152
BAB V KESIMPULAN Ketidaksetujuan masyarakat terhadap kelompok keagamaan yang berbeda seringkali berujung pada upaya untuk mengeliminasi perbedaan tersebut, salah satu yang sering dilakukan adalah dengan kriminalisasi melalui instrumen hukum. Kelompok yang berbeda dituduh telah menistakan agama sehingga seringkali dijerat dengan KUHP pasal 156a mengenai Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam proses kriminalisasi Tajul Muluk, lembaga agama seperti MUI memainkan peran penting terutama untuk mengeluarkan fatwa. Sejalan dengan ―upaya untuk mengkriminalisasi‖ ajaran Tajul Muluk, MUI Sampang melalui fatwanya No. A-035/MUI/Spg/I/ 2012 menyatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan oleh Tajul Muluk merupakan ‗penistaan dan penodaan terhadap agama‘ sehingga harus ‗dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku‘. Dalam kasus Tajul Muluk, fatwa MUI digunakan pertama sebagai alat bukti bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan dan yang kedua digunakan sebagai alat bukti di pengadilan untuk memutuskan kebenaran seorang/kelompok telah melakukan penafsiran atau kegiatan keagamaan yang dianggap menyimpang. Ini berbeda dengan tesis Luthfi Asy-Syaukani (2009) yang mengatakan bahwa ada relasi antara fatwa dan kekerasan yang selama ini menimpa kelompok agama minoritas. Dalam kasus Syi‘ah di Sampang, fatwa hanya digunakan sebagai legitimasi untuk mengambil tindakan
153
terhadap warga Syi‘ah berupa kriminalisasi ajaran Tajul. Bukan semata-mata penyebab kekerasan karena kebencian dan keinginan untuk ‗menyingkirkan‘ warga Syi‘ah dari Sampang sudah ada beberapa tahun sebelum MUI mengeluarkan fatwa. Fatwa MUI di pengadilan di gunakan sebagai alat bukti surat, dimana penggunaannya sesuai dengan ketentuan KUHAP pasal 184 ayat (1) adalah sah. Fatwa dikategorikan dalam surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Dalam persidangan yang digelar PN Sampang, fatwa digunakan sebagai alat bukti yang bersifat konsideran. Dalam wawancara, salah satu hakim menyatakan bahwa kedudukan fatwa tidak bersifat mengikat sehingga hakim tidak memvonis Tajul bersalah karena berpaham Syi‘ah sebagaimana difatwakan oleh MUI, namun karena Tajul dianggap mengajarkan bahwa al-Qur‘an yang ada sudah tidak otentik berdasarkan dua keterangan saksi, Nur Asymawi dan Muna‘i. Hal yang berbeda terjadi di PT Surabaya dan Mahkamah Agung yang merujuk kepada fatwa MUI Sampang sebagai dasar tuduhan penyimpangan yang dilakukan Tajul. Benar bahwa fatwa tidak memiliki kekuatan untuk mengikat secara hukum, namun ia memiliki kekuatan untuk mengikat secara moral karena fatwa memiliki kekuatan untuk menciptakan opini publik yang mendukung klaim kebenaran isi fatwa. Opini tersebut selanjutnya seringkali menggiring penegak hukum untuk bekerja sesuai dengan opini yang berkembang luas dalam masyarakat.
154
Banyak pihak menilai bahwa kriminalisasi terhadap Tajul Muluk berjalan tidak normal. PN Sampang dianggap telah mengabaikan berbagai fakta persidangan yang meringankan hanya karena saksi-saksi tersebut dianggap sedang ber-taqiyah (tidak menampakkan jati diri yang sebenarnya). Salah satu hakim yang menangani kasus Tajul Muluk menjelaskan bahwa ada beberapa pertimbangan yang diperhatikan dalam memutus perkara diantaranya adalah pertimbangan ekonomi, sosiologi, dan keyakinan setempat. Dengan pertimbangan tersebut, maka sangat dimungkinkan bahwa keputusan hakim dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan mayoritas yang berkeyakinan Sunni.
