BAB V KONSEP 5.1 KONSEP UMUM GRAHA SENI BUDAYA DI BANDA Konsep utama dari perancangan bangunan Graha Seni Budaya di Banda dengan Pendekatan Regionalisme dalam Arsitektur ini adalah sebagai bentuk penyelamatan kebudayaan aceh. Melalui pendekatan regionalisme dalam arsitektur mampu menciptakan bangunan yang mewadahi kegiatan seni dengan citra bangunan yang menonjolkan ekspesi bangunan tradisional Aceh.
Diagram 5. 1Kerangka Konsep Sumber: Analisa Penulis
Secara messo, Graha Seni Budaya ini dapat menjadi enlightment kepada masyarakat Aceh khususnya terhadap krisis kebudayaan yang harus dilestarikan bersama secara berkelanjutan. Secara mikro, konsep akan dikembangkan berupa memaksimalkan respon terhadap tapak, serta kejujuran material sebagai bentuk dan struktur dari Rumah Adat Tradisional Aceh.
5.2 KONSEP PENGEMBANGAN 5.2.1 Zonasi Berdasarkan beberapa analisa pada
bahasan sebelumnya, untuk
mendukung kegiatan yang berlangsung di Graha Seni Budaya ini banyak
86
faktor yang perlu diperhatikan dalam membentuk sebuah tata massa bangunan yang efektif dan efisien secara fungsi.
Gambar 5. 1Usulan Zonasi Ruang dan Tata Letak Bangunan Sumber: Analisa Penulis
Area publik ditempatkan pada posisi terluar agar memudahkan para pengunjung untuk pencapaiannya. Area publik terpisah menjadi dua area sesuai dengan fungsi. Untuk selanjutkan agar dapat dibedakan oleh pengunjung akan ada perbedaan skala pada kedua fungsi publik ini. Area semi publik ini akan digunakan oleh pelaku seni yaitu seniman-seniman, juga terpisah dari bangunan fungsi utama. Hal ini juga akan mempermudah para seniman untuk langusng memasuki areanya tanpa memasuki bangungan fungsi utama. Begitu pula sama halnya dengan pada area privat yang digunakan oleh para staff yang mengontrol dan mengkoornikasi aktivitas yang berlangsung di Graha Seni Budaya. Keberadaan posisi site yang berada menghadap arah barat menjadi arah penentuan fasad orientasi bangunan. Tata letak bangunan dalam site mengikut pada kegiatan serta kebutuhan yang dibutuhkan pada perancangan Graha Seni Budaya. Orientasi tata letak ini sekaligus mengadopsi pola permukiman rumah-rumah adat Aceh yang menghadap ke arah kiblat atau barat. Pola permukiman Rumah Adat Aceh memanjang dari arah barat ke timur agar memudahkan untuk menentukan arah Sholat dalam rumah. Tidak hanya
87
memudahkan menentukan arah kiblat, namun juga untuk membiarkan angin berhembus dari arah barat ke timur da juga sebaliknya agar rumah tidak roboh.
Gambar 5. 2Pola Permukiman dan Rumah-rumah Adat Aceh Menghadap Kiblat Sumber: Arif, Kamal A. 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh, halaman 124
Gambar 5. 3Usulan Orientais Kiblat ke Arah Mekkah Diperkuat dengan Menara Sumber: Arif, Kamal A. 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh, halaman 153
5.2.2 Konsep Program Ruang Graha Seni Budaya ini memiliki beberapa kegiatan serta kebutuhan ruang seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, sehingga muncul beberapa kebutuhan ruang untuk dapat mengakomodasi fungsi sebagai tempat pertunjukan serta pelestarian budaya yang maksimal.
88
Tabel 5. 1 Program Ruang No.
Ruang Publik
Ruang Semi Publik
Ruang Privat
1.
Lobby
Studio seni
Kantor
2.
Front office
Ruang diskusi/seminar seni
Ruang rapat
3.
Tiket box
Pengelolaan sanggar
Ruang TU
4.
