102
BAB V KESIMPULAN
Periode Revolusi merupakan masa-masa yang sulit bagi Banten untuk beradaptasi dengan situasi yang baru sebagai sebuah wilayah yang merdeka. Citacita untuk menjadikan Banten yang diperintah oleh orang sendiri bersaing dengan kepentingan-kepentingan pihak dari luar Banten. Dalam hal ini pemuda yang tergabung dalam golongan revolusioner, menjadi representatif dari ketidakpuasan masyarakat terhadap arah dari situasi politik di Banten. Aksi-aksi yang dilakukan oleh para gerombolan tersebut, baik sebelum maupun setelah masa revolusi adalah contoh dari penolakan mereka terhadap unsur asing yang menghalangi Banten untuk mencapai cita-citanya. Pemuda revolusioner di Banten tidak terbentuk secara tiba-tiba karena revolusi. Latar belakang dari kehidupan para pemuda pada masa sebelumnya juga ikut mempengaruhi karakter dari para golongan pemuda tersebut. Istilah pemuda juga diartikan tidak hanya sebagai jenjang umur tertentu dari sebuah periodik kehidupan manusia, namun lebih kepada arti yang luas, yaitu sebagai orang yang belum memiliki status ekonomi dan sosial yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, mereka masih bergantung kepada kelompok yang lebih matang dan belajar dari sana. Seorang pemuda agamis maka akan bergabung dengan kelompok agamis lainnya, begitu juga dengan para Jawara dan pemuda-pemuda lainnya. Setidaknya pada peristiwa 1926 di Banten,
103
para pemuda dapat belajar caranya menyatukan suara rakyat Banten ke dalam sebuah gerakan, terlebih ketika pemimpin-pemimpin pada masa tersebut juga kembali muncul pada masa setelahnya. Pada masa pemerintahan Jepang, para pemuda Banten mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pergerakan yang terorganisir. Seperti halnya di daerah-daerah lainnya, di Banten dibentuk organisasi kemiliteran Jepang yang bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan untuk membantu Jepang dalam perangnya. Organisasi seperti PETA, Heiho, Seinendan adalah organisasi yang digunakan oleh para pemuda untuk belajar mengenai kemiliteran serta memupuk semangat kedaerahan untuk memperjuangkan wilayah Banten. Hasilnya setelah proklamasi dibacakan, para pemuda beserta golongan revolusionaris lainnya berhasil membuat takut syucokan dan fuku syucokan setempat dan akhirnya melarikan diri dari Banten. Beberapa pergerakan pemuda kemudian muncul setelahnya. Aksi-aksi dari mulai hal-hal yang bersifat nasional hingga merujuk kepada sebuah aksi revolusi sosial terjadi di Banten dengan sangat cepat dan dalam waktu yang singkat. Aksi penurunan bendera di beberapa kantor pemerintahan Jepang, hingga aksi main hakim sendiri kepada para pejabat lama yang dianggap mendukung pemerintahan asing, semua dilakukan oleh para pemuda. Bahkan dalam sebuah tatanan kepemrintahan, dari kalangan pemudalah yang kemudian memberikan ide untuk diangkatnya Ahmad Chatib sebagai residen di Banten. Sosok Ahmad Chatib memang sudah tidak asing dalam pergerakan di Banten. Keterlibatannya dalam peristiwa 1926, ex-daidancho PETA dan sebagai menantu dari seorang Kyai
104
ternama di Banten, menjadikan Ahmad Chatib sebagai tokoh berpengaruh bagi masyarakat Banten. Akan tetapi, kurangnya pengalaman dalam hal administrasi pemerintahan membuat sosok tersebut menjadi buruk di mata para pemuda. Hal ini terbukti dengan aksi pengancaman terhadap susunan pegawai pemerintahan di Banten. Dalam kasus ini Ahmad Chatib didesak untuk menunjuk orang-orang yang telah disepakati oleh para pemuda pada tahun 1926. Setelah pengangkatan Ahmad Chatib sebagai residen Banten dan munculnya Dewan Rakyat, eksistensi para pemuda menjadi sebagai kelompok independen menjadi tidak jelas. Hanya nama API yang banyak muncul dalam tulisan-tulisan sejarah sebagai perwakilan dari organisasi pemuda di Banten pada masa revolusi. Organisasi tersebut juga tidak terlalu memberikan peranan signifikan, terlebih setelah anggota API dilebur dengan mantan anggota PETA dan menjadi BKR pada tahun 1946, dan itu juga kembali dilebur dengan pasukan Siliwangi menjadi Brigade 1000 hingga Brigade Tirtayasa pada masa setelahnya. Hampir tidak ada pergerakan pemuda yang terpisah, atau paling tidak mengatasnamakan sebagai suatu gerakan pemuda. Memang ada sebuah upaya untuk memisahkan antara
para tentara pelajar dari Brigade Tirtayasa, yang
kemudian diberi nama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Akan tetapi mereka hanyalah bagian dari TKR Banten yang memiliki visi dan misi yang serupa. Laskar-laskar rakyat yang ada kebanyakan adalah sisa-sisa dari Dewan Rakyat.Dari sini sebenarnya dapat dilihat bahwa pemuda masih bergantung kepada kelompok-kelompok yang lebih matang.
