignit
2
A
GBJ01-02A
115.40
0.34
Lignit
3
A
GBJ01-03A
116.65
0.39
Sub bituminous C
4
Sub - B
GBJ01-01B
166.25
0.38
Lignit - Sub bituminous C
5
Sub - B
GBJ01-01C
191.63
0.38
Lignit - Sub bituminous C
6
Sub - B
GBJ01-02C
191.14
0.38
Lignit - Sub bituminous C
7
B
GBJ01-01D
218.80
0.38
Lignit - Sub bituminous C
8
B
GBJ01-02D
219.20
0.38
Lignit - Sub bituminous C
9
B
GBJ01-03D
222.85
0.37
Lignit - Sub bituminous C
10
B
GBJ01-04D
222.30
0.38
Lignit - Sub bituminous C
11
B
GBJ01-05D
223.33
0.38
Lignit - Sub bituminous C
12
B
GBJ01-06D
223.95
0.41
Sub bituminous C
13
Sub – C
GBJ01-01E
279.10
0.40
Sub bituminous C
14
C
GBJ01-01F
304.30
0.40
Sub bituminous C
V-1
Tabel V.2. Nilai reflektansi vitrinit sampel Lubang Bor PMG-02 dan peringkatnya NO
SEAM NAME
Sampel
KEDALAMAN (m)
Rv (%)
Peringkat
D
GBJ02-02A
39.35
0.36
Lignit
16
E
GBJ02-01B
64.6
0.38
Lignit - Sub bituminous C
17
F
GBJ02-02C
96
0.4
Sub bituminous C
18
G
GBJ02-01D
196.1
0.41
Sub bituminous C
Reflektansi Vitrinit (%)
15
y = 0.0003x + 0.3592 0.45 R2 = 0.7826 0.40 0.35
y = 0.0002x + 0.3365 R2 = 0.4593
0.30
PMG-01
0.25
PMG-02
0.20
Linear (PMG-02)
0.15
Linear (PMG-01)
0.10 0.05 0.00 0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
Kedalaman (m)
Seam batubara top ke bottom
Gambar V.1. Hubungan nilai reflektansi vitrinit dan kedalaman.
Top D E F G A B C Bottom 0.32
0.34
0.36
0.38
0.40
0.42
Reflektansi vitrnit (%)
Gambar V.2. Ilustrasi Hubungan nilai reflektansi vitrinit dan urutan seam dari topbottom.
V-2
Di bawah mikroskop polarisasi refleksi semua maseral akan memantulkan cahaya dengan intensitas tertentu yang tergantung peringkat batubara. Reflektansi maseral liptinit dan inertinit pada dasarnya dapat dipergunakan sebagai indikator peringkat batubara. Walaupun demikian kedua grup maseral tersebut tidak dipergunakan sebagai standar penentuan peringkat dikarenakan butiran maseral yang umumnya kecil dibandingkan vitrinit. Disamping itu maseral liptinit dan inertinit tidak menunjukkan relief yang baik dalam sayatan poles.
Penentuan peringkat batubara berdasarkan klasifikasi Amerika Utara (dalam stach et.al., 1982) dapat dilihat dalam Tabel V.1 untuk Lubang Bor PMG-01 dan Tabel V.2 untuk Lubang Bor PMG-02. Semua sampel tersebut menunjukkan peringkat batubara antara lignit-subbituminous C. Batubara Seam C, F dan G (Rv 0,4-0,41 %) umumnya mempunyai peringkat yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan batubara Seam A, B, D dan E (Rv antara 0,34-0,39 ). Hal ini disebabkan secara stratigrafi pada Lubang Bor PMG-01 batubara Seam C berada pada lapisan lebih dibawah dari Seam A dan B. Sedangkan pada Lubang Bor PMG-02 litologi batubara Seam F dan G berada pada lapisan lebih dibawah dari Seam D dan E. Dengan demikian Seam C, F dan G telah mengalami proses diagenesa yang lebih intensif dibandingkan dengan Seam A, B, D dan E. Menurut hukum Hilt maka tingkat perubahan rank batubara pada Lubang Bor PMG-01 adalah 0.0262% Rv/100m, sedangkan tingkat perubahan rank batubara pada Lubang Bor PMG-02 adalah 0.0319% Rv/100m.
Hal berbeda akan didapatkan jika semua seam diurutkan dari atas ke bawah (D, E, F, G, A, B dan C) dimana pada Seam F, G dan C mempunyai nilai reflektansi vitrinit yang lebih besar dari lainnya yaitu 0,4-0,41, yang tidak sesuai menurut hukum Hilt ini dimungkinkan karena adanya struktur geologi perlipatan yang menyebabkan naiknya tekanan dan temperatur sehingga terjadi pematangan setempat pada Seam F, G dan C.
V-3
Peringkat Batubara yang menunjukkan antara lignit-subbituminous C, maka menurut Gambar III.7 dan III. 8 dan dapat diperkirakan bahwa sebagian besar metana berasal dari proses biogenik (metana biogenik/metana mikrobial) (Gambar V.3).
Gambar V.3. Hubungan nilai reflektansi vitrinit dengan asal gas metana Buanajaya (dimodifikasi dari Faiz, 2004)
V.2 Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batubara
V.2.1 Komposisi Maseral Batubara
Dari 8 seam yang terdapat dalam lubang bor, ada 7 seam yang dilakukan analisis petrografi batubara dan ada 2 seam yang diwakili oleh lebih dari dua titik sampel yaitu Seam A (3 sampel) dan B (6 sampel). Sub-grup maseral yang paling dominan adalah telovitrinit yaitu antara 45,4% sampai 63,6% dengan rata-rata 55,9% (semua proporsi maseral dinyatakan dalam % volume). Diikuti oleh sub-grup maseral detrovitrinit dengan rata-rata 40,30%. Selanjutnya grup maseral liptinit rata-rata sebesar 1,61% dan diikuti oleh inertinit rata-rata 1.02%.