Ruang pertunjukan
Ruang serbaguna
Ruang arsip
5.
Perpustakaan
Ruang persiapan
Kantin
6.
Souvenir shop
Ruang properti
Pengelolaan gedung
7.
Innercourt
Storage
Loading dock
8.
Restaurant/coffe
Lavatory
Janitor
shop 9.
Lavatory
Lavatory Sumber: analisa penulis
Program ruang dikelompokkan berdasarkan penggunanya. Ruang bersifat publik akan digunakan oleh pengunjung, ruang semi pubik digunakan oleh para pelaku seni/seniman, serta ruang privat adalah staff yang akan mengelola dan mengkoodinasi kegiatan yang berlangsung.
Diagram 5. 2 Program Ruang Sumber: Analisa Penulis
Program ruang yang berlangsung pada Graha Seni Budaya ini didasarkan pada kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang yang dibutuhkan diatur sedemikian sehingga muncul kedekatan antar ruang sesuai dengan kegiatan
89
yang berlangsung. Program ruang ini sekaligus menjadi acuan untuk mengatur tata ruang pada denah.
5.2.3 Konsep Citra Bangunan Bangunan Graha Seni Budaya menampilkan citra bangunan yang akan menganut filosofi arsitektur tradisional yang dipadukan dengan masuknya unsur-unsur modern sesuai perkembangan zaman, seperti mendominasi penggunaan material-material dari alam dengan material yang berkembang pada saat ini. Penampilan bangunan sebagai pembatas vertikal atau horizontal ditampilkan dengan penerapan didesain seperti warna, tekstur, matarial, serta sedikit ornamen. Hal ini dilakukan untuk mencermikan citra bangunan.
Gambar 5. 4 Citra Kota Banda Aceh Sumber: Dokumentasi Penulis
5.2.4 Konsep Bentuk Berdasarkan beberapa pembahasan pada poin sebelum sebelumnya, untuk mendapatkan sebuah
bentuk yang mampu menciptakan citra
kebudayaan Aceh maka bentuk yang ideal adalah dengan transformasi aditif. Transformasi aditif berupa penambahan elemen yang terapkan dengan penambahan pada massa bangunan.
90
Massa bangunan yang ada pada Graha Seni Budaya terdiri dari beberapa massa sesuai dengan kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Pola bentuk dasar dari perancangan Graha Seni Budaya mengikuti grid yang terbentuk dari eksisting jalan utama seperti pada pembahas di poin sebelumnya.
Gambar 5. 5Usulan Bentuk Mengikuti Grid Sumber: Analisa Penulis
Penambahan elemen juga dilakukan pada massa bangunan yang menerapkan konsep bangunan Rumah Adat tradisional Aceh sesuai dengan konsep Regionalisme. Transformasi berupa penambahan bentuk segitiga dan bentuk kotak yang menyerupai bentuk Rumah Adat tradisional Aceh.
Gambar 5. 6 Usulan Transformasi Bentuk Graha Seni Budaya Sumber: Analisa Penulis
Bentuk segitiga mengadaptasi bentuk atap Rumah Tradisional Aceh, yang juga akan diterapkan sebagai bentuk atap pada Graha Seni Budaya. Bentuk ini sekaligus dapat merespon iklim tropis yang terjadi di Banda. Sedangkan bentuk kotak akan ditambahkan sehingga membentuk persegi
91
panjang yang akan menjadi bangunannya. Bentuk diolah menjadi persegi panjang agar dapat menampung kegiatan yang berlangsung di dalam Graha Seni budaya. Sama halnya dengan bangunan Rumah Tradisional Aceh. Semakin banyak ruang yang dibutuhkan maka bentuk rumah akan semakin memanjang. Kemudian untuk semakin memperjelas bentuk Rumah Tradisonal Aceh akan ditambahkan kolom-kolom yang menjadikan Rumah Tradisional Aceh berbentuk panggung.
