BAB II KONSEP UMUM IJA
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah studi tentang teori akad dalam fikih muamalat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 68.
12
13
menyewa
dan
semacamnya,
serta
mendiskusikan
apakah
hibah
memerlukan ijab dan kabul atau cukup ijab saja. Untuk terpenuhinya sebuah akad, maka dalam sebuah perikatan haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Al-ahdu (perjanjian), yaitu sebuah pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat bagi orang yang menyatakan untuk melaksanakan janjinya tersebut. b. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama, dan persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama. c. Apabila kedua buah janji dilaksanakan oleh para pihak maka terjadilah apa yang dinamakan sebagai akad, sesuai dengan yang ada dalam surat Al-Maidah ayat 1 sebagai berikut: Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. Al-Maidah Ayat 1).2 2. Rukun dan Syarat Akad a. Rukun Akad. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur 2
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Prenada Media, 2005, h. 45.
14
tersebut yang membentuknya. Sebagai contoh rumah misalnya, terbentuk karena adanya unsur-unsur yang membentuknya, yaitu fondasi, tiang, lantai, dinding, atap dan seterusnya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun. Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada itu ada empat, yaitu: 1) Para pihak yang membuat akad (al-'aqi
15
c) Jazmul
ira
menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa. 3) Objek akad (mahallul-‘aqd) Objek akad (mahallul-‘aqd) ialah sesuatu yang dijadikan obyek akad dan dikenakan kepadanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk obyek akad tersebut dapat berupa benda berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tidak berwujud seperti manfaat dari sesuatu, dan semua obyek tersebut dapat dibenarkan oleh syari’at. 4) Tujuan akad (maudhu’ al-‘aqd). Menurut ulama‟ fikih tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’at tersebut. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan yang berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan hukum Islam dengan diketahui pihak yang lainnya, maka pernikahan itu pun haram hukumnya. 3 b. Syarat Akad. Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad di atas memerlukan syarat-syarat agar unsur (rukun) itu berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud dinamakan syarat-syarat terbentuknya akad (syuru
|
3
Syamsul Anwar, Hukum..., h.60.
16
1) Tamyiz, 2) Berbilang pihak (at-ta’adu
Syamsul Anwar, Hukum..., h. 99.
17
b) Menentukan Jenis Tindakan Hukum Dalam arti tujuan akad ini membedakan satu jenis akad dari jenis lainnya. Misalnya akad sewa-menyewa berbeda dengan akad jual beli karena berbedanya tujuan masing-masing. c) Fungsi Hukum dari Tindakan Hukum Artinya ia membentuk sasaran hukum, baik dilihat dari sudut pandang ekonomi maupun sudut pandang sosial, yang hendak diwujudkan oleh tindakan hukum bersangkutan.5 4. Batal dan Sahnya Akad. Akad yang sah ada kemungkinannya tidak dapat dilaksanakan akibat hukumnya karena tidak
terpenuhinya beberapa syarat
berlakunya akibat hukum akad, yaitu 1) Adanya kewenangan atas objek (aset yang menjadi objek), 2) Adanya kewenangan terhadap tindakan hukum yang dilakukan. Akan tetapi, meskipun syarat ini juga telah terpenuhi masih ada dalam akad itu kemungkinan hak salah satu pihak untuk membatalkan akad secara sepihak karena sifat akad itu sendiri atau karena adanya beberapa jenis khiya
Gemala Dewi, Hukum..., h. 220.
18
menjadi bertingkat-tingkat sesuai dengan sejauh mana rukun dan syarat-syarat itu terpenuhi. Keseluruhan akad dalam berbagai tingkat pembatalan dan keabsahan sebagaimana tersebut di atas dibedakan menjadi dua golongan kelompok, yaitu : 1) Akad yang tidak sah, yang meliputi akad batal (akad yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat pembentukan akad) dan fasid (akad yang memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi keabsahan akad), dan 2) Akad yang sah dengan tiga tingkatan, yaitu maukuf (akad yang sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya maupun syarat keabsahannya, namun akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan), akad nafidz gair lazi<m (akad yang sudah dapat dilaksanakan hukumnya, akan tetapi belum meningkat penuh karena satu pihak atau keduanya masih dapat membatalkan secara sepihak) dan akad nafidz lazi<m (akad yang sudah dapat dilaksanakan akibat hukumnya dan telah meningkat penuh).6 B. Sewa-Menyewa (Ija
Al-Ija
Gemala Dewi, Hukum..., h. 244. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah ke-13, Bandung : Al-Ma‟arif, h. 15.