V-4
Komposisi Maseral Berdasarkan Seam 70 D
60
E
50
F G
40
Rata-rata A
30
Rata-rata Sub-B Rata-rata B
20
Sub-C
10
C
0 Telovitrinit
Detrovitrinit
Inertinit
Liptinit
Gambar V.4. Komposisi maseral berdasarkan seam.
Sub-grup detrovitrinit didominasi oleh maseral densinit dengan rata-rata 19,6% dan sedikit terdapat maseral atrinit dengan rata-rata 1,22%. Maseral densinit merupakan hasil gelifikasi dari maseral atrinit dengan tingkat gelifikasi yang masih rendah. Grup maseral detrovitrinit merupakan komponen yang terbentuk pecahan-pecahan (detrital) dari maseral vitrinit. Disamping itu maseral atrinit dan densinit merupakan komponen yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu dan kayu yang mudah terdekomposisi (Teichmueller, 1989).
Maseral detrovitrinit dan detrogelinit mempunyai proporsi yang cukup besar (ratarata 40,3) sehingga diduga batubara Buanajaya terbentuk dari tumbuhan perdu yang cukup signifikan atau dari tumbuhan berkayu dengan aktivitas bakteri yang tinggi. Tumbuhan perdu mudah mengalami dekomposisi selama tahap humifikasi sehingga akan membentuk komponen detrital. Sedangkan aktivitas bakteri yang tinggi juga mampu merubah sel-sel tumbuhan kayu menjadi detrital maseral.
V-5
Dilihat secara vertikal maka terdapat variasi proporsi grup maseral detrovitrinit antara lapisan batubara bagian atas, tengah, dan bawah. Proporsi grup maseral detrovitrinit lapisan batubara bagian atas (rata-rata 40,1%) dan lapisan bawah (rata-rata 37,07%) relatif lebih kecil daripada lapisan batubara bagian tengah (rata-rata 44,33%). Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa lapisan batubara didominasi oleh tumbuhan perdu pada bagian tengah. Sedangkan pada bagian atas dan bawah lapisan didominasi tumbuhan yang lebih bervariasi. Hal ini juga dapat menjadi indikasi awal bahwa gambut telah mengalami evolusi dari tipe mesotrofi-oligotrofi dengan tumbuhan yang bervariasi menjadi tipe eutrofi yang banyak dibentuk oleh tumbuhan air dan didominasi oleh tumbuhan perdu.
Sub-grup telovitrinit didominasi oleh maseral telogelinit dengan rata-rata 33,49% dan detrogelinit dengan rata-rata 22,98%. Sementara maseral korpovitrinit mempunyai proporsi relatif kecil yaitu 2,13%. Maseral telogelinit merupakan hasil gelifikasi dari maseral texto-ulminit dan eu-ulminit. Sementara maseral detrogelinit merupakan hasil gelifikasi dari maseral densinit. Dengan demikian kehadiran maseral telogelinit dan detrogelinit dengan proporsi yang cukup dominan ini (56,47%) memberikan indikasi bahwa batubara Buanajaya telah mengalami proses gelifikasi yang cukup intensif. Hal ini disebabkan oleh kondisi reduksi di bawah air sehingga proses gelifikasi dapat berlangsung intensif.
Dilihat secara vertikal maka terdapat variasi proporsi grup maseral telovitrinit antara lapisan batubara bagian atas, tengah, dan bawah. Proporsi grup maseral telovitrinit lapisan batubara bagian atas (rata-rata 56,7%) dan lapisan bawah (rata-rata 58,27%) relatif lebih besar daripada lapisan batubara bagian tengah (rata-rata 53,47%). Hal ini mengindikasikan bahwa proses gelifikasi relatif lebih intensif terjadi pada lapisan bagian tengah dibandingkan dengan lapisan batubara bagian atas dan bawah.
Sub-grup telovitrinit didomonasi oleh maseral texto-ulminit dengan rata-rata 7,31% sementara maseral yang lain yaitu textinit dan eu-ulminit tidak teramati. Maseral
V-6
telovitrinit merupakan komponen yang masih mempunyai struktur jaringan sel yang baik. Proporsi telovitrinit yang relatif rendah mengindikasikan bahwa komponen batubara telah banyak yang rusak menjadi detrital oleh aktivitas bakteri atau tergelifikasi di bawah kondisi air.
Maseral grup inertinit terdiri dari semifusinit (rata-rata 2,22 ), sclerotinit (rata-rata 2%), dan inertodetrinit (rata-rata 0,6%). Maseral inertinit merupakan komponen yang teroksidasi oleh karena berkurangnya kelembaban gambut. Kandungan inertinit yang relatif rendah dapat menunjukkan batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang basah dan tingkat oksidasi yang rendah (Stach et.al., 1982). Sehingga sedikitnya maseral inertinit pada Buanajaya menunjukan bahwa pada saat pengendapannya kelembaban gambut selalu terjaga dengan baik.
