BAB V PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Hubungan Besar Ultrafiltrasi saat Hemodialisis dengan Kejadian Peningkatan Tekanan Darah Intradialitik pada Pasien Gagal Ginjal Kronik” dilaksanakan pada bulan November 2015 - Maret 2016 dengan menggunakan data primer pasien di Unit Hemodialisis RSUD Dr. Moewardi. Setelah dilakukan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan 49 pasien yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian. Distribusi Sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan bahwa sampel paling banyak berjenis kelamin perempuan, yakni 53.1%. Jenis kelamin pada beberapa penelitian, seperti penelitian Agarwal dan Light RP (2010) dan Cirit et al (1995) disebutkan tidak berpengaruh pada kejadian peningkatan tekanan darah intradialitik dan pada setiap penelitian perbedaan jumlah antara sampel pria dan wanita tidak besar. Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa pada penelitian ini sampel terbanyak berada pada kelompok umur 51-60 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Pada penelitian Agarwal dan Light RP (2010) didapatkan rata-rata sampel berada pada usia 54 tahun sedangkan pada penelitian Raj et al (2002) berada pada 57,1 + 2 tahun. Hal ini juga sesuai dengan kriteria yang dikemukakan oleh Inrig et al (2009), bahwa sampel yang mengalami peningkatan tekanan darah intradialitik kebanyakan berumur lebih tua, mempunyai berat badan kering yang lebih rendah, lebih banyak diresepkan obat antihipertensi, dan mempunyai serum kreatinin yang lebih rendah dibandingkan pasien tanpa peningkatan tekanan darah intradialitik. 46
47
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa kebanyakan pasien sudah menjalani hemodialisis selama 5-12 bulan, yakni sebanyak 46,9% atau 23 orang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al (2009), diketahui bahwa pasien yang menjalani hemodialisis kurang dari 1 tahun biasanya mengalami peningkatan tekanan darah intradialitik. Hal ini dikarenakan kebanyakan pasien belum bisa mengatur intake cairan secara teratur dan hemodinamik pasien baru saja stabil sehingga masih mudah mengalami perubahan pada hemodinamik. Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa besar ultrafiltrasi yang paling banyak dipakai adalah 1 Liter, 2 Liter, dan 3 Liter. Menurut Nissenson dan Fine (2008) dalam buku Handbook of Dialysis Therapy, pada penderita dengan hemodialisis regular 2 kali seminggu, kenaikan berat badan antar waktu hemodialisis disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga ultrafiltrasi yang dilakukan saat hemodialisis sekitar 2 Liter. Dalam penelitian ini terdapat 27 pasien dengan besar ultrafiltrasi < 2 Liter dan 22 pasien dengan besar ultrafiltrasi > 2 Liter. Pada penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al (2009), Agarwal dan Light RP (2010), dan Raj et al (2002) besar ultrafiltrasi pasien juga bervariasi. Hal ini dikarenakan tidak semua pasien memiliki ultrafiltration goal yang sama. Dan besar ultrafiltrasi pasien dapat kurang atau lebih dari ultrafiltration goal tergantung pada kondisi pasien saat melakukan hemodialisis. Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan bahwa peningkatan tekanan darah intradialitik yang paling banyak dialami pasien adalah 20 mmHg, yakni sebanyak 12 orang (24,5%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Agarwal dan Weir MR (2010) dan Cirit et al (1995) didapatkan bahwa pasien dengan peningkatan
48
tekanan darah intradialitik >10 mmHg memiliki besar ultrafiltrasi > 2 Liter. Besar ultrafiltrasi yang tinggi ini biasanya dikarenakan oleh kelebihan cairan (volume overload), sehingga jumlah cairan yang ditarik lebih besar. Setelah dilakukan uji korelasi Spearman antara besar ultrafiltrasi dengan peningkatan tekanan darah intradialitik didapatkan p = 0,003 (p < 0,05). Hasil uji korelasi Spearman ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara besar ultrafiltrasi dengan peningkatan tekanan darah intradialitik. Kekuatan hubungan antara besar ultrafiltrasi dengan peningkatan tekanan darah intradialitik digambarkan oleh koefisien korelasi Spearman (rs) yaitu 0,421 yang artinya hubungan antarvariabel ini merupakan korelasi positif dengan kekuatan moderat. Mekanisme peningkatan tekanan darah intradialitik sampai saat ini masih belum sepenuhnya diketahui. Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kejadian ini, seperti kelebihan cairan (volume overload), aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi, overaktivitas simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat hemodialisis, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin, ultrafiltrasi yang berlebih saat hemodialisis, obat antihipertensi terekskresikan saat hemodialisis dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010). Dari hasil penelitian oleh Inrig (2010a), diduga faktor penyebab yang paling berpengaruh adalah kelebihan cairan, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, ultrafiltrasi yang berlebihan, serta disfungsi endotel. Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik terdapat disfungsi endotel sehingga akan terjadi ketidakseimbangan faktor-faktor humoral pada sel endotel. Ultrafiltrasi yang
49
berlebih diduga akan membuat faktor-faktor humoral pada sel endotel menjadi lebih tidak seimbang lagi. Hal tersebut menyebabkan peningkatan ADMA (asymmetric dimethylarginine) yang merupakan inhibitor sekresi NO (Nitric Oxide), sehingga akan terjadi penurunan kadar NO. Nitric oxide sendiri merupakan vasodilator yang berperan dalam mekanisme pencegahan kenaikan tekanan darah. Ketidakseimbangan tersebut juga menyebabkan peningkatan ET-1 (Endothelin-1) yang merupakan vasokonstriktor. Ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi vaskuler yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan tekanan darah intradialitik. Ultrafiltrasi yang berlebih kemungkinan besar disebabkan karena asupan makanan dan cairan yang berlebih saat masa interdialitik (waktu diantara dua sesi hemodialisis). Hal ini akan menyebabkan kelebihan berat badan interdialitik sehingga untuk mencapai target berat badan kering jumlah cairan yang ditarik akan semakin besar. Ultrafiltrasi berlebih selain memicu ketidakseimbangan faktor-faktor humoral pada sel endotel juga diduga memicu hypovolemia. Hipovelemia yang terjadi akan memicu pengaktivan system RAAS (Sistem Renin Angiotensi Aldosteron) sehingga terjadi oversekresi Renin dan Angiotensin II yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler sehingga terjadi peningkatan tekanan darah intradialitik (Chazot dan Jean, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Inrig et al (2009) mengenai hubungan antara kejadian peningkatan tekanan darah intradialitik dengan 2-year mortality didapatkan bahwa pada pasien dengan peningkatan tekanan darah sistolik > 10 mmHg selama hemodialisis terjadi peningkatkan 2-year mortality.
50
Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa ada kemungkinan hal ini dapat dicegah jika ada pengontrolan yang baik akan besar ultrafiltrasi dan pemantauan berat badan pasien secara berkala. Agarwal dan Light RP (2010) membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah intradialitik dapat dijadikan sebagai penanda kelebihan volume cairan. Hasil tersebut serupa dengan penelitian Inrig et al (2009). Penelitian tersebut menyatakan bahwa penilaian berat badan kering secara berkala juga edukasi tentang asupan cairan perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan yang akan memicu peningkatan tekanan darah intradialitik.