Fakta di atas sangat bertolak belakang dengan argumen Alfred Stepan yang mengapresiasi Indonesia karena berhasil menjalankan prinsip toleransi kembar. Dalam ide-ide yang tersebar di berbagai artikel dan buku yang ditulisnya, Stepan mengapresiasi Indonesia, selain dua negara yang lainnya-India dan Senegal, yang meskipun
tidak
mengadopsi
sistem
pemerintah
sekuler,
namun
berhasil
mengembangkan prinsip-prinsip twin toleration. Twin toleration sendiri dimaknai sebagai upaya saling memberi toleransi minimal antara negara dan agama. Negara membutuhkan toleransi dari agama dan agama membutuhkan toleransi dari negara. Kedua lembaga tersebut tidak saling mempengaruhi dan mendominasi. Lembaga agama tidak memiliki hak prerogatif yang mengizinkannya memaksakan kebijakan kepada pemerintah sebagaimana negara tidak seyogyanya mengintervensi agama.
155
Twin toleration mensyaratkan pemerintahan yang independen dari intervensi institusi manapun. Melihat dengan seksama kasus Syi‘ah di Sampang, Indonesia belum bisa disebut berhasil menerapkan prinsip twin toleration sebagaimana disebut Stepan. Kegagalan tersebut karena baik lembaga negara dan lembaga agama tidak berjalan sesuai prinsip twin toleration. Lembaga agama (MUI) seringkali memaksakan kebijakan-kebijakannya kepada negara sementara negara seringkali menerima fatwa MUI sebagai otoritatif. Dengan diikutinya fatwa MUI yang merekomendasikan pemerintah untuk mencabut hak konstitusional warga Syi‘ah baik melalui keputusan pengadilan, kebijakan untuk merelokasi dan keluarnya PERGUB JATIM NO 55/2012, maka negara dapat disebut lemah dalam perlindungan hukum dan penegakan demokrasi.
Selama ini, MUI dianggap sebagai lembaga paling otoritatif dalam menentukan kebenaran tafsir ajaran agama Islam di Indonesia, namun pada dasarnya otoritas tersebut tidak benar-benar ada karena MUI meskipun didirikan oleh pemerintah Orde Baru, namun tidak ada dalam struktur pemerintahan. Agar keberadaannya tidak dipolitisasi sebagaimana dalam pemerintahan Orde Baru, penegasan peran dan posisi MUI dipandang perlu agar baik pemerintah dan lembaga agama seperti MUI dapat berdiri sejajar tanpa saling mengintervensi dan justru mentoleransi kebijakan masing-masing. Penegasan tersebut memastikan bahwa
156
agama tidak dipolitisasi untuk kepentingan pemerintah dan pemerintah yang dipilih dapat memerintah tanpa intervensi dari institusi manapun termasuk institusi agama. MUI tidak ditempatkan di bawah kewenangan negara sebagaimana dalam Orde Baru, tetapi berada di tengah masyarakat dan berfungsi sebagai lembaga agama yang terus mempromosikan gagasan demokrasi dan civil society. Peran agama sebagai etika sosial perlu terus dikembangkan agar fungsi agama sebagai kekuatan trasformasi sosial dapat berfungsi. Untuk itu, perbaikan dalam tubuh MUI perlu dilakukan agar sisi puritanisme MUI tidak menjadi penghalang bagi pertumbuhan MUI sebagai penggerak civil society. Salah satu perbaikan yang mungkin dilakukan adalah dengan menggeser orientasi berpikir theosentris menuju kepada corak berpikir sekularis humanis yang mendekati agama sebagai inspirasi kesalehan sosial.
Dengan kuatnya civil society, maka kontrol terhadap undang-undang baik dalam tahap pembuatan dan penerapan dapat terus dilakukan. undang-undang harus dirumuskan sesuai dengan semangat realisasi keseimbangan antara kebebasan individu dan keadilan sosial secara menyeluruh. Sehingga, pasal-pasal yang bersifat restriktif terhadap hak-hak minoritas direvisi dengan mempertimbangkan aspek hak asasi manusia. Pasal yang sangat restriktif adalah PNPS 1/1965 seyogyanya direvisi dengan menghapuskan kemungkinan menghakimi perbedaan sebagai penyimpangan (yang demikian tidak membutuhkan lembaga ortodoksi untuk menentukan apa yang disebut penyimpang), dan tidak mendiskriminasikan kelompok-kelompok agama,
157
khususnya minoritas. UU yang ada tidak seharusnya menyasar wilayah keyakinan namun lebih kepada praktik intoleransi yang timbul dari praktek-praktek tersebut.