Terdapat variasi vertikal nilai rata-rata maseral inertinit yaitu cenderung tinggi pada lapisan atas walaupun tidak semua titik sampel menunjukkan variasi tersebut. Lapisan batubara bagian atas mengandung inertinit rata-rata 1,23%; lapisan tengah rata-rata 1,12%; dan lapisan bawah rata-rata 0,9%. Variasi ini mengindikasikan bahwa lapisan batubara telah mengalami tingkat oksidasi yang semakin naik dengan bertambahnya ketebalan gambut. Maseral sclerotinit hadir dengan prosentase yang lebih rendah pada lapisan bagian bawah (rata-rata 0,21%) dibandingkan lapisan bagian tengah (rata-rata 0,27%) dan bagian atas (rata-rata 0,3%). Hal ini mengindikasikan aktivitas jamur lebih intensif terjadi pada bagian atas dan tengah karena mempunyai kondisi yang lembab. Berdasarkan kandungan inertinit yang rendah dan pola variasi inertinit dan sclerotinit maka dapat diduga pada waktu penggambutan bagian atas dan tengah cenderung tidak terendam air daripada bagian bawah. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan tipe gambut dari low moor dan eutrofi menjadi high moor dengan kondisi mesotrofi-oligotrofi.
Grup maseral liptinit didominasi oleh maseral kutinit (rata-rata 1,02%) dan resinit (rata-rata 0.33%) dan serta terdapat sedikit maseral suberinit (rata-rata 0,2%),
V-7
sporonit
(rata-rata
0,06%)
dan
liptodetrinit
(rata-rata
0,12%).
Disamping
kandungannya yang relatif kecil, variasi vertikal kandungan maseral liptinit juga tidak teratur.
Kandungan mineral yang teramati dalam analisis petrografi umumnya adalah mineral lempung, pirit serta sedikit karbonatan. Komponen terbesar mineral adalah lempung (rata-rata 0,6%) dan diikuti oleh pirit (rata-rata 0.05%) serta komponen terkecil yang dapat diamati adalah karbonatan (rata-rata 0,02%). Disamping kandungannya yang relatif kecil, variasi vertikal kandungan mineral juga tidak teratur.
Komposisi Maseral Seam A 70 60
(%)
50
GBJ01-01A
40
GBJ01-02A
30
GBJ01-03A Rata-rata
20 10 0 Telovitrinit
Detrovitrinit
Inertinit
Liptinit
Gambar V.5. Perbandingan komposisi maseral Seam A dari top ke bottom
Komposisi maseral sampel Seam A menunjukkan perubahan yang semakin didominasi oleh tumbuhan perdu dengan bertambahnya kedalaman atau semakin didominasi oleh tumbuhan berkayu dengan berkurangnya kedalaman. Hal ini mengindikasikan rawa gambut berkembang dari rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu dalam kondisi eutrofi menjadi rawa yang didominasi oleh tumbuhan berkayu dalam kondisi mesotrofi-oligotrofi. Dengan demikian pola perubahan tipe gambut untuk Buanajaya berdasar rumpun tumbuhan pembentuk, sama dengan pola
V-8
yang didasarkan pada tingkat oksidasi yang ditunjukkan oleh komposisi maseral inertinit.
Komposisi Maseral Seam B 70
GBJ01-02D
30
GBJ01-03D
20
GBJ01-04D
10
GBJ01-05D
0
GBJ01-06D
Te lo vi
Li pt in it
40
In er t in it
GBJ01-01D
De tr o vit rin it
50
tr i ni t
(%)
60
Rata-rata
Gambar V.6. Perbandingan komposisi maseral Seam B dari top ke Bottom
Komposisi maseral sampel Seam B menunjukan terjadinya perubahan fasies rumpun tumbuhan pembentuk yaitu dari tumbuhan perdu (tumbuhan air), kemudian terdapat tumbuhan berkayu, dan setelah itu berkembang lagi tumbuhan perdu. Kemungkinan pada daerah ini pada awalnya berkembang rawa gambut yang cukup melimpah dengan tumbuhan perdu dalam kondisi eutrofi kemudian terjadi penurunan relatif muka air sehingga lebih memungkinkan perkembangan tumbuhan berkayu dengan kondisi yang cenderung mesotrofi. Setelah itu rawa kembali didominasi oleh tumbuhan perdu dengan kondisi mesotrofi-oligotrofi dan kemudian memungkinkan perkembangan tumbuhan berkayu dengan kondisi yang cenderung mesotrofi.
V-9
Kandngan Gas (cm3/gr)
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
R2 = 0.9958
Telovitrinit (kayu) Detrovitrinit (perdu)
R2 = 0.9999
0
20
40
60
80
Maseral (%)
Gambar V.7. Hubungan jenis tumbuhan asal dengan kandungan gas dalam Seam A
Kandungan Gas (cm3/gr)
1.6 1.4
Telovitrinit (kayu)
1.2 Detrovitrinit (perdu)
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
20
40
60
80
Maseral (%)
Gambar V.8. Hubungan jenis tumbuhan asal dengan kandungan gas dalam Seam B
Komposisi maseral dapat mencerminkan rumpun tumbuhan pembentuk rawa gambut. Pada Gambar V.6 dan 7 ditunjukan perbandingan komposisi maseral yang berasal dari kayu dan perdu pada Seam A dan B dihubungkan dengan kandungan gas. Maseral yang diinterpretasikan berasal dari tumbuhan kayu adalah telovitrinit, fusinit, semifusinit,
telogelinit,
suberinit,
dan
V-10
resinit.
Sementara
maseral
yang
diinterpretasikan berasal dari tumbuhan perdu adalah detrovitrinit, detrogelinit, inertodetrinit, sporinit, kutinit, liptodetrinit, dan alginit. Namun karena prosentase selain telovitrinit dan detrovitrinit sangat kecil sehingga asal tumbuhan hanya diinterpretasikan dari kedua maseral tersebut. Dari Gambar V.5 ditunjukkan bahwa semakin tinggi nilai prosentase maseral detrovitrinit (tumbuhan perdu) semakin tinggi kandungan gas yang dihasilkan, sebaliknya semakin tinggi nilai prosentase maseral telovitrinit (tumbuhan kayu) akan semakin berkurang kandungan gasnya.
