V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemerintahan adat adalah pemerintahan yang diakui dan dipatuhi oleh masyarakat adat yang ada pada wilayah adat (tanah marga). Menurut sumber informan V, Pemerintahan adat mempuyai sistem administrasi layaknya pemerintahan Negara atau Pemerintahan formal. Pengaturan sistem pemerintahan adat pada marga Ngambur dilakukan secara terstruktur dengan kedudukan tertinggi di pemerintahan adat dipimpin oleh Suntan.
Pemerintahan adat Marga Ngambur mempuyai aturan atau hukum adat berdasarkan hasil musyawarah adat pada rumah adat (Lamban Gedung). Pada masa nenek moyang Marga Ngambur peraturan-peraturan dibuat oleh kepala adat, peraturan tersebut ditulis pada kulit kayu, tanduk, tembaga, kulit binatang dan masih masih banyak peraturan adat yang tidak tertulis. Walaupun di tulis pada media sederhana, tetapi peraturan adat sangat di hormati dan dipatuhi bersama oleh masyarakat adat.
A. Sistem Pemerintahan Adat Marga Ngambur Buay Bejalan di Way
Menurut sumber informan I, V dan VI, sistem pemerintahan adat tidak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada sekarang. Hanya saja
78
dulu Suntan selain kepala adat juga merangkap sebagai Pesikhah atau setingkat dengan camat sekarang. Dalam menjalankan pemerintahannya Suntan atau kepala adat dibantu dan didukung oleh para Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas. Mereka ini semua terdiri dari Raja Lamban Gedung, Suku Saibatin, Suku Marga dan Suku Bahmekon yang masing-masing mempunyai tugas yang sudah ditentukan.
Menurut Sumber Informan I, III, V dan VII, pemerintahan adat dulunya memilki kantor Marga pada Marga Ngambur Buay Bejalan di Way. Karena yang menjadi Pesikhah/kepala wilayah yaitu Suntan atau kepala adat melalui pemengku-pemangku (ini merangkap peratin adat dan pekon/desa). Berhubung dengan perkembangan zaman, pemerintahan adat
lama
kelamaan
semakin
tidak
terlihat
perananya
dalam
pemerintahan. Ini semua dikarenakan pemerintahan formal dan adat tidak lagi dipegang rangkap oleh Kepala adat yang sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Menurut data yang diperoleh oleh peneliti dilapangan melaui wawancara kepada sumber informan I – VII, pada saat ini pemerintahan adat tidak lagi tanggap pada berbagai macam sengketa yang terjadi diwilayahnya, kerena hampir semua sengketa saat ini di ambil alih oleh Pemerintahan Desa dan Pengadilan Umum dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Dengan diambil alihnya penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat oleh pemerintahan desa dan pengadilan
79
umum, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan peranan Suntan dalam masyarakat adat yang dipimpinnya. Karena bagaimanapun sengketa tanah dalam wilayah adat merupakan tanggung jawab dan wewenang Suntan sebagai kepala adat dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut.
Pemerintahan adat Marga Ngambur dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan adat kenyataannya saat ini hanya bersifat insidental ketika ada permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Pemerintahan adat dalam konteks acara-acara adat masih sangat diperhatikan oleh masyarakat misalnya acara upacara adat perkawinan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peranan Suntan Marga Ngambur dalam pemerintahan adat masih sangat kuat khususnya ketika akan dilaksanakan upacara adat dalam Marga Ngambur, Suntan berwenang dan bertanggung jawab untuk memerintah, mengeluarkan pendapat dan memutuskan apa saja uturan yang akan dilaksanakan pada upacara adat tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka menurut penulis terjadi pergeseran status Suntan Marga Ngambur dikarenakan Suntan hanya sebagai kepala pemerintahan adat, sedangkan pemerintahan desa dipimpin oleh Peratin/kepala desa. Akibat pergeseran status Suntan yang hanya menjabat sebagai kepala pemerintahan adat saja, menyebabkan masyarakat lebih memilih penyelesaian sengketa tanah dalam wilayah adat melalui pemerintahan desa dari pada penyelesaian melalui
80
pemerintahan adat, akan tetapi Suntan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam mengeluarkan pendapat dan memutuskan apa saja uturan yang akan dilaksanakan pada upacara adat. Dalam penyelesaian sengketa tanah antara M. Ali Anwar melawan Rusdi bin Arpan dan keluarganya Suntan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam menentukan keputusan hasil musyawarah adat. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan adat Marga Ngambur Buay Bejalan di Way masuk kedalam kategori tipologi pemerintahan demokrasi terpimpin. Sistem pemerintahan demokrasi terpimpin adalah kepemimpinan ada pada satu tangan saja yaitu presiden atau Suntan.
B. Gambaran Mengenai Sengketa Tanah Menurut Seri Inis XLI, (2003:27), sengketa atau Konflik berasal dari kata Confligare conflitm yang bermakna saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada makna bentuk benturan, tabrakan, ketidak sesuaian, pertentangan, interaksi yang antagonis. Sengketa/konflik merupakan bagian dari hidup manusia yang selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk menghilangkan sengketa dimuka bumi ini. Dalam penelitian ini terjadi terjadi sengketa tanah antara M. Ali Anwar (Penggugat) melawan Ahmad Syahbuddin Bin Sarbini, Rusdi Bin Arpan dan Majisin Ahya. Sengketa tanah ini terjadi karena menurut pihak tergugat I, II dan III, M. Ali Anwar selaku Penggugat telah mengambil tanah orang tua mereka yang telah diwariskan kepada tergugat I, II dan
81
III. Sengketa tanah ini terjadi sejak M. Ali Anwar mengambil tanah mereka pada tanggal 23 September 1971, berdasarkan Surat Izin Pembukaan Tanah dengan surat izin dari Kepala Kampung Sumber Agung Nomor : 10/DS/1971 Tertanggal 23 September 1971, Ukurannya ± 40x300 depa (3 Ha) yang terletak di Pekon Sumber Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat.
Menurut Hasil wawancara kepada para pihak tergugat pada saat M. Ali Anwar mengambil alih tanah mereka pada tahun 1971 tersebut, pihak tergugat sudah menegur M. Ali Anwar bahwa tanah yang kuasainya adalah tanah bukaan orang tua mereka sejak tahun 1968 yang sudah diwariskan kepada anaknya yaitu tergugat I, II dan III. Akan tetapi M. Ali Anwar tidak menghiraukan teguran tersebut karena pada saat itu M. Ali Anwar menjabat sebagai komandan Koramil kecamatan Pesisir Selatan.
