114
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Permukiman Adat di Desa Nggela 5.1.1 Orientasi permukiman adat di Desa Nggela Permukiman adat di Kabupaten Ende sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mbete dkk bahwa berorientasi pada arah Utara dan Selatan atau Ulu dan Eko yaitu arah Gunung Lepembusu yang dipercayai sebagai tempat tinggal manusia pertama arah yang berlawanan dengan Gunung Lepembusu yaitu ke arah pantai dan diantaranya terdapat pusat (puse). Ulu diibaratkan selain sebagai asal manusia pertama juga diibaratkan sebagai matahari terbit dan Eko sebagai matahari terbenam. Pola permukiman adat di Desa Nggela yang berbentuk linear sesuai dengan konsep Ulu-Eko ini yaitu terbentang dari Utara ke Selatan dengan Puse Nua berada ditengah-tengahnya dan posisi rumah-rumah adat mengahap ke arah Timur dan Barat. Pada umumnya dalam struktur organisasi masyarakatnya rumah-rumah adat dalam posisi tertinggi menghadap ke arah Timur dan rumah-rumah adat yang menghadap ke Barat. Seperti yang diungkapkan oleh Pearson dan Richards bahwa pada umumnya banyak masyarakat Timur, arah Matahari terbit dianggap suci, menguntungkan dan seringkali adalah yang paling signifikan. Sedangkan Utara adalah status yang paling tinggi dan Selatan lebih rendah (Pearson dan Richards, 1994: 13).
115
U
Permukiman adat di Desa Nggela
S Gambar 5.1. Topografi horizontal Sumber: analisis Kerong, 2013
Pada Gambar 5.1, tampak bahwa permukiman adat di Desa Nggela berada pada dataran di antara gunung dan laut. Arah gunung merupakan arah Utara dari permukiman adat, sedangkan arah laut merupakan arah Selatan. Permukiman adat di Desa Nggela apabila dilihat secara horizontal menunjukan orientasi permukiman yaitu Utara - Selatan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa arah Utara beriorientasi pada Gunung Lepembusu yang merupakan asal usul manusia di Kabupaten Ende. Permukiman adat di Desa Nggela walaupun orientasinya mengikuti arah Utara-Selatan namun apabila dilihat pada gambaran pada peta permukiman ini lebih pada orientasi dari Barat Laut-Tenggara. Hal ini disebabkan karena keadaan alam sekitar yang merupakan daerah pegunungan dan sungai. Sehingga sebagai orientasi dasar dari Utara-Selatan namun disesuaikan dengan kondisi alam dan dapat dilihat pada Gambar 5.2.
116
Dilihat dari orientasi, permukiman adat Nggela tidak sesuai apa bila dihubungkan dengan arah Utara dan Selatan sebagai orientasi utama pada umumnya di Kabupaten Ende. Hal ini karena posisi permukiman adat yang berada lebih pada arah Barat Laut-Tenggara. Namun dilihat dari cara berpikir masyarakat tradisional dulu yang belum mengenal 4 arah mata angin maka mereka hanya mengikuti keyakinan mereka yaitu lebih berorientasi pada arah Gunung Lepembusu bukan ke arah Utara.
5.1.2 Topografi Keadaan topografi di Desa Nggela yang berada di daerah tanah yang datar yang dikelilingi oleh sungai yang di sebelah Barat dan Timur, dan sebelah Selatan dengan perbedaan kontur tanah yang cukup curam. Sehingga dapat dikatakan posisi Desa Nggela merupakan yang dataran yang berada di tengah-tengah apabila dilihat dari ketinggian bukit. Selain itu, dilihat dari sejarah kedatangan nenek moyang orang Nggela yang berasal dari Utara sehingga dalam permukiman adat di Desa Nggela terdapat rumah adat yang berperan sebagai penjaga permukiman adat ini yaitu di sebelah Utara oleh Sa’o Tua yang beperan menerima tamu yang akan masuk ke permukiman adat, dan di sebelah Selatan oleh Sa’o Embulaka untuk kedatangan tamu dari arah pantai walaupun yang bertugas memantau kedatangan orang luar dari arah laut adalah dari Sa’o Wewa Mesa. Kondisi topografi yang berbukit inilah sehingga pola yang terjadi mengikuti arah Gunung Lepembusu dan juga kondisi alam dari Desa Nggela.
117
Akses entrance pada permukiman adat ini pada bagian Utara permukiman karena faktor kedatangan awal nenek moyang orang Nggela adalah dari sebelah Utara. Selain itu pada bagian Selatan dan Timur permukiman adat ini merupakan tanah yang curam dan sebelah Barat masih merupakan hutan. Bagian Barat dari permukiman ini ada kemungkinan bisa dibangun rumah-rumah penduduk untuk permukiman adat ini, namun tidak dibangun rumah-rumah adat karena dilihat dari bentuk permukiman adat di Desa Nggela ini memiliki axis dari Utara ke Selatan sehingga bentuk permukiman ini linear dengan pusat orientasi berada di tengahtengah permukiman.
U
Entrance
Daerah curam dan terdapat sungai
Daerah Hutan
Daerah curam
Gambar 5.2. Topografi Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Keadaan alam sekitar permukiman adat ini merupakan salah satu penyebab terbentuknya pola permukiman adat ini (Gambar 5.2). Pada bagian zona yang berwarna kuning merupakan daerah hutan yang memiliki kemungkinan untuk dibangun tempat tinggal dengan keadaan kontur tanah yang tidak terlalu berbeda. Namun yang terjadi permukiman adat ini dibangun secara linear. Hal ini dapat dilihat bahwa ada sistem axis yang membentang dari arah Utara ke Selatan dalam
118
permukiman adat ini karena faktor orientasi. Sehingga pola yang terbentuk pada permukiman adat ini merupakan pola linear dengan pusat aktifitas upacara adat berada di tengah antara dua deretan rumah adat. Namun ruang luar yang terbentuk di tengah-tengah permukiman terdapat batu-batu keramat yang tidak boleh diinjak dan dan juga kuburan-kuburan Mosalaki yang sudah meninggal. Sehingga tidak untuk kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat dalam bersosialisasi. Seperti yang dikatakan oleh Ching bahwa sumbu merupakan sarana dasar dalam organisasi bentuk dan ruang yang berupa suatu garis yang terbentuk oleh dua buah titik di dalam ruang (Ching, 2000: 322). Dalam sumber yang sama Ching mengatakan bahwa kondisi bersumbu dapat muncul tanpa menghadirkan keadaan simetris, secara stimulasi keadaan simetris tidak dapat muncul tanpa adanya sebuah sumbu yang membentuknya (Ching, 2000: 330). Dalam permukiman adat di Desa Nggela, sumbu yang terbentuk tidak menyerupai suatu garis dengan adanya dua buah titik yang menghubungkan diantara kedua ujung permukiman adat. Kondisi dari susunan pola dan ruang terbentuk pada sisi yang berlawanan tidak menunjukan adanya suatu kondisi yang simetris. Hal ini disebabkan oleh toprografi dari Desa Nggela yang berupa bukit, sehingga sumbu yang terbentuk mengikuti garis kontur pada bagian Timur permukiman. Pada dasarnya Ching mengatakan terdapat dua macam bentuk simetris yang membagi dua bagian diantara sumbu yaitu simetris bilateral dan simetris radial. Simetris bilateral yaitu suatu sumbu tengah yang terdapat satu bidang yang membagi seluruhnya menjadi dua bagian, sedangkan simetris radial yaitu
119
komposisi yang dibagi atas bagian yang sama dengan memotong bidang dari setiap sudut disekeliling pusat sepanjang sumbu pusat (Ching, 2000: 330).
U
Gambar 5.3. Sistem axis Permukiman adat Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dari Gambar 5.3 menunjukkan adanya sumbu yang membagi permukiman adat menjadi dua bagian yang berlawanan. Namun susunan bentuk dan pola yang ada tidak membentuk suatu kondisi yang simetris yang dipengaruhi oleh topografi Desa Nggela yang berupa daerah perbukitan. Kondisi simetris yang terbentuk dalam permukiman adat di Desa Nggela ini apabila dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Ching dapat dikategorikan sebagai simetris bilateral karena terdapat satu bidang yang membagi permukiman adat ini manjadi dua bagian. Permukiman adat di Desa Nggela pada dasarnya berbentuk linear dengan pusat dari permukiman mengarah ke tengah permukiman. Hal ini disebabkan
120
karena kegiatan upacara adat para Mosalaki pada umumnya di tengah khususnya di atas pelataran adat. Selain itu terdapat titik pusat permukiman adat yang ditandai dengan sebuah batu lonjong dan batu ceper dan dalam radius sekitar 15 m tidak ada bangunan yang didirikan untuk menjaga kesakralannya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Ching bahwa sumbu axis berupa sebuah garis lurus dengan dua titik yang menguhubungkannya. Namun dalam permukiman adat di Desa Nggela sumbu axis yang membagi permukiman adat menjadi dua bidang tidak menyerupai sebuaj garis lurus. Hal ini disebabkan oleh pada jaman dahulu, masyarakat tradisional tidak mengenal adanya sumbu axis yang berbentuk garis lurus. Masyarakat tradisional membangun tempat tinggalnya berdasarkan keyakinan mereka akan sesuatu yang bersifat suci dan juga penyesuaian dengan kondisi alam disekitarnya.
5.1.3 Sirkulasi permukiman adat di Desa Nggela Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, permukiman adat di Desa Nggela terdapat sumbu axis yang membentuk pola permukiman adat ini. Sehingga dengan adanya sumbu di tengah-tengah permukiman adat mengarahkan kegiatan masyarakat sekitar pada satu ruang dan juga sebagai pusat dari permukiman adat. Walaupun ruang di tengah-tengah permukiman adat ini merupakan pusat kegiatan masyarakat, namun tidak berlaku untuk masyarakat pada umumnya. Karena ruang luar dalam wilayah permukiman adat ini yang khusus untuk para Mosalaki sebagai pemimpin masyarakat beraktifitas dalam hal pelaksanaan upacara adat. Sirkulasi dalam permukiman adat di Desa Nggela dapat dilihat pada Gambar 5.4.