Sebagai penyimpan gas, ini dapat dijelaskan karena grup maseral detrovitrinit merupakan komponen yang terbentuk pecahan-pecahan (detrital) dari maseral vitrinit yang berasal dari tumbuhan perdu atau dari tumbuhan berkayu dengan aktivitas bakteri yang tinggi. Tumbuhan perdu mudah mengalami dekomposisi selama tahap humifikasi sehingga akan membentuk komponen detrital. Sedangkan aktivitas bakteri yang tinggi juga mampu merubah sel-sel tumbuhan kayu menjadi detrital maseral. Komponen detrital ini mempunyai lebih banyak fragmen sel dan porositas besar sehingga gas yang diserap dalam permukaan internal maseral batubara akan semakin besar seiring dengan naiknya prosentase maseral yang berasal dari perdu ini.
Sebagai penghasil gas, menurut Hunt, 1979 (Gambar V.7), komponen yang berasal dari tumbuhan perdu atau dari tumbuhan berkayu dengan aktivitas bakteri yang tinggi akan lebih mudah untuk menghasilkan gas dari pada tumbuhan yang berkayu. Sehingga gas yang dihasilkan dari tumbuhan perdu akan semakin besar seiring dengan naiknya prosentase maseral yang berasal dari perdu ini.
V-11
Gambar V.9. Hubungan jenis tumbuhan asal dengan potensi penghasil gas (Hunt, 1979; Sumber Scott, 2002)
V.2.2 Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi
Gambar V.10. Plot sampel batubara pada Diagram TPI-GI Lamberson et.al (1991) . Fasies dan lingkungan pengendapan batubara salah satunya dapat ditunjukkan dengan diagram pengawetan struktur jaringan (Tissue Preservation Index, GI).
V-12
TPI menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. GI merupakan perbandingan komponen yang terfusinitkan.
TPI juga dapat menunjukan tingkat humifikasi gambut dalam proses pembatubaraan. Sementara itu GI berhubungan dengan kontinuitas kondisi gambut di bawah air. Laberson et. Al.
(1991) melakukan modifikasi
terhadap GI bahwa disamping
menunjukan tingkat gelifikasi (reduksi) juga merupakan kabalikan indeks oksidasi. Dalam penelitian ini
akan digunakan modifikasi yang telah dilakukan oleh
Lamberson et.al. (1991). Disamping itu modifikasi tambahan juga diperlukan untuk menyesuaikan dengan batubara daerah penelitian yang mempunyai rank rendah (subbituminous).
Hasil perhitungan TPI dan GI telah ditunjukan dalam Tabel IV.8 ( Bab IV ). Untuk Buanajaya umumnya memiliki harga TPI yang relatif kecil dengan rata-rata 1,4308 (antara 0,899 sampai 1,87). Harga TPI bervariasi secara vertikal, walaupun tidak ditunjukan oleh semua sampel. Sementara bagian atas mempunyai harga TPI rata-rata 1,23 dan bagian bawah rata-rata 1,45. Dengan demikian terlihat bahwa struktur jaringan sedikit lebih terjaga pada lapisan batubara bagian bawah dibandingkan terhadap bagian atas. Harga TPI yang bervariasi
secara vertikal tersebut
mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan tipe gambut secara vertikal.
Tingkat pengawetan jaringan tumbuhan yang terindentifikasi dalam batubara dapat dikaitkan dengan tipe pengawetan pada gambut resen. Tipe gambut di Kalimantan umumnya bervariasi secara vertikal yang menunjukan adanya perubahan spesies tumbuhan pembentuk. Pada lapisan gambut bawah umumnya berupa gambut saprik, semakin ke atas umunya akan berubah menjadi tipe gambut hemik dan terakhir berupa gambut fibrik ( Dehmer, 1993; Esterle & Ferm, 1994; dalam Amijaya & Littke, 2004 ). Gambut saprik didominasi oleh hasil biodegradasi lignin dengan
V-13
sedikit jaringan yang terawetkan. Gambut fibrik terbentuk dari material yang banyak mengandung selulosa dan lignin yang terawetkan. Variasi vertikal tersebut juga menunjukan perubahan tipe gambut dari Low moor menjadi high moor.
Dilihat dari tingkat pengawetan jaringan pada batubara Buanajaya, rata-rata TPI menunjukan variasi yang semakin rendah dengan bertambahnya kedalaman. Dengan demikian variasi vertikal pengawetan jaringan Buanajaya serupa dengan tipe gambut resen di Kalimantan yang menunjukan perubahan dari tipe eutrofi menjadi mesotrofioligotrofi.
Harga GI untuk Buanajaya cenderung turun dengan bertambahnya ketebalan gambut walaupun tidak selalu teratur pada beberapa sampel. Hal ini bersesuaian dengan tingkat oksidasi yang semakin tinggi dengan bertambahnya ketebalan yang tercermin dalam komposisi maseral inertinit yang semakin besar. Perubahan tingkat gelifikasi dan oksidasi tersebut juga mengindikasikan adanya perubahan tipe gambut dari eutrofi ( low moor ) kearah mesotrofi-oligotrofi( high moor ).
Harga TPI dan GI untuk Buanajaya setelah diplot ke dalam diagram Lamberson et.al. ( 1991 ) seperti dalam Gambar V.2. Dalam diagram tersebut terlihat bahwa semua titik cenderung terletak dalam zona Wet Forest Swamp dengan kondisi air input telmatik dan klastik dari luar gambut.