Karena pada saat itu ABRI merupakan mesin politik Presiden Suharto pada saat itu, maka pihak tergugat I, II dan III tidak berani untuk menggugatnya dan sengketa tanah ini digugat kembali oleh Rusdi bin Arpan pada Tanggal pada tanggal 7 April 2008, yaitu melapor kepada peratin Sumber Agung, Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat untuk dapat menyelesaikan sengketa tanah antara dirinya (pelapor) dengan M. Ali Anwar. Pada saat melapor kepada peratin Rusdi bin Arpan menjelaskan bahwa tanah yang dikuasai oleh M. Ali Anwar adalah milik
82
orang tua mereka sejak zaman Jepang sekitar tahun 1968 yang telah diiwariskan kepada tergugat I, II dan III.
Setelah melapor kepada Peratin Sumber Agung, Rusdi bin Arpan melapor kepada Suntan Marga Ngambur selaku kepala adat setempat bahwa tanah yang dikusai oleh M. Ali Anwar adalah tanah milik orang tua mereka yang telah dibuka oleh orang tua mereka sejak tahun 1968. Adapun maksud dan tujuan Rusdi bin Arpan melapor kepada Suntan adalah untuk meminta penyelesaian sengketa tanah yang terjadi antara dirinya dan
M. Ali Anwar oleh Suntan selaku kepala adat Marga
Ngambur.
Menurut peneliti dari uraian di atas, apabila dilihat dari sejarah pembuka tanah maka pihak tergugatlah yang berhak atas tanah yang disengketakan tersebut, dikarenakan tanah tersebut telah terlebih dahulu dibuka dan ditanami oleh orang tua tergugat sejak tahun 1968. Sedangkan M. Ali Anwar mulai mengambil alih tanah tersebut pada tahun 1971 dengan berdasarkan Surat Izin Pembukaan Tanah dengan surat izin dari Kepala Kampung Sumber Agung Nomor : 10/DS/1971 Tertanggal 23 September 1971 yang dianggap pihak adat dan pemerintahan desa cacat hukum. Dapat dikatakan cacat hukum karena ketidak sesuaian antara bukti surat yang dimiliki dengan kesaksian dari para pihak perbatasan tanah dalam muyawarah adat yang membenarkan pihak tergugat yang berhak atas kepemilikan tanah tersebut.
83
C. Peraturan Adat Tentang Sengketa Tanah Menurut hasil wawancara dengan sumber informan I, III dan V dalam pemerintahan adat Marga Ngambur terdapat aturan khusus yang menyangkut sengketa tanah yang terjadi pada mayarakat diwilayah adat Marga Ngambur. Penyelesaian sengketa tanah, ini merupakan tanggung jawab Suku Marga setempat. Adapun isi peraturan tersebut yaitu : a) Pihak yang bersengketa harus melapor kepada Suku Marga sesuai tempat terjadinya sengketa tanah tersebut. b) Dari laporan pihak yang bersengketa tersebut Suku Marga mengundang bawahannya yaitu Suku Bahmekon untuk bersamasama
menyelesaikan
sengketa
tanah
tersebut,
karena
yang
bersengketa ini merupakan anak buah dari Suku Bahmekon yang disebut Cepong. c) Suku Marga dan Suku Bahmekon mengundang kedua belah pihak yang bersengketa, cepong-cepong (kelompok anak buah Suku Bahmekon) yang ada pada wilayah suku marga tersebut beserta saksisaksi perbatasan tanah untuk melaksanakan musyawarah adat dalam menyelesaikan sengketa tanah. d) Jika hasil musyawarah ini tidak diterima oleh kedua belah pihak maka Suku Marga Menyerahkan sengketa tanah ini untuk diselesaikan oleh Suntan selaku kepala adat yang mempunyai
84
wewenang dalam mengambil keputusan dan keputusan ini tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun.
Dari peraturan adat tentang sengketa tanah diatas, maka menurut peneliti terjadi ketidak sesuaian antara aturan adat dengan pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah yang terjadi Antara Rusdi bin Arpan dengan M. Ali Anwar. Ketidak sesuaian ini pada peraturan adat poin 2 dan 3, karena pihak Suku Marga langsung menyatakan ketidak sanggupannya dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut tanpa melakukan penyelesaian terlebih dahulu oleh Suku Marga sesuai dengan peraturan adat.
Adapun alasan Suku Marga Sumber Agung tidak sanggup untuk menyelesaikan sengketa tanah ini dan langsung melimpahkannya kepada Suntan adalah karena pihak lawan dari yang bersengketa selain mempunyai pangkat tinggi (Mantan Komandan Koramil), mampu secara fianancial dan
mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam bidang
hukum.
Karena sudah dilimpahkan kepada Suntan oleh Suku Marga, maka sudah menjadi
kewenangan
Suntan
sebagai
kepala
adat
untuk
menyelesaikannya melalui Himpun/ musyawarah Marga. Himpun Marga atau musyawarah Marga adalah musyawarah yang dilakukan Suntan dengan
mengundang
seluruh
bawahannya
dalam
Marga
yang
85
dipimpinnya yaitu para Raja, Batin, Radin, Minak, Kimas dan Mas. Ada pun peranan Suntan dalam musyawarah adat yaitu : 1). Mempasilitasi kedua belah pihak untuk melakukan penyelesaian sengketa tanah tersebut di rumah adat dengan mengundang para jajaran Suntan dan saksi-saksi kedua belah pihak. 2) Meminta bukti-bukti yang dimiliki kedua belah pihak dan mempertimbangkan kebenarannya. 3). Memutuskan hasil musyawarah adat tersebut.
D. Fungsi dan Peranan Suntan Marga Ngambur 1. Fungsi Suntan Marga Ngambur a) Sebagai kepala Marga Dalam Masyarakat adat saibatin pada tingkat Marga dipimpin oleh seorang penyimbang adat yang disebut Suntan/Suttan. Seorang Suntan merupakan penentu keluarganya akan tetapi bukan mengepalai wilayah. Suntan dikatakan sebagai penentu keluarganya adalah karena Suntan sebagai pewaris langsung pemerintahan adat pada Marga yang berkedudukan sebagai “pandia” bagi keluarganya. Kedudukannya hanya sebagai ”pandia” yaitu orang yang bergelar adat karena keturunannya.
