BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Studi ini menyajikan analisis mengenai kualitas udara di Kota Tangerang pada beberapa periode analisis dengan pengembangan skenario sistem jaringan jalan dan variasi penerapan luas RTH.
Walaupun masih memiliki beberapa
kelemahan studi berhasil memunculkan beberapa temuan. Usaha untuk mencari keterkaitan antara beberapa variabel yang digunakan, menghasilkan kesimpulan baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan rekomendasi.
V.1
Temuan
Beberapa temuan yang berhasil muncul pada studi ini adalah: (1)
Semakin panjang periode analisis, terlihat bahwa kebutuhan perjalanan di Kota Tangerang selalu meningkat. Walaupun diterapkan skenario pengembangan sistem jaringan jalan dengan kinerja terbaik , namun belum mampu menekan apalagi menurunkan kebutuhan perjalanan. Skenario dengan kinerja terbaik hanya mampu memperbaiki kondisi pada skenario do-nothing, tetapi kebutuhan perjalanan tetap meningkat.
(2)
Jumlah unit kendaraan dengan jenis tertentu (mobil pribadi, motor, angkutan umum, angkutan sedang dan angkutan berat) pada suatu zona, dipengaruhi oleh komposisi kendaraan di zona tersebut. Walaupun memiliki komposisi kendaraan yang berbeda-beda, namun seluruh zona di Kota Tangerang menunjukkan bahwa motor merupakan jenis kendaraan dengan unit terbanyak, rata-rata dengan presentase di atas 50%.
(3)
Suatu zona yang memiliki volume kendaraan tertinggi belum tentu menghasilkan beban emisi tertinggi pula untuk setiap jenis pencemar. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi kendaraan pada masingmasing zona yang memiliki besaran faktor emisi yang berbeda pula. Dengan demikian beban emisi di setiap zona untuk satu jenis pencemar tertentu, selain dipengaruhi oleh volume kendaraan,
juga sangat
dipengaruhi oleh komposisi jenis kendaraan bermotor di zona tersebut.
114
(4)
Zat pencemar karbon monoksida (CO) merupakan pencemar utama dari emisi kendaraan bermotor yang mempengaruhi kualitas udara di Kota Tangerang karena memiliki konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan konsentrasi pencemar lainnya. Jenis pencemar lain seperti SO2, PM10, dan NOx memiliki konsentrasi yang rendah sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai ISPU.
(5)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada periode analisis yang sama, terjadi perbaikan ISPU jika diterapkan skenario do-something. Semakin panjang periode analisis, semakin tinggi jumlah zona yang masuk kategori tidak sehat.
(6)
Peningkatan
presentase
luas
RTH
ternyata
tidak
selalu
mampu
meningkatkan kualitas udara di Kota Tangerang dengan menghasilkan nilai ISPU yang lebih baik. Perluasan RTH Kota Tangerang cenderung tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan nilai ISPU. Hal ini disebabkan tingginya produksi volume kendaraan sehingga peningkatan kualitas
udara
tidak
bisa
dicapai
hanya
dengan
perluasan
dan
pengembangan RTH saja. (7)
Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk menurunkan tingkat pencemaran udara pada zona tertentu, diperlukan ruang terbuka hijau dengan presentase luasan yang cukup tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kewajiban untuk memiliki RTH sebesar 30% dari luas wilayah, tidak mampu
menjadi solusi tunggal dalam memperbaiki kualitas udara di
kawasan perkotaan. (8)
Studi ini menunjukkan adanya indikasi bahwa di Kota Tangerang, guna lahan permukiman dan komersial merupakan zona yang paling cepat mengalami penurunan kualitas udara, yang kemudian diikuti oleh zona dengan guna lahan permukiman-industri. Hal ini kemungkinan besar disebabkan tingginya aktivitas yang terjadi pada kedua jenis kategori guna lahan tersebut sehingga menyebabkan tingginya mobilitas penduduk di daerah tersebut. Mobilitas yang tinggi
menyebabkan tingkat penggunaan
kendaraan yang tinggi pula sehingga beban emisi yang harus diterima akan semakin berat.
115
(9)
Zona dengan guna lahan permukiman memiliki kemungkinan yang lebih kecil terhadap penurunan kualitas udara di Kota Tangerang. Hal ini disebabkan aktivitas yang terjadi di daerah permukiman tidak terlalu tinggi sehingga mobilitas yang mengakibatkan penggunaan kendaraan juga rendah.