Gambar 5. 7Transformasi Rumah Tradisional Aceh Sumber: Arif, Kamal A. 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh, halaman 188-189
Rumah Adat tradisional Aceh juga mengalami transformasi pada fungsinya. Letak geografis wilayah Aceh pada pesisir barat Indonesia membuat masyarakat Aceh banyak memanfaatkan potensi itu. Pada awalnya bentuk rumah masyarakat Aceh berupa rumah perahu. Kemudian rumah tersebut dibangun ditepi sungai sehingga memerlukan kaki-kaki untuk memecahkan masalah agar rumah dapat berdiri di tepi sungai. Lama-
92
kelamaan rumah tersebut berkembang didarat namun tetap berbentuk rumah panggung seperti yang kita ketahui saat ini.
Gambar 5. 8Tulak Angen pada Museum Aceh Sumber: Dokumentasi Penulis
Konstruksi Rumah Tradisional Aceh membiarkan angin berhembus melalui bagian bawah rumah dan bagian bawah atap melalui tulak angen (tolak angin) berbentuk segitiga yang berlubang agar angin dapat lewat dengan mudah. Lubang angin tersebut juga berfungsi untuk mencegah terjadinya kerobohan pada rumah. Matahari tidak terlalu penting dalam penentuan arah orientasi rumah. Bukaan pada dinding tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan digunakan screen atau lubang-lubang kecil untuk meredam sinar matahari, hal ini mengadopsi dari masyrabiyya di Saudi Arabia. Yang terpenting dalam arah orientasi rumah adalah barat-timur karena alasan agama.
Gambar 5. 9Usulan Tulak Angen pada Graha Seni Budaya Sumber: AnalisaPenulis
93
Konsep penerapan tulak angen akan diadopsi oleh Graha Seni Budaya sebagai ornamen pada fasad bangunan. Namun tulak angen yang digunakan tidak di fungsikan sebagai ventilasi melainkan untuk meredam sinar matahari yang berorientasi timur-barat.
Gambar 5. 10Konsep Bentuk pada Graha Seni Budaya Sumber: Analisa Penulis
Konsep bentuk bangunan Graha Seni Budaya mengadopsi bentuk Rumah Tradisional Aceh yang ditransformasikan. Beberapa bentuk diantaranya adalah penerapan bentuk atap, serta kesan panggung yang diterapkan pada kolom-kolom struktur bangunan.
5.2.5 Konsep Pembentukan Ruang Elemen pembentuk ruang sangat penting untuk keberlangsungan kegiatan pada Graha Seni Budaya. Konfigurasi elemen ini akan menghasilkan tipe ruang serta bentuk sebuah ruang yang akan diaplikasikan ke dalam konsep ruang Graha Seni Budaya. Pembentukan ruang untuk dapat menampung kegiatang yang berlangsung di Graha Seni Budaya adalah dengan konsep pembentukan ruang dengan bidang dasar yang diangkat. Pembentukan ini sekaligus merespon proses pembentukan Rumah Adat Tradisional Aceh.
94
Gambar 5. 11Usulan Konsep Ruang Pada Graha Seni Budaya Sumber: Analisa Penulis
Proses pembentukan ruang dengan bidang dasar yang diangkat pada Graha Seni Budaya lebih merespon emosional terhadap kehadiran cahaya, sirkulasi udara yang baik, serta akan memudahkan proses evakuasi jika terjadi keadaan darurat. Proses ini juga dapat memberikan kesan pada bangunan karena bangunan terlihat diatas permukaan tanah. Konsep ruang selanjutya merespon zonasi pada Rumah Tradisional Aceh. Karakter rumah ini adalah dengan pembagian tiga area, pada serambi depan merupakan area pria, sedangkan area untuk kaum wanita yang memerlukan privasi berada pada area belakang. Di area tengah terdapat ruang yang menghubungkan antara area serambi depan dan serambi belakang. Bagian tengah pada rumah ini merupakan tempat yang mulia, ditandai dengan adanya perbedaan ketinggian ruang dari area depan dan belakang. Selain sebagai jalur penghubung, jalur ini juga menjadi pemisah dua ruang tidur pasangan pemilik rumah yang merupakan simbolisasi dari harmoni (perkawinan).
