perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Uji Molecular Docking Sitagliptin berikatan dengan binding site DPP-4 dan memiliki interaksi pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 662. Ada dua jenis interaksi yang terjadi antara sitagliptin dengan ketiga residu tersebut yaitu ikatan hidrogen dan interaksi van der waals. Ikatan hidrogen merupakan gaya tarik-menarik yang terjadi antara atom H (elektropositif) dari suatu molekul dengan atom molekul lain yang bersifat sangat elektronegatif seperti F, O, dan N (Walker dan McMahon, 2008). Interaksi van der waals adalah interaksi yang terjadi ketika dua atom tidak bermuatan terletak saling berdekatan sehingga elektron yang berada di sekitar atom tersebut saling memengaruhi (Chauhan, 2008). Hasil visualisasi antara DPP-4 dan sitagliptin menunjukkan residu Glu 205 memiliki dua ikatan hidrogen antara atom H sitagliptin dan atom O residu Glu 205. Interaksi yang terjadi pada residu Glu 206 merupakan ikatan van der waals antara atom O sitagliptin dan dua atom O residu Glu 206. Interaksi ikatan antara sitagliptin dan residu Tyr 662 merupakan ikatan hidrogen antara atom H sitagliptin dengan atom O residu Tyr 662. Sitagliptin tidak berikatan dengan catalytic triad (Ser 630, Asp 708, dan His 740) pada binding site DPP4 tetapi berikatan pada dua lokasi yang terletak di pintu masuk DPP-4 yaitu residu Glu 205 dan Glu 206. Ikatan antara sitagliptin dan kedua residu tersebut
commit to user menghalangi masuknya substrat untuk berikatan dengan catalytic triad
56
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sehingga
terjadi
penghambatan
aktivitas
DPP-4.
Sebuah
penelitian
menunjukkan bahwa sitagliptin merupakan penghambat DPP-4 kompetitif (Davis et al., 2010). Hal ini menyebabkan sitagliptin memiliki efek reversibel sehingga ketika konsentrasi substrat meningkat, efek penghambatan aktivitas DPP-4 akan berkurang (Bjelakovic et al., 2002). Visualisasi pada 29 fitokimia hasil molecular docking menunjukkan sebanyak delapan fitokimia memiliki ikatan dengan catalytic triad dan sembilan fitokimia memiliki ikatan dengan residu pada pintu masuk DPP-4 yaitu residu Glu 205 dan Glu 206. Residu pada catalytic triad, residu Glu 205, dan Glu 206 termasuk dalam binding site DPP-4. Fitokimia yang berikatan langsung pada catalytic triad atau pada residu Glu 205 dan Glu 206 kemungkinan merupakan penghambat DPP-4 kompetitif karena dapat menghalangi substrat berikatan dengan residu catalytic triad. Pada dasarnya, penghambat DPP-4 dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kompetitif dan non kompetitif. Penghambat DPP-4 dikatakan kompetitif apabila berikatan dengan binding site sehingga menghalangi substrat menempel pada residu catalytic triad. Penghambat kompetitif bersifat reversibel sehingga efeknya akan berkurang apabila konsentrasi substrat meningkat sedangkan penghambat non kompetitif bersifat irreversibel (Bjelakovic et al., 2002). Pada penelitian ini terdapat 13 fitokimia yang kemungkinan termasuk penghambat DPP-4 non kompetitif. Selanjutnya perlu dilakukan uji kinetika enzim untuk memastikan sifat penghambatan aktivitas DPP-4 oleh fitokimia tanaman herbal Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Hasil visualisasi menunjukkan terdapat tiga fitokimia yang memiliki energi ikatan lebih rendah dari sitagliptin dan dengan lokasi yang mirip dengan sitagliptin. Ketiga fitokimia tersebut adalah actinodaphnine, coreximine, dan oxonantenine. Energi ikatan rerata actinodaphnine, coreximine, dan oxonantenine pada binding site DPP-4 lebih rendah dibandingkan sitagliptin. Actinodaphnine dan oxonantenine memiliki energi ikatan rerata sebesar -8,5 kkal/mol sedangkan coreximine sebesar -9,17±0,057735 