(10) Aktivitas yang terjadi pada guna lahan campuran sebenarnya cukup tinggi sehingga seharusnya penurunan kualitas udara terjadi dengan cepat pula. Namun dari hasil analisis ternyata di Kota Tangerang, zona dengan guna lahan campuran justru mengalami paling sedikit penurunan kualitas udara. Ada indikasi bahwa dengan guna lahan campuran, walaupun aktivitas yang terjadi
cukup
tinggi,
namun
tidak
seluruh
mobilitas
penduduk
menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian kendaraan bermotor. Seluruh jenis aktivitas bisa dilakukan pada zona yang sama sehingga dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh maka kebutuhan perjalanan tidak perlu lagi diakomodir dengan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya adalah guna lahan campuran menyebabkan panjang perjalanan menjadi lebih pendek, sehingga emisi yang dihasilkan juga semakin rendah. (11) Perluasan RTH di Kota Tangerang memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam meningkatkan kualitas udara bila dibandingkan dengan penerapan skenario do-something pada sistem jaringan jalan. Dengan mengambil luas RTH sebagai variabel, ternyata peluang perbaikan ISPU kurang dari 5%. Sebaliknya, penerapan skenario do-something pada sistem jaringan jalan mampu menghasilkan peluang perbaikan ISPU sebesar 26,3%. V.2 Kesimpulan Setelah melakukan berbagai analisis di atas, maka kesimpulan utama yang bisa diambil adalah bahwa Kota Tangerang akan mengalami masalah pencemaran udara yang cukup berat di masa yang akan datang. Masalah ini terutama diakibatkan oleh tingginya produksi bangkitan dan tarikan perjalanan. Hal ini ditandai dengan munculnya zona yang memiliki nilai ISPU kategori tidak sehat dan sangat tidak sehat.
116
Perluasan dan pengembangan RTH dalam upaya untuk menyediakan kualitas udara yang sehat di Kota Tangerang sulit untuk diterapkan. Kota Tangerang dengan penduduknya yang padat, akan lebih memprioritaskan penyediaan ruang bagi aktivitas lain seperti permukiman dan komersial. Ketersediaan lahan kosong yang dapat dikembangkan menjadi RTH
sangat minim. Dari 38 zona yang
dianalisis, hanya ada 5 zona yang memiliki presentase lahan kosong lebih dari 30% dan mayoritas zona memiliki lahan kosong kurang dari 10% luas area. Dengan kondisi ini akan sulit untuk menjadikan RTH sebagai solusi tunggal dalam mencapai kualitas udara yang sehat.
Ketetapan untuk menyediakan RTH sebesar 30% dari luas area yang tercantum pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ternyata belum seluruhnya mampu mengatasi masalah pencemaran udara dari kendaraan bermotor di Kota Tangerang. Bila didasarkan pada perhitungan, maka dengan tingkat produksi bangkitan dan tarikan pada tahun 2006 saja, sudah ada 2 (dua) zona yang membutuhkan luas RTH >50%, walaupun target ISPU yang dituju hanya pada kategori sedang.
V.3
Kelemahan
Ada beberapa kelemahan dalam studi ini, yaitu: (1)
Beban emisi dihitung berdasarkan volume kendaraan pada jam tertentu saja, padahal untuk mengetahui beban emisi nyata maka diperlukan pengamatan
volume
kendaraan
(traffic
counting)
dengan
waktu
pengamatan yang sama dengan yang ditetapkan pada Kepmen LH Nomor: Kep 45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara, yaitu 24 jam untuk PM10, 24 jam untuk SO2 dan 8 jam untuk CO. (2)
Beban emisi dihitung tanpa mempertimbangkan perubahan kecepatan kendaraan. Sebenarnya semakin rendah laju kendaraan, maka beban emisi yang dihasilkan akan semakin tinggi. Dengan demikian kemacetan pada suatu jalan akan memperbesar beban emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Namun pada studi ini kecepatan kendaraan tidak diperhitungkan karena memerlukan pengamatan yang lebih panjang dan rinci.