19
yang satu mengikat diri untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian unsur esensial dari sewa-menyewa sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata adalah kenikmatan/manfaat, uang, dan jangka waktu. Dalam bahasa Arab sewa-menyewa dikenal dengan Al-Ija
Perdata
mempunyai
unsur
kesamaan,
sedangkan
yang
membedakannya bahwa pengertian dalam bahasa Arab tidak secara tegas menentukan jangka waktu. Dengan demikian setiap perjanjian sewa-menyewa harus ditentukan jangka waktu yang tegas. Hal ini penting mengingat salah satu sifat sewa-menyewa adalah sewamenyewa tidak bisa diputuskan oleh jual beli atau peralihan hak lainnya, seperti hibah dan waris. Sehingga kemungkinan jika pihak yang menyewakan bermaksud menjual barang miliknya akan mengalami kesulitan. Di dalam hukum Islam istilah orang yang menyewakan dikenal dengan mu’jir, sedangkan orang yang menyewa diistilahkan dengan
musta’jir, dengan benda yang disewa dikenal dengan istilah ma’jur, serta yang sewa atau imbalan atas pemakian manfaat barang disebut
ujrah.
8
Abdul Ghofur Ansori, Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia, Yogyakarta: Citra Media, 2006, h. 45.
20
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ija
suatu
manfaat
dengan
imbalan.
Ulama‟
Syafi‟iyah
mendefinisikan dengan: transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh di manfaatkan dengan imbalan tertentu. Ulama Malikiyyah dalam mendefinisikan al-ija
menurut
Sayyid
Sabiq,
dalam
fikih
sunah
mendefinisikan ija
Al-Ija
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,1999, h.85-86. 10 Abdul Ghofur Ansori, Pokok..., h. 48. 11 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, h. 150.
21
Islam. Hukum asalnya Jumhur Ulama adalah mubah (boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-Qur‟an, hadist-hadist Nabi, dan ketetapan Ijma Ulama. Adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ija
M, Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan Keserasian al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 579.
22
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S.Az-Zukhruf: 32) Lafadz “sukhriyyan” yang terdapat dalam ayat di atas bermakna “saling menggunakan”. Menurut Ibnu Katsir, lafadz ini diartikan dengan “supaya kalian bisa saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain, karena di antara kalian saling membutuhkan satu sama lain”. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian, orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya dengan akad Ija
السلَ ِم ُّي َّ َح َّدثَنَا الْ َعبَّ ُاس ْب ُن الْ َو ِلي ِد ّ ِال َم ْش ِق ُّي َح َّدثَنَا َوه ُْب ْب ُن َس ِعي ِد ْب ِن َع ِط َّي َة ِ َّ َح َّدثَنَا َع ْبدُ َّالر ْ َْح ِن ْب ُن َزيْ ِد ْب ِن َأ ْس َ ََل َع ْن َأبِي ِه َع ْن َع ْب ِد اَّلل ْب ِن ُ َُع َر قَا َل قَا َل ِ َّ ول ُ َر ُس اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس َّ ََل َأع ُْطوا ْ َاْل ِج َري َأ ْج َر ُه قَ ْب َل َأ ْن ََي َِّف َع َرقُ ُه ُ َّ اَّلل َص ََّّل ( ) روه ابن ماجة Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Al Abbas bin Al Walid Ad Dimasyqi berkata, telah menceritakan kepada kami Wahb bin Sa'id bin Athiah As Salami berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Abdullah bin Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (H.R. Ibnu Majah) Landasan ijma‟nya adalah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ini, sekalipun ada beberapa orang di antara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.14 3. Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa. 13
M, Quraish Shihab, Tafsir....., h.240. DSN MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Cet. 4, Ciputat: Gaung Persada, 2006, h. 57 14
23
Secara yuridis agar perjanjian sewa-menyewa memiliki kekuatan hukum, maka perjanjian tersebut harus memiliki rukun dan syaratsyaratnya. Unsur penting terpenting harus diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu memiliki kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal). Menurut jumhur ulama rukun sewa menyewa terdiri dari: a) Adanya para pihak sebagai subjek hukum (penyewa dan yang menyewakan)
Mu’jir dan Musta’jir adalah orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu, disyaratkan pada mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan saling rela.15 b) Terdapat barang yang disewakan Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini: 1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya. 2) Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja
berikut
kegunaannya
(khusus
dalam
sewa-
menyewa). 3) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah menurut syara’ bukan hal yang dilarang. Benda 15
Hasby Ash-Shiddieqy, pengantar...,h. 27.