Gambar 5. 12Zonasi Rumah Adat Tradisional Aceh
95
Sumber: Analisa Penulis
Zonasi pada Rumah Adat Tradisional Aceh diaplikasikan pada konsep penataan zonasi ruang kegiatan utama di Graha Seni Budaya. Area serambi depan pada Rumah Adat Tradisional Aceh berfungsi sebagai tempat penerimaan tamu, hal tersebut diaplikasikan menjadi lobby yang bergfungsi sebagai area penerimaan tamu. Area tengah yang dianggap sakral dan mulia pada Rumah Tradisional Aceh akan diaplikasikan sebagai ruang utama yaitu ruang pertunjukan pementasan seni. Sedangkan area belakang yang bersifat privasi pada Rumah Tradisional Aceh diaplikasikan menjadi area backstage untuk para pelaku seni yang akan mempertunjukan kegiatan seni.
Gambar 5. 13 Usulan Zonasi Fungsi Ruang Bangunan Utama Sumber: Analisa Penulis
5.2.6 Konsep Sirkulasi Sebelum memasuki sebuah ruangan, ada pencapaian menuju pintu masuk melalui sebuah jalur. Ini merupakan tahap pertama sistem sirkulasi, selanjutnya adalah bagaimana melihat, mengalami, serta memanfaatkan ruang di dalam sebuah bangunan.
96
Gambar 5. 14 Usulan Pencapaian Sumber: Analisa Penulis
Beberapa usulan terhadap pintu masuk ke dalam site bangunan dengan berbagai pertimbangan menyesuaikan fungsi lahan dan bangunan. Dari dua usulan yang telah dibahas pada poin sebelumnya terhadap pintu masuk pencapaian Graha Seni Budaya, maka diputuskan kesimpulan yang akan dipilih adalah pencapaian dengan jalur masuk berbeda dengan jalur keluar. Hal ini untuk memaksimalkan fungsi dalam site. Pada
sirkulasi
menuju
ruang
utama
pertunjukan
pagelaran,
dimanfaatkan sebagai galeri dua dimensi. Galeri tersebut merupakan galeri temporer yang dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Sistematika yang akan dipamerkan pada galeri berubah-ubah sesuai dengan kondisi pagelaran yang berlangsung di ruang pertunjukan. Konsep dari galeri tersebut adalah fast and go. Hal yang perlu diperhatikan adalah konsep perletakan, sirkulasi, serta pencahayaan terhadap objek yang dipamerkan untuk penunjang kegiatan. Untuk sirkulasi, perletakan karya dua dimensi berada di sisi kiri dan kanan jalur sirkulasi. Area untuk menikmati karya akan dibedakan dengan jalur sirkulasi agar tercipta kenyaman.
97
Gambar 5. 15 Usulan Sirkulasi Galeri Sumber: Analisa Penulis
Gambar 5. 16 Usulan Zonasi Sirkulasi Galeri Sumber: Analisa Penulis
Pencahayaan pada objek juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Pencahayaan berasal dari satu atau dua sumber langsung. Hal ini akan membuat objek menjadi kontras dan lebih dramatis dibandingkan dengan area disekitarnya.
Gambar 5. 17 Usulan Pencahayaan Objek Galeri Sumber: Analisa Penulis
98
Gambar 5. 18 Usulan Pencahayaan Galeri Sumber: Analisa Penulis
Untuk siang hari, pencahayaan pada sirkulasi menuju ruang pertunjukan utama akan menggunakan cahaya alami yaitu skylight. Cahaya yang masuk tidak langsung menyinari sirkulasi, akan tetapi cahaya alami yang masuk akan mengikuti bentuk kemiringan atap. Sedangkan pada malam hari akan dibantu oleh cahaya buatan.
