BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1
Temuan Studi Temuan studi ini merupakan beberapa hal yang ditemukan saat melakukan
studi, terlepas dari dari sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Temuan studi tersebut antara lain adalah: • Jalan Raya Cimahi memiliki peran sebagai jalan arteri primer. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan saat melakukan studi, karakteristik Jalan Raya Cimahi sama sekali tidak mencerminkan perannya sebagai jalan arteri primer. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006, ditetapkan bahwa jalan arteri primer seharusnya memiliki minimal kecepatan kendaraan 60 km/jam, tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal, jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa, dan persimpangan sebidang pada jalan arteri primer harus disertai pengaturan tertentu. Pada kenyataannya, Jalan Raya Cimahi merupakan pusat orientasi Kota Cimahi dimana intensitas kegiatan dan pergerakan lalu lintas lokal di dalamnya sangat tinggi. Dari hasil survey diketahui bahwa kecepatan rata-rata pada Jalan Raya Cimahi selalu berada di bawah 50 km/jam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Jalan Raya Cimahi tidak bisa mempertahankan perannya sebagai jalan arteri primer. Oleh karena itu, standar tingkat pelayanan jalan (LOS) arteri primer tidak mungkin dipenuhi di Jalan Raya Cimahi. •
Selain berfungsi sebagai jalan arteri primer, Jalan Raya Cimahi pun memiliki fungsi sebagai jalan propinsi dan jalan skala kota. Dengan begitu, timbul dugaan bahwa tingkat pergerakan menerus (through traffic) di Jalan Raya Cimahi ini cukup tinggi. Tetapi berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa ternyata jumlah pergerakan menerus di Jalan Raya Cimahi tidak begitu tinggi. Pergerakan di Jalan Raya Cimahi masih didominasi oleh kegiatan dan
117
pergerakan lokal. Nilai rata- rata presentase pergerakan through traffic terhadap volume total di Jalan Raya Cimahi adalah 31%. • Luas lantai bangunan tidak selamanya dapat menjadi satu-satunya variabel penentu tingkat bangkitan tarikan yang ditimbulkan. Hal tersebut terlihat dari adanya perbedaan volume kendaraan segmen1 yang begitu signifikan antara kondisi eksisting dengan peramalan model trip rate. Rendahnya volume lalu lintas yang didapatkan dengan menggunakan trip rate tersebut dikarenakan luas bangunan segmen 1, sehingga trip attraction yang dihasilkan pun sangat rendah. Pada kenyataanya, volume kendaraan pada segmen 1 tidak serendah hasil perhitungan. Berdasarkan perhitungan traffic counting, diketahui bahwa volume lalu lintas maksimum segemen 1 adalah 2253,6 smp/jam. Sedangkan dari hasil permodelan trip rate, volume lalu lintas maksimum yang didapat adalah 919,59 smp/jam untuk Skenario I dan 832,88 smp/jam untuk Skenario II. • Faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan intensitas bangunan adalah aktivitas/fungsi yang dikembangkan dan kemampuan kapasitas jalan. Dari hasil studi dapat terlihat bahwa aktivitas/fungsi yang dikembangkan pada suatu segmen dapat mempengaruhi volume lalu lintas maksimum pada segmen jalan tersebut. Oleh karena itu, untuk membatasi pergerakan kendaraan pada suatu ruas jalan, tidak hanya intensitas bangunannya saja yang perlu diatur, tetapi juga aktivitas/fungsi yang dikembangkan. Pengaturan tersebut tentu harus tetap mempertimbangkan kemampuan kapasitas jalannya.