24
yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (dzat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad. c) Adanya ija
Ija
25
d) Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan. Maksudnya adalah setiap barang yang akan dijadikan objek sewa-menyewa harus sudah ada dan statusnya jelas, yaitu benarbenar milik orang yang menyewakan. 1) Objek sewa-menyewa dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya atau mempunyai nilai manfaat. 2) Objek sewa-menyewa dapat diserahkan. 3) Kemanfaatan
objek
yang
diperjanjikan
adalah
diperbolehkan oleh agama. 4) Harus ada kejelasan mengenai beberapa lama suatu barang itu akan disewa dan harga sewa atas barang tersebut. Dengan terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya, maka perjanjian/akad ija
akad,
termasuk
akad
sewa-menyewa/ija
menimbulkan hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian sewa-menyewa. a) Pihak pemilik objek perjanjian sewa-menyewa atau pihak yang menyewakan. 1) Ia wajib menyerahkan barang yang disewakan kepada pihak penyewa. 2) Memelihara
barang
yang
disewakan
sedemikian
sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
26
3) Memberi si penyewa kenikmatan/manfaat atas barang yang disewakan selam waktu berlangsungnya sewamenyewa. 4) Menanggung si penyewa terhadap semua cacat dari barang yang disewakan, yang melintangi pemakaian barang. 5) Ia berhak atas uang sewa yang besarnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. 6) Menerima kembali barang objek perjanjian di akhir masa sewa. b) Pihak Penyewa Ia wajib memakai barang yang disewakan sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada suatu
perjanjian
mengenai
itu,
menurut
tujuan
yang
dipersangkakan berhubung dengan keadaan. 1) Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan. 2) Ia berhak menerima manfaat dari barang yang disewanya. 3) Menerima ganti kerugian, jika terdapat cacat pada barang yang disewakan. 4) Tidak mendapatkan gangguan dari pihak lain, selama memanfaatkan barang yang disewa. Masing-masing pihak dalam sebuah perjanjian harus saling memenuhi prestasi. Yang dalam konteks sewa-menyewa ini berupa memberikan sesuatu (menyerahkan barang sewa/membayar uang sewa), berbuat sesuatu (memelihara barang yang disewakan sehingga dapat dimanfaatkan, bagi penyewa adalah menjadi bapak
27
rumah yang baik), dan tidak berbuat sesuatu (penyewa dilarang menggunakan barang sewaan untuk kepentingan lain di luar yang diperjanjikan, sedangkan bagi yang menyewakan barang dilarang selama waktu sewa mengubah wujud atau tatanan barang yang disewakan. Adanya wan prestasi bisa menyebabkan adanya pembatalan perjanjian, dalam hal-hal tertentu bisa menimbulkan tuntutan ganti kerugian bagi para pihak yang dirugikan. 5. Macam-macam Sewa Menyewa (Ija
syara' untuk dipergunakan, maka Jumhur ulama sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa-menyewa. b) Sewa-menyewa yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Sewa-menyewa seperti ini hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, misalnya buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dll. Sewa-menyewa seperti ini ada yang bersifat pribadi, misalnya menggaji seorang pembantu rumah tangga, tukang kebun dan satpam, serta sewa-menyewa yang bersifat serikat yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, misalnya tukang sepatu, buruh pabrik dan tukang jahit. Kedua bentuk sewa-menyewa terhadap pekerjaan ini hukumnya diperbolehkan.
28
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad sewa-menyewa bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hukum seperti gila. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad sewa-menyewa bersifat mengikat kecuali ada cacat atau obyek sewa tidak dapat dimanfaatkan. 16 Menurut mazhab Hanafi apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia maka akad sewa-menyewa menjadi batal karena manfaat tidak dapat diwariskan kepada ahli waris. Menurut Jumhur ulama, akad itu tidak menjadi batal, manfaat menurut mereka dapat diwariskan kepada ahli waris karena manfaat juga termasuk harta.17 6. Resiko Dalam
perjanjian
sewa-menyewa,
resiko
mengenai
objek
perjanjian sewa-menyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan), sebab si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat atau kenikmatan dari barang yang disewakan. Sehingga dalam hal yang terjadi kerusakan barang maka resiko ditanggung oleh pemilik barang, kecuali kerusakan yang terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan dari penyewa. Selama waktu sewa, jika barang yang disewakan musnah seluruhnya karena suatu kejadian tidak disengaja, maka perjanjian sewa-menyewa tersebut gugur, sedangkan jika masih ada salah satu
16
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 183-185. 17 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Fiqh Muamalat, Cet. 1, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003, h. 235.
29
bagian yang tersisa, maka si penyewa dapat memilih berupa pengurangan harga sewa atau membatalkan perjanjian.18 7. Perihal Penyewaan Ulang Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa maksud diadakannya perjanjian sewa-menyewa yaitu adanya kepentingan dari penyewa untuk menikmati manfaat barang yang disewanya dan bagi pemilik barang berkepentingan atas harga sewa. Dalam realitasnya sering kali seseorang, karena suatu hal bermaksud menyewakan ulang barang yang disewanya, bahkan mungkin di tunjukan untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Pada dasarnya penyewa diperbolehkan untuk menyewa ulang barang yang disewanya, dengan ketentuan bahwa penggunaan barang yang disewa tersebut harus sesuai dengan penggunaan yang semula, sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada barang yang disewa. Tentu saja, agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, lebih baik terlebih dahulu meminta izin kepada pemilik barang sewa. 8. Sewa-Menyewa Rumah Sewa-menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh penyewa, atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kembali. Hal ini diperbolehkan dengan syarat pihak penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya selain itu pihak penyewa atau orang yang menempati mempunyai kewajiban untuk memelihara
18
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, kitab undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradaya Paramita, 2004, h. 382.