117
(3)
Perhitungan beban pencemaran dari kendaraan bermotor ini sangat tergantung pada tingkat kepercayaan pemodelan proyeksi bangkitan dan tarikan perjalanan yang disajikan pada Tatralok Kota Tangerang 2006. Perubahan asumsi-asumsi yang digunakan dalam pemodelan akan sangat menentukan hasil perhitungan beban pencemaran dari kendaraan bermotor.
(4)
Skenario hanya berdasarkan pengembangan jaringan jalan saja, tidak mempertimbangkan
adanya
perubahan
guna
lahan,
peningkatan
transportasi umum dan perbaikan dalam pengelolaan kebutuhan perjalanan (travel demand management). (5)
Jenis RTH yang akan diterapkan diasumsikan seluruhnya hutan kota. Hal ini pada kenyataannya tidak mungkin dilakukan, apalagi Kota Tangerang memiliki lahan yang sangat terbatas.
(6)
Perhitungan
nilai
ISPU
yang
dilakukan
pada
studi
ini
hanya
mempertimbangkan emisi dari kendaraan bermotor. Pada kenyataannya sumber emisi pencemaran udara masih banyak jenisnya, baik dari sumber industri maupun domestik. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan banyaknya industri di Kota Tangerang, maka dapat diperkirakan bahwa beban emisi nyata yang diterima oleh setiap zona jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil analisis pada studi ini.
V.4
Rekomendasi
Masalah pencemaran udara akan lebih mudah diatasi dengan usaha mereduksi sumber pencemar dibandingkan dengan berusaha menurunkan kuantitas dan kualitas pencemar yang sudah terlepas ke lingkungan. Hal ini juga terjadi pada sektor penyehatan lingkungan lainnya seperti pencemaran oleh limbah cair atau limbah padat (sampah). Dengan demikian, peningkatan kualitas udara di Kota Tangerang tidak dapat dicapai tanpa melakukan usaha untuk mereduksi sumber pencemar, yaitu dengan
menurunkan volume kendaraan atau kebutuhan
perjalanan. RTH bisa membantu meningkatkan kualitas udara, tetapi tidak bisa menjadi satu-satunya instrumen dalam pencapaian kualitas udara yang sehat karena memiliki kemampuan menyerap pencemar yang terbatas.
118
Berkaitan dengan temuan pada studi ini maka ada rekomendasi yang dapat diberikan, yaitu: (1)
Melakukan pengelolaan pencemaran udara dari sumber emisinya dengan menekan pertumbuhan kebutuhan perjalanan.
(2)
Walaupun dari hasil analisis terdapat zona dengan tingkat kebutuhan RTH yang rendah (lebih kecil dari 30% luas area), tetapi perlu diingat bahwa analisis dilakukan dengan asumsi bahwa seluruh RTH yang diterapkan adalah hutan kota. Pada kondisi nyata maka akan dibutuhkan RTH yang lebih luas dari hasil analisis, mengingat kecilnya kemungkinan dilakukan pengembangan seluruh RTH dengan jenis hutan kota. Dengan demikian, untuk zona-zona tersebut direkomendasikan untuk tetap melakukan pengembangan RTH dengan luas minimal 30% dari luas wilayah sesuai dengan apa yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(3)
Zona dengan kebutuhan RTH >50% dalam mencapai target nilai ISPU 100 (sedang), bermakna bahwa zona tersebut memerlukan lebih dari sekedar perluasan RTH untuk mengatasi masalah pencemaran udara. Zona-zona dengan karakteristik tersebut memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dalam upaya peningkatan kualitas udara, misalnya dengan memberlakukan sistem park and ride atau dengan penyediaan angkutan massal untuk pergerakan internal di zona tersebut sehingga mobilitas kendaraan bermotor dapat ditekan.
(4)
Untuk menekan pertumbuhan kebutuhan perjalanan, perlu dilakukan integrasi penataan guna lahan, pengembangan skenario jaringan jalan, peningkatan angkutan massal dan pengelolaan kebutuhan perjalanan.
(5)
Keterbatasan lahan menyebabkan pentingnya peningkatan RTH privat, misalnya dengan mengeluarkan kebijakan seperti peraturan daerah yang mewajibkan masyarakat turut meningkatkan luas RTH
(6)
Mengingat karbon monoksida merupakan pencemar utama yang mempengaruhi nilai ISPU, maka pengembangan RTH di Kota Tangerang harus mengutamakan tanaman yang memiliki daya serap yang tinggi terhadap karbon monoksida.
119
120