121
U
Sirkulasi
Sa’o Wewa Mesa
Arah hadap rumah adat
Gambar 5.4. Sirkulasi Permukiman adat Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Pada Gambar 5.4, dapat dilihat posisi rumah-rumah dalam permukiman adat yang menghadap ke arah ruang di tengah-tengah yang merupakan ruang kosong yang terdapat beberapa elemen yang dikeramatkan. Pada umumnya hampir seluruh rumah-rumah dalam permukiman adat ini arah hadapnya ke arah ruang tengah, kecuali sebuah rumah adat (Sa’o Wewa Mesa) yang menghadap ke arah Selatan karena fungsinya sebagai pemantau ke arah laut. Selain sebagai pusat orientasi yang mengarah ke tengah-tengah permukiman adat, arah hadap rumahrumah-rumah adat ke tengah agar mereka bisa saling mengawasi dan melihat apabila salah satu rumah mendapat kesulitan maka rumah-rumah yang lain dapat langsung mengetahuinya dan membantu. Hal ini menunjukkan rasa kekeluargaan dan solidaritas yang kuat diantara masyarakat di permukiman adat ini.
122
U Permukiman penduduk biasa Akses Jalan untuk mobil dan motor Permukiman adat
U Gambar 5.5. Akses Jalan Desa Nggela Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Batas akses jalan ke permukiman adat Pagar pembatas permukiman adat
Gambar 5.6. Jejaring permukiman adat Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Pada Gambar 5.5 merupakan akses jalan di Desa Nggela, namun untuk akses jalan mobil terbatas dengan kondisi jalan yang ada. Akses jalan pada permukiman penduduk biasa masih bisa untuk jalan mobil, sedangkan pada permukiman adat sudah tidak diperbolehkan untuk mobil ataupun motor masuk arena sifat permukiman adat yang sakral dan adanya pagar pembatas disekeliling
123
permukiman adat. Adanya pagar pembatas ini merupakan penanda bahwa permukiman adat ini tidak sembarang boleh memasukinya.
5.1.3 Zona makro dan zona mikro Pada umumnya masyarakat di Desa Nggela bermata pencaharian sebagai petani sehingga terdapat sawah dan ladang sebagai sumber untuk mendapatkan makanan tiap hari. Letak dari sawah dan ladang berada mengelilingi permukiman penduduk di Desa Nggela. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.7 yaitu pembagian zona secara makro Desa Nggela.
U Sawah dan ladang Permukiman penduduk biasa Permukiman adat
Gambar 5.7. Zona Makro Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dilihat dari zona makro di Desa Nggela menunjukan bahwa pola yang terbentuk adalah terpusat yaitu sawah dan ladang sebagai lahan mata pencaharian penduduk berada mengelilingi permukiman di Desa Nggela. Sedangkan
124
permukiman adat sebagai permukiman awal terbentuknya Desa Nggela berada di sebelah Timur dari permukiman penduduk biasa. Hal ini disebabkan karena topografi di Desa Nggela yang berbukit dan di sebelah Timur dari permukiman ini adalah daerah aliran sungai sehingga bentuk permukimannya mengikuti topografi dan keadaan alam sekitar. Seperti yang dikatakan Asy’ari bahwa lahan diluar desa biasanya diperuntukkan sebagai lahan persawahan atau perladangan. Dengan pola demikian jika penduduk bertambah masih dimungkinkan perluasannya ke luar (Asy’ari, 1900: 110). Di Desa Nggela luas sawah dan ladang cukup besar sehingga ada kemungkinan
untuk
memperluas
permukiman
penduduk
apabila
lahan
permukiman yang sudah ada sekarang tidak lagi mencukupi. Zona secara mikro yaitu penzoningan pada permukiman adat di Desa Nggela yang berada di tengah Desa Nggela. Zonasi yang dilakukan pada permukiman adat ini lebih mengarah pada zonasi secara fungsi dan aktifitas yang dilakukan. Zona yang terdalam merupakan wilayah inti karena merupakan posisi dari beberapa elemen permukiman yang dikeramatkan yaitu: pelataran adat, kuburan perahu, dan titik pusat permukiman. Selain itu sebagai pusat permukiman pada zona ini merupakan pusat dari dilakukannya upacara-upacara adat. Zonasi berikut adalah zona sosialisasi, karena dilihat dari beberapa elemen permukiman yang dikeramatkan yaitu: adanya batu-batu yang tidak boleh disentuh ataupun diinjak, adanya kuburan-kuburan para Mosalaki, dan adanya kayu yang dikeramatkan. Selain itu merupakan tempat berkumpulnya masyarakat dalam permukiman adat ini untuk bersosialisasi. Zona terluar dari permukiman adat merupakan kumpulan
125
rumah-rumah adat inti, rumah adat pendukung dan rumah-rumah penduduk lain. Tata zonasi secara mikro dalam permukiman adat ini dapat dilihat pada Gambar 5.8.
U
Zona inti
Zona sosialisasi
Gambar 5.8. Zona Mikro Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Zona makro dan zona mikro apabila dihubungkan maka dapat disimpulkan bahwa zonasi ini bersifat terpusat/ berada pada satu titik sakral. Kedua zona ini, pada bagian pusat merupakan bagian inti. Pada zona makro merupakan permukiman adat yang merupakan permukiman awal, sedangkan pada zona mikro merupakan wilayah ini tempat berlangsungnya upacara-upacara adat dan tempatnya elemen-elemen permukiman yang dikeramatkan.
126
5.2 Struktur Organisasi dan Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela. 5.2.1 Struktur organisasi masyarakat Struktur organisasi dalam penelitian ini lebih mengarah pada sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan yang tidak mengacu pada individu dalam sistem organisasi dan juga sistem posisi atau kedudukan. Sistem posisi atau kedudukan seseorang dalam permukiman adat di Desa Nggela selain dapat dilihat dari kedudukan yang sudah turun temurun oleh nenek moyang juga dapat dilihat dari peran dan tugas yang harus dijalankan. Peran dan tugas dari Mosalaki-Mosalaki dalam permukiman adat di Desa Nggela beragam sesuai dengan posisi kedudukan masing-masing dalam upacaraupacara adat. Namun dalam hal tugas dan peran Mosalaki dalam struktur organisasinya hanya dibahas secara garis besarnya untuk melihat posisinya dalam masyarakat Nggela. Dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka bersama-sama membentuk suatu masyarakat dan menempati suatu teritorial dan mulai untuk menetap. Hal ini tentunya dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik yaitu makan, pakaian, dan juga rumah untuk berlindung. Sedangkan kebutuhan lain untuk mempertahankan hidup dari ancaman dari luar misalnya iklim ataupun binatang buas. Dalam masyarakat di Desa Nggela dalam memenuhi kebutuhan hidup akan berjalan baik bila diimbangi dengan kepercayaan mereka akan adanya kekuasaan tertinggi alam semesta yaitu Du’a Ngga’e (Tuhan), kekuatan alam, dan juga roh para leluhur. Hal ini diwujudkan dengan membangun mesbah adat dan
127
melakukan beberapa ritual sebelum dan sesudah masa tanam dan dipercaya akan memberikan mereka hasil panen yang baik. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah masyarakat Nggela saat itu maka semakin besar juga kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya mereka mulai membentuk organisasi masyarakat dengan pembagian tugas masing-masing. Ketiga Mosalaki teratas yaitu Mosalaki Ine Ame (pemimpin), Mosalaki Pu’u, (pelaksana) dan Mosalaki Ria Bewa (hakim) merupakan kelompok tiga besar dimana memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan MosalakiMosalaki lainnya. Hal ini dapat dilihat pada upacara adat tertentu, dimana dalam pembagian makanan ketiga Mosalaki inilah yang harus diutamakan dan menjadi orang pertama yang harus dilayani. Selain itu dapat dilihat dari posisi duduk saat upacara adat yang melibatkan ke-16 Mosalaki urutan pertama adalah pemimpin, pelaksana, dan hakim. Sedangkan Mosalaki-Mosalaki lain mengikuti sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain ketiga besar dalam struktur organisasi masyarakat Nggela, terdapat ketujuh besar diantara para Mosalaki. Hal ini dapat dilihat dalam upacara-upacara adat tertentu, dimana ketiga besar dank ketujuh besar Mosalaki ini memiliki peran dan tugas yang lebih dari pada para Mosalaki yang lainnya. Ketujuh besar ini adalah 3 Mosalaki dari Sa’o Ria, Mosalaki Tau Koe Uwi dari Sa’o Meko. Mosalaki Tau Dai Ulu Nua dari Sa’o Tua, Mosalaki Tau Piara Nggo Lamba dari Sa’o Pemoroja, Mosalaki Tau Tunu dari Sa’o Ndoja, Mosalaki dari Sa’o Rego dan Mosalaki dari Sa’o Ame Nggape yang keduanya merupakan Mosalaki pendukung
128
dari Sa’o Ria dan tidak termasuk dalam ke-16 Mosalaki utama dalam masyarakat Nggela. Namun disini yang menjadi 7 besar adalah 7 Mosalaki, sehingga Sa’o Rego dan Sa’o Ame Nggape bisa dikatakan sebagai rumah adat yang mendukung dan membantu Mosalaki pelaksana dalam menjalankan tugas. Hierarki sturktur organisasi masyarakat di permukiman adat ini yaitu terdapat seorang pemimpin, pelaksana, dan hakim yang biasa disebut sebagai tiga besar Mosalaki . Ketiga besar Mosalaki dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Tiga besar Mosalaki No 1
Rumah adat Sa’o Labo
2
Sa’o Ria
3
Sa’o Leke Bewa
Posisi Mosalaki Ine Ame (pemimpin)
Mosalaki Pu’u (pelaksana)
Peran dan tugas Sebagai pemimpin dalam Masyarakat untuk mengontrol semua peran dan tugas dari Mosalaki-Mosalaki Pelaksana upacaraupacara adat.
Mosalaki Ria Bewa (hakim)
Sebagai hakim dalam masyarakat.
