BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Untuk menjawab tujuan dan membuktikan hipotesis, pada penelitian ini menggunakan 72 ekor hewan, dikelompokkan ke dalam 3 kelompok waktu perlakuan yaitu masing-masing 24 ekor yang dipelihara selama 3 minggu, 12 minggu, dan 20 minggu. Ada 6 perlakuan yang diujicobakan yaitu pemberian makanan hiperkolesterol (P I), makanan daging babi yang diberi bumbu dengan dosis maksimum (P II), yang mendapat daging babi dan bumbu dosis optimum (P III), mendapat makanan daging babi dan bumbu dosis minimum (P IV), yang hanya mendapat makanan daging babi saja (P V) dan mendapat makanan aslinya (P VI). Pada setiap perlakuan dilibatkan 4 ekor hewan sebagai ulangan. Semua data yang yang terdiri dari data kadar F2-isoprostan dan ekspresinya, kadar IL-6 dan ekspresinya, aktivitas antioksidan total dan kadar Gluthatione (GSH) dan jumlah Sel busa (Foam Cell) yang terbentuk disetiap perlakuan dan waktu dicari rata-ratanya (mean) dan simpang bakunya (SD). Datadata tersebut kemudian dibanding-bandingkan berdasarkan jenis perlakuan dan waktunya. Data yang terdistribusi normal berdasarkan uji Saphiro-Wilk, dilakukan uji beda antar variable dengan menggunakan Uji One Way Anova dengan tingkat kemaknaan α < 0,05, dan data yang tidak terdistribusi normal dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney juga pada tingkat kemaknaan yang sama. Data yang homogen dilanjutkan dengan uji LSD dengan tingkat kemaknaan
88
89
α < 0,05 dan data yang tidak homogen diuji dengan uji Tamhane juga pada tingkat kemaknaan yang sama. Gambaran karakteristik data dasar hewan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif dapat dijelaskan dalam Tabel 5.1 Tabel 5.1 Karakteristik Data Baseline Hewan Coba No 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter Berat Badan (g) F2-Isoprostan (pg/mL) IL-6 (pg/mL) Antioksidan Total (µl/dL) Kadar GSH (µmol/L) Jumlah Sel Busa Eksprei F2-isoprostan Ekspresi IL-6
Data Baseline 121,40 404,90 128,90 770,50 1052,0 0,0 0,0 0,0
SD 9,30 9,70 15,40 81,50 64,50
P 0,134 0,836 0,986 0,793 0,672
Untuk melihat normalitas distribusi dan homogenitasnya, data diuji dengan uji Saphiro-Wilk. Dari hasil uji ini didapatkan bahwa semua data terdistribusi normal pada tingkat kemaknaan P > 0,05.
5.2 F2-Isoprostan Tabel 5.2 mendiskripsikan kadar F2-isoprostan dalam serum dan ekspresinya pada sel endotel pembuluh darah hewan coba. Kondisi awal Kadar F2-isoprostan adalah 404,9 pg/ml, dengan standard deviasi 9,7 pg/ml (Tabel 5.1). Setelah 3 minggu perlakuan, terjadi peningkatan kadar F2-isoprostan menjadi antara 413,3 pg/ml dengan standard deviasi 8,23 pg/ml pada hewan yang mendapatkan makanan aslinya sampai dengan kadar 442,0 pg/ml ± 3,1 pada hewan yang mendapatkan makanan daging babi saja.
90
Tabel 5.2 Kadar F2-Isoprostan Serum dan Ekspresi F2-Isoprostan pada Tiga Kali Pengukuran pada Tikus Wistar Perlakuan PI PII PIII PIV PV PVI
Kadar F2-isoprostan Ekspresi F2-Isoprostan Minggu-3 Minggu-12 Minggu-20 Minggu-3 Minggu-12 Minggu-20 437,0 410,6 415,1 74 (9) 75 (12) 110 (4) (9,35) (1,32) (13,40) 423,5 397,2 400,8 55 (6) 55 (12) 72 (5) (12,66) (2,58) (3,03) 424,8 401,1 406,0 48 (6) 46(7) 55 (6) (2,58) (2,53) (5,52) 429,7 405,0 410,7 45 (5) 52(7) 50 (7) (5,69) (13,33) (12,07) 442,0 415,9 415,8 58 (8) 51(6) 62 (13) (3,1) (7,20) (4,85) 413,3 404,09 417,8 31 (5) 48(20) 30 (6) (8,27) (5,39) (9,35)
Nilai ( ) adalah nilai standar deviasi. Pada minggu ke XII, kadarnya menurun di semua perlakuan dan yang terendah adalah pada hewan yang mendapatkan daging dengan bumbu dosis maksimum (397,2 pg/ml ± 2,58) dan yang tertinggi adalah 415,9 pg/ml ± 7,2 pada hewan yang hanya mendapatkan daging babi saja. Pada minggu ke XX, memang terjadi peningkatan kadar tetapi tidak setinggi pada minggu ke III dan kadar terendah pada kelompok hewan yang mendapatkan daging babi dengan bumbu dosis maksimun (400,8 ± 3,03) dan tertinggi pada hewan yang mendapatkan makanan aslinya (417,8 ± 3,03). Tabel 5.3, gambar 5.1 dan gambar 8.1.1 sampai dengan 8.1.3 lampiran 11, menggambarkan perbedaan dari Kadar F2-isoprostan pada minggu III, XII dan XX di masing-masing perlakuan.
91
Tabel 5.3 Perbedaan Kadar F2-isopostan pada Minggu III, XII dan XX di masing-masing Perlakuan MINGGU XII P PI vs PII 13,40 <0,001†† PI vs PIII 9,55 0,003 PI vs PIV 15,03 <0,001†† PI vs PV -5,31 0,078 PI vs PVI 6,51 0,034† PII vs PIII -3,85 0,191 PII vs PIV 1,63 0,574 PII vs PV -18,70 <0,001†† PII vs PVI 6,89 0,026† PIII vs PIV 5,48 0,069 PIII vs PV -14,86 <0,001†† PIII vs PVI -3,04 0,298 PIV vs PV -20,33 0,008† PIV vs PVI -8,51 0,008† PV vs PVI 11,82 0,001†† * : Data tidak homogen, digunakan uji Post Hoc dengan Dunnett T3; †: JENIS PERLAKUAN
MINGGU III P 13,56 0,024† 12,21 0,040† 7,38 0,198 -4,94 0,382 23,73 <0,001†† -1,35 0,809 -6,19 0,277 -18,50 0,004† 10,17 0,082 -4,83 0,392 -17,15 0,006† 11,52 0,051 -12,31 0,038† 16,35 0,008† 28,67 <0,001††
MINGGU XX P* 14,28 0,567 9,09 0,914 4,41 1,000 -0,70 1,000 2,66 1,000 -5,19 0,755 -9,38 0,779 -14,98 0,029† -16,94 0,193 -4,68 0,988 -9,80 0,291 -11,75 0,503 -5,11 0,996 -7,06 0,990 -1,95 1,000 Kemaknaan <0,05, ††:
kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Setelah dilakukan uji Saphiro Wilk terhadap hasil perlakuan diperoleh hasil bahwa data berdisitribusi normal dan homogen pada semua perlakuan di minggu III dan XII (p>0,05), sedangkan pada minggu XX, datanya berdisitribusi normal tetapi tidak homogen. Selanjutnya
dengan menggunakan uji Annova,
diketahui bahwa pada minggu ke III dan XII ini terdapat perbedaan yang bermakna tetapi pada di minggu XX, data tidak menunjukkan perbedaan yang
92
bermakna kecuali antara hewan yang mendapat bumbu dosis maksimum dengan yang memperoleh daging saja. Dari hasil uji Post Hoc, yang gambarnya disajikan dalam gambar 8.1.1 s/d 8.1.3 lampiran 11, gambaran perbedaan kadar F2-isoprostan cenderung konsisten kecuali hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI), dimana pada minggu ke XX kadarnya meningkat menjadi mirip mendekati kadar F2-isoprostan dari hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) maupun daging babi saja (PV). Hewan yang mendapatkan bumbu (PII-PIV), walaupun tingkat kemaknaan yang bervariasi dan terus berubah, sesuai dengan dosis dan lama pemberian, tetapi secara
konsisten menunjukkan kadar
F2-isoprostan
yang lebih rendah
dibandingkan dengan hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) ataupun makanan daging babi guling saja (PV). Kadar F2-isoprostan pada hewan yang mendapatkan daging babi guling yang tidak diberi bumbu (PV) secara statistik tidak berbeda dengan hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (P > 0,05) baik di minggu ke III, XII maupun minggu XX. Hewan yang mendapatkan makanan daging babi yang diberi bumbu dengan dosis maksimum (PII) secara konsisten menunjukkan kadar F2-isoprostan jauh di bawah hewan yang mendapat makanan daging babi tanpa bumbu (PV) ataupun hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI). Hal ini ditunjukkan baik pada pengukuran minggu ke III, XII maupun minggu XX (P < 0,05). Rendahnya kadar F2-isoprotan dari hewan yang mendapatkan bumbu dengan dosis maksimum (PII) ini diikuti di atasnya dengan hewan yang mendapatkan bumbu dengan dosis optimum (PIII) kemudian yang mendapatkan
93
bumbu dengan dosis minimum (PIV). Pada minggu ke III dan XII kedua dosis diatas menghasilkan gambaran kadar F2-isoprostan yang sangat rendah dan berbeda secara bermakna (P < 0,05) dengan hewan yang mendapat makanan daging babi tanpa bumbu (PV), tetapi pada minggu ke XX walaupun kedua perlakuan tadi (PIII dan PIV) memiliki kadar yang masih lebih rendah dengan perlakuan daging saja (PV) tapi tingkat perbedaannya tidak lagi bermakna. Yang perlu dicatat disini adalah kadar F2-isoprostan pada kelompok hewan yang mendapatkan makanan asli. Pada minggu III dan minggu XII kadarnya masih berada pada kelompok yang rendah (PII-PIV) tetapi pada minggu XX kadarnya menjadi sangat tinggi dan tidak berbeda dengan kelompok yang mendapatkan makanan hiperkolesterol maupun daging babi saja (PI dan PV) (P > 0,05). Dari hasil ini bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa bumbu secara signifikan dapat menekan terbentuknya F2-isoprostan, khususnya yang dosis maksimum, menjadi lebih rendah dibandingkan dengan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) maupun daging babi saja (PV). Tetapi dengan makanan asli, peningkatan radikal bebas tampaknya baru muncul belakangan. Dinamika perubahan kadar F2-isoprostan berdasarkan waktu dapat dilihat pada gambar 5.1 dan tabel 5.4. Untuk melihat dinamika dari kadar ini juga dilakukan tahapan yang sama yaitu menguji normalitas data dengan uji SaphiroWilk dan homogenitas dengan tes Lavene, selanjutnya dilihat perbedaannya pada minggu pengukuran yang berbeda di masing-masing perlakuan dengan menggunakan One Way Annova juga. Semua data baik di Minggu III, XII dan XX dapat diuji dengan menggunakan uji One Way Annova oleh karena semua data
94
berdisitribusi normal dan homogen. Selanjutnya dilakukan uji Post Hoc dengan uji LSD untuk melihat tingkat signifikansi dari perbedaan di masing perlakuan pada setiap minggu pemeriksaannya.