Lingkungan pengendapan delta terbagi menjadi upper delta plain dan lower delta plain. Upper delta plain dicirikan oleh jenis tumbuhan yang lebih bervariasi termasuk dominasi jenis tumbuhan berkayu sehingga akan lebih banyak struktur jaringan yang terawetkan. Sementara lingkungan lower delta plain mempunyai Ph yang tinggi sehingga bakteri akan sangat menentukan proses dekomposisi (humifikasi). Batubara yang didominasi oleh tumbuhan perdu dan kayu lunak akan banyak ditemukan struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. Batubara Buanajaya didominasi oleh
V-14
maseral atrinit, densinit, dan detrogelinit sebagai maseral yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu.
Dilihat dari harga GI yang tinggi maka dapat diinterpretasikan bahwa batubara terbentuk dari gambut yang selalu lembab atau kondisi yang jenuh air. Upper delta plain dipisahkan terhadap lower delta plain oleh batas tertinggi air pasang. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa batubara Buanajaya terbentuk dalam lingkungan Wet Forest Swamp-Mars yang terendapkan dalam lower delta plain.
Menurut Howell & Ferm ( 1980 ) dan Levey ( 1985 ) dalam Taylor et.al. ( 1998 ) bahwa pada batubara yang terendapkan dalam lingkungan lower delta plain umumnya tidak menerus, mempunyai ketebalan yang cukup bervariasi dan berasosiasi dengan batupasir.
Gambar V.11. Model lingkungan pengendapan batubara lower delta plain (horne et. al 1978)
V-15
V.2.3 Pengaruh Airtanah dan Derajat Vegetasi
Gambar V.12. Plot sampel batubara pada Diagram VI-GWI Calder et.al (1991) . Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui tipe gambut adalah diagram yang diperkenalkan oleh Calder et.al. ( 1991 ). Diagram ini menggunakan dua parameter yaitu tingkat pengaruh air tanah dan derajat vegetasi. Tingkat pengaruh air tanah dinyatakan sebagai GWI ( Groundwater Influence Index ) yaitu besaran yang menyatakan intensitas kondisi reotrofi ( eutrofi ). Disamping itu besaran GWI juga sekaligus menyatakan perbandingan antara komponen yang tergelifikasi kuat terhadap yang tergelifikasi lemah. Derajat vegetasi dinyatakan sebagai VI (Vegetation Index) yaitu besaran yang menyatakan perbandingan antara maseral yang berasal dari tumbuhan hutan (kayu) terhadap tumbuhan perdu (herbaceous).
Harga GWI dan VI untuk Buanajaya setelah diplot ke dalam diagram Calder et.al. (1991) dapat dilihat pada dalam Gambar V.3. Dalam diagram tersebut terlihat bahwa
V-16
semua titik cenderung terletak dalam zona swamp yang dipengaruhi marsh reotrofi. Dari diagram tersebut terlihat adanya perubahan tipe gambut yaitu cenderung dari eutrofi kemudian berkembang ke gambut mesotrofi.
Secara umum dari diagram tersebut terlihat semua sampel terendapkan dalam tipe gambut eutrofi dan mesotrofi. Dibandingkan dengan hasil yang dinyatakan dalam dua sub bab sebelumnya terdapat sedikit perbedaan yaitu tipe gambut berubah dari eutrofi ke mesotrofi.
Hasil plot pada diagram Calder et.al. (1991) mendukung terhadap plot yang telah di lakukan pada diagram Lamberson et.al. (1991). Dalam diagram Lamberson diduga kuat Buanajaya terendapkan dalam lingkungan lower delta plain yang sedikit terpengaruhi oleh air laut. Dengan demikian dalam lingkungan ini tumbuh gambut yang bersifat eutrofi sampai mesotrofi selama proses pengendapannya. Hal ini diperkuat oleh diagram Calder yang mengindikasikan tipe rawa eutrofi dan mesotrofi.
V.3 Perilaku Gas Batubara
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan pada titik bor PMG-01, ada dua seam batubara yang mempunyai ketebalan relatif lebih tebal dari seam lainnya. Ketebalan kedua seam tersebut berkisar antara 4-6 meter.
Seam batubara lainnya yang kurang dari 1 meter dianggap sebagai interseam/subseam dari seam batubara yang lebih tebal, sehingga pengukuran kandungan gas di seluruh daerah Buanajaya lapisan sub-seam tidak dihitung.
V-17
V.3.1 Hubungan Kandungan Gas dengan Reflektansi Vitrinit
Secara umum dari grafik Gambar V.13 terlihat sampel dari lubang PMG-01 menghasilkan kandungan gas yang cenderung makin berkurang seiring dengan naiknya reflektansi vitrinit. Demikian pula dengan sampel dari PMG-02 terlihat data yang lebih berpola ke arah kandungan gas yang makin berkurang seiring dengan bertambahnya reflektansi vitrinit dan kedalaman. Hal ini mungkin disebabkan karena makin terkompaksinya batubara seiiring dengan naiknya refletansi vitrinit akibat diagenesa. Saghafi (2001) menyebutkan bahwa salah satu karakteritik batubara sebagai penyimpan gas adalah porositas. Kompaksi akibat tekanan dan temperatur yang tinggi ini menyebabkan pori-pori dalam maseral batubara akan semakin kecil (positas berkurang), sehingga gas yang diserap dalam permukaan internal maseral batubara akan makin kecil seiring dengan naiknya reflektansi vitrinit ini. Namun menurut Faiz, et. al. (2007) kecenderungan ini berlangsung sampai reflektansi vitrinit 2% (low volatile bituminous), selanjutnya pola akan berbalik sehingga naiknya reflektansi vitrinit akan menaikkan kandungan gas ini dikarenakan pada reflektansi yang demikian batubara akan mempunyai pori yang banyak karena evolusi secondary porosity akibat tekanan dan temperatur yang besar dan menguapnya bitumen dari batubara (Gambar V.13) .