105
Setelah revolusi, pemuda Banten dihadapkan akan sebuah pertanyaan mengenai jati dirinya, karena kali ini mereka tidak bisa lagi hanya ikut ke dalam sebuah pergerakan yang makin lama makin sedikit jumlahnya. Penurunan Ahmad Chatib menandakan bahwa intervensi pemerintah pusat dalam pemerintahan Banten
semakin
kuat.
Pergerakan-pergerakan
yang
mengatasnamakan
kepentingan rakyat kini berubah menjadi pemberontakan terhadap pemerintah. Maka dari itu beberapa pemuda cukup kebingungan untuk menempatkan diri di dalam masyarakatnya. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulanginya seperti peningkatan sarana pendidikan dan transmigrasi kurang membuahkan hasil, karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah muncul kembali. Mereka yang senantiasa bergabung dalam kebijakan pemerintah tidak semuanya diuntungkan, begitu pula yang menolaknya. Golongan yang tidak diuntungkan ini kemudian harus memilih antara untuk tetap berusaha melakukan perubahan status, atau kembali dalam kehidupan lama tanpa perubahan dan melanjutkan hidupnya. Mereka yang berusaha memanfaatkan momen-momen yang terjadi setelahnya, salah satunya adalah Pemilu 1955. Pada akhirnya posisi pemuda di Banten masih bergantung pada nilai-nilai yang ada pada masyarakat Banten. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah nilainilai agama, ekonomi dan juga “keJawaraan”. Secara tidak langsung nilai-nilai ini sangat menentukan status sosial dan juga tingkat keberhasilan seseorang untuk melakukan mobilisasi sosial. Orang-orang yang kemudian memimpin Banten adalah sosok mampu mencirikan ketiga nilai tersebut. Sosok yang terkenal di Banten pada masa kini seperti Chasan Sochib misalnya, adalah gambaran pemuda
106
yang berhasil mencirikan dirinya ke dalam tiga nilai yang disebut sebelumnya, meskipun Ia bukanlah orang yang terlibat langsung ketika revolusi. Hal ini sebenarnya menunjukan, bahwa revolusi sama sekali tidak menjadi pemicu adanya perubahan dalam status seorang pemuda yang terlibat dalam pergerakan revolusi. Justru yang menjadi patokan adalah simbol-simbol yang muncul pada masa revolusi, yang dibawa oleh kaum Jawara, Kyai dan para golongan kaya. Mereka adalah kelompok-kelompok yang aktif dalam pergerakan masa revolusi di Banten, sehingga meskipun eksistensi mereka melemah setelah masa revolusi, namun pengaruhnya masih ada dan dihormati masyarakat. Dewasa ini nilai-nilai agama, ekonomi, dan keJawaraan masih sangat relevan dalam perpolitikan di Banten. Maka dari itu penelitian-penelitian lebih lanjut akan sangat dibutuhkan untuk membantu menjelaskan sejarah Banten pasca revolusi serta kaitannya dengan relevansi ketiga nilai tersebut. Kajian mengenai pemuda Banten pasca revolusi masih perlu terus dilakukan, terutama yang menyangkut spasial dan temporal yang lebih spesifik. Selain itu unsur-unsur dari istilah pemuda itu sendiri seperti perempuan dan anak-anak masih memberikan kesempatan bagi sejarawan lainnya untuk melengkapi sejarah Banten secara keseluruhan.