450
Kadar F2-isoprotane (pg/ml)
440 430 420
PI P II
410
P III 400
P IV
390
PV
P VI
380 370 MG 0
MG III
MG XII
MG XX
Minggu Pengukuran -♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.1 Dinamika Perubahan Kadar F2-isoprostan Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan Melihat perjalanan F2-isoprostan berdasarkan waktu dapat dijelaskan bahwa di semua perlakuan, pada minggu ke III, Kadar F2 isoprostan meningkat secara bermakna (P < 0,05) dari rata-rata 404,9 pg/mL menjadi rata-rata 442 pg/mL, kecuali hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) yang peningkatannya tidak signifikan.
95
Tabel 5.4 Dinamika Perubahan Kadar F2-isoprostan berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
404,9 437,0 410,6
437,0 410,6 415,1
-32,1 26,4 -4,5
<0,001†† 0,002† 0,514
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) 423,5 MG 0 - MG III 404,9 423,5 397,2 MG III - MG XII 397,2 400,8 MG XII - MG XX
-18,6 26,3 -3,6
0,008† 0,001†† 0,542
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) 424,8 MG 0 - MG III 404,9 424,8 401,1 MG III - MG XII 401,1 406 MG XII - MG XX
-19,9 23,8 -4,9
<0,001†† <0,001†† 0,253
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) 429,7 MG 0 - MG III 404,9 429,7 405,0 MG III - MG XII 405,0 410,7 MG XII - MG XX
-24,8 24,7 -5,7
0,006† 0,006† 0,459
DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III MG III – MG XII MG XII - MG XX
-37,1 26,1 0,1
<0,001†† <0,001†† 0,987
PERLAKUAN PERMINGGU KOLESTEROL (PI) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
404,9 442,0 415,9
442,0 415,9 415,8
MAKANAN ASLI HEWAN (PVI) 413,3 -8,4 0,18 MG 0 - MG III 404,9 413,3 402,8 10,6 0,144 MG III - MG XII 402,8 417,8 -15,1 0,039† MG XII - MG XX †: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
Peningkatan tertinggi dialami oleh hewan yang mendapat makanan daging tanpa bumbu (PV) dan kemudian yang diikuti dengan hewan yang mendapat
96
makanan hiperkolesterol (PI). Hewan yang memperoleh makanan daging yang kemudian diikuti dengan pemberian bumbu (PII-IV) juga mengalami peningkatan, hanya saja peningkatan tersebut masih berada di bawah rata-rata peningkatan F2isoprostan pada hewan yang mendapatkan makanan hiperkoleterol (PI) maupun makanan daging babi saja (PV). Keadaan inilah yang membuat Kadar F2isoprostan pada hewan perlakuan PII-PIV secara signifikan lebih rendah dibanding PV. Pada minggu XII, kadar F2-isoprostan kesemuanya menurun secara signifikan (P < 0,05), kecuali yang dialami oleh hewan yang mendapat makanan aslinya (PVI) yang mengalami penurunan yang tidak signifikan (p>0,05). Penurunan Kadar pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) dan daging babi saja (PV) sedikit lebih tinggi (26,3 pg/mL dan 26,1 pg/mL) dibandingkan hewan yang mendapat makanan daging dan bumbu babi guling yaitu 26,3 pg/mL pada hewan yang mendapat dosis maksimum (PII), 23,8 pg/mL yang mendapat dosis optimum (PIII) dan 24,7 pg/mL yang mendapat dosis minimum (PIV). Pada minggu XX, Kadar F2-isoprostan kembali meningkat, hanya saja peningkatannya tidak signifikan (P > 0,05) dibandingkan dengan kondisi pada minggu XII kecuali hewan yang memperoleh daging babi (PV) saja yang justru menurun walaupun penurunannya sangat minimal (0,1 pg/mL, p > 0,05) dan yang mendapat makanan aslinya (PVI) yang justru meningkat cukup siginfikan (peningkatan 15,1 pg/mL, p < 0,05). Melihat dinamika perubahan F2-isoprostan di atas dapat dijelaskan bahwa makanan hiperkolesterol dan daging babi dapat
97
meningkatkan terjadinya peroksidasi lemak yang ditunjukkan dengan peningkatan F2-isoprostan yang sangat signifikan pada fase awal pemberian (fase akut). Dan bumbu dalam hal ini, dapat menekan munculnya radikal bebas menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tanpa bumbu walaupun perubahannya sangat bervariasi diantara waktu-waktu pengukuran. Penurunann F2-isoprostan pada minggu ke XII menunjukkan efek kompensasi dari adanya antioksidan baik yang dari luar (bumbu) maupun yang sudah ada (endogen) begitu juga pada minggu ke XX, yang mana terjadi peningkatan tetapi tidak signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan gambaran minggu ke XII. Gambaran kadar F2-isoprostan pada hewan yang memperoleh makanan aslinya, dalam penelitian ini, memiliki pola tersendiri yaitu sepertinya meningkat belakangan. Hipotesis penelitian ini adalah bumbu babi-guling dapat menekan tingginya kadar F2-isoprostan yang diinduksi oleh mengkonsumsi daging babi guling, sehingga kadarnya dalam darah tikus Wistar menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kadar F2-isoprostan tikus yang mengkonsumsi daging babi tanpa bumbu. Dalam penelitian ini hipotesis tersebut terbukti signifikan di semua dosis di minggu ke III, sangat signifikan di minggu ke XII, dan di minggu ke XX bukti yang signifikan terlihat terutama pada dosis bumbu yang maksimum. Ekspresi F2-isoprostan digunakan untuk melihat jejas pada sel endotel akibat tingginya radikal bebas yang muncul oleh karena teroksidasinya lemak pada dinding sel. Gambar 5.2 menggambarkan ekspresi dari F2-isoprostan.
98
Pada penelitian ini, uji yang sama dilakukan juga untuk melihat perbedaan ekspresi F2-isoprostan di masing-masing minggu pengukuran pada perlakuan yang berbeda-beda. Dari hasil uji normalitas data ternyata data pada minggu III dan XII terdisitribusi normal dan homogen sehingga bisa dilanjutkan dengan uji One Way Annova.
Sedang data pada minggu XX tampak tidak terdistribusi
normal khususnya pada kelompok hewan yang memperoleh makanan daging dengan bumbu dosis maksimum. Sehingga pada kelompok ini dilakukan uji non parametrik dengan menggunakan uji 2 sampel independent Mann and Whitney.