kkal/mol. Energi ikatan yang semakin rendah menyebabkan kompleks protein-ligan yang terbentuk menjadi lebih stabil dan lebih mudah terjadi interaksi di antara keduanya (Merz et al., 2010). Actinodaphnine berikatan dengan binding site DPP-4 di Ser 630, His 740, Tyr 662, Glu 205, Glu 206, dan Asn 710. Fitokimia ini dan sitagliptin memiliki kesamaan lokasi interaksi pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 662. Seluruh interaksi yang terjadi pada actinodaphnine adalah ikatan hidrogen. Ikatan ini terjadi antara atom H residu Ser 630, His 740, Tyr 662, dan Asn 710 pada binding site DPP-4 dengan atom O actinodaphnine serta antara atom O residu Glu 205 dan Glu 206 dengan atom H actinodaphnine. Residu Ser 630 dan His 740 merupakan catalytic triad pada DPP-4 sedangkan residu Glu 205 dan Glu 206 merupakan residu yang terdapat pada pintu masuk DPP-4. Coreximine memiliki empat lokasi ikatan pada binding site DPP-4 yaitu di Glu 205, Glu 206, Arg 358, dan Ser 209. Fitokimia ini memiliki dua kesamaan lokasi interaksi dengan sitagliptin pada residu Glu 205 dan Glu 206 yang merupakan residu pada pintu masuk DPP-4. Coreximine hanya memiliki satu jenis interaksi yaitu ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen pada fitokimia ini commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi antara atom H residu Arg 358 dan Ser 209 dengan atom O DPP-4 serta antara atom O residu Glu 205 dan Glu 206 dengan atom H DPP-4. Oxonantenine berinteraksi dengan binding site DPP-4 pada residu Glu 205, Glu 206, dan Tyr 547. Interaksi van der waals terjadi antara atom O DPP-4 dengan atom O residu Glu 205 dan Glu 206. Ikatan hidrogen terjadi antara atom H DPP-4 dengan atom O oxonantenine. Pada oxonantenine, jumlah lokasi dan interaksi sama dengan sitagliptin. Jumlah lokasi dan interaksi actinodaphnine dan coreximine lebih banyak daripada sitagliptin sehingga kemungkinan kompleks ikatan yang terbentuk lebih stabil. Analisis actinodaphnine, coreximine, dan oxonanteine juga dilakukan pada nilai kriteria Lipinski’s rule of five ketiga fitokimia tersebut. Secara umum, semakin rendah nilai BM, H bond donor, H bond acceptor, dan nilai compound's lipophilicity pada suatu kandidat obat baru, maka semakin tinggi tingkat bioavailabilitasnya (Leeson, 2012).
Biovailabilitas merupakan
parameter yang menunjukkan fraksi dari dosis obat yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif (Setiawati, 2007). Bioavailabilitas yang tinggi merupakan kriteria drug-like properties yang harus dipenuhi oleh suatu ligan sehingga dapat digunakan sebagai kandidat obat baru dengan menggunakan metode molecular docking (Singh et al., 2013). Actinodaphnine, coreximine, dan oxonantenine memrupakan fitokimia yang memenuhi nilai kriteria Lipinski’s rule of five. Fitokimia tersebut memiliki nilai berat molekul, H bond donor, dan compound's lipophilicity lebih rendah dari sitagliptin tetapi nilai H bond acceptor keduanya lebih tinggi commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
daripada sitagliptin. Berat molekul berhubungan dengan laju absorpsi obat pada lipid bilayer. Semakin rendah berat molekul maka laju absorpsi pada lipid bilayer akan semakin cepat karena permeabilitas membran sel pada dinding saluran cerna meningkat (Pollastri, 2010). Nilai H bond donor dan H bond acceptor yang tinggi akan mengurangi kemampuan suatu molekul untuk dapat menembus membran bilayer. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai H bond donor, maka suatu molekul akan cenderung membentuk ikatan hidrogen dengan pelarut yang bersifat strongly hydrogen-bonding seperti air daripada dengan lingkungan yang lipofilik pada membran sel. Pada H bond acceptor, semakin tinggi nilainya maka semakin banyak atom yang dapat dijadikan lokasi untuk membentuk ikatan hidrogen dari pelarut yang bersifat strongly hydrogen-bonding seperti air (Pollastri, 2010). Compound's lipophilicity adalah physicochemical property yang berpengaruh pada laju absorpsi suatu molekul. Nilai log P merupakan koefisien yang menggambarkan perbandingan antara pelarut organik (oktanol) dan air. Suatu obat harus memiliki perbandingan yang seimbang antara pelarut organik (oktanol) dan air untuk dapat menembus membran sel pada saluran cerna dan menuju ke sirkulasi. Hal ini berkaitan dengan permukaan luar dan dalam sel yang bersifat hidrofilik dan bagian tengahnya bersifat hidrofobik. Semakin besar nilai log P maka molekul tersebut semakin memiliki sifat hidrofobik (Lipinski et al., 1997). Berdasarkan nilai kriteria Lipinski’s rule of five, baik actinodaphnine, coreximine, maupun oxonantenine kemungkinan merupakan kandidat obat yang ideal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
Fitokimia yang memiliki efek terapeutik sebagian besar berasal dari golongan metabolit sekunder (Kabera et al., 2014). Actinodaphnine, coreximine, dan oxonantenine termasuk dalam metabolit sekunder golongan alkaloid. Alkaloid merupakan fitokimia golongan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas sebagai antibakterial (Bontemps et al., 2010), antifungal (Till dan Prinsep, 2009), antimalaria (Laville et al., 2009), antiprotozoa (Scala et al., 2010), antiviral (Mayer et al., 2013), dan antidiabetik (Sharma et al., 2010). Daftar nama spesies tanaman herbal Indonesia yang mengandung actinodaphnine, coreximine, dan oxonantenine didapatkan dari database HerbalDB. Spesies tanaman yang mengandung actinodaphnine adalah Cassytha filiformis (tali putri), Cylicodaphne sebifera (wuru lilin), dan Litsea sebifera (wuru beling). Coreximine dapat ditemukan pada spesies tanaman Erythrina orientalis (dadap) sedangkan oxonantenine dapat ditemukan pada Annona reticulata (kanowa atau sirikaya susu). Actinodaphnine merupakan alkaloid golongan aphorpine. Fungsi terapeutik fitokimia ini yang sudah diketahui antara lain dapat digunakan sebagai antibakterial dan antifungal (Hsieh et al., 2006), antikanker (Stevigny et al., 2002), antiplatelet aggregation, dan mempunyai aktivitas sebagai vasorelaksan (Chen et al., 1997). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa actinodaphnine dapat menginduksi kematian sel kanker tetapi mekanismenya masih belum diketahui dengan pasti (Stevigny et al., 2002). Berdasarkan salah satu penelitian, coreximine dapat menghambat kerja Acetylcholine Esterase (AChE) pada nyamuk Anopheles gambiae dengan commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membentuk interaksi pada active site aminoacids (Durairaj dan Muthu, 2015). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa coreximine dapat digunakan sebagai antibakterial (Muthu dan Durairaj, 2015). Oxonantenine
merupakan
metaboit
sekunder
alkaloid
golongan
isoquinoline. Fitokimia ini dapat digunakan sebagai antibakterial, antifungal, dan antiberkulosis (Beecher et al., 1989). B. Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini hanya sebatas skrining tahap awal sehingga hasil uji molecular docking masih berupa fitokimia yang diprediksi memiliki aktivitas sebagai penghambat DPP-4. 2. Proses uji molecular docking pada penelitian ini menggunakan program AutoDock Vina. Pada program AutoDock Vina, protein target dianggap memiliki bentuk rigid sedangkan ligan berbentuk fleksibel sehingga hanya ligan saja yang dapat menyesuaikan bentuk untuk memperoleh konformasi yang sesuai. Pada manusia, baik protein dan ligan memiliki bentuk fleksibel
sehingga
keduanya
dapat
memperoleh konformasi yang sesuai.
commit to user
saling
menyesuaikan
untuk