Gambar 5. 19 Usulan PencahayaanSkylight Galeri Sumber: Analisa Penulis
5.2.7 Konsep Tata Pertunjukan 1. Bentuk Ruang Pertunjukan Ruang pertunjukan tertutup tergolong tipe medium yang akan mampu menampung kapasitas penonton berjumlah 1000 orang. Berdasarkan poin yang telah dibahas sebelumya, terdapat beberapa bentuk ruang pertunjukan yang akan dipilih untuk diterapkan pada Graha Seni Budaya. Maka bentuk yang dipilih adalah bentuk kipas (fan shape).
99
Gambar 5. 20 Usulan Bentuk Ruang Pertunjukan Sumber: Analisa Penulis
Bentuk kipas ini menjaga kenyamanan visual penonton sehingga penonton tidak terganggu dengan posisi duduk dan fokus tertuju ke titik pusat pertunjukan. Bentuk kipas ini juga dapat membuat penonton lebih dekat dengan sumber bunyi. Kelebihan lain dari bentuk kipas ini adalah dapat menampung penonton dengan jumlah yang lebih banyak. Hal ini menguntungkan dari sisi ekomoni serta dapat memenuhi persyaratan untuk digunakan sebagai ruang multiguna. Ruang pertunjukan terdiri dari beberapa area, yaitu panggung, backstage, area penonton, operator, serta teater hall. Ruang operator mendukung keberlangsungan pertunjukan dengan mengontrol berbagai pendukung kegiatan alat seperti tata cahaya dan tata suara. Sedangkan backstage akan mendukung para pelaku seni untuk mempersiapkan sebelum pertunjukan dimulai. Pada gedung pertunjukan, sering terjadi penurunan kualitas bunyi yang dihasilkan dari sumber suara. Hal tersebut disebabkan oleh ruang yang terlalu besar sehingga energi gelombang bunyi sebagian hilang saat merambat karena terjadi penyerapan oleh karpet, kursi penonton, serta elemen lainnya. Cara untuk menanggulangi adalah dengan memperpendek jarak penonton sumber suara. Menurut Doelle (1990:54), jarak antara penonton dengan
100
sumber bunyi yang nyaman adalah 20 meter. Dalam hal ini akan ditanggulangi dengan penambahan balkon serta membagi ruang pertunjukan menjadi 2 level yang berbeda.
Gambar 5. 21 Usulan Balkon pada Ruang Pertunjukan Sumber: Analisa Penulis
Untuk memaksimalkan perambatan bunyi di dalam ruangan, akan diterapkan konsep pemantulan bunyi yang dibantu oleh permukaan plafon yang berada pada langit-langit ruangan. Pada bagian itu juga, dapat ditambahi elemen-elemen pemantul suara yang ditempelkan atau digantung. Dengan demikian, maka bunyi yang akan dipantulkan secara langsung ke arah belakang dimana bunyi terdengar paling lemah.
Gambar 5. 22 Usulan Penempatan Pemantul Suara Sumber: Analisa Penulis
Lantai pada area penonton didesain miring atau landai, karena menurut Doelle (1990:56), bunyi akan mudah diserap jika merambat menuju penonton dengan sinar datang miring (grazing incidence). Kemiringan tersebut tidak dianjurkan lebih dari 1:8 atau 30˚ karena pertimbangan keselamatan, keamanan, serta kenyamanan penonton. Untuk kemudahan dalam mengatasi kemiringin lantai, maka akan diatasi dengan tangga.
101
Begitu pula dengan Neufert (2002:146), menyatakan bahwa pada urutan pertama kursi penonton ke panggung kemiringin sudut pandang tidak lebih dari 30˚. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas bunyi yang diterima oleh penonton.
Gambar 5. 23 Usulan Sudut Penglihatan Penonton Sumber: Analisa Penulis
2. Bentuk Pangung Pertunjukan yang mencapai keberhasilan ditentukan dari bagaimana bentuk panggung mempertontonkan sebuah karya. Berdasarkan analisa dari alternatif pada pembahasan sebelumnya, terdapat dua bentuk panggung yang akan dipilih untuk diterapkan pada ruang petunjukan Graha Seni Budaya. Maka jenis panggung yang dipilih sesuai fungsi adalah jenis panggung bingkai.