86
Sedangkan pada tingkat wilayah dipimpin oleh Suku Marga, yang bertanggung jawab kepada Suntan atas semua yang terjadi dalam wilayahnya masing-masing. Karena Suku Marga bertanggung jawab kepada Suntan pada wilayah yang dipimpinnya, maka apabila terjadi sengketa dalam wilayah Suku Marga ini merupakan tanggung jawab Suku Marga untuk menyelesaikan sengketa tersebut. b) Bertanggung jawab atas semua kepentingan adat yang di pimpinnya. Seorang Suntan berwenang dan bertanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan dan pembangunan adat istiadat yaitu : 1) Mewakili warga adatnya dalam rangka penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain. Suntan sebagai kepala adat yang sangat di
hormati dan
dipatuhi oleh masyarakat adat memiliki wewenang untuk Mewakili warga adatnya dalam rangka penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain. Kerjasama ini biasanya dilakukan Suntan ketika akan diadakan Pemilihan kepala daerah kepada para calon dengan mendukung salah satu calon untuk dipilih oleh masyarakat adat pada pemilihan kepala daerah.
87
2) Menumbuh
kembangkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pemerintahan adat. Sebagai seorang kepala adat Suntan dituntut untuk dapat Menumbuh
kembangkan
partisipasi
masyarakat
dalam
pembangunan pemerintahan adat. Partisipasi masyarakat ini dilakukan oleh masyarakat adat pada saat akan dilaksanakan acara adat (Acara pernikahan secara adat) yaitu dengan iyuran untuk dana pelaksanaan acara adat tersebut. Hal ini merupakan sudah menjadi tradisi masyarakat Marga Ngambur ketika akan dilaksanakan acara adat. 3) Membina semangat gotong royong masyarakat. Dalam
pemerintahan
adat
semangat
gotong
royong
masyarakat masih sangat kuat. Oleh karena itu, Suntan sebagai kepala adat harus dapat membina tradisi gotong royong dalam masyarakat agar tidak luntur dan tetap lestari. Pada pemerintahan adat kegiatan gotong royong dilaksanakan masyarakat adat pada ketika akan dilaksanakan acara adat, pembangunan rumah adat, tempat ibadah, bersih-bersih lingkungan dan lain-lain. Dalam menjalankan kepemimpinannya Suntan atau kepala adat Marga Ngambur berwenang dan bertanggung jawab untuk
88
mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.
Menurut sumber informan I dan V, Suntan juga berwenang dan bertanggung jawab untuk memerintah, mengeluarkan pendapat dan memutuskan apa saja aturan-aturan yang akan dilaksanakan ketika akan dilaksanakan acara adat. c) Berwenang dalam menyelesaikan sengketa adat, termasuk sengketa tanah adat. Ketika akan
diadakan acara adat baik dalam hal perkawinan
maupun khitanan, apabila terjadi sengketa/kributan/perkelahian dalam pelaksanaan acara adat tersebut, maka suntan berwenang dalam menyelesaikan sengketa/keributan/perkelahian tersebut. Perkelahian ini biasanya terjadi pada bujang yang mengikuti acara adat tersebut. Apabila terjadi perkelahian dalam acara adat, maka saat itu juga Suntan memanggil seluruh peryayi atau kepala bujang dan kedua belah pihak yang berkelahi untuk melaksanakan himpun/musyawarah
untuk
tidak
meneruskan
perkelahian
sehingga acara adat dapat dilanjutkan kembali. Apabila telah dilakukan himpun/musyawarah tersebut kedua belah pihak masih melakukan keributan/perkelahian, maka kedua belah pihak dianggap tidak menghargai adat. Oleh karena itu
89
kedua belah pihak dikenakan sanksi untuk tidak boleh ikut dalam acara
adat
±
15
kali,
dan
biasanya
apabila
terjadi
keributan/perkelahian setelah diadakannya himpun/musyawarah oleh suntan, maka kedua belah pihak berlawan dengan semua yang ikut dalam acara tersebut.
Mengenai Sengketa tanah yang terjadi dalam wilayah Marga yang dipimpin oleh Suntan merupakan wewenang dan tanggung jawab Suntan dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut, yang diwakili oleh Suku Marga yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang dipimpinnya. Apabila hasil keputusan musyawarah yang dipimipin oleh Suku Marga setempat tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa maka sengketa tanah ini dilimpahkan oleh Suku Marga kepada Saibatin/Suntan Untuk menyelesaiakannya melalui himpun Marga dan mengambil keputusan mengenai siapa yang berhak atas tanah yang disengketakan.
Dari uraian di atas Suntan merupakan kepala Marga dalam pemerintahan adat. Akan tetapi bukan mengepalai wilayah, karena pada wilayah-wilayah marga merupakan tangggung jawab Suku Marga sebagai kepala wilayah atas semua yang terjadi pada wilayahnya masing-masing.
90
Mengenai tanggung jawab atas semua kepentingan adat yang di pimpinnya, Suntan atau kepala adat Marga Ngambur berwenang dan bertanggung jawab untuk mengatur dan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat adatnya serta ikut mensejahterakan masyarakat adatnya.
Sengketa tanah yang terjadi dalam wilayah Marga yang dipimpin oleh Suntan merupakan wewenang dan tanggung jawab Suntan dalam menyelesaikan sengketa tanah tersebut, yang diwakili oleh Suku Marga yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah yang dipimpinnya masing-masing. Sedangkan Suntan akan turut menyelesaikan sengketa tersebut apabila keputusan Suku Marga dalam musyawarah adat tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa.
2.
Peranan Suntan Marga Ngambur.
Perkembangan peranan pemerintahan selalu mengalami pergeseran, pergeseran tersebut yang terahir, yaitu peran pemerintah dari Government ke Governance. Penggantian istilah Government menjadi Governance yang menunjukan penggunaan otorita politik, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Dalam bahasa Indonesia kata Governance diterjemahkan menjadi
91
“tata pemerintahan” ada pula yang menerjemahkan menjadi “kepemerintahan”. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada fasilitator dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik Negara menjadi milik rakyat.
Kepala adat Marga Ngambur yang dipimpin oleh Suntan dalam sistem pemerintahan adat juga memilki peranan yang tidak jauh berbeda dengan peranan kepala adat umumnya yaitu sebagai penyelenggara pemerintahan adat, menjadi koordinator dalam setiap acara adat serta memantau berlangsungnya kegiatan adat dan berhak menyelesaikan sengketa pada masyarakat adat, khususnya sengketa tanah adat.
Suntan sebagai kepala pemerintahan adat di tuntut untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan adat yang dipimpinnya. Suntan dikatakan sebagai koordinator pada acara adat maksudnya adalah sebelum dilaksanakan acara adat Suntan membagi tugas bawahannya yang akan bekerja pada pelaksanaan acara adat tersebut. Ketika acara adat sedang berlangsung Suntan memantau kegiatan acara adat tersebut apakah sesuai dengan yang di perintahnya atau tidak. Jika terjadi ketidak sesuain yang diperintah, Suntan akan langsung menegur bawahannya untuk dibenahi ketidak sesuaian tersebut.