-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.2 Dinamika Perubahan Ekspresi F2-isoprostan Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan Kalau dilihat ekspresinya, ekspresi sudah terlihat mulai dari minggu ke III perlakuan (Gambar 5.2). Ekspresi F2-isoprostan pada hewan yang memperoleh
99
makanan hiperkolesterol (PI) meningkat lebih tinggi secara signifikan (p <0,05) dibandingkan semua perlakuan yang lain (Tabel 5.5), dan hal ini terlihat mulai di minggu III sampai dengan minggu XX yang membuat ekspresi F2-isoprostan pada perlakuan ini lebih tinggi secara bermakna dari perlakuan lainnya (Tabel 5.6). Perlakuan yang lain berada di bawahnya dengan ekspresi yang bervariasi. Hewan yang diberi makanan daging babi guling tanpa bumbu (PV), pada minggu ke III, ekspresi F2-isoprostannya meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang mendapatkan babi guling dengan bumbu dosis maksimum (PII). Sedangkan tiga yang lain yaitu yang mendapat bumbu dosis optimum (PIII) maupun minimum (PIV) dan yang mendapatkan makanan asli (PVI) berada dibawahnya (Gambar 5.2). Diantara perlakuan daging babi saja (PV) dan bumbu dosis maksimum (PII) tidak memberikan perbedaan ekspresi yang signifikan, tapi mereka pada minggu ke III ini lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan bumbu dosis optimum (PIII), minimum (PIV) maupun makanan aslinya (PVI). Pada minggu XII, hewan-hewan yang mendapatkan makanan daging saja (PV) dan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) dan dosis optimum (PIII) justru mengalamai penurunan ekspresi, tetapi penurunan mereka tidak bermakna secara statistik (p > 0,05). Sebaliknya hewan yang mendapatkan daging babi guling dengan bumbu dosis minimum (PIV) dan yang mendapatkan makanan asli (PVI), kondisi ekspresi f2-isoprostannya tetap meningkat dimana yang mendapat makanan asli (PVI) peningkatannya justru sangat signifikan (p < 0,05) tetapi tidak demikan halnya dengan yang mendapat bumbu dengan dosis minimum (PIV) (tabel 5.5).
100
Tabel 5.5 Dinamika Perubahan Ekspresi F2-isoprostan Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
0,0 74 75
74 75 110
-74,0 -1,3 -34,7
<0,001†† 0,820 <0,001††
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) 0,0 55 MG 0 – MG III 55 55 MG III – MG XII 55 72 MG XII – MG XX
-55,0 0,3 -17,3
<0,001†† 0,961 0,29
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) 0,0 MG 0 – MG III 48 MG III – MG XII 46 MG XII – MG XX
48 46 55
-48,0 1,7 -8,7
<0,001†† 0,664 0,046†
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) 0,0 45 MG 0 – MG III 45 52 MG III – MG XII 52 50 MG XII – MG XX
-45,0 -6,7 1,4
<0,001†† 0,120 0,716
DAGING SAJA (PV) MG 0 – MG III MG III – MG XII MG XII – MG XX
-58,0 6,7 -10,7
<0,001†† 0,273 0,080
MAKANAN ASLI HEWAN (PVI) 0,0 31 -31,3 MG 0 - MG III 31 48 -16,7 MG III - MG XII 48 30 18,0 MG XII - MG XX †: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
0,001†† 0,048† 0,038†
PERLAKUAN PER MINGGU KOLESTEROL (PI) MG 0 – MG III MG III – MG XII MG XII – MG XX
0,0 58 51
58 51 62
Keadaan tersebut menyebabkan ekspresi F2-isoprostan di masing-masing perlakuan pada minggu ke XII ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p > 0,05), kecuali antara hewan yang mendapatkan makanan
101
hiperkolesterol (PI) dibandingkan dengan hewan yang mendapatkan makanan lainnya (PII-PVI) (tabel 5.6). Pada minggu XX, ekspresi F2-isoprostan di masing-masing perlakuan ada yang meningkat, ada yang secara statistik tidak berubah dan ada juga yang menurun (gambar 5.2 dan tabel 5.8). Hewan yang yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan mendapat bumbu dosis optimum (PIII), ekspresinya meningkat secara bermakna (p<0,05) dan hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) justru menurun secara signifikan (p<0,05) (tabel 5.5). Tabel 5.6 Perbedaan Ekspresi F2-isoprostan pada Minggu III, XII dan XX Berdasarkan Perbedaan Perlakuan MINGGU XX BEDA P* 38,00 0,029† PI vs PII PI vs PIII 55,00 <0,001†† PI vs PIV 59,75 <0,001†† PI vs PV 48,0 <0,001†† PI vs PVI 80,00 <0,001†† PII vs PIII 17,00 0,029† PII vs PIV 21,75 0,029† PII vs PV 10,00 0,343 PII vs PVI 42,00 0,029† PIII vs PIV 4,75 0,383 PIII vs PV -7,00 0,175 PIII vs PVI 25,00 <0,001†† PIV vs PV -11,75 0,033† PIV vs PVI 20,25 0,001†† PV vs PVI 32,00 <0,001†† *: Kemaknaan berdasarkan nilai uji non paramaterik Mann-Whitney; †: Kemaknaan <0,05, ††: JENIS PERLAKUAN
MINGGU III BEDA P 19,00 0,001†† 26,00 <0,001†† 29,00 <0,001†† 16,00 0,003† 42,67 <0,001†† 7,00 0,157 10,00 0,049† -3,00 0,535 23,67 <0,001†† 3,00 0,535 -10,00 0,049† 16,67 0,002† -13,00 0,013† 13,67 0,010† 26,67 <0,001††
MINGGU XII BEDA P 20,67 0,023† 29,00 0,002† 23,67 0,011† 24,00 0,009† 27,33 0,004† 8,33 0,317 3,00 0,720 3,33 0,677 6,67 0,424 -5,33 0,514 -5,00 0,552 -1,67 0,834 0,33 0,952 3,67 0,655 3,33 0,698
kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
102
Hewan coba yang lain secara statistik relatif tidak berubah. Hal ini menimbulkan perbedaan ekspresi F2-isoprostan yang signifikan pada kelompok hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dengan yang lainnya. Hewan yanag mendapatkan bumbu dosis maksimum (PII) tidak berbeda secara signifikan dengan yang memperoleh daging saja (PV), tetapi berbeda secara signifikan terhadap hewan yang memperoleh bumbu optimum (PIII) dan dengan hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI). Antara yang mendapatkan bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) tidak menunjukkan perbedaan seginifikan tetapi lebih tinggi secara signifikan dengan yang memperoleh makanan aslinya (Tabel 5.6). Dari hasil di atas dapat dikatakan bahwa gambaran perubahan ekspresi F2isoporstan mirip dengan gambaran kadarnya. Tetapi tingkat signifikansi perubahannya berbeda. Hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol secara konsisten menunjukkan ekspresi yang tinggi dan makanan asli menunjukkan ekspresi yang sebaliknya. Hewan yang mendapatkan daging babi dengan atau tanpa bumbu terkesan memberikan gambaran yang berada diantaranya. Tetapi bila dilihat diantara daging saja (PV) dengan yang mendapatkan bumbu (PII-PIV) maka hewan yang mendapatkan bumbu masih menunjukkan tanda-tanda penekanan pada ekspresi F2-isoprostan walaupun tingkat kemaknaannya berubahubah berdasarkan dosis bumbu dan waktu penelitian.
Pada hewan yang
memperoleh makanan aslinya, pada minggu ke XX ini, tidak menunjukkan kesesuaian antara Kadar F2-isoprostan dalam serum dengan ekspresinya di sel endotel.
103
Ekspresi sel terhadap F2-isoprostan digunakan untuk memperkuat hipotesis yang ditunjukkan oleh hasil Elisa, oleh karena dengan metode imunohistokimia gambaran perbedaan tersebut dapat diamati secara visual. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa hewan coba yang mendapatkan daging plus bumbu memiliki gambaran sel yang terekspresi lebih rendah dibandingkan dengan hewan yang mengkonsumsi daging tanpa bumbu atau dengan kata lain hipotesis bahwa bumbu menekan efek radikal bebas yang diakibatkan oleh mengkonsumsi daging babi guling dan secara visual dapat diamati perbedaannya (gambar 7.2.2; 7.3.2 dan 7.4.2 lampiran 11), tetapi secara statistik gambaran perbedaan terlihat di semua dosis bumbu pada minggu ke III dan terlihat di dosis minimum pada minggu ke XX.
5.3. Interleukin-6 (IL-6) Secara deskriptif Kadar dan ekspresi IL-6 di masing-masing perlakuan menurut waktu-waktu pengukuran dapat dilihat pada tabel 5.7. Penuaan pembuluh darah dapat dijelaskan melalui proses inflamasi karena aterosklerosis yang merupakan akibat dari penuaan pembuluh darah berkaitan erat dengan sitokin proinflamasi, salah satunya Interleukin (IL)-6 yang berkaitan dengan kadar kolesterol darah. Pada penelitian ini dilihat dinamika dari IL-6 pada minggu ke III, XII dan XX pada hewan-hewan yang diberi makanan hiperkolesterol, daging babi guling dan daging babi plus bumbu dan dengan makanan aslinya, untuk mengetahui apakah penuaan pembuluh darah berkaitan dengan proses terjadinya inflamasi dan apakah bumbu dapat menghambat proses tersebut.