5.2
Kesimpulan Dari hasil analisis dapat diketahui beberapa hal mengenai penentuan intensitas
bangunan. Dalam menentukan ketentuan pemanfaatan ruang, pemerintah kota umumnya tidak mempertimbangkan kemampuan kapasitas jalan. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa ternyata ketentuan intensitas bangunan yang ditetapkan
118
dalam RTRW Kota Cimahi untuk koridor Jalan Raya Cimahi ternyata tidak dapat ditampung oleh kapasitas jalan yang tersedia. Dari hasil analisis dapat terlihat bahwa apabila ketentuan KLB maksimum dalam RTRW Kota Cimahi diterapkan pada kondisi eksisting Jalan Raya Cimahi saat ini, maka kapasitas jalan tidak akan dapat menampung volume kendaraan di jalan tersebut. Hal tersebut terlihat dari tingginya VCR pada beberapa segmen Jalan Raya Cimahi dalam simulasi penerapan ketentuan KLB maksimum tersebut, terutama segmen Fly Over Cimindi – Jl.Kebon Kopi dengan nilai VCR 1,00 dan segmen Jl.Kebon Kopi sampai pertigaan Cibeureum dengan VCR 1,02. Dengan nilai VCR tersebut, maka Jalan Raya Cimahi berapa pada tingkat pelayanan jalan terburuk yaitu LOS F. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa Jalan Raya Cimahi ini mengemban fungsi sebagai jalan arteri primer di Kota Cimahi. Oleh karena itu, penentuan intensitas bangunan ini dapat dijadikan suatu alternatif Transport Demand Management (TDM) dalam menangani masalah kemacetan yang terjadi. Dengan membatasi intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi, maka bangkitan tarikan kendaraan pun dapat ikut dibatasi. Berdasarkan proses penentuan intensitas bangunan koridor Jalan Raya Cimahi, didapatkan bahwa ketentuan intensitas bangunan yang dapat diterapkan di koridor Jalan Raya Cimahi cukup beragam tergantung dari skenario yang dikembangkannya. Akan tetapi, akan lebih baik jika ketentuan KLB maksimum yang digunakan adalah worst scenario yang dapat terjadi. Dengan begitu, maka kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi masih dapat diterima. Skenario terburuk yang digunakan dalam studi ini adalah jika seluruh kapling di koridor Jalan Raya Cimahi berubah fungsi menjadi aktivitas komersial.
Berdasarkan analisa skenario terburuk, maka didapatkan
ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan di Koridor Jalan Raya Cimahi untuk mendapatkan VCR di bawah 0,45 (LOS B) dan VCR di bawah 0,7 (LOS C). Akan tetapi, berdasarkan hasil studi dapat terlihat bahwa kondisi Jalan Raya Cimahi saat ini sangat sulit untuk mewujudkan nilai VCR maksimum 0,45 pada setiap segmen jalan. Dari hasil traffic counting dapat terlihat bahwa kondisi Jalan 119
Raya Cimahi pada saat ini pun sudah memiliki tingkat pelayanan yang buruk. Apabila dilihat dari VCR nya, Jalan Raya Cimahi rata-rata berada pada VCR C dan B. Tetapi apabila didasarkan pada kecepatan kendaraannya, seluruh segmen Jalan Raya Cimahi memiliki LOS F, karena kecepatan rata-rata di Jalan Raya Cimahi adalah 29,43 km/jam. Tingkat kecepatan tersebut tergolong sangat rendah untuk ukuran jalan arteri primer. Karena sulitnya mewujudkan VCR ≤ 0,45 pada Jalan Raya Cimahi tersebut, maka diberikan satu acceptable worst scenario untuk memberikan kemungkinan lain, yaitu Jalan Raya Cimahi berada pada LOS C (VCR ≤ 0,7). Berikut ini adalah ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan di Jalan Raya Cimahi didasarkan pada kondisi tersebut. KLB maksimum yang ditetapkan ini adalah KLB maksimum yang dibuat untuk aktivitas/fungsi komersial. Tabel V.1 Ketentuan KLB Maksimum berdasarkan Skenario Terburuk (Skenario I-B) SEGMEN
Ketentuan KLB Maksimum
SEGMEN 1 SEGMEN 2 SEGMEN 3 SEGMEN 4 SEGMEN 5 SEGMEN 6
12,5 6,5 1,7 2,3 1,7 1,9
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Selain KLB maksimum tersebut, terdapat alternatif lain yang dapat digunakan di koridor Jalan Raya Cimahi. Skenario ini adalah kemungkinan lain yang dapat diterapkan di Jalan Raya Cimahi dengan alternatif aktivitas/fungsi yang lebih beragam. Aktivitas/fungsi yang dikembangkan pada skenario ini bukan 100% komersial, melainkan aktivitas hunian, perkantoran, dan komersial. Dengan menetapkan proporsi aktivitas/fungsi yang tepat, maka KLB maksimum yang diperbolehkan dapat lebih tinggi untuk nilai VCR yang sama. Berikut ini adalah