Gambar
(Analisis Kerong, 2013)
Selain ketiga besar dalam struktur organisasi para Mosalaki, terdapat pembagian tujuh besar dari perannya dan juga dilatarbelakangi faktor sejarah. Menurut hasil wawancara beberapa informan mengatakan bahwa tujuh besar ini merupakan tujuh besar rumah adat. Tujuh besar ini terdiri dari lima buah rumah adat inti, dua rumah adat Poa Paso dengan tujuh orang Mosalaki inti dan dua Mosalaki dari Poa Paso. Namun apabila dilihat dari beberapa hal misalnya lokasi
129
dua rumah adat Poa Paso yang berada di luar dari permukiman adat yang merupakan permukiman bagi pemimpin-pemimpin di Desa Nggela dalam adat. Walaupun dikatakan bahwa tujuh besar ini adalah tujuh besar dalam hal rumah adat, namun yang sebenarnya adalah tujuh besar Mosalaki dari lima rumah adat inti. Dilihat dari perannya dua Mosalaki Poa Paso berperan untuk membantu Mosalaki-Mosalaki dari Sa’o Ria dalam melaksanakan tiap upacara adat. Sehingga tujuh besar yang dimaksud adalah tujuh besar dari Mosalaki bukan tujuh besar rumah adat. Kedudukan dan peran dari ketujuh Mosalaki ini dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Tujuh besar Mosalaki No 1
Rumah adat Sa’o Ria
Posisi Pelaksana
Pendukung 1
Pendukung 2
2
Sa’o Meko
Pendukung 3
3
Sa’o Tua
Pendukung 4
Peran dan tugas Pemimpin masyarakat Nggela secara adat. Penerima tamu sebelum masuk ke Sa’o Ria setelah penerimaan dari Sa’o Tua Sebagai Juru bicara dan yang memberi larangan pada saatasat tertentu Menjaga dan mengawasi Kanga.
Penerima tamu sebelum dibawa ke Sa’o Ria.
Gambar
130
4
Sa’o Pemoroja
Pendukung 5
Bertanggungjawab atas alat musik yang dimainkan pada saat upacara adat.
5
Sa’o Ndoja
Pendukung 6
Menjaga dan mengawasi Keda dan membantu Mosalaki lain.
(Analisis Kerong, 2013) Dari pembahasan mengenai struktur organisasi dalam masyarakat di Desa Nggela dalam permukiman adatnya dari awal terbentuk yang dilihat dari sejarah, posisi, dan perannya maka dapat digambarkan bentuk dari struktur organisasinya sebagai berikut: Pemimpin
Pelaksana Hakim Pendukung 1
Anggota 1
Pendukung 2
Anggota 2
Pendukung 3
Anggota 3
Pendukung 4
Anggota 4
Anggota 5
Pendukung 5
Anggota 6
Pendukung 6
Anggota 7
Gambar 5.9. Bentuk Struktur Organisasi Masyarakat Sumber: analisis Kerong, 2013
Dilihat dari Gambar 5.9, bentuk struktur organisasi dalam masyarakat di Desa Nggela terdapat seorang pemimpin sebagai pemilik yang berkuasa atas permukiman adat dan orang yang mengontrol segala aktifitas adat dalam
131
permukiman adat di Desa Nggela dan terdapat seorang pelaksana yang memimpin segala upacara-upacara adat. Disini dapat dilihat bahwa, walaupun pelaksana (Mosalaki Pu’u) merupakan orang yang memimpin dan memiliki pengaruh yang besar terhadap segala aktifitas adat di permukiman adat ini, namun Beliau datang dari Jawa yang artinya posisinya tetap berada dibawa posisi pemimpin. Hal ini berkaitan juga dengan keyakinan masyarakat akan adanya roh-roh leluhur yang masih menyertai kelangsungan hidup mereka setiap hari yang diwakili oleh seorang pemimpin. Sehingga setiap upacara adat harus direstui oleh pemimpin, dimana sama artinya bahwa direstui oleh leluhur mereka. Seperti yang diungkapkan Kartasapoetra dkk, bahwa para nenek moyang kita dan juga sebagian dari bangsa kita yang hidup pada kurun waktu sekarang yang masih percaya akan hal-hal yang gaib, oleh karena alam semesta itu mempunyai roh yang hidup berdampingan atau
mengawasi perilaku
manusia-manusia,
maka
segala
sesuatunya mempunyai aktivitas atau selalu turut serta pada setiap peristiwa yang terjadi, seolah-olah segala sesuatu roh itu berperan sebagai subjek atau individu yang mengemban hak (Kartasapoetra dkk,1986: 15-16).
132
5.2.2
Tata zona permukiman adat di Desa Nggela
1. Sejarah Kedatangan A Nggoro merupakan orang yang berkuasa atas tanah di Nggela dan mulai membangun rumah pertama mereka disini yaitu Sa’o Labo dan diikuti dengan membangun rumah untuk anak-anak mereka yaitu Sa’o Rore Api dan Sa’o Wewa Mesa.
U
Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Wewa Mesa
Gambar 5.10. Periode I Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Sa’o Rore Api dibangun dekat dengan Sa’o Labo agar bisa lebih dekat dan saling menjaga sedangkan posisi Sa’o Wewa Mesa yang berada di zona periode III dengan pertimbangan bahwa dapat memantau ke arah laut apabila terdapat kapal asing yang hendak berlabuh di pantai Nggela. Setelah itu A tua pindah dan tinggal dekat dengan mereka dan membangun rumah di sebelah utara Sa’o Labo dan mereka hidup sebagai saudara. Pada saat itu sudah terdapat Kanga Lo’o yang dibangun oleh A Tua diluar lokasi permukiman adat untuk melakukan upacara adat seadanya saja.
133
U Sa’o Tua Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Wewa Mesa
Gambar 5.11. Periode II Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Sebagai orang yang yang datang setelah A Nggoro, seharusnya posisi Sa’o Tua berada di sebelah selatan dari Sa’o Labo karena orientasi permukiman dari utara ke selatan yang artinya sebelah utara adalah posisi tertinggi sebagai orang pertama yang datang. Namun faktanya posisi Sa’o Tua berada di utara dari Sa’o Labo sampai sekarang. Beberapa pertimbangan yang bisa diambil adalah bahwa di sebelah selatan dari kampung kecil ini sudah ada Sa’o Wewa Mesa untuk menjaga ke arah laut sedangkan sebelah utara belum ada, sehingga A Nggoro memberikan sebidang tanah di sebelah utara Sa’o Labo kepada keluarga A Tua sebagai penjaga hingga sampai sekarang peran dari Sa’o Tua adalah sebagai penjaga dan penerima tamu yang datang dari utara. Keluarga dari Sa’o Meko dan Sa’o Ame Ndoka dan A Nggoro memberikan izin kepada mereka untuk membangun rumah di dekat rumah-rumah lain yang sudah ada sebelumnya. Sa’o Meko di sebelah Selatan dari Sa’o Rore Api, dan Sa’o Ame Ndoka di depan dari Sa’o Labo.
134
U Sa’o Tua Sa’o Ame Ndoka Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Meko Sa’o Wewa Mesa
Gambar 5.12. Periode III Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Sa’o Meko diberi izin membangun di sebelah Selatan Sa’o Rore api dengan pertimbangan agar lebih dekat dengan rumah-rumah lain begitu juga dengan Sa’o Ame Ndoka yang berada di depan dari Sa’o Labo. Selain itu Sa’o Labo sebagai rumah utama pada waktu itu menjadi pusat dan orang yang berkuasa, sehingga rumah-rumah yang lain yang dibangun harus berada dekat dengan Sa’o Labo. Selain dari jarak yang dekat, Sa’o Labo dapat lebih mudah untuk mengawasi rumah-rumah lain. Hal ini juga dapat mempermudah mereka untuk menjalin keakraban dan suasana kekeluargaan. Semakin bertambahnya anggota maka A Nggoro memutuskan untuk membangun Kanga Ria sebagai mesbah adat yang lebih besar dan lebih dekat dengan tempat mereka bermukim. Maka Kanga Ria dibangun di tengah-tengah dari tempat mereka bermukim. Hal ini dengan pertimbangan mudah dijangkau karena lebih dekat dengan rumah-rumah mereka dan mudah bagi istri dan anak-
135
anak mereka untuk menyaksikan upacara adat yang dilakukan di atas pelataran adat. Pada saat itu mereka masih belum memiliki agama dan mereka percaya akan adanya kekuatan di atas mereka yang menguasai alam semesta sehingga di atas pelataran adat mereka membuat Tubumusu yang artinya Allah Hadir. Bentuk Tubumusu tersebut dimaknai sebagai kedekatan antara langit dan bumi sama seperti kedekatan akan Allah dalam hati mereka.
U Sa’o Tua Sa’o Ame Ndoka Kanga Tubumusu Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Meko Sa’o Wewa Mesa
Gambar 5.13. Dibangunnya Kanga dan Tubumusu Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Setelah beberapa tahun kemudian, rombongan dari Jawa masuk ke Nggela karena ada kesalahpahaman maka A Jaya sebagai ketua rombongan harus menikah dengan Ni Nggela dan membuat rumah di sebelah Selatan kampung kecil itu dan di depan dari Sa’o Wewa Mesa sebagai tempat tinggal Ni Nggela bersama dengan A Nira saudaranya.
136
U Sa’o Tua Kanga Tubumusu Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Meko Sa’o Wewa Mesa
Sa’o Ria
Gambar 5.14. Periode IV Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Sebagai pendatang baru dalam wilayah ini A Nggoro selalu memberikan wilayah tanah untuk membangun rumah yang dekat dengan Sa’o Labo. Namun yang berbeda dengan Sa’o Ria yang diberi wilayah tanah sedikit berjauhan dengan kelima rumah di sebelah utara. Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan adalah karena A Jaya adalah orang yang berasal dari laut atau berasal dari Selatan maka dia diberi wilayah di bagian selatan. Selain itu A Jaya menikah dengan Ni Nggela yang pada saat itu tinggal di Sa’o Wewa Mesa yang posisinya berada di depan Sa’o Ria. Sehingga ada kemungkinan bahwa Sa’o Ria dibangun agar lebih dekat juga dengan tempat tinngal Ni Nggela sebelum menikah. A Nggeri yang merupakan salah satu yang termasuk dalam rombongan dari Jwa membangun rumahnya sendiri di antara Sa’o Ria dan Sa’o Meko dengan bentuk yang sama dengan Sa’o Ria namun ukuran yang lebih kecil dan diberi nama Sa’o Bhisu One.