104
Tabel 5.7 Kadar Interleukin-6 Serum dan Ekspresi Interleukin-6 pada Tiga Kali Pengukuran pada Tikus Wistar Perlakuan PI PII PIII PIV PV PVI
Minggu-3 131,9 (11,85) 110,0 (37,27) 83,8 (10,82) 94,0 (10,29) 118,8 (7,14) 151,5 (20,89)
Kadar IL-6 Minggu-12 140,5 (4,99) 131,98 (1,02) 130,6 (6,27) 126,6 (13,87) 129,4 (3,93) 122,1 (6,95)
Minggu-20 145,2 (19,89) 134,8 (13,15) 138,0 (7,05) 139,6 (5,03) 156,8 (10,48) 152,3 (15,56)
Minggu-3 74 (1)
Ekspresi IL-6 Minggu-12 Minggu-20 66 (2) 156 (28)
45 (2)
48 (10)
86 (14)
58 (8)
50 (6)
57 (7)
49 (6)
50 (3)
44 (3)
57 (10)
56 (11)
71 (2)
22 (6)
28 (8)
28 (4)
Nilai ( ) adalah nilai standar deviasi Pada awalnya kadar IL-6 adalah 128,9 pg/ml, dengan standard deviasi 15,4 pg/ml (Tabel 5.1). Setelah 3 minggu perlakuan, dinamika IL-6 berbeda-beda berdasarkan perlakuannya yang mana pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) dan makanan aslinya terjadi peningkatan kadar IL-6, sedang pada perlakuan daging saja (PV) dan bumbu (PII-PIV) justru terjadi penurunan kadar. IL-6 hewan perlakuan hiperkolesterol (PI) meningkat menjadi 131,9 ± 7,14 pg/ml, dan hewan yang mendapat makanan asli (PVI) meningkat menjadi 151,5 ± 20,89 pg/ml. Yang mengalami penurunan adalah yang memperoleh daging babi saja (PV) yang menurun menjadi 151,5 ± 20,89
pg/ml, yang mendapatkan
bumbu dosis maksimum (PII) menurun menjadi 110 ± 37,27 pg/ml, yang mendapat dosis optimum (PIII) menjadi 83,8 ± 10,82 pg/ml dan hewan yang memperoleh dosis minimum (PIV) turun menjadi 94,0 ± 10,29 pg/ml. Tetapi kesemua perubahan ini setelah dihitung secara statistik dianggap tidak berbeda
105
(P>0,05), kecuali perlakuan bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) yang dianggap menurun secara signifikan (p ≤ 0,001) (tabel 5.8). Tabel 5.8 Dinamika Perubahan Kadar IL-6 Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
128,9 131,9 140,5
131,9 140,5 145,2
-3,0 -8,5 -4,7
0,768 0,409 0,646
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) MG 0 - MG III 128,9 MG III - MG XII 110,0 MG XII - MG XX 132,0
110,0 132,0 134,8
18,9 -22,0 -2,9
0,232 0,169 0,852
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) MG 0 – MG III 128,9 MG III – MG XII 83,8 MG XII – MG XX 130,6
83,8 130,6 139,6
45,1 -46,9 -9,0
<0,001†† <0,001†† 0,343
94,0 139,6
34,9 -32,6 -13,0
0,001†† 0,002† 0,146
PERLAKUAN KOLESTEROL (PI) MG 0 – MG III MG III – MG XII MG XII – MG XX
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) MG 0 - MG III 128,9 MG III - MG XII 94,0 MG XII - MG XX 126,6
126,6
DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
128,9 118,8 129,4
118,8 129,4 156,8
10,1 -10,6 -27,4
0,188 0,167 0,003†
MAKANAN ASLI HEWAN COBA (PVI) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
128,9 151,5 122,1
151,5 122,1 152,3
-22,6 29,5 -30,2
0,062 0,020† 0,017†
†: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
106
Pada minggu ke XII, penurunan kadar IL-6 hanya terjadi pada hewan yang mendapat makanan aslinya (PVI) yaitu menjadi 122,1 ± 6,95 pg/ml. Perlakuan yang lainnya mengalami peningkatan. Peningkatan terendah dialami hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) yang meningkat menjadi 140,5 ± 4,99 pg/ml dan yang tertinggi adalah hewan yang memperoleh daging plus bumbu dosis optimum (PIII) yang meningkat kadarnya menjadi 130,6 ± 6,27 pg/ml. Pada minggu ke XX, kadar IL-6 dalam serum mengalami peningkatan di semua perlakuan. Peningkatan terendah dialami oleh hewan yang mendapat daging plus bumbu dosis maksimum (PII) menjadi 134 ± 13,15 dan yang tertinggi dialami oleh hewan yang memperoleh makanan
asli (PVI) yang kadarnya
meningkat menjadi 152,3 ± 15,56 pg/ml. Data kemudian dilihat homogenitas dan normalitas distribusinya untuk dapat dibanding-bandingkan. Hasil uji Saphiro-Wilk pada data kadar IL-6 ini menunjukkan distribusi yang normal dan homogen pada minggu III dan XII tetapi pada minggu XX data yang diperoleh tidak berdistribusi normal. Sehingga uji perbandingan untuk minggu ke XX digunakan uji non parametrik Mann and Whitney. Kalau dilihat perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang dijelaskan pada narasi di atas dan juga melihat tabel 5.8 di atas, maka perubahan yang dianggap signifikan adalah yang dialami oleh hewan yang mendapat perlakuan daging plus bumbu dosis optimum (PIII) dan dosis minimum (PIV) yang semula turun secara signifikan pada minggu ke III dan kemudian meningkat secara signifikan juga pada minggu ke XII (0,000 < p ≤ 0,002). Kedua perlakuan ini
107
selanjutnya pada pengukuran minggu ke XX secara statistik dianggap tidak berubah. Pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), pada minggu ke XII mengalami penurunan kadar yang signifikan, walaupun pada awalnya secara statistik dianggap tidak berubah, tetapi kemudian meningkat juga secara signifikan pada minggu ke XX. Sedangkan hewan yang memperoleh makanan daging saja (PV) mengalami peningkatan kadar yang sangat signifikan pada minggu ke XX (p=0,003), yang sebelumnya tidak mengalami perubahan kadar yang cukup signifikan. Dinamika seperti di atas memberikan gambaran perbedaan kadar di masing-masing perlakuan yang berbeda. Gambaran perbedaan Kadar IL-6 pada masing-masing perlakuan di setiap minggu pengukuran dapat dilihat pada tabel 5.9, gambar 5.3 dan gambar-gambar 8.2.1 s/d 8.2.3 di lampiran 11. Gambargambar di lampiran 11 (8.2.1 s/d 8.2.3) menunjukkan bagaimana perbedaan dari rata-rata kadar (mean difference) IL-6 pada masing-masing perlakuan di masingmasing minggu pengukuran, Gambar 5.3 menunjukkan dinamika perubahan Il-6 selama masa pengukuran berdasarkan perlakuannya. Melihat gambar 5.3 dan tabel 5.9, Kadar IL-6 di minggu III umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pada kondisi awal, kecuali hewan yang mendapatkan makanan hiperkolestrol (PI) dan hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI). Tetapi perbedaan kadar tersebut dapat dikatakan tidak ada artinya karena dari segi statistik dapat dikatakan tidak bermakna (p > 0,05), sedangkan perbedaan yang bermakna dengan kadar awal adalah hewan yang mendapatkan makanan daging plus bumbu dosis optimum (PIII) yaitu dari 128,9 pg/mL turun
108
menjadi 83,8 pg/mL (p > 0,05) dan dosis minimum dari 128,9 pg/mL menjadi 94,0 pg/mL (p<0,05). Tabel 5.9 Perbedaan Kadar IL-6 pada Minggu III, XII dan XX di Masing-Masing Perlakuan MINGGU XX P* 10,34 0,686 PI vs PII PI vs PIII 5,56 0,886 PI vs PIV 5,56 0,886 PI vs PV -11,59 0,343 PI vs PVI -7,16 0,886 PII vs PIII -4,78 0,886 PII vs PIV -4,78 0,886 PII vs PV -21,94 0,043† PII vs PVI -17,50 0,200 PIII vs PIV 0,00 1,000 PIII vs PV -17,16 0,029† PIII vs PVI -12,72 0,200 PIV vs PV -17,16 0,029† PIV vs PVI -12,72 0,343 PV vs PVI 4,44 0,886 *: Kemaknaan berdasarkan nilai uji non paramaterik Mann-Whitney; †: Kemaknaan <0,05, ††: JENIS PERLAKUAN
MINGGU III P 21,92 0,126 48,17 0,002† 37,92 0,012† 13,08 0,351 -19,63 0,168 26,25 0,071 16,00 0,257 -8,83 0,526 -41,54 0,007† -10,25 0,463 -35,08 0,086 -67,79 0,001†† -24,83 0.086 -57,54 0,001†† -32,71 0,028††
MINGGU XII P 8,49 0,118 9,83 0,074 13,89 0,015† 11,05 0,047† 18,38 0,002† 1,34 0,798 5,40 0,311 2,56 0,626 9,89 0,072 4,06 0,443 1,22 0,816 8,55 0,116 -2,84 0,591 4,49 0,397 7,33 0,174
kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Karena perbedaannya yang signifikan maka pada minggu ke III Kadar IL6 pada hewan yang mendapat makanan daging babi dengan tambahan bumbu dosis optimum (PIII) posisinya menjadi terendah. Kadar IL-6 pada hewan ini (PIII) lebih rendah secara bermakna dengan Kadar IL-6 pada hewan yang mendapatkan diet hiperkolesterol (PI) dan hewan yang mendapat makanan aslinya (PVI) (p<0,05). Dipihak lain, hewan perlakuan yang mendapat makanan aslinya (PIV) ini menunjukkan kadar IL-6 yang paling tinggi dan secara bermakna lebih
109
tinggi dibanding hewan yang mendapatkan bumbu (PII-PIV) (0,001 ≤ p ≤ 0,007). Selain itu yang kadar IL-6nya, secara statistik berbeda bermakna pada minggu ke III ini adalah antara yang mendapat diet hiperkolesterol (PI) dengan dosis minimum (PIV); dan antara daging babi (PV) dengan makanan asli (PVI).