92
Mengenai sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat, khususnya sengketa tanah adat merupakan wewenang Suntan sebagai kepala adat untuk menyelesaikannya melalui musyawarah adat. Suntan penyimbang adat marga Ngambur tidak mempunyai peranan sebagai pemegang kekuasaan penuh atau memilki otoritas mutlak. Dalam menjalankan
sistem
pemerintahan
adat
Suntan
melibatkan
masyarakat dan tokoh adat lainnya (Dalom, Raja, Batin dan lainnya). Suntan tidak lagi sebagai pemberi pelayan kepada masyarakat secara keseluruhan, suntan dapat dikatakan sebagai fasilitator bagi masyarakat adat dalam menjalankan kehidupan masyarakat.
Dikatakan sebagai fasilitator artinya kepala adat/suntan lebih besar perananya sebagai sarana bagi masyarakat adatnya untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat positif, misalnya dalam masalah penyelesaian sengketa tanah yang terjadi pada M. Ali Anwar (Penggugat) melawan Ahmad Syahbuddin, Rusdi bin Arpan dan Majisin Ahya. Dalam proses penyelesaian sengketa tanah ini Suntan atau Kepala adat marga Ngambur beserta pemerintahan pekon/desa mengundang
para
jajarannya
masing-masing
beserta
tokoh
masyarakat, tokoh agama, pihak yang bersengketa, saksi perbatasan tanah dan bapak camat kecamatan Ngambur untuk melakukan musyawarah dalam penyelesaiaaan sengketa tanah tersebut. Hasil
93
dari musyawarah adat tersebut dimenangkan Rusdi bin Arpan dan keluarganya.
Menurut penulis, dari uraian di atas kepala adat melaksanakan peranannya sebagai Fasilitator yaitu berusaha mempasilitasi kedua belah pihak melalui Himpun Marga, dengan mendengarkan pendapat dari semua pihak dan menyimpulkan hasil musyawarah yang disepakati oleh berbagai pihak yang hadir dalam musyawarah agar tidak ada yang merasa dirugikan dari keputusan tersebut.
E. Musyawarah Adat
Himpun adat atau musyawarah adat dilakukan oleh pemerintahan adat apabila akan dilakukan acara adat atau terjadi sengketa, sepeti sengketa tanah warisan yang salah satunya sengketa tanah adat. Himpun atau musyawarah adat dilaksanakan pada acara adat dipimpin oleh Suntan sebagai kepala adat beserta jajarannya. Musyawarah mengenai sengketa tanah adat dilaksanakan oleh Suku Marga setempat melibatkan Suku Bahmekon selaku bawahan Suku Marga dengan mengundang kedua belah pihak yang bersengketa dan saksi perbatasan tanah.
Apabila penyelesaian oleh Suku Marga tidak diterima oleh salah satu pihak yang bersengketa, maka urusan sengketa tanah ini merupakan tanggung jawab Suntan sebagai kepala Marga untuk menyelesaikannya
94
melalui musyawarah adat yang dihadiri oleh Suntan, Suku Marga, Suku Bahmekon, kedua belah pihk yang bersengketa dan saksi-saksi perbatasan tanah yang dipersengketakan. Musyawarah ini dilakukan di Lamban Gedung atau rumah adat (Rumah kediaman Suntan).
Dari penjelasan diatas menurut penulis musyawarah adat merupakan wadah bagi masyarakat adat dalam menentukan segala sesuasu kebijakan baik mengenai apabila akan dilaksanakan acara adat maupun mengenai apabila terjadi sengketa dalam masyarakat adat termasuk sengketa tanah adat. Himpun atau musyawarah adat dilaksanakan pada acara adat dipimpin oleh Suntan sebagai kepala adat beserta jajarannya. Sedangkan, musyawarah mengenai sengketa tanah adat dilaksanakan oleh Suku Marga setempat melibatkan Suku Bahmekon selaku bawahan Suku Marga dengan mengundang kedua belah pihak yang bersengketa dan saksi-saksi perbatasan tanah.
F. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon/Desa.
Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap
Sumber informan III dan IV sebagai pihak yang bersengketa proses penyelesaian
tanah
tersebut
awalnya
dilakukan
dengan
cara
kekeluargaan. Berhubung tidak ada tanggapan dari pihak lawan, maka Rusdi bin Arpan melapor kepada peratin/kepala desa Sumber Agung
95
Kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung Barat bahwa tanah yang dikuasai oleh M. Ali Anwar adalah tanah milik orang tuanya yang telah diwariskan kepadanya sejak tahun 1968.
Atas dasar laporan tersebut maka peratin/kepala desa Sumber Agung beserta jajaranya menyelidiki akan kebenaran laporan tersebut dengan memanggil M. Ali Anwar untuk menanyakan kebenaran atas tanah yang dimilikinya yang diakui oleh Rusdi bin Arpan adalah tanah orang tuanya dan dengan meminta surat menyurat yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
Setelah melapor kepada pihak pemerintahan desa, Rusdi bin Arpan juga melapor kepada Suntan Marga Ngambur Aryanda Persiyansyah mengenai sengketa tanah tersebut. Atas laporan tersebut Suntan Marga Ngambur memanggil bawahannya yang mengepalai wilayah Sumber Agung tempat terjadinya sengketa tanah tersebut yaitu Suku Marga Sumber Agung Raja Herman (Raja Skala). Setelah memanggil Suku Marga Sumber Agung tempat terjadinya sengketa tanah tersebut, Suntan Marga Ngambur memerintah Suku Marga Sumber Agung dan Bawahan (Suku Bahmekon) untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut. Karena ini merupakan tanggung jawab Suku Marga selaku kepala wilayah adat bagian desa Sumber Agung.
96
Akan tetapi perintah Suntan di tolak oleh Suku Marga Sumber Agung dan menyatakan ketidak sanggupan Suku Marga untuk menyelesaikan sengketa tanah tersebut. Adapun alasan Suku Marga Sumber Agung tidak sanggup untuk menyelesaikan sengketa tanah ini dan langsung melimpahkannya kepada Suntan adalah karena pihak lawan dari yang bersengketa selain mempunyai pangkat/jabatan tinggi (Mantan Komandan Koramil), mampu secara fianancial dan mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang hukum.
Karena Suku Marga Sumber Agung tidak sanggup menyelesaikan sengketa ini maka Suntan Marga Ngambur sebagai kepala adat secara otomatis harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa tanah ini dengan bekerjasama dengan peratin /kepala desa Sumber Agung. Selanjutnya Suntan Marga Ngambur dan Peratin/kepala desa Sumber Agung bersepakat untuk melakukan musyawarah yang dilaksanakan pada tanggal 7 April 2008. Musyawarah
tersebut dihadiri oleh pihak
pemerintahan adat dan pemerintahan desa beserta jajarannnya dengan mengundang tua-tua kampung/ tokoh masyarakat, tokoh agama, pihak yang bersengketa, saksi-saksi perbatasan tanah dan dihadiri oleh bapak Camat Kecamatan Ngambur selaku kepala wilayah kecamatan setempat.