Kandungan Gas (cm3/gr)
1.6 1.4 1.2 1 PMG-01
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
Reflektansi Vitrinit (%)
Gambar V.13. Hubungan kandungan gas dan reflektansi vitrinit
V-18
PMG-02
Gambar V.14. Hubungan kapasitas absorbsi dan reflektansi vitrinit, di Sydney Basin (Faiz, et. al, 2007)
Gambar V.15. Hubungan porositas dengan peringkat batubara (Dimodifikasi dari King dam Wilkins, 1944; Mc Catney dan Teichmuller, 1972; levine, 1993, Faiz, 1993; Rodrigues dan Sousa, 2002; Sumber: Faiz, et. al, 2007)
V-19
V.3.2
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Komposisi
Maseral dan Mineral Batubara
Pengukuran komposisi gas umumnya hanya menyebutkan Kandungan gas CH 4 , CO 2 dan N 2 , karena gas lainnya mempunyai prosentase sangat kecil (total kurang dari 1%). Pembahasan hanya dititikberatkan pada komponen gas metananya saja, dianalisis hubungannya dengan parameter batubara yang lain.
V.3.2.1
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Komposisi
Vitrinit
1.6 1.4 R2 = 0.4908
cm3/gr
1.2
CH4
1
Gas total
0.8
Linear (CH4)
2
R = 0.488
0.6
Linear (Gas total)
0.4 0.2 0 93
94
95
96
97
98
99
Vitrinit (%)
Gambar V.16. Hubungan kandungan gas dan prosentase vitrinit
Sebagai sumber dari gas metana, potensi pembentukan metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral, menurut Levine (1992), batubara dengan sedikit komponen yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak dapat menghasilkan metana. Batubara Buanajaya yang kaya akan vitrinit akan menghasilkan metana yang banyak karena vitrinit berpotensi besar untuk menghasilkan hidrokarbon, sehingga ketika menghitung sumberdaya gas metana, distribusi dari batubara yang kaya vitrinit harus dipertimbangkan.
V-20
Sebagai penyimpan gas, dari grafik diatas terlihat sampel menghasilkan kecenderungan bahwa makin tinggi prosentase vitrinit akan menghasilkan kenaikan kandungan gas walaupun kurang berpola. Penyerapan gas pada permukaan internal batubara tergantung pada luas permukaan yang mengontrol kapasitas gas yang diserap, dan ini merupakan fungsi dari volume pori mikro (Levy et al., 1997; Crosdale et al., 1998). Komposisi maseral vitrinite/huminite mempunyai korelasi kuat dengan kapasitas penyerapan gas (Levy et al., 1997), artinya dalam suatu tekanan
cm3/gr
tertentu makin tinggi prosentase huminite/vitrinite makin banyak gas dapat diserap.
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 96.2
R2 = 0.4297 Total gas Metana 2
Linear (Total gas)
R = 0.8474
Linear (Metana)
96.4
96.6
96.8
97
97.2
Vitrinit (%)
Gambar V.17. Hubungan kandungan gas dan prosentase vitrinit pada Seam A
1.6 1.4
R2 = 0.7689
cm3/gr
1.2 Total gas
1
Metana
0.8
Linear (Metana)
0.6
Linear (Total gas)
R2 = 0.5417
0.4 0.2 0 94
95
96
97
98
Vitrinit (%)
Gambar V.18. Hubungan kandungan gas dan prosentase vitrinit pada Seam B
V-21
Sebagai pembanding, dari Gambar V.17 dan V.18 diatas terlihat bahwa pada Seam A mempunyai pola yang sama dengan keseluruhan sampel, namun kenaikan gasnya (gradien) kurang mencolok dibandingkan Seam B, hal ini disebabkan pengaruh komposisi komponen maseral dalam grup vitrinit itu sendiri dan kedalaman seam tersebut, dimana seam B lebih dalam 101 m dari Seam A.
Dalam penelitian ini sangat berbeda dengan kasus Batubara di Cekungan Sydney, dimana batubara berumur Permian yang mempunyai komposisi maseral yang berbeda (umumnya mempunyai kandungan inertinit yang tinggi), sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih banyak untuk batubara dengan rank rendah berumur Tersier seperti batubara di Buanajaya ini. Karena vitrinit merupakan grup maseral dengan asal tumbuhan pembentuk yang mempunyai permukaan pori internal yang luas sehingga memungkinkan melakukan penyerapan gas yang lebih baik.
Kandungan CH4 (cm3/gr)
1.2 1 y = 0.1708x - 15.993 R2 = 0.3855
0.8
PMG-01 PMG-02
0.6
Linear (PMG-01) Linear (PMG-02)
0.4 y = 0.0286x - 2.5733 0.2 R2 = 0.405 0 93
94
95
96
97
98
99
Vitrinit (%)
Gambar V.19. Hubungan kandungan gas metana dan prosentase vitrinit per lubang bor
Jika dilihat dari masing-masing lubang bor dari grafik diatas terlihat sampel dari lubang PMG-01 menunjukkan kandungan gas Metana (CH 4 ) cenderungan makin tinggi seiring dengan tingginya prosentase vitrinit. Demikian juga dengan sampel dari
V-22
Lubang Bor PMG-02 terlihat data lebih berpola ke arah kandungan metana yang makin tinggi seiring dengan bertambahnya prosentase vitrinit. Namun terlihat sampel PMG-01 menunjukkan gradien yang lebih besar daripada garis linier dari sampel PMG-02. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor, yang salah satunya diduga akibat perbedaan maseral dari grup maseral vitrinit dan perbedaan kedalaman dimana sampel tersebut diambil. Beberapa hasil penelitian di lokasi yang berbeda ditunjukkan dalam gambar di bawah ini yaitu Hubungan Kandungan Metana dan % Vitrinit, di Formasi Gates, Canada (Bustin dan Clarkson, 1998) dan di Cekungan Sydney, Australia (Faiz, et. Al, 2007) dan menunjukkan pola ke arah kandungan metana yang makin bertambah seiring dengan bertambahnya prosentase vitrinit.