137
U
Sa’o Tua Sa’o Ame Ndoka Kanga Tubumusu Sa’o Labo Sa’o Rore Api Sa’o Meko Sa’o Wewa Mesa Sa’o Bhisu One
Sa’o Ria
Gambar 5.15. Periode V Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Sebagai orang yang datang bersama A jaya dari Selatan seharusnya Sa’o Bhisu One berada di dekat dengan Sa’o Ria namun ternyata Sa’o Bhisu One berada di antara Sa’o Meko dan Sa’o Ria. Ada pertimbanga lain yang menjadi dasar kenapa letak Sa’o Bhisu One yang berada di tengah Sa’o Meko dan Sa’o Ria yaitu pertama bisa untuk mengisi ruang kosong diantara Sa’o Meko dan Sa’o Ria, kedua dengan jarak rumah yang berdekatan maka akan lebih mudah menjalin hubungan keakraban dan kekeluargaan yang lebih baik. Dilihat dari nama dari Bhisu One yang artinya pusat atau tengah-tengah yang artinya bahwa Sa’o Bhisu One dijadikan sebagai pusat kampung pada saat itu untuk menghubungkan wilayah utara dan selatan kampung. Dari hasil wawancara dan pengamatan sejarah kedatangan nenek moyang mereka dalam permukiman adat di Desa Nggela ini hanya sampai pada
138
dibangunnya Sa’o Bhisu One, kemudian datang bangsa Portugis ke Desa Nggela. Namun dilihat dari zona permukiman adat ini wilayah yang diberikan A Nggoro kepada bangsa Portugis ini berada paling selatan dari permukiman adat sehingga ada kemungkinan sebelum datangnya bangsa Portugis, ada kedatangan keluarga lain yang menempati wilayah Bhisu Mbiri (zona periode III). Hal ini dilihat dari dengan dibangunnya Sa’o Bhisu One yang mulai dekat dengan permukiman awal yang terdiri dari Sa’o Labo, Sa’o Tua, Sa’o Meko, Sa’o Ame Ndoka, dan Sa’o Wewa Mesa sehingga bagi yang datang setelah itu diberi wilayah di dekat dengan permukiman yang ada dan menempati wilayah di sekitar Sa’o Wewa Mesa dan pada akhirnya wilayah di sekitar Sa’o Wewa Mesa disebut dengan Bhisu Mbiri. Selain itu dari hasil wawancara dengan beberapa informan mengatakan bahwa kelompok terakhir yang masuk ke Desa Nggela adalah kelompok bangsa Portugis. Sehingga mereka menempati wilayah paling Selatan dari permukiman adat.
Zona periode I Zona periode II Zona periode III
U Gambar 5.16. Tiga Zona Permukiman Awal Sumber: Diolah dari google earth, 2013
139
Posisi Sa’o Wewa Mesa yang merupakan rumah yang termasuk dalam kelompok awal kedatangan seharusnya berada di wilayah Bhisu Deko Ghele (zona periode I). Namun dalam fakta yang sekarang dalam permukiman ini Sa’o Wewa Mesa masuk dalam wilayah Bhisu Mbiri (zona periode III). Bagi orang yang tidak mengetahui sejarah kedatangan nenek moyang orang Nggela tentunya akan mengira bahwa Sa’o Wewa Mesa bukan termasuk dalam kelompok yang datang pada awal masuknya nenek moyang. Karena telah mengetahui sejarahnya maka dapat diketahui bahwa dari awal kedatangan nenek moyang posisi Sa’o Wewa Mesa sudah menempati posisi itu sebagai pemantau ke arah laut dengan arah hadap rumah ke arah laut atau ke arah selatan. Setelah bertahun-tahun Portugis yang mendarat di pantai Nggela dan memasuki kampung kecil itu. Setelah diberi ijin membangun dua rumah di sebelah selatan kampung kecil itu yang diberi nama dengan Sa’o Embulaka dan Sa’o Bewa.
Zona periode I
Zona periode II Zona periode III
U
Zona periode IV Gambar 5.17. Empat Zona permukiman awal Sumber: Diolah dari google earth, 2013
140
Keempat zona dalam permukiman adat ini menandakan empat tahap terbentuknya permukiman adat di Desa Nggela melalui sejarah kedatangan nenek moyang mereka dan keturunannya membangun rumah-rumah disekitarnya sehingga dalam permukiman adat ini tidak hanya rumah-rumah adat inti dari ke16 Mosalaki, tetapi ada rumah adat pendukung dan beberapa rumah-rumah penduduk biasa. Bagi para pendatang yang datang kemudian mulai bermukim di sekitar permukiman adat ini dengan pusat orientasi pada pelataran adat dan titik pusat permukiman. Dalam permukiman adat di Desa Nggela saat ini terdapat 14 buah rumah adat inti, 7 buah rumah adat pendukung, dan 16 rumah penduduk biasa. Seharusnya dalam sebuah permukiman adat yang merupakan kampung asal hanya terdapat rumah-rumah adat inti dan rumah adat Poa Paso, namun dalam permukiman adat ini lebih banyak jumlah rumah penduduk di dalamnya. Pertimbangan mengenai hal ini adalah rumah-rumah penduduk yang termasuk dalam permukiman adat ini adalah rumah-rumah ini sudah ada sebelum jumlah masyarakat semakin meningkat dan mulai membuka lahan baru di luar permukiman adat untuk bermukim. Selain itu ada kemungkinan bahwa rumah-rumah adat inti ataupun rumah adat pendukung memberikan sedikit tanahnya untuk sanak keluarganya membangun rumah di sekitar tempat tinggal mereka. Sehingga semakin berkembang dan semakin bertambah jumlah rumah penduduk biasa di dalam permukiman adat ini. Pada Gambar 5.18 menunjukkan pola permukiman adat di Desa Nggela saat ini dengan penzoningannya.
141
U Bhisu Deko Ghele (zona periode I) Bhisu Mbiri (zona periode II) Bhisu One (zona periode III) Bhisu Embulaka (zona periode IV)
Gambar 5.18. Tata Zonasi Permukiman Adat Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Gambar tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela ini menunjukan bahwa wilayah Bhisu Deko Ghele merupakan kelompok yang datang pertama dalam permukiman adat ini. Wilayah Bhisu One merupakan kelompok yang datang kedua, wiilayah Bhisu Mbiri merupakan kelompok yang datang ketiga, dan yang terakhir adalah wilayah Bhisu Embulaka merupakan wilayah untuk kelompok yang datang ke empat.
2. Zona-zona di permukiman adat Terbentuknya tata zonasi permukiman adat ini sejalan dengan bertambahnya rumah-rumah adat dan rumah penduduk yang merupakan keturunannya disekitar permukiman adat. Beberapa hal yang terdapat dalam tiap zona pada permukiman adat ini adalah sebagai berikut:
142
1)
Bhisu Deko Ghele (zona periode I) Sebagai kelompok masyarakat asli yang memulai membangun tempat tinggal
di permukiman adat ini. Pada awal mula wilayah Bhisu Deko Ghele terdiri dari empat rumah adat inti yaitu: Sa’o Labo, Sa’o Meko, Sa’o Tua, dan Sa’o Ame Ndoka. Empat buah rumah adat Poa Paso adalah: Sa’o Kai Pere Lasu Usu, Sa’o Siga, Sa’o Rore Api, dan Sa’o Terobo, sedangkan rumah penduduk berjumlah enam buah rumah. a. Elemen-elemen permukiman adat Terdapat pelataran adat selain sebagai tempat dilaksanakan upacara-upacara adat dan menjadi elemen sakral dalam permukiman ini karena di atas pelataran adat ini terdapat kuburan dari Mosalaki pemimpin dan Mosalaki pelaksana sebelum-sebelumnya dikuburkan dan juga terdapat simbol Allah sebagai kepercayaan tertinggi masyarakat. Dengan adanya kuburan Mosalaki-Mosalaki dan simbol kehadiran Allah di atas pelataran adat inilah yang memperkuat tingkat kesakralannya.
Kuburan Mosalaki-Mosalaki
Simbol Allah
Gambar 5.19. Kanga Ria (pelataran adat) Sumber: analisis Kerong, 2013
143
Dengan adanya kuburan Mosalaki-Mosalaki dan simbol Allah yang berada di atas pelataran adat, bermakna bahwa upacara-upacara adat yang dilakukan di atas pelataran adat disertai dan direstui oleh Allah sebagai kepercayaan tertinggi masyarakat dan arwah para leluhur. Tingkat kesakralan dari pelataran adat ini dapat ditunjukkan dengan adanya larangan bagi masyarakat sekitar untuk naik ke atas palataran adat ini selain Mosalaki-mosalaki dan khususnya pada saat upacaraupacara adat saja. Disekeliling pelataran adat ini terdapat beberapa jenis tanaman baik pohon, maupun rumput-rumput yang dibiarkan tumbuh. Adanya tanaman yang berada di sekitar pelataran adat dengan pertimbangan untuk memberikan kesejukan dan perlindungan kepada pelataran adat sebagai elemen sakral. Dari sudut pandang orang yang melihat pelataran adat dari bawah secara keseluruhan pelataran adat ini tidak dapat terlihat, terutama Tubumusu (simbol Allah). Sehingga bentuk dari simbol Allah tidak dapat didokumentasikan. Sedangkan kuburan dari para Mosalaki dapat terlihat karena posisinya lebih tinggi dari dasar pelataran adat.
Mosalaki pemimpin
Mosalaki pelaksana
Gambar 5.20. Posisi kuburan Mosalaki di atas pelataran adat Sumber: Observasi lapangan, 2013
144
b. Kosmologi Orientasi utama dari permukiman adat adalah Gunung Lepembusu yang berada di sebelah utara. Hal ini merupakan salah satu petimbangan dari posisi pelataran adat sebagai tempat sakral dan lokasi utama dalam upacara-upacara adat yang barada pada zona periode I. Selain itu zona periode I merupakan kelompok masyarakat asli dan kelompok pertama yang mulai membangun rumah di permukiman adat ini sehingga pelataran adat sebagai tempat yang sakral dan pusat dilaksanakan upacara-upacara adat berada dalam zona periode I. c. Aktivitas dan perlakuan masyarakat Zona periode I merupakan zona dimana pusat dari segala akifitas adat yang dilakukan di atas pelataran adat. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat sekitar tidak melakukan aktivitas sembarangan disekitar zona ini. Selain itu dengan tersebarnya batu-batu keramat disekitar ruang luar zona ini yang menyebabkan masyarakat khawatir akan menginjaknya, sehingga masyarakat hanya bisa melewati zona ini tanpa melakukan aktivitas lain. Beberapa hal di atas menunjukkan pengaruh zona periode I ini sangat besar bagi permukiman adat di Desa Nggela. Apabila dilihat dari kronologi terbentuknya permukiman adat ini, bagi pendatang yang ingin tinggal dan menetap di Desa Nggela hanya boleh membangun rumah di sebelah bawah/ selatan dari zona ini. Hal ini menunjukkan kekuasaan zona periode I lebih besar sehingga bagi yang membangun rumah di sekitar permukiman adat saat itu tidak boleh lebih tinggi posisinya dari zona periode I. Hal ini didukung juga dengan adanya pelataran adat sebagai elemen sakral dimana tempat dilakukan upacara-
145
upacara adat. Selain itu yang terdapat kuburan Mosalaki leluhur dan simbol Allah, sehingga tidak boleh membangun rumah melewati pelataran adat.