Dalam musyawarah
tersebut para pihak masing-masing mengajukan
pendapat atas kepemilikan tanah yang disengketakan. Pendapat dari para pihak yang bersengketa dapat diraikan sebagai berikut :
97
M. Ali Anwar selaku penggugat berpendapat bahwa tanah tersebut adalah milik penggugat dengan bukti bahwa penggugat mempunyai izin pembukaan tanah dari kepala Kampung Sumber Agung dengan surat bernomor : 10/DS/1971 tertanggal 23 September 1971 dengan ukuran tanah 40 x 30 depa (3 Ha) terletak di Kampung Sumber Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat.
Adapun batas-batas tanah tersebut adalah sebagai berikut : Sebelah Utara Berbatasan dengan
: Syafi’I / Kepala Kampung
Sebelah Selatan Berbatasan dengan
: Sapian
Sebelah Timur Berbatasan dengan
: Jalan Raya
Sebelah Barat Berbatasan dengan
: Laut/Samudra Lepas
Pada tahun 1976 tanah tersebut sebagian dihibahkan kepada anak ponakan M. Ali Anwar yaitu : 1. Mat Zainal diberi tanah dengan luas 2000 M2 dan sudah di sertifikatkan pada tahun 1998 2. Ujang Monalisa anak penggugat diberikan tanah seluas 2000 M2 dan sudah di sertifikatkan pada tahun 1998 3. Mat Lazim oleh M. Ali Anwar disuruh menempati tanah tersebut dengan ketentuan tidak boleh dimiliki apalagi di perjual belikan.
Menurut pendapat Ahmad Sahbudin Bin Sarbini berpendapat bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya dan telah diwariskan
98
kepadanya. Orang tuanya membuka tanah tersebut sejak tahun 1968 dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara Berbatasan dengan
: Mat Zarkasi, Mat Zawawi
Sebelah Selatan Berbatasan dengan
: Majisin Ahya Jaer
Sebelah Timur Berbatasan dengan
: Pantai Laut Lepas
Sebelah Barat Berbatasan dengan
: Rusdi Arpan
Luas tanah tersebut adalah 10.000 M2 dan sampai saat ini masih dalam penguasaan saya dan tidak diperjual belikan. Tanah tersebut diakui oleh pihak-pihak yang berbatasan, tokoh adat, tokoh masyarakat dan Tua-tua Pekon serta Pemerintahan Pekon/desa Sumber Agung. Adapun bukti yang diajukan oleh Ahmad Sahbudin adalah Surat Pernyataan Lingkungan dan Surat Pernyataan Fisik.
Rusdi bin Arpan tanah miliknya seluas 10.000 M2 (1 ha) yang terletak di pekon/desa Sumber Agung kecamatan Ngambur Kabupaten Lampung Barat dengan batas-batas : Sebelah Utara berbatasan dengan
: Mat Zarkasih M. Zawawi
Sebelah Selatan berbatasan dengan
: Abdulloh Saleh
Sebelah Timur berbatasan dengan
: Jalan Lintas Barat
Sebelah Barat berbatasan dengan
: M. Sahbudin Sarbini
99
Sedangkan tanah yang di klaim oleh M. Ali Anwar, tanahnya berbatasan sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan
: Syafe’I Yusuf
Sebelah Selatan berbatasan dengan
: Sopyan
Sebelah Timur berbatasan dengan
: Jalan Lintas Barat
Sebelah Barat berbatasan dengan
: Samudra Lepas
Rusdi bin Arpan menyatakan bahwa tanah yang dimaksud oleh M. Ali Anwar telah di buka dan diurus serta diusahakan sejak tahun 1968 dengan pengorbanan yang cukup besar, termasuk korban jiwa. Ada yang cacat seumur hidup, ada yang korban masuk penjara selama 4,5 tahun atas pertanggung jawaban kehilangan nyawa tersebut. Itulah alasan Rusdi Bin Arpan
keberatan untuk menyerahkan tanah tersebut, dan tanah
tersebut dikuasai terus menerus hingga saat ini serta diakui pula oleh pihak-pihak perbatasan tanah, tua-tua kampung, aparat pemerintah Pekon/desa Sumber Agung dan pihak pemerintah adat.
Rusdi Bin Arpan menyatakan bahwa bukti tertulis yang dimilki oleh M. Ali Anwar atas kepemilikan tanah tersebut, adalah Surat Keterangan Pembukaan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung Susukan Sumber Agung pada tanggal 23 September 1971. Sedangkan pihak M. Ali Anwar tidak pernah membuka tanah tersebut, karena sejak tanah ini kami buka atau dibuka tahun 1968 hingga saat ini masih diusahakan serta diurus dan ini juga diakui oleh semua pihak baik yang berbatasan
100
tanah maupun pihak
tokoh
adat/masyarakat
juga pemerintahan
pekon/desa Sumber Agung.
Sementara pihak M. Ali Anwar satupun tidak ada yang membenarkan bahwa tanah tersebut miliknya. Sehingga hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh pemerintahan adat dan pemerintah pekon/desa tersebut, Suntan Marga Ngambur dan Peratin/kepala desa Sumber Agung memutuskan tanah yang menjadi sengketa adalah dimenangkan Rusdi bin Arpan serta keluarganya.
Menurut penulis dari uraian di atas Rusdi bin Arpan dan keluarganya yang berhak memenangkan sengketa tanah ini dilihat dari pernyataaan dari pada saksi-saksi dalam musyawarah adat dan pemerintahan desa yang membenarkan Rusdi bin Arpan sebagai pemilik yang sah atas tanah tersebut. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa Suntan memiliki peranan yang sangat kuat dalam penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan oleh Penyimbang Adat dan Pemerintahan Pekon Sumber Agung, secara adat sudah dianggap selesai dan telah di putuskan dengan Surat keterangan dari Kepala Desa dan diketahui oleh Saibatin Penyimbang Adat Marga Ngambur. Putusan Pemerintahan adat dan Pemerintahan Pekon membenarkan bahwa tanah yang menjadi sengketa adalah tanah milik Rusdi bin Arpan serta keluarganya. Pertimbangan Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon membenarkan bahwa tanah tersebut bukan milik M. Ali Anwar, dengan didukung adanya petunjuk dari tua-tua adat
101
serta bukti sejarah bahwa tanah tersebut pernah di sengketakan dan berakhir dengan pertumpahan darah.