Gambar V.20. Hubungan kandungan metana dan prosentase vitrinit, di Formasi Gates, Canada (Bustin dan Clarkson, 1998) dan di Cekungan Sydney, Australia (Faiz, et. Al, 2007)
V-23
V.3.2.2
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Komposisi
Liptinit
1.6 1.4
cm3/gr
1.2 CH4
1
Gas total
0.8
2
Linear (CH4)
R = 0.0481
0.6
Linear (Gas total)
0.4 R2 = 0.1374
0.2 0 0
1
2
3
Liptinit (%)
Gambar V.21. Hubungan kandungan gas total dan metana dengan prosentase liptinit
Sebagai penghasil (source)/potensi pembentukan metana secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral. Batubara dengan sedikit komponen
yang
mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak dapat menghasilkan metana sebagai contoh berdasarkan data dari Levine (1992), batubara dengan komposisi yang hampir seluruhnya vitrinit menghasilkan sekitar 4700 scf/ton (147 cm3/gram) dengan vitrinit reflektan antara 0,5 - 2%. Batubara dengan komposisi 90% vitrinit dan 10 % sporinite akan menghasilkan 5900 scf/ton ( 183 cm3/g) dengan vitrinit reflektan yang sama.
Sebagai penyimpan gas, dari grafik diatas ditunjukkan kandungan gas metana (CH 4 ) cenderung makin menurun seiring dengan tingginya prosentase liptinit. Penyerapan gas pada permukaan internal batubara tergantung pada luas permukaan yang mengontrol kapasitas gas yang diserap. Komposisi maseral liptinit tidak mempunyai korelasi kuat dengan kapasitas penyerapan gas (Levy et al., 1997). Disamping itu komposisi liptinit hadir dalam jumlah sangat kecil (<2.5%) menyebabkan hasil yang
V-24
ditunjukkan dalan grafik diatas (Gambar V.21) menjadi bias dan tidak mewakili, sehingga tidak terlalu diperhitungkan dan berpengaruh.
V.3.2.3
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Komposisi
Inertinit
1.6 1.4
cm3/gr
1.2 CH4
1
Gas total
0.8
Linear (CH4)
2
R = 0.0009
0.6
Linear (Gas total)
0.4
2
R = 0.0002
0.2 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Inertinit (%)
Gambar V.22. Hubungan kandungan gas total dan metana dengan prosentase inertinit
Inertinit sangat penting pada beberapa formasi batubara di dunia, karena bersama vitrinit/huminit merupakan maseral dengan prosentase yang besar. Untuk batubara Indonesia terutama di daerah penelitian, inertinit hadir dalam jumlah sangat kecil (<2%), sehingga tidak terlalu diperhitungkan dan berpengaruh, namun sebagai pembanding disini ditunjukkan bahwa inertinit mempunyai sifat penyimpanan gas yang hampir sama dengan maseral vitrinit, yaitu dengan semakin besarnya kandungan gas akan semakin membesar juga nilai prosentase inertinit. Ini dikarenakan tumbuhan asal vitrinit dan inertinit adalah sama, namun dibedakan antara sifat oksidasinya selama proses penggambutan.
V-25
V.3.2.4
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Komposisi
Mineral, Kandungan Abu dan Berat Jenis Batubara
1.6 1.4
Kandungan gas total
cm3/gr
1.2 Kandungan Metana
1 0.8
Linear (Kandungan gas total)
0.6
Linear (Kandungan Metana)
0.4 2
0.2
R = 0.4918
0 0
R2 = 0.4004 2 4
6
Mineral (%)
Gambar V.23. Hubungan kandungan gas total dan metana dengan prosentase mineral
Mineral sebagai pengotor dalam batubara juga sangat mempengaruhi kemampuan batubara sebagai penyimpan gas, makin tinggi kandungan mineral (Gambar V.23) akan semakin berkurang kandungan gasnya. Mineral dalam batubara tidak seperti maseral yang dapat menyerap gas, sehingga kehadirannya semakin mengurangi permukaan penyerapan gas.
Sebagai perbandingan, dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder berupa data analisis proksimat dari masing-masing seam yang dibandingkan dengan komposisi gas total dan gas metana (Gambar V.24 dan V.25). Menurut Ray Williams, 2007, hubungan antara kandungan abu (adb) atau berat jenis batubara dengan kandungan gas dapat digunakan untuk melakukan perhitungan kandungan gas secara cepat dengan metoda tidak langsung. Ini karena dari beberapa parameter hasil analisis proksimat, kedua parameter tersebut menunjukkan hubungan yang relatif konstan. Dalam grafik di bawah ini dapat dilihat bahwa hubungan antara kandungan abu (%, adb) maupun berat jenis dengan kandungan gas total dan metana menunjukkan fungsi
V-26
yang berbanding terbalik, yaitu makin besar kadar abu maupun berat jenis batubara maka akan semakin mengecil kandungan gas total dan gas metananya. Ini sejalan dengan grafik hubungan antara prosentase kandungan mineral dari hasil petrografi batubara dengan kandungan gas total dan metananya. Sehingga seperti parameter kandungan abu dan berat jenis, prosentase mineral dari petrografi batubara juga dapat menggambarkan kandungan gasnya.