-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.3: Dinamika Perubahan Kadar IL-6 pada Masing-masing Perlakuan yang Diukur pada Minggu III, XII dan XX Pada minggu ke XII terjadi perubahan pola dimana hewan yang mendapat makanan daging dengan bumbu dosis optimum (PIII) dan yang mendapat daging plus bumbu dosis minimum (PIV), konsentasinya meningkat secara bermakna (p<0,05) yaitu dari 83,8 ± 10,82 pg/mL menjadi 130,6 ± 6,27 pg/mL dan dari 94,0 ± 10,29 pg/mL menjadi 126,6 ± 13,87 pg/mL. Sebaliknya hewan yang
110
memperoleh makanan aslinya (PVI), Kadar IL-6nya menurun secara bermakna yaitu dari 151,5 ± 20,89 pg/mL menjadi 122,1 ± 6,95 pg/mL (p<0,05). Sedangkan yang lainnya boleh dikatakan tidak berubah ataupun meningkat tetapi tidak bermakna (p>0,05). Sehingga pada pengukuran minggu ini gambaran kadar yang berbeda secara bermakna hanya terlihat antara hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) yang kadarnya secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan hewan yang mendapat daging plus bumbu dosis minimum (PIV), dengan hewan yang mendapat daging saja (PV) dan dengan hewan yang mendapat makanan aslinya (PVI) (p<0,05). Perlakuan lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang secara statistik berbeda bermakna. Pada minggu XX, pada tabel 5.9 dan gambar 5.3 dan gambar 8.2.3 di lampiran 11, kadar IL-6 pada hewan yang mendapat makanan daging saja (PV) meningkat secara sangat signifikan yaitu dari 129,4 ± 3,93 pg/mL menjadi 156,8 ± 10,48 pg/mL (p<0,05), juga pada hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) yaitu dari 122,1 ± 6,95 pg/mL menjadi 152,3 ± 15,6 pg/mL (p < 0,05). Yang lainnya juga mengalami perubahan tetapi secara statistik dapat dikatakan tidak berbeda kadarnya (p>0,05). Akibatnya pada minggu ke XX ini kadar IL-6 pada hewan yang mendapat makanan daging tanpa bumbu (PV) menjadi tinggi dan lebih tinggi secara bermakna dengan hewan yang mendapat makanan daging dengan bumbu baik itu dosis maksimum, optimum maupun minimum (PII-PIV). Tetapi tidak berbeda dengan hewan yang mendapatkan makanan aslinya (PVI). Kadar IL-6 pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) menjadi lebih rendah daripada
111
hewan yang mendapat makanan daging saja (PV) maupun makanan aslinya (PVI), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan kadar IL-6 pada hewan yang mendapatkan daging plus bumbu, hanya saja perbedaan ini secara statistik tidak bermakna (gambar 8.2.2 lampiran 11 dan tabel 5.9). Perubahan-perubahan yang ditunjukkan oleh kadar IL-6 sepanjang waktu penelitian,
walapun
ada
dinamikanya,
tidaklah
terlalu
signifikan
bila
dibandingkan dengan kondisi awal sebelum dilakukan penelitian. Hipotesis pada penelitian ini ingin mengungkapkan bahwa bumbu babi-guling dapat menekan proses inflamasi yang diinduksi oleh mengkonsumsi daging babi. Proses inflamasi ditunjukkan oleh tingginya kadar IL-6 dalam serum hewan coba. Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini membuktikan hipotesis bahwa bumbu babi guling memang menekan IL-6 dan perbedaannya secara signifikan terlihat di minggu ke XX. Kalau perubahan yang ditunjukkan oleh kadar dibandingkan dengan gambaran ekspresinya, maka tampaknya ekpresi IL-6 memiliki pola yang berbeda dengan gambaran kadar. Gambaran dinamika perubahan ekspresi IL-6 pada masing-masing perlakuan di minggu pengukuran disajikan pada gambar 5.4 dan tabel 5.10. Pada minggu ke III gambaran kadar menunjukkan pola yang menurun pada hampir semua perlakuan, kecuali hewan coba yang memperoleh makanan asli (PVI) maupun yang mendapat daging babi saja (PV). Tetapi gambaran ekspresi IL-6 menunjukkan pola yang sebaliknya. Ekspresi IL-6 pada penelitian ini sudah mulai terlihat pada minggu ke III perlakuan, dengan peningkatan yang
112
sangat signifikan dan terjadi pada semua jenis perlakuan (p<0,05) dimana ekspresi terendah dijumpai pada hewan coba yang mendapat diet makanan asli (PVI) yang meningkat dari 0 menjadi 22 ± 6 sel dan yang tertinggi ditunjukkan oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol yaitu menjadi 74 ± 1 sel. 180
Jumlah Sel terekspresi IL-6
160 140 120
PI
100
P II
80
P III
60
P IV
40
PV
20
P VI
0 MG 0
MG III
MG XII
MG XX
Minggu Perlakuan -♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.4: Dinamika Perubahan Ekspresi IL-6 pada Masing-masing Perlakuan yang diukur pada Minggu III, XII dan XX Sebelum dilakukan analisa lebih lanjut, semua data ekspresi ini dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk. Data yang diperoleh dari ekspresi IL-6 ini setelah diuji dengan uji Saphiro-Wilk, menunjukkan data yang terdisitribusi normal pada semua minggu pengukuran (III, XII dan XX). Disamping terdistribusi normal, data pada minggu III dan XII juga bersifat homogen sehingga dapat dilakukan uji One Way Annova. Tetapi untuk uji
113
Post Hoc, data minggu III dan XII diggunakan LSD. Sedangkan data pada minggu XX oleh karena tidak bersifat homogen, uji post Hoc yang digunakan adalah uji Tamhane. Tabel 5.10 Dinamika Perubahan Ekspresi IL-6 Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
0,0 74 66
74 66 156
-74,3 8,3 -90,3
0,002† 0,585 0,043†
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (P II) MG 0 - MG III 0,0 MG III - MG XII 45 MG XII - MG XX 48
45 48 86
-44,7 -3,0 -37,8
<0,001†† 0,995 0,032†
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (P III) MG 0 - MG III 0,0 MG III - MG XII 58 MG XII - MG XX 50
58 50 57
-58,3 8,0 -6,4
<0,001†† 0,091 0,161
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (P IV) MG 0 - MG III 0,0 MG III - MG XII 49 MG XII - MG XX 50
49 50 44
-48,7 -1,0 5,9
<0,001†† 0,709 0,041†
DAGING SAJA (P V) MG 0 – MG III MG III – MG XII MG XII – MG XX
57 56 71
-57,3 1,3 -14,5
<0,001†† 0,815 0,017†
MAKANAN ASLI HEWAN COBA (P VI) MG 0 - MG III 0,0 22 -22,0 MG III - MG XII 22 28 -6,3 MG XII - MG XX 28 28 0,8 †: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
<0,001† 0,109 0,845
PERLAKUAN PERMINGGU KOLESTEROL (P I) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
0,0 57 56
114
Gambaran ekspresi yang ditunjukkan sampai dengan minggu XII, setelah diuji statistik ekspresi IL-6 sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan (p>0,05). Penurunan ekspresi yang terjadi pada kelompok yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) 74 ± 1 sel menjadi 66 ± 2 sel, daging plus bumbu dosis optimum (P III) yaitu dari 58 ±
8 sel menjadi 50 ± 6 sel dan yang
memperoleh daging babi saja (P V) dari 57 ± 10 sel menjadi 56 ± 11 sel. Sedangkan kelompok yang memperoleh daging plus bumbu dosis maksimum (P II), yang memperoleh dosis minimum (PIV) dan kelompok makanan asli (P VI) mengalami peningkatan ekspresi secara tidak signifikan, yaitu masing-masing dari 45 ± 2, 49 ± 6, 22 ± 6, menjadi 48 ± 10, 50 ± 3, 28 ± 8. Pada miggu XX, kelompok hewan coba yang mendapat makanan hiperkolesterol (P I), daging dan bumbu dengan dosis maksimum (P II) dan daging saja (PV) mengalami peningkatan ekspresi yang signifikan (p<0,05), yaitu masing-masing dari 66 ± 2, 49 ± 6, 56 ± 11 menjadi 156 ± 28, 86 ± 14, 71 ± 2 sel. Hewan yang memperoleh makanan babi plus bumbu dosis optimum (PIII) meningkat tetapi tidak signifikan yaitu dari 50 ± 6 sel menjadi 57 ± 7sel,
dan
penurunan tetapi tidak signifikan dialami oleh hewan yang mendapatkan makanan daging babi plus bumbu dosis minimum (PIV) yaitu dari 50 ± 3 sel menjadi 44 ± 3 sel. Sedangkan yang memperoleh makanan asli (PVI) dapat dikatakan tetap dari 28 ± 8 menjadi 28 ± 4 sel. Gambaran perbedaan ekspresi di masing-masing minggu pengukuran dan pada setiap kelompok perlakuan disajikan pada tabel 5.11 dan gambar 8.3.1 s/d 8.3.3 lampiran 11.