G. Sebab di Gugat Kembali ke Pengadilan Putusan Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon/desa pada kenyataannya tidak dapat di terima secara keseluruhan oleh salah satu pihak yang bersengketa, mengingat putusan Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon/Desa membenarkan bahwa pemilik sah tanah adalah Rusdi Bin Arpan sehingga klaim hak milik atas tanah tersebut oleh M. Ali Anwar tidak dibenarkan. M. Ali Anwar sebagai orang yang di kalahkan oleh Pemerintahan Adat dan Pemerintahan Pekon/Desa akhirnya menempuh jalur hukum formal dengan mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri Liwa.
Menurut sumber informan I, II, III dan IV sebab M. Ali Anwar tidak menerima
hasil
putusan
musyawarah
pemerintahan
adat
dan
pemerintahan desa yang memenangkan Rusdi bin Arpan sebagai pemilik tanah yang dipersengketakan yaitu : 1) M. Ali Anwar selain merasa malu karena tidak ada satupun saksi dalam musyawarah tersebut yang membenarkan tanah tersebut milik ataupun tanah hasil bukaan M. Ali Anwar. 2) M. Ali Anwar tidak menerima surat keterangan kepemilikan tanah yang diterbitkan Peratin Sumber Agung Bapak Mat Azani, karena menurut M. Ali Anwar (Penggugat), Mat Azani sebagai
102
Peratin/kepala desa yang menerbitkan surat-surat tentang tanah, yaitu surat keterangan tanah milik Tergugat I, II dan III yang pada dasarnya tanah tersebut adalah milik Penggugat semua. Sehingga Peratin Sumber Agung juga ikut menjadi turut tergugat 1 (satu) karena di anggap berpihak dan memanipulasi surat keterangan kepemilikan tanah pihak tergugat I, I dan III. 3) M. Ali Anwar menganggap pihak tergugat tidak akan sanggup untuk mengikuti penyelesaian di pengadilan umum terkait keterbatasan dana dan kemampuan intelektual yang dimiliki pihak tergugat I, II dan III. 4) M. Ali Anwar pada pengadilan umum menggunakan bantuan hukum
atau
pengacara
sementara
pihak
lawan
tidak
menggunakan pengacara sehingga pihak penggugat yakin akan memenangkan perkara di pengadilan umum ini.
Dari hasil pemaparan di atas, menurut penulis sebab di gugat kembali oleh M. Ali Anwar pada Pengadilan Negeri Liwa, selain karena merasa malu (harga diri) juga terdapat motif ekonomi dan menurutnya pihak lawan memiliki keterbatasan pengetahuan dan materil. Sedangkan pada pengadilan M. Ali Anwar menggunakan bantuan penasehat hukum atau advokat pada persidangan di Pengadilan Negeri Liwa, sehingga M. Ali Anwar yang diwakili oleh anaknya Ujang Monalisa yakin akan memenangkan sengketa tanah tersebut melalui pengadilan.
103
H. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Negeri Liwa
Karena tidak puas dan merasa dirugikan dari keputusam musyawarah antara pemerintahan adat dan pemerintahan desa yang dihadiri oleh tuatua kampung/tokoh masyarakat, tokoh agama, saksi-saksi perbatasan dan bapak camat Kecamatan Ngambur yang memenangkan pihak tergugat I, II dan III, maka M. Ali Anwar mengajukan gugatan sengketa tanah tersebut ke pengadilan Negeri Liwa yang diwakili oleh anaknya Ujang Monalisa.
Pada Pengadilan Negeri Liwa M. Ali Anwar mengggugat Ahmad Syahbuddin sebagai Tergugat I, Rusdi bin Arpan sebagai tergugat II, dan Majisin Ahya sebagai tergugat III. Selain para tergugat I, II dan III, juga terdapat turut tergugat Yaitu Mat Azani peratin/kepala desa Sumber Agung sebagi Turut Tergugat I, Mat Lazim sebagi turut Tergugat II, dan Razi sebagi Turut tergugat III. Peratin Sumber Agung Bapak Mat Azani menjadi Turut Tergugagat I, karena menurut M. Ali Anwar (Penggugat), Mat Azani sebagai Peratin/kepala desa yang menerbitkan surat-surat tentang tanah, yaitu surat keterangan tanah milik Tergugat I, II dan III yang pada dasarnya tanah tersebut adalah milik Penggugat semua.
Turut Tergugat II oleh penggugat hanya disuruh menempati saja dan tidak berhak untuk mamiliki tanah tersebut, tetapi kenyataannya ketika penggugat mencari surat-surat tentang tanah yang ditempati sekarang,
104
turut tergugat II tidak mengaku bahwa tanah tersebut adalah tanah pemberian dari Penggugat yang disuruh untuk menempati saja. Akan tetapi turut tergugat II tidak mengakuinya pada musyawarah antara pihak pemerintahan adat dan pemerintahn pekon/desa dan pihak turut tergugat II mengaku bahwa tanah tersebut pemberian Rusdi bin Arpan (tergugat II). Sehingga penggugat merasa dirugikan oleh karena itu menjadi ikut tergugat II pada Pengadilan Negeri Liwa. Sedangkan Turut tergugat III karena telah membeli sebagian tanah milik Tergugat II yang tidak berhak untuk menjual belikan tanah yang ditempati sekarang.
Menurut hasil wawancara dari sumber informan III dan IV, Proses penyelesaian sengketa tanah pada Pengadilan Negeri Liwa tidak jauh berbeda dengan proses penyelesaian sengketa tanah melalui musyawarah yang dilakukan oleh Pemerintahan adat dan Pemerintahan Desa, yaitu dengan mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi perbatasan tanah dan surat menyurat tanah yang dimiliki oleh kedua belah pihak. Hanya saja pada Pengadilan Negeri liwa pihak penggugat menggunakan pengacara sedangkan pihak tergugat tidak menggunakan pengacara karena menurut pihak Tergugat dari mana uang untuk menyewa pengacara, Ongkos untuk menghadiri persidangan saja pihak tergugat harus meminjam dari para kerabatnya.
105
Tetapi menurut tergugat I, II dan III Surat keterangan dari Kepala Desa dan diketahui oleh Saibatin/Suntan Penyimbang Adat Marga Ngambur merupakan salah satu pertimbangan Hakim yang menguatkan mereka mengenai kepemilikan tanah yang sah di Pengadilan Negeri Liwa. Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Liwa, majelis hakim yang memimpin persidangan tersebut meminta beberapa poin yang menguatkan kedua belah pihak mengenai kepemilikan tanah yaitu Surat kepemilikan tanah, saksi-saksi perbatasan tanah dan surat kepemilikan tanah dari pihak tergugat. Secara umum proses persidangan pada Pengadilan Negeri Liwa dapat di uraikan sebagai berikut : M. Ali Anwar selaku penggugat yang diwakilkan kepada anaknya Ujang Monalisa melawan pihak tergugat I Ahmad Sahbuddin bin Sarbini, Tergugat II Rusdi bin Arpan, Tergugat III Majisin Ahya serta Turut tergugat I Mat Azani, Turut tergugat II Mat Lazim dan Razi sebagai Turut tergugat III.