120
ketentuan KLB maksimum yang dapat diterapkan pada proporsi aktivitas/fungsi eksisting. Tabel V.2 Alternatif Ketentuan KLB Maksimum yang dapat diterapkan di Koridor Jalan Raya Cimahi (Skenario II-B) SEGMEN
KLB Maksimum Hunian
KLB Maksimum Komersial
KLB Maksimum Perkantoran
SEGMEN 1 SEGMEN 2 SEGMEN 3 SEGMEN 4 SEGMEN 5 SEGMEN 6
3,1 2,3 0,5 0,8 0,6 0,7
8,1 5,9 1,4 2,1 1,6 1,8
4,7 3,5 0,8 1,2 0,9 1,0
Sumber: Hasil Analisis, 2007
Seluruh nilai KLB maksimum yang ditentukan dalam studi ini didasarkan pada kondisi eksisting Jalan Raya Cimahi, baik kondisi pemanfaatan ruang maupun kondisi lalu lintasnya. Perhitungan kapasitas jalan pun didasarkan pada sistem transportasi Jalan Raya Cimahi saat ini. Oleh karena itu, nilai KLB maksimum yang ditentukan dapat diterapkan dengan asumsi bahwa tidak adanya perubahan sistem transportasi yang dapat mempengaruhi nilai kapasitas jalannya, baik kondisi geometrik (tipe jalan, jumlah lajur, lebar jalan, dan pembagian arah), kondisi gangguan samping, sistem angkutan dan pemakaian jalannya. 5.3
Rekomendasi Rekomendasi yang dapat diberikan dalam studi ini antara lain:
1. Dalam menentukan intensitas bangunan Jalan Raya Cimahi, pemerintah kota sebaiknya
mempertimbangkan
kemampuan
daya
dukung
lingkungannya.
Berdasarkan Perda Kota Cimahi No.32 Tahun 2003 dapat terlihat bahwa rencana pengelolaan koridor Jalan Raya Cimahi lebih terarah pada pemanfaatan lahan yang potensial bagi pengembangan kegiatan dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Bangunan
di
sepanjang
koridor
Jalan
121
Raya
Cimahi
diarahkan
untuk
pengembangan bangunan bertingkat dan konversi dari lahan non-komersial menjadi pemanfaatan lahan komersial. Hal tersebut dimaksudkan agar koridor Jalan Raya Cimahi dapat mengemban fungsinya sebagai kawasan pusat kota dan koridor perdagangan dan jasa dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Ada baiknya apabila dalam penetapan fungsi tersebut juga disertai dengan pertimbangan akan dampak yang dihasilkan dari pembangunan tersebut. Secara ekonomi, bangunan-bangunan tersebut dapat memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi namun jika tidak disertai dengan daya dukung lingkungan yang memadai, maka fungsi dari pembangunan tersebut pun tidak akan tercapai. Dalam hal ini, penentuan intensitas bangunan ini dapat menjadi satu rekomendasi untuk menangani permasalahan kemacetan yang terjadi di Kota Cimahi dari sisi permintaan (demand). Walaupun cara ini belum tentu menjadi solusi yang terbaik namun dapat menjadi masukan/alternatif dalam mengurangi masalah kemacetan tersebut. 2. Penentuan intensitas bangunan dalam studi ini merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan untuk menangani masalah kemacetan Jalan Raya Cimahi. Akan tetapi, ketentuan tersebut didasarkan pada kondisi hambatan samping saat ini. Pada kondisi saat ini, dimana Jalan Raya Cimahi belum mencapai 100% komersial, tingkat on street parking di sepanjang Jalan Raya Cimahi sudah cukup tinggi. Bisa dibayangkan bila skenario tersebut benar-benar terjadi. Intensitas kegiatan dan pergerakan di jalan tersebut tentu akan semakin padat. Ditambah lagi, berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa jarang sekali aktivitas/fungsi komersial di koridor Jalan Raya Cimahi yang menyediakan lahan parkir, bahkan hampir tidak ada. Umumnya, bangunan komersial tersebut adalah bangunan berderet yang memiliki GSB=0. Para pengunjung umumnya menggunakan badan jalan sebagai lahan parkir. Apabila setiap bangkitan tarikan kendaraan yang menuju bangunan komersial tersebut mengambil badan jalan sebagai lahan parkir, kemacetan tentu tidak bisa dielakan lagi. Oleh karena itu, dalam penerapan ketentuan KLB maksimum tersebut, kondisi hambatan samping pun perlu dipertimbangkan. Salah 122