2)
Bhisu One (Periode II) Merupakan kelompok yang datang berikutnya yaitu rombongan dari Jawa
yang terdapat rumah adat Mosalaki pelaksana, dan dua Mosalaki pendukung, dan dua rumah adat pemdukung. a. Elemen-elemen permukiman Terdapat Puse Nua sebagai pusat dari permukiman adat, dan juga kuburan dari A Nggeri sebagai arsitek dalam membangun rumah-rumah adat saat itu yang terletak di depan Sa’o Bhisu One. Dengan adanya titik pusat permukiman dalam wilayah ini maka menunjukkan bahwa adanya titik pusat yang menghubungkan antara Utara-Selatan dan Timur-Barat. Adanya zona periode II dan pemimpin adat dalam wilayah ini, maka titik pusat permukiman menjadi titik pusat orientasi untuk rumah-rumah adat lain. b. Kosmologi Secara kosmologi yang berorientasi pada utara dan selatan, tingkat kesakralan zona ini berada dibawah setelah zona periode I. Apabila dikaitkan dengan zona makro dan mikro di Desa Nggela yang pada dasarnya berbentuk terpusat yang artinya semakin ke arah pusat maka semakin sakral, namun tidak berlaku untuk zona periode II yang berada di pusat dari permukiman adat. Hal ini disebabkan oleh pusat kesakralan berada pada pelataran adat.
146
c. Aktivitas dan perilaku masyarakat Pada zona ini selain terdapat titik pusat permukiman dan kuburan perahu, terdapat juga batu-batu keramat yang tersebar disekitar ruang luar dari zona ini. Sama seperti pada zona periode I bahwa masyarakat tidak melakukan aktivitas lain selain hanya melewati ruang luar zona ini karena khawatir akan menginjaknya. Posisi dari rumah adat pelaksana dalam struktur organisasi menunjukkan posisiya dibawah posisi permimpin, apabila dilihat posisinya dalam tata zonasi. Selain dilihat dari perannya, posisi rumah adat pelaksana dalam zonas priode II menunjukkan posisinya tidak lebih tinggi dari pemimpin walaupun peran dari pelaksana berpengaruh pada pelaksanaan upacara-upacara adat.
3)
Bhisu Mbiri (Periode III) Merupakan kelompok untuk masayarakat asli dan pendatang yang terdiri dari
empat buah rumah adat dari Mosalaki pendukung. Dalam wilayah ini tidak terdapat rumah adat pendukung dan terdapat tujuh rumah penduduk biasa. Sa’o Wewa Mesa merupakan kelompok pertama yang datang, Sehingga dalam zona periode III ini ada sebelum datangnya bangsa Portugis yang menempati zona periode IV. Pada zona ini hanya terdapat sebuah batu keramat yang berada di depan dari Sa’o Watu Gana. Batu yang sudah ada sejak jaman nenek moyang mereka yang masih dipertahankan sampai sekarang dan sering diberi sesajian juga oleh
147
Mosalaki di Sa’o Watu Gana. Selain batu keramat ini terdapat juga batu-batu keramat yang ukurannya lebih kecil namun masih jarang ditemukan. Secara kosmologi, zona periode II ini berada pada pusat dari pemukiman adat sebelah timur yang berhadapan dengan zona periode II. Namun tingkat kesakralannya berbeda dengan zona periode II karena titik pusat permukiman sebagai simbol titik pusat permukiman yang berada di zona periode II. Kurangnya batu-batu keramat pada zona ini menyebabkan masyarakat lebih leluasa berjalan atau melakukan aktivitas lain. Namun karena keterbatasan lahan dan topografi yang berada di dekat daerah curam pada zona ini sehingga masyarakat hanya beraktivitas di sekitar rumah masing-masing. Zona periode III merupakan tempat tinggal dari Mosalaki hakim yang termasuk dalam 3 besar Mosalaki sehingga pengaruh zona ini tidak melebihi zona-zona sebelumnya. Walaupun terdapat masyarakat asli yang tinggal di zona ini, namun mereka hanya merupakan keturunan dari penguasa permukiman adat ini.
4)
Bhisu Embulaka (Periode IV) Merupakan zona bagi kelompok pendatang dari Malaka yaitu bangsa Portugis
yang terdiri dari tiga buah rumah adat inti dari Mosalaki pendukung, rumah adat pendukung dan tiga buah rumah penduduk. Elemen sakral pada zona ini hanya terdapat kayu keramat yang merupakan peninggalan bangsa Portugis. Walaupun umur dari kayu ini suda ratusan tahun, namun kondisinya masih baik dan tidak mengalami pelapukan.
148
Secara kosmologi, zona ini berada di selatan yang bermakna bahwa tingkat kesakralannya paling rendah dari zona-zona sebelumnya, didukung juga dengan elemen-elemen yang ada pada zona ini, hanya terdapat kayu keramat peninggalan Potugis. Selain itu posisinya juga menjadi penjaga permukiman adat untuk bahaya yang datang dari arah selatan atau dari arah pantai. Apabila dilihat dari aktivitas dan perlakuan masyarakat pada zona ini otomatis berbeda dengan kedua zona di awal. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesakralan dan elemen yang ada pada zona ini. sehingga ada kemungkinan untuk melakukan aktifitas lain pada ruang luar zona ini. Namun karena masih termasuk dalam lokasi permukiman adat, masyarakat jarang melakukan aktivitas lain untuk menghormati tempat tinggal dari para pemimpin adat di Desa Nggela. Tabel 5.3 Jumlah rumah-rumah dalam tiap zona No 1 2 3 4
Wilayah Zona periode I Zona periode II Zona periode III Zona periode IV
Rumah adat inti 4 3 4 3
Poa Paso 4 2 1
Rumah penduduk 6 7 3
Dari penjelasan mengenai tata zonasi di permukiman adat ini, dapat dilihat bahwa zona periode I memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan zona-zona lain. Hal ini dipengaruhi oleh elemen-elemen permukiman yang ada pada tiap zona, posisi para Mosalaki dalam struktur organisasi masyarakat dan posisinya di tata zonasi, serta kosmologinya.
149
5.2.3 Ruang Luar Ruang luar yang terbentuk dalam permukiman ini adalah di tengah-tengah permukiman adat yang merupakan zona aktivitas dari para Mosalaki dalam melakukan upacara-upacara adat. Ruang terbuka di tengah permukiman adat ini terdapat elemen-elemen sakral yaitu pelataran adat, titik pusat permukiman, kuburan perahu, kayu keramat, dan beberapa kuburan dari para Mosalaki yang sudah meninggal, sehingga ruang luar ini umumnya hanya untuk aktivitas sosial dan aktifitas adat bagi para Mosalaki. Pemahaman tentang adanya ruang tentunya berhubungan dengan adanya batas-batas yang membentuk suatu ruang. Sebagai pembatas dalam ruang aktivitas para Mosalaki yang berada di tengah-tengah permukiman adat adalah rumah-rumah adat yang mengelilingi ruang ini. Deretan rumah-rumah adat pada bagian barat dan bagian timur permukiman adat sehingga terbentuk ruang luar. Selain itu perlakuan masyarakat sekitar pada ruang di tengah-tengah permukiman adat ini berbeda karena harus hati-hati karena banyak terhampar batu keramat yang tidak boleh diinjak. Selain itu mereka tidak bisa sembarangan beraktifitas di sekitarnya, apabila penduduk yang berada di utara permukiman adat hendak ke arah pantai, mereka cenderung mengambil jalan di samping permukiman adat. Selanjutnya adalah ruang yang terbentuk dari deretan rumah-rumah adat di bagian Timur permukiman adat dengan Kopo Kasa atau pagar pembatas antara permukiman adat dengan permukiman penduduk. Ruang ini dalam kesehariannya digunakan oleh pemuda-pemuda Nggela untuk berolahraga misalnya bermain
150
sepak bola dan lain-lain. Namun dalam hal upacara adat, ruang terbuka ini digunakan sebagai tempat perkelahian antara masyarakat. Aktivitas perkelahian ini hanya sebatas ritual adat, walaupun perkelahian ini dilakukan secara serius namun tidak menggunakan alat apapun dan setelah ritual ini selesai tidak ada dendam diantara mereka. Tujuan dari ritual ini adalah untuk pelatihan kemampuan masyarakat khususnya kaum laki-laki dalam hal berperang. Selain itu merupakan aktifitas sosial antara masyarakat yang dapat mempererat hubungan keakraban diantara mereka. Dalam ruang terbuka ini tidak ada elemen-elemen sakral sehingga bebas untuk dijadikan tempat aktifitas masyarakat dan juga untuk ritual yang melibatkan masyarakat diluar dari permukiman adat. Namun ruang terbuka ini masih dalam wilayah permukiman adat sehingga dapat dikatakan bahwa ruang ini merupakan ruang publik.
U
Ruang luar utama
Ruang Publik
Gambar. 5.21. Hierarki Ruang Luar Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dari pembahasan mengenai hierarki ruang dalam permukiman adat di Desa Nggela dapat dikatakan bahwa ruang luar utama tengah-tengah permukiman adat, dan ruang publik berada diantara deretan rumah bagian timur permukiman adat
151
dengan pagar pembatas. Ruang luar utama ini bermakna bahwa merupakan ruang publik yang menghubungkan ke-4 zona dalam permukiman adat ini yang pada umumnya hanya untuk masyarakat yang berada di dalam permukiman adat. Sedangkan ruang publik bersifat umum baik masyarakat yang berada di permukiman adat maupun masyarakat biasa yang berada di luar permukiman adat. Adanya hierarki ruang menunjukkan bagaimana masyarakat melakukan aktivitas kesehariannya dan juga dalam hal upacara adat. Namun dalam ruang luar utama dapat dikategorikan lagi dalam beberapa sifat ruang. Hal ini disebabkan karena faktor fungsi, elemen-elemen sakral, dan juga perlakuan masyarakat disekitarnya. Perbedaan sifat ruang dalam ruang luat utama ini dapat dilihat pada Gambar 5.22.