Gugatan ini di daftarkan pada Pengadilan Negeri Liwa, tanggal 12 Mei 2008 di bawah Register Perkara No. 04/PDT.G/2008/PN.LW. substansi gugatan bahwa M. Ali Anwar selaku penggugat pada tanggal 10 Juli 1969 sebagai anggota TNI AD di tugaskan di Biha Kecamatan Pesisir. Selatan dengan jabatan sebagai Bahar Puterpra 41202/Pesisir Selatan dengan Sprin Nomor : Sprin/064-3/7/1969 tanggal 10 Juli 1969. M. Ali Anwar yang bertugas pada kampung halaman sendiri kemudian di beri izin untuk melakukan pembukaan tanah oleh Kepala Kampung Sumber
106
Agung dengan izin nomor : 10/DS/1971 tertanggal 23 September 1971 dengan ukuran lebih kurang 40 x 300 depa (3 Ha) terletak di Kampung Sumber Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Lampung Barat (dulu Lampung Utara) dengan batas-batas tanah sebagai berikut : SebelahUtara berbatasan dengan
: Syafi’i/Kepala Kampung
Sebelah selatan berbatasan dengan
: Sapyan
Sebelah Timur berbatasan dengan
: Jalan Raya
Sebelah Barat berbatasan dengan
: Laut/samudra lepas
Penggugat M. Ali Anwar melalui kuasanya Ujang Monalisa menggugat pihak tergugat I, II, dan III dan Turut Tergugat I, II dan III atas tanah yang di sengketakan dan di klaim penggugat sebagai hak miliknya.
Tergugat I dalam persidangan memberikan jawaban atas gugatan sebagai berikut :
Tergugat I berpendapat bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya dan telah diwariskan kepadanya. Orang tuanya membuka tanah tersebut sejak tahun 1968 dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara Berbatasan dengan
: Mat Zarkasi, Mat Zawawi
Sebelah Selatan Berbatasan dengan
: Majisin Ahya Jaer
Sebelah Timur Berbatasan dengan
: Pantai Laut Lepas
Sebelah Barat Berbatasan dengan
: Rusdi Arpan
107
Luas tanah tersebut adalah 10.000 M2 dan sampai saat ini masih dalam penguasaan saya dan tidak diperjual belikan. Tanah tersebut diakui oleh pihak-pihak yang berbatasan, tokoh adat, tokoh masyarakat dan Tua-tua Pekon serta Pemerintahan Pekon/desa Sumber Agung. Adapun bukti yang diajukan oleh tegugat I adalah Surat Pernyataan Lingkungan dan Surat Pernyataan Fisik.
Sedangkan yang dilakukan penggugat M. Ali Anwar, tanahnya berbatasan sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan
: Syafe’I Yusuf
Sebelah Selatan berbatasan dengan
: Sopyan
Sebelah Timur berbatasan dengan
: Jalan Lintas Barat
Sebelah Barat berbatasan dengan
: Samudra Lepas
Sehingga menurut penulis terjadi ketidak cocokan antara perbatasan tanah yang di akui oleh tergugat I dan pihak penggugat. Akan tetapi pihak tergugat I di kuatkan oleh kesaksian pihak yang berbatasan tanah sedangkan pihak penggugat tidak ada saksi perbatasan tanah yang hadir pada pengadilan Negeri Liwa. Sehingga menurut penulis pihak tergugat I yang berhak atas tanah tersebut dengan kesaksian pihak yang berbatasan tanah pada pengadilan negeri Liwa.
108
Dasar sanggahan Tergugat II adalah : a). Dari batas yang diakui oleh penggugat itu saja tidak sesuai dan pemilik yang berbatasan tanah yang diakui oleh pihak penggugat tidak ada yang mengaku dan membenarkan pengakuan penggugat. b). Tergugat II juga keberatan untuk menerima gugatan penggugat karena tanah yang dimaksud oleh penggugat telah kami buka dan kami urus serta kami usahakan sejak tahun 1968 dengan pengorbanan yang cukup besar yakni korban manusia. Ada yang cacat seumur hidup, ada yang korban nyawa manusia dan ada pula korban masuk penjara selama 4,5 tahun atas pertanggung jawaban kehilangan nyawa tersebut. Itulah alasan tergugat keberatan untuk menyerahkan tanah tersebut dan tanah tersebut kuasai terus menerus hingga saat ini, serta diakui pula oleh pihak-pihak perbatasan tanah, tua-tua kampung, aparat pemerintah Pekon/desa Sumber Agung dan pihak Pemerintah Adat.
c). Tergugat keberatan memberikan sanggahan dengan gugatan pihak penggugat di mana penggugat mengaku tanah tergugat
tersebut
miliknya, karena hanya berdasarkan Surat Keterangan Pembukaan Tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Kampung Susukan Sumber Agung pada tanggal 23 September 1971. Sedangkan pihak penggugat tidak pernah membuka tanah tersebut, karena sejak tanah ini kami buka atau dibuka oleh tergugat II tahun 1968 hingga saat ini masih tergugat usahakan serta diurus dan ini juga diakui oleh semua
109
pihak
baik
yang
berbatasan
tanah
maupun
pihak
tokoh
adat/masyarakat juga pemerintahan pekon/desa Sumber Agung. Sementara pihak penggugat satupun tidak ada yang membenarkan bahwa tanah tersebut miliknya.
Tergugat II memberikan sanggahan lagi tentang tanah yang dikuasai oleh Mat Lazim bin Basri itu, bahwa tidak benar jika tanah tersebut atas pembagiaan dari Penggugat. Selain pembagian dari Arpan orang tua tergugat II sejak tahun 1968 secara paroan dan diakui oleh M. Lazim bin Basri (turut tergugat I) bahwa tanah tersebut diurus dan diusahakan oleh turut tergugat I sampai saat ini. Selain itu menurut pengakuan dari turut tergugat I bahwa penggugat tidak pernah membagikan sebagian tanahnya pada turut tergugat I.