115
Pada minggu ke III, sel endotel yang mengalami ekspresi terbanyak dijumpai pada kelompok hewan yang memperoleh perlakuan makanan hiperkolesterol (PI) yaitu 74 ± 1, yang mana ekspresi ini secara signifikan paling tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya (p<0,05). Ekspresi IL-6 terendah pada minggu ke III dijumpai pada kelompok hewan coba yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) yaitu 22 dengan standard deviasi 6, dan perbedaan inipun bermakna bila dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya (PI-PV) (p<0,05) (gambar 8.3.1 lampiran 11). Tabel 5.11 Perbedaan Ekspresi IL-6 pada Minggu III, XII dan XX di Masing-masing Perlakuan MINGGU III MINGGU XII MINGGU XX P P P 29,67 <0,001†† 18,33 0,002† 70,75 0,119 PI vs PII PI vs PIII 16,00 0,006† 15,67 0,007† 99,50 0,062 PI vs PIV 25,67 <0,001†† 16,33 0,006† 112,50 0,055† PI vs PV 17,00 0,004† 10,00 0,069 85,75 0,119 PI vs PVI 52,67 <0,001†† 37,67 <0,001†† 128,75 0,034† PII vs PIII -13,67 0,016† -2,67 0,634 28,75 0,227 PII vs PIV -4,00 0,441 -2,00 0,703 41,75 0,11 PII vs PV -12,67 0,024† -8,33 0,128 15,00 0,843 PII vs PVI 23,00 <0,001†† 19,33 0,001†† 58,00 0,029† PIII vs PIV 9,67 0,078 0,67 0,924 13,00 0,319 PIII vs PV 1,00 0,846 -5,67 0,28 -13,75 0,284 PIII vs PVI 36,67 <0,001†† 22,00 <0,001†† 29,25 0,011† PIV vs PV -8,67 0,111 -6,33 0,242 -26,75 <0,001†† PIV vs PVI 27,00 <0,001†† 21,33 0,001†† 16,25 0,024† PV vs PVI 35,67 <0,001†† 27,67 <0,001†† 43,00 <0,001†† †: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: JENIS PERLAKUAN
Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
116
Perbedaan bermakna lainnya yang dijumpai pada minggu ke III adalah antara hewan yang mendapatkan makanan daging plus bumbu dosis maksimum (P II), dimana dengan empat kali ulangan dengan hasil rata-rata 45 ± 2 sel, kelompok ini ekspressi IL-6nya lebih rendah secara signifikan bila dibandingkan dengan yang mendapatkan daging plus bumbu dosis optimum (P III) yang ekspresi selnya rata-rata 58 ± 8 sel dan dengan yang mendapatkan daging saja (P V) yang ekspresi selnya rata-rata 57 ± 10 sel. Hewan yang memperoleh daging plus bumbu dosis minimum (P IV) terletak diantaranya, dengan ekspresi yang rendah yaitu 49 ± 6 sel tetapi tidak menunjukkan signifikansi yang berarti bila dibandingkan baik dengan dosis maksimum (P II), dengan dosis optimum (P III) juga dengan daging saja (P V). Pada minggu ke XII (gambar 8.3.2 lampiran 11), ekspresi IL-6 tertinggi masih dijumpai pada hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) yaitu 66 ± 2 sel dan terendah pada hewan coba yang memperoleh makanan aslinya (PVI) dengan jumlah yang terekspresi rata-rata 28 ± 8 sel. Kedua kelompok ekstrem ini masih menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan perlakuan lainnya (p < 0,05). Yang kedua tertinggi ekspresi IL-6nya adalah hewan coba yang mendapatkan daging babi saja (PV), yaitu rata-rata 56 ± 11 sel, sehingga perbedaannya dengan hewan coba yang mendapatkan makanan hiperkolesterol tidak lagi signifikan (p > 0,005). Ekspresi IL-6 pada hewan coba yang mendapatkan daging plus bumbu tidak lagi menunjukkan perbedaan signifikan diantara dosis perolehannya (PII-PIV) dengan jumlah masing-masing 48 ± 10; 50 ± 6; 50 ± 3 (p > 0,05), tetapi masih signifikan lebih rendah dengan hewan coba
117
yang memperoleh makanan hiperkolesterol dan signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan coba yang memperoleh makanan aslinya. Pada minggu XX (gambar 8.3.3 lampiran 11), pola ekspresi IL-6 berubah, dimana hewan coba yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) masih tetap tertinggi yaitu 156 ± 28 sel, diikuti dengan ekspresi IL-6 pada hewan coba yang mendapat daging plus bumbu dosis maksimum (PII) dengan jumlah sel yang terkespresi rata-rata 86 ± 14 kemudian daging saja (PV) yaitu 71 ± 2, baru kemudian daging plus bumbu dosis optimum (P III) dengan jumlah 57 ± 7. Kondisi ekspresi di kelompok perlakuan ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara satu dengan yang lainnya (p > 0,05), tetapi ada perbedaan yang bermakna antara yang mendapat diet hiperkolesterol (PI) dengan yang memperoleh dosis minimum (P II) (44 ± 3) dan antara dosis minimum (PIV) dengan yang memperoleh daging saja (PV), dimana hewan coba yang memperoleh diet bumbu dengan dosis minimum memilki ekspresi IL-6 secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kedua perlakuan tadi yaitu dengan diet hiperkolsterol maupun dengan diet daging saja (p < 0,05). Hewan coba yang memperoleh makanan aslinya, pada minggu ke XX ini, memiliki ekspresi IL-6 yang secara signifikan paling rendah dibandingkan semua perlakuan yang lainnya (p < 0,05) Pola ekspresi IL-6 pada penelitian ini, walaupun sepertinya berlawanan, di beberapa segi mirip dengan pola kadarnya. Dalam hal ini makanan hiperkolesterol dan makanan daging babi memberikan ekpresi yang tinggi di dinding pembuluh darah. Sedangkan Hewan coba yang mendapatkan daging plus bumbu berada di
118
bawahnya dengan ekspresi yang bervariasi dan penekanan terhadap ekspresi IL-6 sangat jelas terlihat pada hewan yang mendapatkan dosis optimum dan minimum. Expresi IL-6 pada hewan coba yang mendapat makanan hiperkolesterol dan daging tetap tinggi walaupun pada minggu ke XX ekspresinya menjadi tidak berbeda secara statistik dengan hewan yang diberi bumbu dosis maksimum. Hewan yang mendapatkan makanan aslinya menunjukkan ekspresi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakukan lainnya. Seperti halnya dengan penggunaan ekspresi F2-isoprostan untuk memperkuat hipotesis keluarnya radikal bebas yang diukur melalui kadar F2isoprostan, penggunaan ekspresi IL-6 pada sel endotel pembuluh darah digunakan untuk memperkuat hipotesis bahwa bumbu babi-guling dapat menekan proses inflamasi yang diinduksi oleh daging babi guling. Dalam penelitian ini hipotesis tersebut dapat dibuktikan, karena secara visual jelas terlihat perbedaannya pada gambar 7.1.3, 7.2.3, 7.3.3, 7.4.3 di lampiran 11; walaupun secara statistik terlihat perbedaan bermakna hanya terlihat pada bumbu dosis minimum di minggu XX.