Ruang sakral
Ruang transisi
Ruang profan
Gambar. 5.22. Hierarki Ruang Luar Utama Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Pembagian sifat ruang luar ini bedasarkan fungsi lebih terlihat pada ruang sakral karena merupakan salah satu elemen sakral yaitu palataran adat. Sifat ruang sakral ini karena fungsi dari pelataran adat yang merupakan elemen sakral yang hanya boleh untuk para Mosalaki dalam melakukan upacara adat. Ketinggian
152
pelataran adat sekitar 130 cm dan di atasnya terdapat kuburan nenek moyang dan Tubumusu (simbol kehadiran Allah), sehingga ini merupakan sebuah tanda dimana ada batas berupa perbedaan ketinggian dan elemen-elemen sakral yang berada di atasnya menambah nilai kesakralan yang membuat orang yang tidak berkepentingan dengan sendirinya tidak akan naik di atas pelataran adat. Pada ruang transisi terdapat beberapa elemen sakral yang tidak boleh disentuh ataupun diinjak. Karena kekawatiran akan menyentuh atau menginjaknya maka masyarakat sekitar hanya melewatinya dengan hati-hati dan tidak melakukan aktifitas lain di sekitarnya karena ruang ini tidak bersifat tertutup karena masih bisa dilewati asalkan tidak mennyentuh dan menginjak elemenelemen disekitarnya. Sedangkan profan, walaupun terdapat elemen sakral, namun masyarakat sekitar lebih leluasa untuk melewatinya karena batu-batu keramat jarang terdapat pada ruang luar ini Apabila zona hierarki ruang dikorelasi dengan tata zonasi permukiman adat maka dapat dilihat pada gambar 5.23.
U
Ruang sakral pada zona periode I Ruang transisi pada zona periode I. II. Dan III
Ruang profan
Gambar. 5.23. Hierarki Ruang dan Tata Zonasi Sumber: Diolah dari google earth, 2013
153
Berdasarkan Gambar 5.23, ruang sakral lebih mengarah pada zona periode I karena dilihat dari elemen permukiman terdapat pelataran adat yang merupakan pusat dilakukannya upacara-upacara adat. Selain itu apabila dilihat dari orientasi permukiman utara yang merupakan orientasi utama dilihat dengan letak dari Gunung Lepembusu yang merupakan asal-usul dari orang pertama di Kabupaten Ende. Ha-hal inilah yang menyebabkan penentuan ruang sakral dalam permukiman adat di Desa Nggela. Terdapat simbol Allah di atas pelataran adat yang merupakan simbol dari kehadiran Tuhan dan juga kuburan Mosalaki pemimpin dan Mosalaki pelaksana. Ruang transisi berada pada zona periode I, II, dan III yang terdapat beberapa elemen permukiman yang dikeramatkan yaitu: adanya batu titik pusat permukiman, kuburan perahu, dan beberapa batu yang tidak boleh diinjak ataupun disentuh. Sedangkan pada ruang profan, terdapat elemen permukiman yang juga dikeramatkan yaitu adanya kayu keramat yang sudah ada sejak jaman Portugis di Desa Nggela. Ruang profan ini berada pada sebagian zona periode IV yang artinya pada zona ini sifatnya tidak sama dengan ruang sakral dan ruang semi transisi.
154
5.3 Peranan Struktur Organisasi dan Tata Zonasi terhadap Masyarakat Permukiman Adat di Desa Nggela. 5.3.1 Peranan struktur organisasi masyarakat terhadap permukiman adat di Desa Nggela. Masyarakat Desa Nggela pada dasarnya menggantungkan hidup mereka pada alam, dimana dari alam sekitar mereka dapat memenuhi segala kebutuhan hidup dari kebutuhan pangan maupun papan. Karena alam merupakan sumber penghidupan, masyarakat memiliki keyakinan bahwa alam memiliki jiwa dan kekuatan sehingga dalam mengolah alam sekitar mereka, perlu adanya upacaraupacara yang mengikuti dan sudah dilakukan sejak jaman nenek moyang hingga diteruskan dan dipertahankan hingga saat ini. Dalam melaksanakan tiap upacara adat ini mereka membentuk suatu organisasi secara adat agar pelaksanaan upacara adat lebih terkoordinasi. Dalam struktur organisasi masyarakatnya tiap pemimpin yang berjumlah 16 orang Mosalaki mewakili masyarakat secara keseluruhan. Tiap Mosalaki memiliki tugas dan peran masing-masing baik pada saat upacara adat, maupun dalam kehidupan mereka tiap hari. Masyarakat sangat menghornati dan menghargai, serta menaati tiap peraturan yang dibuat oleh para Mosalaki sebagai pemimpin adat dalam permukiman adat. Masyarakat percaya bahwa tiap Mosalaki ini merupakan perwakilan dari roh leluhur yang menjaga dan melindungi desa. Masyarakat yang tidak menaati peraturan yang ada, maka akan diberikan sangsi dan apabila sangsi yang diterima tidak dilakukan oleh masyarakat maka mereka percaya akan membawa kemalangan dan penderitaan dalam hidup bahkan sampai pada kematian. Beberapa hal yang menjadi
155
pertimbangan untuk mencari peranan struktur organisasi masyarakat terhadap permukiman adat adalah sebagai berikut: 1.
Nilai keyakinan/ kepercayaan Peranan struktur organisasi dalam permukiman adat di Desa Nggela ini
sangat besar pengaruhnya, sehingga struktur organisasi ini bersifat tetap dan abadi yang artinya tidak dapat berubah-ubah. Baik secara kedudukan atau posisinya maupun tugas dan peran dari masing-masing Mosalaki ini dan yang boleh menggantikan posisi Mosalaki dalam struktur organisasi ini adalah keturunan dari Mosalaki tersebut. Karena keyakinan masyarakat akan adanya roh leluhur yang diwakili oleh para Mosalaki dalam permukiman adat ini maka dapat dikatakan bahwa struktur organisasi masyarakat memiliki peranan dalam kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini didukung oleh Kartasapoetra dkk yang mengatakan bahwa para nenek moyang kita dan juga sebagian dari bangsa kita yang hidup pada kurun waktu sekarang yang masih percaya akan hal-hal yang gaib, oleh karena alam semesta itu mempunyai roh yang hidup berdampingan atau mengawasi perilaku manusiamanusia, maka segala sesuatunya mempunyai aktivitas atau selalu turut serta pada setiap peristiwa yang terjadi, seolah-olah segala sesuatu roh itu berperan sebagai subjek atau individu yang mengemban hak. Cara hidup yang religius magis ini dalam struktur organisasi sangat positif dalam penegakan kedisiplinan atau ketaatan sehingga kepengurusan atau pemerintah lazimnya berjalan lancar (Kartasapoertra, 1986: 15-16).
156
2.
Nilai fungsional Kedudukan tiap Mosalaki dalam struktur organisasi tentunya harus disertai
dengan pelaksanaan tugas dan peran masing-masing. Apabila hanya memiliki status sebagai Mosalaki namun tidak melaksanakan tugasnya maka akan diberi sangsi oleh pemimpin utama. Selain itu apabila tugas tidak dilaksanakan maka fungsi dari struktur organisasi ini tidak berjalan dengan baik. Sehingga dapat dikatakan bahwa selain adanya nilai keyakinan atau kepercayaan yang berperan, nilai fungsional dari tiap Mosalaki ini juga turut berperan dalam struktur organisasi ini. Karena dengan adanya struktur organisasi maka adanya permukiman adat dimana merupakan tempat tinggal para Mosalaki dan tempat mereka melaksanakan tiap upacara adat.
3.
Nilai simbolik Dalam Rapoport mengatakan bahwa salah satu sifat manusia adalah
kecenderungan
besar
untuk
melambangkan
segala
sesuatu
yang
terjadi padanya dan kemudian bereaksi terhadap simbol dan salah satu perwujudannya adalah pada rumah tinggal mereka serta permukiman (Rapoport, 1969: 48). Dalam masyarakat di Desa Nggela untuk membedakan masyarakat biasa dan para Mosalaki dapat dilihat pada rumah tinggal mereka. Bagi masyarakat rumah tinggal mereka pada umumnya sudah merupakan rumah modern dari bentuk serta bahannya. Sedangkan untuk para Mosalaki rumah tinggalnya masih alami dari bentuknya sampai bahan yang digunakan. Sehingga dapat terlihat jelas perbandingan antara masyarakat biasa dan para pemimpin.
157
Dalam permukiman adat di Desa Nggela tidak hanya terdapat rumah tinggal dari para pemimpin masyarakat yang masih alami, namun terdapat rumah penduduk biasa yang membangun rumah mengikuti bentuk rumah adat. Hal ini dilihat dari wilayah yang mereka tempati merupakan suatu permukiman adat dimana merupakan kampung asal dari nenek moyang mereka. Sehingga untuk mempertahankan keaslian dari permukiman adat ini, bagi masyarakat biasa yang membangun rumah di wilayah ini harus mengikuti bentuk dari rumah-rumah adat di sekitarnya dengan dimensi yang lebih kecil. Namun saat ini, masyarakat biasa tidak diperbolehkan untuk membangun
tempat
tinggal dalam
wilayah
permukiman adat dan hanya boleh membangun di luar dari permukiman adat.
5.3.2
Peranan tata zonasi terhadap permukiman adat di Desa Nggela.
Tata zonasi dalam permukiman adat di Desa Nggela bertujuan untuk membagi wilayah dalam permukiman adat. Menurut sejarah pembagian zonasi ini menurut proses kedatangan nenek moyang mereka. Semakin ke utara maka zona tersebutlah yang paling awal datang ke Desa Nggela. Tata zonasi ini merupakan pembagian wilayah kepemilikan dari masing-masing sehingga tiap rumah adat dalam zona ini memiliki tanggung jawab terhadap wilayah kepemilikan mereka masing-masing. 1.
Zona periode I Dalam zona ini terdapat pelataran adat sebagai pusat dari kegiatan upacara
adat yang dilakukan dalam permukiman adat ini. Masyarakat percaya bahwa dengan dilakukannya tiap upacara adat di atas pelataran adat akan memberikan
158
berkah tersendiri karena di atas Kanga ini terdapat kuburan dari Mosalaki pemimpin dan Mosalaki pelaksana dan Tubumusu sebagai simbol akan kehadiran Tuhan. Karena merupakan tempat sakral bagi masyarakat, mereka tidak sembarangan melakukan aktivitas di atasnya. Aktivitas yang dilakukan hanya pada saat upacara adat oleh para Mosalaki saja. Posisi pelataran adat berada di sebelah utara dari permukiman adat sebagai simbol kesucian bila dikaitkan dengan arah orientasi permukiman yang mengikuti orientasi Gunung Lemembusu. Begitu juga dengan entrance permukiman adat yang berada di sebelah utara permukiman adat.