Gambar 5. 24 Usulan Bentuk Paggung Sumber: Analisa Penulis
Panggung bingkai ini hanya dapat disaksikan oleh penonton hanya dari satu sisi saja. Akan tetapi ini menjadi letak kelebihannya, penonton hanya menyaksikan dari satu sisi sehingga para pelaku seni akan fokus
102
menampilkan kepada satu sisi saja. Sedangkan backstage atau ruang persiapan terletak dibelakang panggung. 3. Penataan Area Penonton dan Sirkulasi Sirkulasi yang baik dan ideal akan menghantarkan penonton kedalam kenyamanan disamping kenyamanan visual. Berdasarkan analisa dari alternatif pada pembahasan sebelumnya, terdapat dua jenis sistem sirkulasiyang akan dipilih untuk diterapkan pada ruang petunjukan Graha Seni Budaya. Maka jenis sistem sirkulasi yang dipilih adalah sistem conventional.
Gambar 5. 25 Usulan Sirkulasi Dalam Ruang Pertunjukan Sumber: Analisa Penulis
Sirkulasi sistem conventional ini terdiri dari penataan tempat duduk penonton yang diantara barisannya terdapat lorong untuk terjadinya sirkulasi. Penataan area seperti akan mempermudah penonton untuk masuk dan keluar karena sirkulasi terpenuhi serta memberikan kenyamanan.
5.2.8 Konsep Perpustakaan Graha Seni budaya bersifat edukatif, salah satunya adalah dengan adanya fasilitas perpustakaan mini yang menyediakan buku-buku referensi bersangkutan dengan seni dan budaya Aceh.
103
Gambar 5. 26 Usulan Perpustakaan Sumber: Analisa Penulis
Area perpustakaan dan ruang luar dipisah dengan ruang transisi yaitu ruang buffer. Di area transisi ini terdapat area administasi untuk keperluan peminjaman dan pengembalian buku serta area penitipan tas.
Gambar 5. 27 Usulan Area dalam Perpustakaan Sumber: Analisa Penulis
Pada area perpustakaan, area rak buku terpusat pada salah satu sisi ruang perpustakaan. Rak buku berada di tengah ruangan agar dapat memanfaatkan bukaan cahaya matahari di sisi ruang pada siang hari. Sedangkan area baca berada diantara area rak buku dengan area buffer ruangan.
5.2.9 Konsep Sanggar Selain perpustakaan, sistem edukasi pada Graha Seni Budaya juga memberikan pembelajaran praktis kepada para pengunjung khususnya wisatawan yang ingin mempelajari kebudayaan Aceh.
104
Gambar 5. 28 Usulan Studio Sanggar Seni Sumber: Analisa Penulis
Ruang studio pada sanggar seni menggunakan cermin pada setiap sisinya agar dapat melihat gerakannya sendiri dan dapat mengetahui jika terjadi kesalahan dalam performa selama latihan. Sistem ruang ini menggunakan partisi pada sisi ruang yang berhubungan dengan ruang sebelahnya. Sehingga jika dibutuhkan kapasitas ruangan yang lebih besar partisi dapat dibuka dan keadaan ruang menjadi lebih luas.
5.2.10 Konsep Tata Ruang Luar Sebagian besar penggunaan lahan akan menjadi ruang terbuka hijau untuk taman publik. Tata hijau memiliki peran penting dalam perancangan bangunan, terutama untuk memberikan kesan visual bagi pengguna. Penambahan elemen amphiteater pada tata ruang luar Graha Seni Budaya menjadi salah satu pemanfaatan lahan. Amphiteater pada Graha Seni Budaya memiliki berbagai fungsi. Salah satunya sebagai ruang interaksi sosial. Selain sebagai innercourt, amphiteater juga berfungsi sebagai space untuk kegiatan sosial atau penggalangan dana.