Menurut Pengamatan Tergugat dari segala macam tuntutan dan tuduhan pihak penggugat itu tidak ada yang benar. Gugatan itu hanya rekayasa untuk mendapat keuntungan dengan merugikan pihak tergugat. Selain itu pihak penggugat tidak pernah membuka tanah tersebut, hanya memiliki Surat Keterangan Pembukaan Tanah yang dikeluarkan Kepala Kampung Susukan Sumber Agung tanggal 23 September 1971 itu saja.
Menurut jawaban dari Tergugat III atas gugatan dari pihak penggugat yang menuduh bahwa Tergugat III telah melakukan tindakan penyerobotan atas tanah milik Penggugat yang luasnya 1.200 M2 yang
110
terletak dipekon Sumber Agung kecamatan Ngambur kabupaten Lampung Barat dengan batas-batas tanah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan
: Abdulloh Saleh
Sebelah Selatan berbatasan dengan
: Maratim Halimin
Sebelah Timur berbatasan dengan
: Jalan Lintas Barat
Sebelah Barat berbatasan dengan
: M. Sahbudin Sarbini/Paantai
Menurut adanya tuduhan gugatan penggugat tersebut terhadap Tergugat III, maka Tergugat III menyanggah bahwa tergugat tidak terima bahkan sebenarnya penggugatlah yang melakukan penyerobotan atas tanah milik tergugat. Menurut tergugat tanah yang dimaksud penggugat pada tahun 1968, tanah tersebut telah tergarap serta diusahakan oleh orang tua tergugat serempak dengan kawan-kawan yang saat ini menjai tergugat. Untuk memperkuat pernyataan ini tergugat lampirkan surat pernyataan tua-tua kampung dan yang berbatasan dengan tanah tergugat tersebut.
Dari pernyataan yang di sampaikan oleh pihak pengugugat beserta saksi dan pihak tergugat beserta saksi-saksi yang telah menyampaikan kesaksiannya masing-masing pada musyawarah tersebut, maka Suntan Marga Ngambur dan Peratin/kepala Desa Sumber Agung memutuskan dan membenarkan bahwa tanah tersebut adalah milik pihak Tergugat I, II dan III. Karena selain menurut keterangan yang diberikan oleh saksisaksi perbatasan tanah yang membenarkan tanah tersebut adalah milik orang tua tergugat, Suntan Marga Ngambur juga memberikan pernyataan
111
bahwa tanah tersebut menurut sejarah yang ia ketahui bahwa dulunya orang tua pihak tergugat sebelum membuka tanah tersebut terlebih dahulu meminta izin kepada pihak pemerintahan adat untuk membuka tanah tersebut pada ± tahun 1968.
Karena pada zaman dahulu menurut Suntan Marga Ngambur sebagai kepala adat, setiap masyarakat yang ingin membuka tanah harus terlebih dahulu meminta izin kepada pihak pemerintahan adat agar tidak terjadi perselisihan seperti yang terjadi pada kasus sengketa tanah yang terjadi pada M. Ali Anwar melawan Ahmad Sahbudin dan kawan-kawan ini. Tabel 21. Ketidak cocokan antara perbatasan tanah yang di akui oleh pihak Penggugat dan Tergugat I, II dan III. Pihak Yang
Perbatasan
Bersengketa
Tanah
Penggugat
Utara berbatasan dengan : Syafe’I Yusuf Selatan berbatasan dengan : Sopyan Timur berbatasan dengan : Jln. Raya Barat berbatasan dengan: Samudera Lepas
Tergugat I
Utara berbatasan dengan : Mat Zarkasih Selatan berbatasan dengan : Majisin Timur berbatasan dengan: Pantai laut lepas Barat berbatasan dengan: Rusdi bin Arpan
Tergugat II
Utara berbatasan dengan : Abdullah Saleh Selatan berbatasan dengan : Maratim H Timur berbatasan dengan : Jln. Lintas Barat Barat berbatasan dengan: Rusdi bin Arpan
Keterangan
Tidak adanya saksi-saksi perbatasan yang mengakui berbatasan dengan penggugat Diakui oleh saksi-saksi perbatasan tanah pada musyawarah adat dan pengadilan
Diakui oleh saksi-saksi perbatasan tanah pada musyawarah adat dan pengadilan
112
Tergugat III
Utara berbatasan dengan : Abdullah Saleh Selatan berbatasan dengan : Maratim H Timur berbatasan dengan : Jln Lintas Barat Barat berbatasan dengan: Rusdi bin Arpan
Diakui oleh saksi-saksi perbatasan tanah pada musyawarah adat dan pengadilan
Hasil keputusan pihak pemerintahan adat dan pemerintahan pekon/desa pada musyawarah tersebut yang memenangkan pihak tergugat I, II dan III, maka pihak penggugat merasa dirugikan atas keputusan tersebut sehingga meneruskan gugutannya Kepengadilan Negeri Liwa yang diwakili oleh anaknya Ujang Monalisa.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri No. 04/Pdt.G/2008/PN.LW tanggal 15 September 2008 dengan hakim ketua Nurhadi, SH, Agung Indra Baskoro, SH dan Sunoto, SH, M.Kn sebagai hakim anggota dengan Panitera Pengganti Suhaili memutuskan : 1. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet netvankelijk Verklaard) 2. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.979.000,.
Menurut penulis, berdasarkan keterangan di atas proses penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan oleh pemerintahan adat (Suntan) dan pemerintahan desa Sumber Agung melalui himpun/musyawarah adat
113
yang memenangkan pihak tergugat I. II dan III dengan mengeluarkan Surat keterangan Kepemilikan tanah dari Kepala Desa dan diketahui oleh Saibatin/Suntan Penyimbang Adat Marga Ngambur merupakan salah satu pertimbangan Hakim yang menguatkan pihak tergugat I, II dan III mengenai kepemilikan tanah yang sah di Pengadilan Negeri Liwa.
Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa menangnya perkara terhadap tergugat
di
pengadilan
semakin
mempertegas
bahwa
peranan
pemerintahan adat atau Suntan masih sangat kuat dilihat dari keabsahan, kekuatan, pengakuan dan koordinasi antar perangkat pemerintah adat. Keabsahan dilihat dari surat yang dikeluarkan Suntan Atas kepemilikan tanah berdasarkan hasil musyawarah adat yang dihadiri pemerintah pekon/desa.
Kekuatan dan pengakuan dilihat dari kehadiran para perangkat adat dan pemerintahan pekon dalam rapat penyelesaian sengketa tanah adat. Hal ini menunjukkan pengakuan secara de fakto dari masyarakat, sedangkan secara de jure dilihat dengan adanya surat yang dikeluarkan Suntan Marga Ngambur atas tanah sengketa yang menjadi bukti dasar di pengadilan. Surat ini diakui oleh pemerintaah pekon/desa dan di tanda tangani oleh Peratin atau kepala desa.
114
115
116
117