satunya adalah dengan penyediaan parkir yang disesuaikan dengan perkiraan bangkitan tarikan yang dapat ditimbulkan. 5.4
Catatan Studi Dalam studi ini, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kurang akuratnya data luas kapling eksisting Jalan Raya Cimahi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya keterbatasan data yang dimiliki oleh instansi terkait, yaitu Dinas Tata Kota. Oleh karena itu, data luas kapling yang digunakan dalam studi ini merupakan hasil perhitungan terhadap overlay peta foto udara Tahun 2002 dan peta pemanfaatan guna lahan Kota Cimahi Tahun 2005. Dalam peta pemanfaatan guna lahan tersebut pun tidak tercantum seluruh kapling yang berada di Jalan Raya Cimahi melainkan hanya kapling-kapling besar, seeprti rumah sakit, industri, dan kantor pemerintahan. Sedangkan bangunan-bangunan komersial dan bangunanbangunan kecil lainnya tidak memiliki batas kapling yang jelas, sehingga dilakukan penyesuaian terhadap overlay peta tersebut dengan foto udara dan pengamatan langsung. 2. Proporsi kendaraan through traffc yang dihitung di sini merupakan proporsi kendaraan through traffic seluruh koridor Jalan Raya Cimahi. Pergerakan kendaraan yang masuk dan keluar melalui jalan kolektor dan jalan lingkungan (persimpangan) tidak diperhitungkan di sini. Asumsi yang digunakan adalah bahwa jalan-jalan kolektor dan lingkungan tersebut tidak memberikan pengaruh yang begitu signifikan, sehingga diabaikan dalam perhitungan. 3. Trip rate yang digunakan dalam studi ini diambil dari beberapa sumber yang digunakan pada kota-kota besar di Indonesia (DKI Jakarta, Kota Semarang dan Cirebon) dan Amerika Serikat (San Diego). Asumsi yang digunakan adalah bahwa standar tersebut dapat juga digunakan di Kota Cimahi walaupun sebenarnya standar tersebut mungkin kurang sesuai dengan karakteristik Kota Cimahi. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa data perkiraan bangkitan tarikan kendaraan Jalan Raya Cimahi yang didapat dari studi ini masih kurang akurat. 123
4. Terdapat kerancuan pada klasifikasi guna lahan yang didapat dari petunjuk teknis RTRW Kota Cimahi. Dalam petunjuk teknis tersebut, pengklasifikasian kategori tidak didasarkan pada wadah dan kegiatannya. Seharusnya klasifikasi kategori komersial, jasa komersial, pelayanan jasa kendaraan bermotor, dan perkantoran dibedakan menjadi perdagangan dan jasa. Namun pada klasifikasi petunjuk teknis RTRW tersebut tidak jelas perbedaan antara fungsi perdagangan dan jasa. Hal tersebut menyulitkan pada saat menentukan aktivitas/fungsi yang dikembangkan pada setiap segmen.
5.5
Saran Studi Lanjutan Sehubungan dengan kelemahan studi tersebut maka terdapat beberapa studi
yang dianggap dapat menjadi lanjutan dari studi ini, yaitu: 1. Studi yang mempelajari pola pergerakan (internal maupun eksternal) Kota Cimahi secara keseluruhan dan pengaruh yang diberikan terhadap tingkat pelayanan jalan-jalan utama Kota Cimahi. 2. Studi yang mempelajari lebih rinci mengenai bangkitan tarikan Kota Cimahi. Studi tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan permodelan bangkitan tarikan kendaraan (trip rate) yang lebih akurat, sehingga dapat menjadi masukan yang lebih baik dalam perencanaan transportasi dan guna lahan di Kota Cimahi. 3. Studi mengenai penataan bentuk dan ukuran kapling Jalan Raya Cimahi. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa bentuk dan luas kapling eksisting Jalan Raya Cimahi belum menunjukkan keseragaman antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pembatasan yang dilakukan tidak hanya dari aktivitas/fungsi dan jumlah luas lantainya saja, tetapi juga disertai dengan penyesuaian terhadap bentuk kapling untuk menciptakan suatu sistem blok yang lebih seragam. Dengan begitu, tentu akan lebih mudah dalam menentukan intensitas bangunannya.
124