BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Sebagaiman telah dikemukakan di awal, bahwa lembaga arbitrase adalah forum penyelesaian sengketa yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan dan ketidakpuasan dari para pembisnis atau pihak yang bersengketa akan proses penyelesaian perkara melalui lembaga pengadilan di Indonesia. Putusan forum arbitrase yang merupakan putusan yang terakhir serta mengikat (final and binding) merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang menjanjikan bagi para pihak sehingga para pihak dapat menyelesaikan perkara tanpa perlu berurusan dengan lembaga peradilan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana tersebut pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Suatu kenyataan bahwa Putusan Arbitrase yang telah berkekuatan hukum tetap (final and binding) tidak serta-merta bersifat final dan mengikat, karena masih dapat dilakukan upaya hukum lain. Undang-Undang Arbitrase sendiri membuka peluang adanya upaya hukum lain terhadap putusan arbitrase, sebagaimana tertuang dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa terhadap suatu putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri, apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
81
a.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Selain diatur oleh Undang-Undang Arbitrase, sistem hukum Indonesia menentukan bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (Peraturan Umum mengenai Peraturan Perundang-Undangan untuk Indonesia; AB) dan Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pada suatu ketika hakim pengadilan negeri akan kembali berwenang atau berkompenten untuk memeriksa sengketa yang telah mendapat Putusan Arbitrase, yakni apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a.
Apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum;
b.
Apabila sengketa yang timbul nyata-nyata di luar substansi kontrak; dan
c.
Putusan yang dijatuhkan di luar kewenangan forum arbitrase atau bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan yang berlaku, sehingga hakim mengganggap klausanya tidak halal.
82
Selain itu, salah satu faktor kuat lainnya yang menyebabkan adanya upaya hukum lain terhadap perkara yang telah mendapat Putusan Arbitrase adalah karena ketidak-mengertian hakim terhadap arbitrase itu sendiri. Padahal sesungguhnya lembaga arbitrase dibentuk karena memiliki peran yang strategi untuk mengurangi tumpukan perkara di pengadilan. Undang-Undang memang memberikan hak kepada Pengadilan Negeri untuk menerima atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase, namun Undang-Undang Arbitrase sama sekali tidak mengatur kewenangan pengadilan untuk membongkar perkara yang telah diputus oleh arbitrase. Hal tersebut adalah sangat keliru. Penulis beranggapan bahwa kasus pembongkaran putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh pihak yang kalah ke pengadilan lebih disebabkan hukum arbitrase kurang dikenal, baik, oleh hakim maupun oleh masyarakat. 2.
Adapun dasar hukum yang dijadikan dasar bagi Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung untuk menerima gugatan atas Putusan BANI adalah sebagai berikut: a. Ketentuan Pasal 70, 71 dan 72 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999; b. Ketentuan Pasal 22 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie; c. Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan d. Ketentuan Pasal 634 Rv (Reglement op de Recthvordering);
3. Tahapan pelaksanaan Putusan Arbitrase menurut Undang-Undang dimulai dari pendaftaran putusan arbitrase. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
83
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan Perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Namun dalam pelaksanaanya sering kali eksekusi putusan arbitrase ini menjadi permasalahan tersendiri, karena terkadang eksekusi sulit untuk dilaksanakan. Kedudukan lembaga arbitrase yang hanya sebagai pemberi keputusan dianggap selesai saat putusan telah dijatuhkan, selanjutnya para pihak yang bersengketa harus berjuang kembali untuk dapat mengeksekusi putusan arbitrase tersebut melalui lembaga lain, yakni Pengadilan Negeri, yang tentu saja harus memeriksa dulu administratifnya dan sebagainya, yang akan memakan waktu lebih lama lagi. Hal ini tentu saja mengurangi sifat efektifitas dari digunakannya jalur penyelesaian masalah melalui arbitrase. Sulitnya eksekusi / pelaksanaan Putusan Arbitrase pada kasus penelitian (eskalasi harga) ini, jelas terlihat walaupun Putusan Arbitrase telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung pada tanggal 12 April 2012, namun pada kenyataannya setelah lewat empat puluh lima hari bahkan sampai dengan saat ini, pihak yang kalah dalam hal ini Dinas Kimpraswil Riau, masih saja belum melaksanakan amar Putusan Arbitrase
84
tersebut. Bahkan pihak yang dirugikan telah meminta bantuan kepada Jamdatun maupun Meneteri Dalam Negeri untuk membantu mengeksekusi putusan tersebut.
B. S a r a n Beberapa saran yang dapat diberikan pada akhir penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Dengan adanya permasalahan yang membahas mengenai upaya hukum lain terhadap suatu Putusan Arbitrase yang bersifat finat dan mengikat, maka perlu dirancangnya suatu peraturan/ perundang-undangan maupun dilakukan amandemen yang mengatur lebih lanjut dan lebih spesifik mengenai bagaimana sikap Pengadilan Negeri dalam menerima suatu gugatan atau permohonan atas suatu sengketa yang menjadi kompetensi absolute dari Arbitrase. Hal ini bertujuan untuk mempermudah para Ketua Pengadilan Negeri untuk memutuskan menerima atau menolak suatu perkara yang bukan merupakan kompetensinya, untuk meningkatkan kesadaran bagi para hakim mengenai pembatasan wewenang mereka untuk memeriksa perkara yang sudah diputuskan oleh arbitrase dan juga untuk mencegah adanya pembongkaran putusan arbitrase tersebut. Tentunya dalam pembentukan peraturan perundangundangan ini harus melibatkan pihak Kekuasaan Kehakiman dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. 2.
Perlu diadakannya sosialisasi menyeluruh mengenai pelaksanaan dan penerapan peraturan perundang-undangan baru tersebut, diantaranya dengan cara mengadakan pertemuan berkala antara aparat lembaga litigasi Pengadilan
85
Negeri dengan para Arbiter, sehingga terjadi kesepahaman tentang kompentensi masing-masing lembaga untuk tidak saling berebut kewenangan melainkan saling hormat-menghormati dan membatasi diri dengan cara menjadikan suatu persaingan sehat untuk berlomba meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat pencari keadilan. 3. Agar supaya pelaksanaan eksekusi putusan BANI dapat dijalankan dan direalisaikan maka : a) Perlunya
dibuat
peraturan
perundang-undangan
atau
petunjuk
pelaksanaan ataupun amandeman dari Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mengatur lebih lanjut dan terperinci bagaimana seharusnya prosedur pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase, sehingga ke depannya tidak timbul kesalahpahaman dan/ atau pertanyaan tentang bagaimanakah pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase, apakah menggunakan cara-cara eksekusi sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata atau berbeda. b) Diperlukan juga ketentuan yang mengatur mengenai fungsi pengawasan yang bertindak mengawasi terlaksananya putusan arbitrase ini, sehingga tujuan para pihak untuk memanfaatkan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana, namun final dan mengikat dapat terwujud dengan pasti.
86