2.
Zona periode II Zona Bhisu One yang merupakan zona masyarakat pendatang dari Jawa.
Nama Bhisu One yang berarti wilayah yang berada di tengah atau pusat sehingga posisi zona ini berada ditengah permukiman adat dan terdapat 3 rumah adat inti dan 2 rumah adat pendukung. Dalam zona merupakan zona tempat tinggal dari pemimpin dalam permukiman adat. Selain itu terdapat elemen-elemen sakral yaitu terdapat batu sebagai titik pusat permukiman dan kuburan perahu. Kedua elemen ini hanya merupakan simbol bagi masyarakat. Titik pusat permukiman sebagai simbol dari titik pusat dari permukiman adat sedangkan kuburan perahu merupakan simbol dari Mosalaki yang berjasa atas pembangunan rumah-rumah adat di permukiman adat ini yang datang dari Jawa dengan kapal layar sehingga bentuk kuburannya berbentuk perahu.
159
Posisi zona ini berada ditengah selain dilihat dari faktor sejarah, elemenelemen sakral didalamnya dan juga posisi rumah tinggal dari pemimpin adat dapat bermakna bahwa, zona dilindungi oleh ketiga zona lainnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.26.
U
Gambar. 5.24. Zona Periode II Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dari Gambar 5.24, menunjukan posisi dari zona periode II yang berada di tengah-tengah permukiman adat dan ketiga zona lainnya berada mengapit zona ini. Seperti yang dijelaskan sebelumnya hal ini menunjukan adanya perlindungan dari bahaya dari arah stara dan selatan terhadap zona pusat dalam permukiman adat ini.
3.
Zona periode III Merupakan zona Bhisu Mbiri yaitu zona untuk masyarakat asli dan terdapat 4
rumah adat inti, 7 rumah penduduk, dan elemen sakral dalam zona ini hanya
160
terdapat sebuah batu keramat di depan salah satu rumah adat yaitu Sa’o Watu Gana. Posisi zona ini barada diantara zona periode II dan daerah curam, karena perbadaan ketinggian antara bagian Timur dari zona ini sangat besar. Dengan adanya zona ini dapat dilihat fungsi dari titik pusat permukiman sebagai pusat permukiman adat, yaitu titik pusat ini tidak hanya untuk membagi bagian utara dan selatan permukiman adat, tapi menjadi titik pusat dan titik pertemuan antara zona periode II dan zona periode III atau antara permukiman adat bagian timur dan barat, seperti pada Gambar 5.27.
U
Zona periode III Puse Nua Zona periode II
Gambar. 5.25. Posisi Puse Nua dalam Dua Zona Sumber: Diolah dari google earth, 2013
4.
Zona periode IV Zona terakhir dalam permukiman adat ini adalah zona Bhisu Embulaka
terdapat 3 rumah adat inti, 1 rumah adat pendukung, dan 3 rumah penduduk. Posisi dari zona ini berada diantara zona periode II pada bagian utara, dan daerah curam yaitu di bagian selatan dan bagian timur dari permukiman adat. Selain terdapat rumah-rumah adat, terdapat elemen sakral yaitu adanya sebuah kayu
161
keramat peninggalan seorang pastur dari Portugis. Posisi dari zona periode IV dapat dilihat pada Gambar 5.26.
Kayu keramat
Gambar. 5.26. Zona Periode IV Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dari Gambar 5.26, posisi zona ini yang berada pada bagian Selatan permukiman adat dimana hal ini dapat bermakna bahwa, zona ini untuk memberikan perlindungan terhadap permukiman adat dari bahaya yang datang dari arah selatan atau dari arah pantai. Dari posisinya yang berada di ketinggian ini mempermudah melihat musuh ataupun menyerangnya pada jaman itu. Dari batasan zona ini pada bagian selatan yang merupakan daerah curam memberikan keuntungan karena dapat melihat musuh yang datang dan bisa langsung menyerang sebelum diserang. Hal ini merupakan salah satu pertimbangan main entrance yang berada di sebelah Utara atau di zona periode I. Dari penjelasan mengenai keempat zona dalam permukiman adat ini, terlihat bahwa tata zonasi ini sudah bersifat tetap atau permanen. Beberapa aspek untuk melihat peranan tata zonasi terhadap permukiman adat adalah sebagai berikut:
162
1.
Nilai keyakinan/ kepercayaan Secara keyakinan atau kepercayaan mayarakat, zona- zona yang sudah ada
sejak jaman nenek moyang mereka ini merupakan bentuk pembagian wilayah yang sudah disetujui pemimpin adat saat itu dan direstui oleh leluhur mereka. sehingga tata zonasi yang ada tidak boleh diubah atau disalahgunakan. Karena setelah dianalisi, tiap zona memiliki peran masing-masing dalam permukiman adat. 2.
Nilai fungsional Secara fungsional, tiap zona memiliki tugas dan peran masing-masing dalam
menjaga dan mempertahanan kelangsungan hidup masyarakat. Baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, maupun dalam hal pertahankan terhadap bahaya yang datang dari luar. Selain itu tiap zona memiliki peran masing-masing dalam menjaga dan mengontrol elemen-elemen sakral yang ada di zona masing-masing karena merupakan simbol dari tiap zona-zona dan memiliki sejarah tersendiri. 3.
Nilai simbolik Pola yang terbentuk dari adanya tata zonasi ini tidak bisa diubah, karena
merupakan suatu simbol dari kesepakatan yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Nggela tentang adanya pembagian wilayah dalam permukiman adat dengan tujuan tertentu. Selain merupakan simbol adanya kesepakatan pada saat itu, adanya permukiman adat ini dengan pembagian zonasinya merupakan simbol akan keberadaan nenek moyang mereka dan merupakan simbol dari asal usul masyarakat Nggela. Sehingga masyarakat tetap mempertahankan permukiman adat ini baik dari posisi tiap rumah adat dan elemen-elemen sakralnya, maupun
163
keaslian dari permukiman adat ini. Walaupun adanya pembagian zona dalam permukiman adat ini, masyarakat yang berada di dalamnya tetap menjalin hubungan kekeluargaan dan keakraban. Keempat zona dalam pemukiman adat ini saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan dalam permukiman adat di Desa Nggela.
164
5.4 Hubungan
Struktur
Organisasi
Masyarakat
dan
Tata
Zonasi
Permukiman Adat di Desa Nggela. Sesuai dengan sejarah kedatangan nenek moyang dalam permukiman adat ini terdapat empat pembagian zona yaitu periode I (Bhisu Deko Ghele), periode II (Bhisu One), periode III (Bhisu Mbiri), dan periode IV (Bhisu Embulaka). Pada umumnya posisi tertinggi dalam struktur organisasi masyarakat di Desa Nggela berada di zona periode I, II, dan III yang biasa disebut dengan 3 besar Mosalaki yang terdiri dari penguasa, pemimpin, dan hakim. Dalam Yunus mengatakan bahwa untuk menganalisis suatu wilayah sosial, perlu mengidentifikasikan variasi-variasi dalam ruang sosial yang kemudian diterjemahkan menjadi ruang geografis (Yunus, 1999: 203). Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mencari hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela ini adalah sebagai berikut:
5.5.1 Hierarki struktur organisasi dalam tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela Zona periode I merupakan zona tempat tinggal dari pemimpin dan apabila dikaitkan antara posisinya dalam struktur organisasi dan di dalam tata zonasi, maka keduanya memiliki posisi paling tinggi. Pemimpin sebagai orang pertama dalam struktur organisasi, sedangkan zona periode I merupakan zona paling sakral dan berpengaruh dibandingkan dengan zona lainnya. Zona periode I dikatakan sebagai zona paling sakral karena ditandai dengan adanya pelataran adat yang di atasnya terdapat simbol Allah dan kuburan nenek
165
moyang mereka. Pelataran adat ini merupakan tempat dilaksanakan upacaraupacara adat yang sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang mereka.
U Zona periode I Kanga Ria
Pemimpin
Gambar. 5.27. Posisi pemimpin dalam tata zonasi Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Gambar 5.27, dapat dilihat posisi pemimpin dalam struktur organisasi masyarakat didukung oleh posisinya dalam tata zonasi di permukiman adat ini. pelataran adat sebagai titik sakral dalam permukiman adat ini merupakan simbol keyakinan mereka akan adanya roh leluhur dan penguasa tertinggi alam semesta. Sedangkan pemimpin adalah orang yang dipercaya merupakan wakil dari leluhur yang memimpin masyarakat, serta penghubung antara leluhur dan masyarakat. Hal ini yang menjadikan seorang pemimpin memiliki pengaruh yang besar dalam permukiman adat, walaupun dalam upacara adat tidak secara langsung memimpin dan melaksanakannya. Dengan hal ini dapat dikatakan bahwa, zona periode I yang merupakan zona paling sakral dilihat dari elemen-elemen yang terdapat disekitarnya sangat mendukung posisi pemimpin dalam struktur organisasi masyarakatnya. Disini
166
dapat dilihat adanya hubunganya antara struktur organisasi dan tata zonasi di permukiman adat ini, keduanya saling mendukung posisi masing-masing. Zona periode II merupakan tempat tinggal dari pelaksana dalam struktur masyarakat. Apabila dikaitkan dengan zona periode II, maka keduanya berada pada posisi kedua baik dalam struktur organisasi maupun dalam tata zonasi. Hal ini dapat dilihat juga dengan adanya elemen yang berada di zona periode II yang terdapat titik pusat permukiman adat sebagai simbol pusat permukiman adat dan kuburan perahu sebagai simbol penghargaan masyarakat kepada asal nenek moyang mereka dalam pembangunan rumah-rumah adat pada saat itu.