5.4. Aktivitas Antioksidan Total Dalam penelitian ini ingin dilihat seberapa jauh bumbu dapat meningkatkan aktivitas total antioksidan dalam darah hewan coba percobaan. Untuk itu data Antioksidan total yang diperoleh dari serum darah hewan coba yang diukur pada awal penelitian, minggu III, minggu XII dan minggu XX dirata-ratakan, diuji apakah data tersebut homogen menurut uji Lavene dan berdistribusi normal berdasarkan uji Saphiro-Wilk. Kemudian dicari perbedaannya diantara perlakuan
119
yang diberlakukan di masing-masing minggu pengukuran dan dinamikanya di masing-masing minggu pengukuran untuk setiap perlakuan. Dari hasil pengujian terhadap data pada minggu III dan XII diperoleh data yang terdistribusi normal tetapi tidak pada minggu XX. Begitu juga homogenitasnya, dimana data minggu III dan XII juga terlihat homogeny, tetapi pada minggu XX datanya menjadi tidak homogen. Untuk itu maka untuk minggu III dan XII dilakukan uji beda dengan One Way Annova dan dilanjutkan dengan Post Hoc LSD untuk melihat perbedaan di masing-masing minggu dan perbedaan di masing-masing perlakuan antara minggu pengukuran. Sedangkan data pada minggu XX digunakan uji non parametrik untuk dua sampel yang berbeda (Mann-Whitney). Gambar 8.4. lampiran 11 dan tabel 5.13, menjelaskan perbedaan kadar total antioksidan ditiap-tiap perlakuan yang dilihat pada minggu-minggu pengukuran. Tabel 5.12 Aktivitas Anti Oksidan Total yang diukur pada Tiga Kali Pengkuran pada Tikus Wistar PERLAKUAN
MINGGU III MEAN±SD* P
PI 649,8±10,12 0,754 P II 732,8±30,71 0,798 P III 720,5±25,31 0,527 P IV 639,3±54,33 0,621 PV 673,8±9,33 0,291 P VI 635,8±62,53 0,786 * : tingkat homogenitas 0,338 ** : tingkat homogenitas 0,111 *** : tingkat homogenitas 0,044
MINGGU XII MINGGU XX MEAN±SD** P MEAN±SD*** P 254±47,20 0,379 718,9±69,12 0,092 796±4,90 0,683 792,6±12,66 0,830 814,4±25,78 0,272 776,5±27,46 0,851 790,2±111,22 0,332 750,9±5,98 0,850 484,8±52,04 0,161 680,5±66,64 0,044 795,6±60,92 0,551 716,4±47,28 0,276
120
Pada awal sebelum dilakukan penelitian, rata-rata kadar antioksidan total adalah 770,5 µl/dL ± 81,5 (Tabel 5.1). Pada minggu III (gambar 8.4.1 lampiran 11) gambaran umum sepertinya menurun, dimana seperti sudah disebutkan di atas bahwa aktivitas tetinggi dijumpai pada hewan coba yang memperoleh diet daging plus bumbu dosis maksimum (PI) yaitu 732, 8 ± 30,71 µl/dL dan terendah pada hewan coba yang memperoleh makanan aslinya (PVI) yaitu dengan rata-rata 635,8 ± 62, 53 µl/dL. Hewan coba yang memperoleh makanan daging babi saja (PV), Kadar antioksidan totalnya lebih tinggi dibandingkan dengan 3 perlakuan yang menunjukkan antioksidan rendah di atas (PI, PIV, PVI) tetapi perbedaannya tidak signifikan (p>0,05), sebaliknya kadar ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan hewan coba-hewan coba yang memiliki antioksidan yang tinggi (p <0,05). Pada minggu ke XII (gambar 8.4.2 lampiran 11), kemampuan antioksidan total pada hewan coba yang memperoleh bumbu dosis minimum (PIV) dan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) mendekati aktivitas antioksidan dari hewan coba-hewan coba yang memiliki kemampuan antioksidan tinggi. Sehingga ke empat perlakuan ini memiliki aktivitas antioksidan yang tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) yaitu yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) menjadi 796 ± 4,90 µl/dL), bumbu dosis optimum (PIII) menjadi 814,4 ± 25,78 µl/dL), dosis minimum (PIV) yang menjadi 790,2 ± 111,22 µl/dL dan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) dengan aktivitas antioksidan rata-rata menjadi 795,6 ± 60,92 µl/dL. Aktivitas antioksidan dari hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan yang mendapat daging saja (PV) menunjukkan aktivitas
121
yang sangat rendah yaitu 254 ± 47,20 µl/dL dan 484,8 ± 52,04 µl/dL dan kedua aktivitas ini menjadi berbeda sangat bermakna dengan 4 perlakuan lainnya yang memiliki kadar antioksidan tinggi tadi (p<0,05). Padahal kedua aktivitas rendah tersebut sebenarnya sudah berbeda secara bermakna juga (p< 0,05). Tabel 5.13 Perbedaan Kadar Antioksidan Total pada Minggu III, XII dan XX di Masing-masing Perlakuan JENIS PERLAKUAN PI vs PII PI vs PIII PI vs PIV PI vs PV PI vs PVI PII vs PIII PII vs PIV PII vs PV PII vs PVI PIII vs PIV PIII vs PV PIII vs PVI PIV vs PV PIV vs PVI PV vs PVI
MINGGU III P -83,00 0,006† -70,67 0,017† 10,50 0,700 -24,00 0,383 14,00 0,608 12,33 0,651 93,50 0,003† 59,00 0,041† 97,00 0,002† 81,17 0,007† 46,67 0,099 84,67 0,005† -34,50 0,215 3,50 0,898 38,00 1,174
MINGGU XII P -542,00 <0,001†† -560,40 <0,001†† -536,23 <0,001†† -230,80 <0,001†† -541,60 <0,001†† -18,40 0,670 5,77 0,894 311,20 <0,001†† 0,40 0,993 24,17 0,577 329,60 <0,001†† 18,80 0,664 305,43 <0,001†† -5,37 0,901 -310,80 <0,001††
MINGGU XX P -73,75 0,021† -57,63 0,083 -32,00 1,000 38,38 0,200 2,50 0,686 16,13 0,486 41,75 0,029† 112,13 0,029† 76,25 0,029† 25,63 0,343 96,00 0,029† 60,13 0,114 70,38 0,029† 34,50 0,343 -35,88 0,486
†: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Pada minggu ke XX (gambar 8.4.2 lampiran 11), aktivitas antioksidan pada hewan yang memperoleh makanan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) tetap tinggi dan paling tinggi secara bermakna dengan hewan yang memperoleh makanan hiperkolsterol (PI), daging saja (PV), bumbu dosis optimum (PIII), bumbu dosis minimum (PIV) dan makanan aslinya (PVI) (p <
122
0,05). Sebaliknya aktivitas antioksidan dari hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) dan dosis minimum (PIV) menjadi tidak berbeda secara signifikan (p>0,05), tetapi secara signifikan lebih rendah dari hewan yang memperoleh makanan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) dan lebih tinggi secara signifikan terhadap hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan yang memperoleh daging saja (PV) (p<0,05). Sedangkan hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah dari hewan yang mendapat perlakuan bumbu (PII-PIV) tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) maupun daging saja (PV). Hanya saja perbedaan Aktivitas dari kedua sisi ini secara statistik tidak berbeda secara bermakna (p>0,05) Gambaran perbedaan aktivitas antioksidan total di masing-masing minggu pengukuran dapat disebabkan oleh karena dinamika aktivitas antioksidan total yang diukur pada minggu 0, III, XII dan XX di setiap perlakuan. Hasil yang diperoleh disajikan dalam gambar 5.5 dan tabel 5.14 di bawah ini. Seperti sudah disebutkan di atas, bahwa pada awalnya, rata-rata aktivitas antioksidan total adalah 770,5 µl/dL ± 81,5 (Tabel 5.1). Pada minggu ke III, aktivitas antioksidan di semua perlakuan menunjukkan penurunan. Tetapi penurunan yang sangat bermakna ditemukan pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), yang memperoleh bumbu dengan dosis minimum (PIV), makanan daging babi saja (PV) dan makanan aslinya (PVI) (p<0,05), sehingga keempat perlakuan ini memiliki aktivitas antioksidan yang sangat
123
rendah. Hewan yang mendapatkan bumbu dosis maksimum (PII) dan Bumbu dosis Optimum (PIII) penurunannya tidak bermakna.