105
Gambar 5. 29 Usulan Amphiteater pada Graha Seni Budaya Sumber: Analisa Penulis
Selain itu sebagai peneduh, vegetasi pada Graha Seni Budaya juga sebagai buffer kebisingan agar polusi suara tidak langsung menuju bangunan. Tidak hanya itu, terdapat beberapa tanaman yang berfungsi sebagai pengarah penunjuk jalan menuju tempat parkir maupun gedung bangunan.
Gambar 5. 30 Usulan Peredam Kebisingan Sumber: Analisa Penulis
5.2.11 Konsep Warung Kopi
Gambar 5. 31 Usulan Warung Kopi Semi Outdoor Sumber: Analisa Penulis
106
Ngopi dan nongkrong di warung kopi merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Aceh yang telah lama berkembang. Tidak hanya sekedar menghabiskan secangkir kopi dan sebungkus rokok, akan tetapi di warung kopi ini terjadi berbagai musyawarah serta kesepatan antar satu sama lainnya. Oleh karena itu, warung kopi pada graha seni budaya merupakan salah satu konsep untuk mempertemukan para seniman serta pengunjung lainnya sebagai bertukar pikiran, musyawarah, maupun hanya sekedar menghabiskan waktu. Warung kopi di desain semi outdoor agar terkesan lebih menyatu dan tidak memberi batasan kepada pengunjung. Selain itu, pengunjung juga dapat menikmati sebungkus rokok tanpa harus meninggalkan temannya. Dari segi hal teknis, dapat menghemat penggunaan penghawaan buatan.
Gambar 5. 32 Usulan Warung Kopi Sumber: Analisa Penulis
5.2.12 Konsep Material Sebagai wadah pelestarian yang mencerminkan citra kebudayaan daerah, material merupakan hal penting yang dapat menciptakan suasana. Melalui pendekatan regionalisme dalam arsitektur, material adalah salah satu elemen yang menonjolkan ciri kedaerahan yang berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, serta teknologi yang berkembang. Penyelesaian hal tersebut
107
adalah dengan mempertahankan kenyamanan pada bangunan baru yaitu bangunan Graha Seni Budaya yang ditunjang oleh kualitas bangunan lama. Salah satu kualitas bangunan lama adalah dengan memanfaatkan material yang di aplikasikan pada bangunan Rumah Tradisional Aceh yaitu berupa material lokal. Secara garis besar keseluruhan bangunan Rumah Adat Aceh berbahan kayu, namun ada beberapa tambahan material lokal juga seperti bambu dan dedaunan untuk penutup atap. Disamping itu, penambahan material modern juga akan diaplikasikan untuk menunjang ekspresi estetika pada bangunan.
Gambar 5. 33 Usulan Material Pada Bagunan Sumber: Analisa Penulis
Aplikasi material pada bangunan Graha Sei Budaya untuk elemen material lokal berupa material kayu, anyaman bambu, serta alang-alang. Sedangkan material lainnya berupa beto ekspos, batuan alam, serta pemanfaatkan baru dalam bronjong. Elemen kaca juga akan digunakan untuk pemanfaatan cahaya matahari pada siang hari. Material tidak hanya berupa sebagai citra bangunan. Material juga dapat menciptakan sebuah eksperesi ruang dalam keindahan serta tidak luput dari kenyamanan.
108
5.2.13 Konsep Sistem Bangunan 1. Sistem struktur Sistem struktur pada Graha Seni Budaya menggunakan sistem struktur rangka baja ringan untuk penggunaan atap yang sekaligus sebagai dinding bangunan. Untuk struktur utama akan digunakan sistem struktur rangka kaku dangan bahan beton bertulang. 2. Penghawaan Sistem penghawaan alami pada bangunan Graha Seni Budaya ini menggunakan sistem cross ventilation, serta memanfaatkan lubang angin yang berada pada sisi bangunan. Hal ini mengadopsi dari sistem penghawaan alami pada Rumah Adat Tradisional Aceh. Sistem penghawaan buatan ini juga akan memanfaatkan void pada bangunan serta ruangan yang tinggi sesuai dengan konsep graha yang terkesan megah. Dengan plafond yang tinggi, udara panas akan keluar dan udara yang baru akan mengisi ruangan.