U
Puse Nua
Pelaksana
Gambar. 5.28. Posisi pelaksana dalam tata zonasi Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Dari Gambar 5.28 merupakan posisi dari pelaksana dalam tata zonasi yang menunjukkan pelaksana menduduki posisi kedua baik dalam struktur organisasi maupun dalam tata zonasi. Posisinya berada di tengah-tengah permukiman adat bermakna bahwa sebagai pemimpin dalam upacara adat, beliau menghimpun dan mengumpulkan
Mosalaki-Mosalaki
lain
untuk
bermusyawarah
sebelum
167
melaksanakan upacara adat. Setelah itu upacara adat dilaksanakan di atas pelataran adat dalam pengawasan pemimpin. Zona periode III merupakan zona tempat tinggal dari hakim yang merupakan orang ke tiga dalam struktur organisasi masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan zona periode III, maka keduanya menempati posisi ketiga baik dalam struktur masyarakatnya maupun dalam tata zonasi.
U
Batu keramat Hakim
Gambar. 5.29. Posisi hakim dalam tata zonasi Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Hal ini dilihat dari elemen sakral di sekitar zona ini yang hanya terdapat sebuah batu keramat yang dipertahankan sampai sekarang oleh masyarakat. Apabila dikaitkan antara peran hakim dan tata zonasi maka, hakim berada diposisi tengah-tengah yang artinya dalam menjalankan tugas diharapkan untuk bersikap adil dan tidak memihak pada siapapun yang melanggar. Hubugan antara struktur masyarakat dan tata zonasi lebih terlihat pada posisi ketiga orang di atas dalam zona masing-masing. Sedangkan posisi ke-13 Mosalaki dalam
struktur
organisasi
masyarakatnya
sesuai
dengan
perkembangan
168
permukiman adat ini. Dalam hal ini, berarti struktur organisasi mempengaruhi tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela.
5.5.2 Faktor-Faktor pendukung hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat di Desa Nggela Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat dikatakan bahwa struktur organisasi mempengaruhi tata zonasi permukiman adat. Berikut ini merupakan faktor-faktor pendukung yang menentukan hubungan antara struktur organisasi dan tata zonasi. Beberapa faktor ini adalah sebagai berikut: 1.
Faktor kosmologi Secara kosmologi permukiman adat ini berorientasi pada arah gunung dan
laut sesuai dengan mitos dalam masyarakat. Dalam hal ini maka semakin ke arah utara maka cenderung lebih bersifat sakral. Dilihat dari posisi pemimpin dan zona periode I, maka keduanya berada di posisi sakral di permukiman adat ini. Posisi pemimpin dalam struktur masyarakatnya di dukung oleh posisinya yang berada pada zona sakral dalam permukiman adat ini. Posisi pelaksana berada pada zona periode II yang merupakan zona dengan tingkat sakral setelah zona periode I. Hal ini didukung oleh elemen yang terdapat di zona periode II yaitu Puse Nua sebagai simbol titik pusat permukiman adat. Titik pusat permukiman ini sebagai titik pertemuan antara permukiman adat bagian utara dan selatan, serta bagian timur dan barat. Sama seperti rumah adat Sa’o Ria sebagai tempat tinggal Mosalaki pelaksana yang merupakan tempat
169
berkumpulnya
Mosalaki-Mosalaki
kecuali
Mosalaki
pemimpin
untuk
bermusyawarah. Posisi hakim yang berada pada zona periode III yang tingkat kesakralannya berada setelah zona periode II. Secara kosmologi posisi pelaksana dan hakim berada pada posisi diantara arah utara dan selatan, yang artinya berada diantara zona sakral dan profan. Hal ini dapat dilihat relasi antara struktur organisasi dan tata zonasi permukiman adat ini dipengaruhi juga oleh kosmologi.
2.
Faktor sejarah Posisi tertinggi pemimpin dan zona periode I dapat dilihat dari sejarah
kedatangan nenek moyang mereka. Pemimpin merupakan orang pertama yang menempati permukiman adat pada zona periode I dan merupakan orang yang berkuasa saat itu. Seperti yang diungkapkan Kartohadikoesoemo (1984) dalam Asy’ari bahwa dari segi sejarah mereka yang berasal dari turunan orang-orang yang mendirikan desa (cikal bakal) adalah pemilik tanah pertanian (Asy’ari, 1990: 140). Setelah kedatangan kelompok dari Jawa maka pemimpin memberikan wilayah kepada mereka untuk membangun tempat tinggal yaitu di bagian selatan dari rumah-rumah yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini dapat dilihat kuasa pemimpin sangat berpengaruh karena sebagai pendatang tidak boleh membangun tempat tinggal di atas atau lebih tinggi posisinya dari rumah pemimpin. Zona perode II adalah kelompok kedua yang datang menetap di permukiman adat yang merupakan kelompok orang yang datang dari Jawa. Kelompok
170
masyarakat dari Jawa mendirikan rumah mereka di Selatan dari kelompok masyarakat asli karena tidak boleh berada lebih tinggi posisinya dari pemimpin dan pelataran adat. Walaupun sudah diberi kuasa untuk melaksanakan dan memimpin upacara adat, namun posisinya tetap berada dibawah pemimpin dalam struktur organisasi masyarakat.
U Zona periode II Zona periode III
Zona periode II Zona periode IV Gambar. 5.30. Kronologi kedatangan nenek moyang Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Berdasarkan Gambar 30, dapat dilihat bahwa faktor sejarah merupakan faktor pendukung hubungan antara struktur organisasi da tata zonasi permukiman adat. Pemimpin dalam struktur organisasi sebagai orang pertama yang datang ke permukiman adat ini memiliki posisi tertinggi, didukung oleh posisinya dalam tata zonasi yang merupakan zona pertama yang ada di permukiman adat ini.
3.
Faktor pertahanan Berdasarkan posisi tiap zona dalam permukiman adat ini, maka dapat dilihat
adanya tiap zona memiliki fungsi dalam hal pertahanan untuk mengantisipasi adanya bahaya yang datang dari luar permukiman adat baik dari darat maupun
171
dari arah laut. Pada zona priode I terdapat satu rumah adat yang bertugas sebagai pengantar tamu masuk ke permukiman dan merangkap sebagai penjaga permukiman adat dari bahaya yang datang dari arah utara. Pada zona periode II terdapat sebuah rumah adat pendukung yang berada di tengah-tengah permukiman adat yang tugasnya untuk menjaga area permukiman adat bagian tengah dan elemen-elemen sakral yang berada pada zona periode II. Selain dari pada itu posisi yang berada di tengah permukiman adat dilindungi oleh ketiga zona yang berada di sebelah utara, selatan, dan timur dari zona ini. Pada zona periode III terdapat sebuah rumah adat yang bertugas memantau ke arah selatan atau arah laut apabila terdapat kapal-kapal asing yang hendak berlabuh di pantai Desa Nggela. Tugas tersebut didukung oleh posisi arah hadap rumah adatnya yang mengarah ke arah laut. Pada zona periode IV terdapat sebuah rumah adat yang bertugas untuk menjaga permukiman adat dari bahaya yang datang dari selatan. Hal ini menunjukkan tugas dan peran tiap anggota dalam struktur organisasi berpengaruh pada posisinya dalam tata zona dalam permukiman adat ini.
U Zona periode I
Zona periode III Zona periode II Zona periode IV Gambar. 5.31. Pertahanan pada permukiman adat Sumber: Diolah dari google earth, 2013
172
Berdasarkan Gambar 31, dapat dilihat bahwa dalam tiap zona memiliki satu buah rumah adat atau satu Mosalaki yang bertugas untuk menjaga pertahanan dalam permukiman adat. Hal ini menunjukkan peran beberapa Mosalaki dalam struktur organisasi mempengaruhi posisinya dalam tata zonasi permukiman adat. 4.
Faktor aktivitas Pada ruang luar yang berada di tengah permukiman adat merupakan ruang
yang mengikat rumah-rumah adat dan merupakan orientasi utama dalam hal arah hadap tiap rumah. Pada umumnya di sekitar ruang luar ini merupakan tempat dilaksanakan upacara adat. Selain dari pada itu, adanya elemen-elemen sakral yang terdapat di sekitarnya membuat masyarakat tidak melakukan aktivitas diluar aktivitas adat. Pusat dari aktivitas adat ini berada pada pelataran adat yang berada pada zona periode I. Para Mosalaki melakukan upacara adat, dan dalam beberapa upacara adat pemimpin tidak ikut serta di dalamnya karena tugas memimpin upacara adat sudah diberikan kepada pelaksana. Dalam hal ini tugas pemimpin hanya mengawasi jalannya upacara adat dari rumah adatnya dan apabila terjadi kesalahan, maka pemimpin berhak memberikan peringatan.
5.
Faktor teritori elemen-elemen sakral Teritori merupakan wilayah atau daerah dan teritorialitas adalah wilayah
yang dianggap sudah menjadi hak seseorang (Laurens, 2004: 124). Tiap zona dalam permukiman adat di Desa Nggela merupakan wilayah yang sudah dianggap sebagai wilayah hak masing-masing penghuni dalam tiap zona. Tiap penghuni
173
pada masing-masing zona bertanggung jawab atas wilayahnya baik dalam melindungi elemen-elemen sakral yang ada di sekitarnya, maupun dalam tugas menjaga pertahanan permukiman adat sesuai dengan posisi masing-masing zona. Pada zona periode I terdapat pelataran adat sebagai pusat kegiatan adat, dan dalam zona ini terdapat Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan mengontrol pelataran adat ini. Pada zona periode II terdapat titik pusat permukiman adat dan kuburan perahu. Tugas untuk menjaga dan mengontrol kedua elemen sakral ini adalah Mosalaki pendukung dari kelompok rumah adat pendukung. Zona periode III terdapat batu keramat yang terdapat di depan rumah adat Sa’o Watu Gana. Posisi batu ini berada di depan rumah adat ini maka secara otomatis Mosalaki dari rumah adat inilah yang bertugas menjaga dan merawat batu ini. Pada zona periode IV terdapat kayu keramat peninggalan Portugis, dan terdapat Mosalaki yang bertugas untuk menjaga dan merawatnya.
U
Zona periode I Zona periode III Zona periode II Zona periode IV Gambar. 5.32. Posisi pemjaga elemen-elemen sakral Sumber: Diolah dari google earth, 2013
Berdasarkan Gambar 32, maka dapat dilihat bahwa pada tiap zona memiliki elemen-elemen sakral yang menjadi simbol dan juga terdapat Mosalaki yang
174
bertugas untuk menjaga dan mengontrolnya. Dalam hal ini juga dapat dilihat peran dari struktur organisasi dalam tata zonasi yang terwujud pada tugas dan peran dari anggota-anggotanya dalam mempertahankan permukiman adat di Desa Nggela.