0.5 0.45 0.4
Kandunga Gas
cm3/gr
0.35 Kandungan CH4
0.3 0.25
Linear (Kandunga Gas)
y = -0.0275x + 0.4675 R2 = 0.593
0.2 0.15
Linear (Kandungan CH4)
0.1 0.05 0 0
y = -0.037x + 0.4141 10 R2 = 50.7368
15
Ash (%), adb
Gambar V.24. Hubungan kandungan gas total dan metana dengan prosentase abu
0.5 0.45 0.4
Kandungan Gas
cm3/gr
0.35 Kandungan CH4
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1.38
1.4
y = -2.2464x + 3.5444 R2 = 0.5233
Linear (Kandungan Gas)
y = -2.6099x + 3.9667 R2 = 0.4861
Linear (Kandungan CH4)
1.42
1.44
1.46
1.48
1.5
SG batubara (adb)
Gambar V.25. Hubungan kandungan gas total dan metana dengan spesific gravity
V-27
V.3.3
Hubungan Kandungan Gas Total dan Metana dengan
Fasies dan
Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, sampel dari lubang PMG-01 maupun PMG02, menunjukkan kandungan gas total dan metana (CH 4 ) yang cenderung makin tinggi seiring dengan tingginya prosentase vitrinit dan sebaliknya untuk prosentase mineral. Sedangkan berdasarkan tumbuhan asalnya batubara yang didominasi oleh tumbuhan berkayu akan lebih sedikit dapat mengandung Gas dibandingkan batubara yang berasal dari perdu atau berkayu lunak.
Hal ini tidak terlepas dari fasies dan lingkungan pengendapan batubara yang terdiri dari maseral-maseral berfungsi sebagai source dan sekaligus reservoir. Pada batubara yang didominasi oleh tumbuhan perdu dan kayu lunak akan banyak ditemukan struktur jaringan yang sudah terdekomposisi. Batubara Buanajaya terdapat dalam proporsi yang besar maseral atrinit, densinit, dan detrogelinit sebagai maseral yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu. sehingga mendukung untuk tersimpannya gas.
Baik dari diagram Calder et. al. (1991) maupun diagram Lamberson et. al. (1991) maka dapat diinterpretasikan bahwa batubara terbentuk dari gambut yang selalu lembab atau kondisi yang jenuh air. Upper delta plain dipisahkan terhadap lower delta plain oleh batas tertinggi air pasang. Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa batubara Buanajaya terbentuk dalam lingkungan Wet Forest Swamp-Mars yang terendapkan dalam lower delta plain, yang sedikit terpengaruhi oleh air laut. Sehingga dalam lingkungan ini tumbuh gambut yang bersifat eutrofi sampai mesotrofi selama proses pengendapannya yang secara langsung akan berkaitan dengan komposisi maseral. Batubara dengan sedikit komponen yang mengandung banyak hidrogen akan lebih banyak dapat menghasilkan metana (Levine, 1992).
V-28
V.3.4 Pengaruh Batuan Pengapit, Ketebalan Batubara dan Struktur Geologi terhadap Kandungan Gas Total dan Metana
Batubara yang diteliti di daerah ini terletak pada sayap sinklin Separi dengan arah timur laut-barat daya, dengan kemiringan umum sekitar 20o. Pada umumnya lapisan batubara dalam Formasi Balikpapan di daerah penelitian merupakan lapisan yang diapit oleh batuan pengapit batulempung, batulanau dan batupasir.
Pada umumnya kandungan gas total dan metana akan semakin besar seiring dengan perlapisan batubara dari atas ke bawah. Namun pada beberapa seam yaitu seam F, G dan C, menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Kemungkinan penyebabnya adalah : 1. Batuan pengapit, pada seam F lapisan pengapit atas (roof) berupa batupasir yang permeabel, sehingga kemungkinan ada gas yang bermigrasi ke lapisan batupasir ini yang menyebabkan kandungan gas total dan metana dalam batubara akan berkurang. 2. Menurut Scott dan Kaiser, 1996, distribusi kandungan gas bervariasi dalam arah lateral dan vertikal dipengaruhi oleh ketebalan batubara. Ketebalan batubara diprediksi juga ikut mempengaruhi kandungan gas pada seam di Buanajaya ini, karena makin tipis lapisan batubara maka perbandingan tebal batubara dengan permukaan kontak batubara dengan seam pengapit relatif sangat kecil, sehingga prosentase kemungkinan gas yang bermigrasi menjadi besar, hal ini kemungkinan terjadi pada seam C. 3. Pada Seam F, G dan C mempunyai nilai reflektansi vitrinit yang lebih besar dari seam lainnya yaitu 0,4-0,41, ini dimungkinkan karena adanya struktur geologi perlipatan yang menyebabkan naiknya tekanan dan temperatur sehingga terjadi pematangan setempat. Berdasarkan penelitian Faiz, 2007, nilai reflektansi berhubungan terbalik dengan kandungan gas untuk batubara berperingkat rendah (Rv<2), sehingga nilai relektansi vitrinit yang besar pada ketiga seam tersebut dapat menjelaskan mengapa pada ketiga seam tersebut memiliki kandungan gas
V-29
yang kurang. Posisi lapisan batubara Buanajaya pada sayap Sinklin Separi dengan arah timurlaut-baratdaya, dengan kemiringan umum sekitar 20o diprediksi juga menyebabkan kecilnya kandungan gas secara keseluruhan, ini kemungkinan karena pengaruh dari hidrodinamik yang menyebabkan pergerakan fluida ke arah tengah cekungan sinklin yang membawa serta gas bermigrasi dan keluar akibat aliran konvergen. Sifat batubara sebagai reservoir gas akan juga dapat menjadi akuifer airtanah, sehingga hal ini dapat terjadi (Gambar V.26).
Gambar V.26. Pengaruh struktur geologi dan hidrodinamik terhadap kandungan gas (scott et al. 2002).
V-30