Gambar 5. 34 Usulan Sistem Penghawaan Alami Sumber: Analisa Penulis dan Dokumentasi Penulis
Pada beberapa fungsi ruangan akan memanfaatkan penghawaan buatan untuk menjaga kenyamanan dan kelembaban. Untuk ruang utama seperti ruang pertunjukan akan digunakan AC sentral, sedangkan untuk ruangan yang berkapasitas kecil akan menggunakan AC split sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan penhawaan.
109
3. Pencahayaan Sistem pencahayaan pada Graha Seni Budaya terdiri dari pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Untuk pencahayaaan alami, bangunan memaksimalkan cahaya matahari yang diperoleh dari beberapa bukaan disekitar bangunan. Penggunaan dinding kaca, dan adanya ruang terbuka pada sekitar bangunan, serta penambahan skylight diharapkan mampu menjadi suatu cara terbaik untuk mencapai pecahayaan alami secara maksimal ketika ruangan digunakana pada siang hari. Untuk
pencahayaan
buatan,
beberapa
ruangan
menggunakan
penambahan cahaya buatan ketika ruangan digunakan pada malam hari. Pencahayaan buatan digunakan untuk membantu memaksimalkan fungsi ruang ketika malam hari di Graha Seni Budaya. Pencahayaan buatan juga akan digunakan pada ruangan tertutup yang membutuhkan cahaya ketika digunakan, yaitu ruang pertunjukan tertutup. Pencahayaan ini akan diatur sedemikian rupa oleh operator pertunjukan. 4. Jaringan air bersih Untuk sistem jaringan air bersih dalam desain Graha Seni Budaya ini menggunakan PDAM untuk mendapatkan air bersih. Air dari PDAM akan ditampung menggunakan reservoir kemudian di distribusikan kepada pengguna Graha Seni Budaya.
Diagram 5.3 Distribusi Air Bersih Sumber: Analisa Penulis
5. Jaringan air kotor Sistem jaringan air kotor yang berlangsung di Graha Seni Budaya adalah berasal dari toilet, dan dapur. Air kotor yang dihasilkan berupa grey water, black water, serta air lemak. Sistem yang digunakan pada jaringan air
110
kotor ini adalah mendaur ulang air untuk memanfaatkan pada fungsi lainnya seperti flush pada toilet, dan lain-lain.
Diagram 5. 4Proses Pengolahan Air Kotor Sumber: Analisa Penulis
6. Sistem mekanikal elektrikal Untuk sumber listrik pada bangunan Graha Seni Budaya akan menggunakan listrik dari PLN dan genset. Sistem ini akan dihubungkan dengan ATS, yaitu berupa alat transfer yang secara otomatis akan menyalakan genset ketika pemadaman listrik dari PLN.
Diagram 5. 5 Sistem Jaringan ME Sumber: Analisa Penulis
7. Fire protection Untuk
mendeteksi
kebakaran,
bangunan
Graha
Seni
Budaya
menggunakan pendeteksi kebakaran secara otomatis. Penanggulangannya bahaya kebakaran tersebut dengan menggunakan alarm, sprinkler, hydrant, dan portable extinguisher.
111
Gambar 5. 35Usulan Perletakan Hydrant Sumber: Analisa Penulis
Selain itu, penanggulangan dengan sistem bangunan tanggap bencana seperti dilengkapi dengan tangga darurat, jalur evakuasi, serta penggunaan material yang baik dan aman. Hydrant berada pada luar bangunan yang akan ditempatkan disekitar bangunan untuk menanggulangi kebakaran. 8. Telekomunikasi Bangunan Graha Seni Budaya dilengkapi dengan fasilitas intercom pada komunikasi antar ruang yang memakai sistem PABX (Private Branch Exchange). Sedangkan untuk komunikasi dengan pihak luar menggunakan jaringan TELKOM yang dihubungkan dengan ruang pengelola.
112