perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
BAB V PEMBAHASAN
A. Analisis Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi September hingga November 2014 dengan jumlah sampel sebanyak 82 orang. Data yang dianalisis berasal dari kuesioner pemberian ASI untuk menilai seberapa sering pemberian ASI oleh ibu dan dari data hasil diagnosis dokter untuk menilai ada atau tidaknya ikterus pada bayi. 1. Frekuensi Pemberian ASI Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan ibu yang memberikan ASI pada bayinya dengan frekuensi sedang, yakni 8 sampai 12 kali per hari, menempati urutan terbanyak yaitu 46 orang (56,1%). Selanjutnya adalah pemberian ASI dengan kategori jarang dengan frekuensi pemberian ASI kurang dari 8 kali perhari sebesar 24 orang (29,3%) dan frekuensi sering, di mana ASI diberikan lebih dari 12 kali per hari sebesar 12 orang (14,6%). Menurut Rosidah (2008), Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan alami pertama dan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI juga dikondisikan untuk memenuhi kebutuhan bayi, mengandung nutrisi dan kemampuan biologis tinggi untuk pertumbuhan (Prasetyono, 2012). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
Faktor pertumbuhan dan nutrisi yang terdapat dalam ASI sangat menentukan proses pertumbuhan dan perkembangan bayi. Oleh karena itu sangat diperlukan perhatian dalam frekuensi pemberiannya, di mana bayi yang sehat akan menyusu 8 hingga 12 kali per hari (Arief, 2009). Frekuensi pemberian ASI yang kurang pada penelitian ini mungkin dapat disebabkan oleh proses persalinan ibu. Sebagian besar ibu dalam penelitian ini melahirkan dengan cara bedah caesar. Menurut Prasetyono (2012) dibutuhkan tenggang waktu setelah ibu melahirkan dengan bedah caesar akibat efek bius yang digunakan. Hal ini dapat menyebabkan penundaan proses menyusui sehingga frekuensi pemberian ASI kurang maksimal. Selain itu, pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan frekuensi ASI yang diberikan. Hal ini mungkin disebabkan pemahaman ibu mengenai pentingnya pemberian ASI sudah cukup baik, dan kemungkinan tenaga kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta cukup mendukung ibu yang baru saja melahirkan untuk menyusui bayinya. Sehingga usia ibu tidak berhubungan dengan pemberian ASI pada bayi. 2. Ikterus Neonatorum Tabel 4.6 menunjukkan kejadian ikterus neonatorum pada 82 sampel. Sebanyak 24 bayi (29,3%) mengalami ikterus dan sisanya, yakni 58 bayi (70,7%) tidak mengalami ikterus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Ikterus merupakan pewarnaan kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa bayi akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus sering dialami oleh bayi pada minggu pertama kehidupan (Depkes, 2005). Prevalensi ikterus pada bayi baru lahir cukup tinggi dan memerlukan perhatian khusus dari tenaga medis. Ikterus juga sering menyebabkan bayi harus dibawa ke rumah sakit kembali setelah bayi baru lahir tersebut dirawat di rumah selama beberapa hari (Jardine dan Woodgate, 2010). Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri maupun disebabkan oleh beberapa faktor. Pendapat Yang et al., (2013), adanya peningkatan kadar bilirubin pada ikterus dapat disebabkan peningkatan pemecahan sel darah merah atau heme, fungsi hepar yang belum sempurna, peningkatan sirkulasi enterohepatik pada bilirubin, dan intake nutrisi yang tidak adekuat. Pada tabel 4.7 dapat dilihat gambaran kejadian ikterus neonatorum berdasarkan berat badan bayi. Setelah dianalisis, tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara kejadian ikterus neonatorum dengan berat badan bayi. Hal ini mungkin disebabkan pada penelitian ini sudah dilakukan restriksi mengenai sampel yang digunakan adalah bayi yang tidak mengalami Berat Lahir Rendah (BBLR). Menurut Moeslichan (2004), bayi BBLR berisiko tinggi mengalami ikterus pada minggu pertama hidupnya. Oleh karena itu, penelitian ini memasukkan BBLR dalam kriteria eksklusi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