30
rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni, sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku di tengah-tengah masyarakat. 9. Pembatalan dan Berakhirnya Sewa-Menyewa (Ija
dasarnya
perjanjian
sewa-menyewa
merupakan
perjanjian, di mana masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian (tidak mempunyai hak faskh), karena jenis perjanjian ini termasuk perjanjian timbal balik yang dibuat secara sah tidak dapat dibatalkan secara sepihak, harus dengan kesepakatan. Jika salah satu pihak meninggal dunia, perjanjian sewamenyewa tidak akan menjadi batal asalkan benda yang menjadi objek sewa-menyewa tetap ada. Kedudukan salah satu pihak yang meninggal diganti oleh ahli warisnya. Demikian juga apabila terjadi jual beli, karena jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa. Beberapa alasan yang dapat digunakan untuk membatalkan perjanjian (faskh) adalah: a) Terjadi aib pada obyek sewaan Maksudnya bahwa jika pada barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa, yang mana kerusakan itu adalah diakibatkan kelalaian pihak penyewa sendiri, misalnya karena penggunaan
barang
tidak
sesuai
dengan
peruntukan
penggunaan barang tersebut. Dalam hal seperti ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan. b) Rusaknya obyek yang disewakan Apabila barang yang menjadi obyek perjanjian sewamenyewa mengalami kerusakan atau musnah sama sekali sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang
31
diperjanjikan, misalnya terbakarnya rumah yang menjadi obyek sewa. c) Berakhirnya masa perjanjian sewa menyewa Maksudnya jika apa yang menjadi tujuan sewa-menyewa telah tercapai atau masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh para pihak, maka akad sewa-menyewa berakhir. Namun jika terdapat uzur yang mencegah faskh, seperti jika masa sewa-menyewa tanah pertanian telah berakhir sebelum tanaman dipanen, maka ia tetap berada di tangan penyewa sampai masa selesai ditanam, sekalipun terjadi pemaksaan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kerugian pada pihak penyewa, yaitu dengan mencabut tanaman sebelum waktunya. d) Adanya uzur Menurut Mazhab Hanafi, apabila ada uzur seperti rumah disita, maka akad berakhir. Sedangkan jumhur ulama melihat, bahwa uzur yang membatalkan ija
32
dipergunakan, maka pihak penyewa dapat membatalkan perjanjian sewa menyewa yang telah diadakan sebelumnya. Pembatalan akad ija
ada
keinginan
dari
salah
satu
pihak
untuk
mengakhirinya. Atau juga karena obyek sewa yang rusak dan sudah tidak mampu mendatangkan manfaat bagi penyewa. Apabila akad ija
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin dari “Fiqh AsSunnah”, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet. 1, h. 215.
33
mulai zaman jahiliyyah hingga sampai zaman modern seperti saat ini. Kita tidak dapat membayangkan betapa sulitnya kehidupan sehari-hari, apabila sewa-menyewa ini tidak diperbolehkan oleh hukum dan tidak mengerti tata caranya. Karena itu, sewa-menyewa diperbolehkan dengan keterangan syarat yang jelas, dan dan dianjurkan kepada setiap orang dalam rangka mencukupi kebutuhan. Setiap orang mendapatkan hak untuk melakukan sewa-menyewa berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam syari‟ah Islam yaitu menjual belikan manfaat suatu barang. Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian jual beli, merupakan transaksi yang bersifat konsensual. Perjanjian ini mempunyai akibat hukum yaitu pada saat sewa menyewa
berlangsung,
dan
apabila
akad
sudah
berlangsung, maka pihak yang menyewakan (mu’jir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (ma’jur) kepada pihak penyewa (musta’jir), dan dengan diserahkannya manfaat
barang
atau
benda
maka
pihak
penyewa
berkewajiban pula untuk menyerahkan kembali uang sewanya (ujrah).20 Akibat hukum dari sewa-menyewa adalah jika sebuah akad sewa-menyewa sudah berlangsung, segala rukun dan syaratnya dipenuhi, maka konsekuensinya pihak yang menyewakan memindahkan barang kepada penyewa sesuai dengan harga yang disepakati. Setelah itu masing-masing mereka halal menggunakan barang yang pemiliknya dipindahkan tadi dijalan yang dibenarkan.
20
Sayyid Sabiq, Fiqih..., h. 199-200.