Selain itu pada tabel tersebut juga masih didapatkan bayi dengan berat lahir antara 3401 sampai 3900 gram mengalami ikterus neonatorum dan jumlahnya lebih banyak daripada bayi yang memiliki berat lahir antara 2500 sampai 2900 gram. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang belum dapat dijelaskan dalam penelitian ini. 3. Uji Korelasi Tabel 4.8 menunjukkan bayi yang jarang diberi ASI dan mengalami ikterus sebanyak 17 bayi dan yang tidak mengalami ikterus sebanyak 7 bayi. Pemberian ASI dengan frekuensi sedang didapatkan sebanyak 7 bayi mengalami ikterus dan 39 lainnya tidak mengalami ikterus. Sedangkan bagi 12 orang ibu yang menyusui dengan frekuensi sering, seluruh bayinya tidak ada yang mengalami ikterus. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.8 didapatkan nilai r = 0,514 yang berarti secara statistik terdapat korelasi antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus neonatorum di RSUD Dr. Moewardi di mana tingkat korelasinya tergolong sedang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tazami et al., (2013) mengenai gambaran faktor risiko ikterus neonatorum didapatkan bahwa faktor maternal yakni frekuensi pemberian ASI yang kurang dari 8 kali sehari meningkatkan risiko terjadinya ikterus neonatorum. Sejalan pula dengan pernyataan Maisels dan McDonagh (2008) yang menyatakan bahwa intake kalori yang sedikit, terutama akibat kesulitan dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
menyusui, menyebabkan peningkatan resirkulasi bilirubin dalam darah kemudian menjadi ikterus. Penelitian Yang et al. (2013) menyebutkan bahwa ASI memberikan manfaat yang besar bagi bayi baru lahir. Namun bila pemberiannya tidak adekuat, maka hal itu dapat menyebabkan penurunan berat badan bayi dan berhubungan dengan kejadian ikterus. Hasil penelitian di atas sesuai dengan teori bahwa bayi yang kurang mendapat asupan ASI menyebabkan pengeluaran mekonium terhambat, sehingga meningkatkan ambilan kembali bilirubin yang seharusnya dikeluarkan bersama mekonium tersebut. Mekonium merupakan kotoran sisa makanan berwarna hijau tua ketika bayi masih berada di dalam rahim ibu, di mana bayi menerima makanan melalui plasenta (Cohen et al., 2010). Prasetyono (2012) memaparkan bahwa kolostrum yang terdapat saat ASI keluar pertama kali memiliki efek laksatif yang dapat membantu bayi baru lahir untuk mengeluarkan mekonium dari ususnya. Bersamaan dengan keluarnya mekonium, dikeluarkan pula kelebihan bilirubin, sehingga akan mencegah terjadinya ikterus pada bayi baru lahir. Moerschel et al., (2008) menyatakan bahwa petugas kesehatan seharusnya memberikan nasihat agar ibu menyusui bayinya minimal 8 sampai 12 kali sehari selama beberapa hari setelah melahirkan agar intake nutrisi yang didapatkan oleh bayi adekuat sehingga meminimalisir risiko terjadinya ikterus pada bayi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Secara umum hasil penelitian ini menyatakan terdapat hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus neonatorum di RSUD Dr. Moewardi dengan tingkat korelasi sedang. B. Keterbatasan Peneliti telah berusaha melakukan upaya maksimal agar penelitian ini dapat berhasil dengan baik, namun tetap ada beberapa kekurangan di dalamnya. Penelitian ini belum memperhatikan beberapa variabel lain yang dapat berpengaruh pada hasil penelitian, seperti pemberian susu formula, jenis persalinan, maupun penyakit kongenital yang diderita bayi. Faktorfaktor risiko tersebut seharusnya ikut diperhatikan saat pengambilan data agar dapat memperkecil bias. Selain itu metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian menggunakan cross sectional paling mudah dilakukan, murah, hasilnya cepat diperoleh, namun desain ini memiliki kelemahan yaitu mempunyai kekuatan korelasi yang paling lemah dibandingkan desain penelitian yang lain. Dengan penelitian ini, peneliti tidak dapat menjelaskan sebab akibat antara variabel yang diteliti. Hal ini dikarenakan pengambilan sampel
penelitian
hanya
dilakukan
sekali
(Taufiqurrahman, 2004).
commit to user
pada
saat
yang
sama