-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.5
Dinamika Perubahan Aktivitas Antioksidan Total pada Masingmasing Perlakuan yang Diukur pada Minggu III, XII dan XX
Pada minggu XII, empat perlakuan yaitu hewan yang mendapatkan tambahan bumbu selain daging baik itu dosis maksimum (PII), optimum (PIII) maupun minimum (PIV) dan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) menunjukkan peningkatan aktivitas antioksidan. Peningkatan yang bermakna (p<0,05) terjadi pada hewan-hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII), minimum (IV) dan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), sehingga aktivitas antioksidan ditiga perlakuan bumbu dan makanan asli berada pada posisi
124
tinggi dan masing-masing tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara mereka. Hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) justru mengalami penurunan aktivitas yang sangat signifikan (p<0,05). Tabel 5.14 Dinamika Perubahan Aktivitas Antioksidan Total Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
770,5 649,8 254
649,8 254 718,9
120,7 395,8 -464,9
0,013† <0,001†† <0,001††
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) 770,5 MG 0 - MG III 732,8 MG III - MG XII 732,8 796 792,6 MG XII - MG XX 796
37,7 -63,2 3,4
0,250 0,065 0,916
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) 770,5 MG 0 - MG III MG III - MG XII 720,5 MG XII - MG XX 814,4
720,5 814,4 776,5
50,0 -93,9 37,9
0,155 0,015† 0,273
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) 770,5 MG 0 - MG III MG III - MG XII 639,3 MG XII - MG XX 790,2
639,3 790,2 750,9
131,2 -150,9 39,4
0,028† 0,014† 0,467
DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
673,8 484,8 680,5
96,7 189,0 -195,7
0,039† 0,001†† 0,029†
PERLAKUAN PERMINGGU KOLESTEROL (PI) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
770,5 673,8 484,8
MAKANAN ASLI HEWAN COBA (PVI) 770,5 134,7 MG 0 - MG III 635,8 -159,8 MG III - MG XII 635,8 795,6 716,4 79,2 MG XII - MG XX 795,6 †: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
0,012† 0,004† 0,107
125
Pada minggu XX, aktivitas antioksidan total pada hewan yang memperoleh bumbu (PII-PIV) dan makanan aslinya (PVI) dapat dikatakan tidak berubah atau mengalami perubahan tetapi tidak signifikan (P>0,05). Perubahan yang ditunjukkan adalah penurunan aktivitas yang tidak signifikan. Sebaliknya hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan makanan daging saja (PV) justru mengalami peningkatan yang sangat signifikan (0,000 ≤ p ≤ 0,029). Peningkatan
ini
mengakibatkan
aktivitas
antioksidan
hewan
hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) tidak berbeda secara signifikan dengan hewan yang memperoleh makanan asli (PVI). Hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi tetapi tidak signifikan dengan hewan yang mendapatkan hiperkolersterol (PI). Tetapi walaupun begitu masih ada perbedaan yang bermakna antara hewan yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) dan hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja tanpa bumbu (PV), dimana hewan yang mendapat daging plus bumbu dosis maksimum (PII) ini memiliki aktivitas antioksidan yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol maupun daging saja. Dan hewan yanag memperoleh daging saja ini, aktivitas antioksidannya secara signifikan lebih rendah daripada hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) maupun minimum (PIV) (p<0,05). Hewan yang memperoleh makanan asli (PVI), aktivitas antioksidannya tidak signifikan berbeda dengan hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) maupun minimum (PIV). Dari sini jelas terlihat bahwa daging babi menurunkan aktivitas
126
antioksidan tetapi bumbu meningkatkannya menjadi lebih tinggi atau setidaknya mirip dengan aktivitas antioksidan yang diproduksi oleh hewan yang mengkonsumsi makanan aslinya. Asumsi yang dibuat di dalam penelitian ini adalah bahwa antioksidan dalam bumbu akan meningkatkan kadar antioksidan dalam serum. Sehingga dihipotesiskan bahwa hewan coba yang mendapatkan daging plus bumbu akan memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan coba yang mendapatkan makanan daging saja. Dalam penelitian ini hipotesis tersebut dapat dibuktikan, dimana hewan coba yang mendapatkan makanan daging plus bumbu di semua dosis memang memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh daging saja. Perbedaannya belum terlalu bermakna di minggu III pengamatan, tetapi setelah 12 minggu masa pengamatan perbedaannya menjadi sangat bermakna dan tingkat kemaknaannya menurun lagi, walaupun masih tetap berbeda bermakna, di minggu XX masa pengamatan. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme peningkatan aktivitas antioksidan apakah memiliki keterkaitan dengan GSH, telah dilakukan uji regresi
terhadap dua
variabel yaitu aktivitas antioksidan total dan GSH yang kemudian diuji dengan uji non paremetrik Pearson dan diperoleh hasil bahwa ada keterkaitan positif yang sangat bermakna antara aktivitas Antioksidan total dengan kadar GSH (r= 0,535, p<0,001). Hal ini dapat dikatakan bahwa peningkatan dari aktivitas antioksidan total lebih disebabkan karerna peningkatan GSH dibanding yang dari luar, atau dengan kata lain asupan antioksidan yang dari luar dapat meningkatkan kadar GSH.
127
5.5. Kadar Glutathione (GSH) Seperti halnya kadar antioksidan total, kadar Glutathione juga diukur pada awal, minggu III, minggu XII dan minggu XX perlakuan. Dari setiap perlakuan dilakukan empat ulangan. Data yang diperoleh kemudian dirata-ratakan dan dilihat standard deviasinya. Tujuan pengambilan glutathione pada awalnya adalah untuk melihat apakah kandungan antioksidan pada bumbu juga dapat meningkatkan kadar glutathione dari hewan coba melalui penambahan glutathione perse atau melalui penghematan proses oksidasi sehingga glutathione yang ada tidak teroksidasi. Gambaran awal kadar Glutathionee dapat dilihat pada tabel 5.1. di atas, dan gambaran rata-rata kadar Glutathionee selama 3 kali pengukuran selanjutnya, pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 5.15. Sedangkan perbedaan kadar GSH dapat dilihat pada gambar 8.5 (8.5.1 s/d 8.5.3) lampiran 11 dan tabel 5.16.
Tabel 5.15 Kadar Glutathione dalam Serum yang diukur pada Tiga Kali Pengukuran pada Tikus Wistar PERLAKUAN
MINGGU III MEAN±SD* P
PI 947,19±44,34 0,735 P II 1080,59±75,20 0,792 P III 1154,08±19,65 0,795 P IV 1154,08±10,48 0,446 PV 974,32±14,21 0,752 P VI 1008,24±129,93 0,667 * : tingkat homogenitas 0,075 ** : tingkat homogenitas 0,019 *** : tingkat homogenitas 0,003
MINGGU XII MEAN±SD** P
MINGGU XX MEAN±SD*** P
836,77±15,85
0,744
904,51±30,13
0,019
1277,71±5,01
0,796
0,940
1337,81±59,95
0,787
1099,53±20,61 1109,70±116,19
1333,98±202,36
0,170
1110,55±90,56
0,355
901,73±119,70
0,293
844,31±20,16
0,430
1424,70±18,98
0,785
1152,95±9,59
0,161
0,010
128
Pada awal penelitian, rata-rata kadar Glutathionee yang diperoleh dari hewan coba yang berusia 6 minggu adalah 1052 µmol/L dengan standar deviasi 64,5 µmol/L. Pada minggu III perlakuan (gambar 8.5.1), hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan makanan daging babi saja (PV) menunjukkan rata-rata kadar glutahione di bawah 1000 µmol/L, yaitu 947,19 ± 44,34 µmol/L yang merupakan kadar terendah dan 974,32 ± 14,21 µmol/L. Sedangkan yang tertinggi kadar glutahionenya adalah pada binatang yang mendapat makanan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) yaitu 1080,59 µmol/L dengan standard deviasi 75,2 µmol/L. Pada minggu ke XII perlakuan (gambar 8.5.2), kadar rata-rata Glutathione pada hewan coba yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) masih berada di bawah angka 1000 µmol/L bahkan lebih rendah dari minggu III. Yang terendah adalah hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dengan kadar rata-rata 836,77 ± 15,85 µmol/L. Kadar rata-rata tertinggi pada minggu pengukuran ini ditemukan pada binatang yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) yaitu 1424,70 ± 18,98 µmol/L, sedangkan binatang yang mendapatkan bumbu (PII-PIV) memproduksi Glutathionee rata-rata antara 1200 sd 1300 µmol/L. Pada minggu XX, kadar rata-rata Glutathionee terendah dijumpai masih pada binatang yang mendapatkan makanan daging saja (PV) yaitu 844,31 ± 20,16 µmol/L dan rata-rata tertinggi dijumpai pada binatang yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) yang kadarnya mencapai 1099,53 ± 20,61 µmol/L.
129
Untuk melihat perbedaan kadar rata-rata di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu pengukuran, telah dilakukan uji normalitas data dengan uji Saphiro-Wilk dan homogenitasnya dengan uji Lavene pada tingkat kemaknaan α < 0,05. Dari hasil uji tersebut diperolah data-data pada minggu III terdistribusi normal dan homogen, data pada minggu XII terdistribusi normal namun tidak homogen sedangkan data pada minggu XX terdistribusi tidak normal dan juga tidak homogen. Untuk data minggu III dilakukan uji beda dengan menggunakan One Way Annova yang dilanjutkan dengan Post Hoc LSD, begitu juga dengan data minggu XII tapi uji Post Hoc menggunakan Tamhane. Sedangkan pada minggu XII dilakukan uji non parametrik Mann and Whitney. Pada minggu III, kadar rata-rata Glutathionee pada binatang yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) sangat rendah yaitu 947,19 ± 44,34 µmol/L dan berbeda bermakna dengan binatang percobaan yang memperoleh daging plus penambahan bumbu baik dosis maksimum, optimum dan minimum (PII-PIV) (p<0,05), yaitu masing-masing 1080,59 ± 75,20 µmol/L, 1154,08 ± 19,65 µmol/L, dan 1154,08 ± 10,48 µmol/L. Kadar Glutathionee pada binatang coba yang mendapat tambahan bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) tidak berbeda diantara keduanya, tetapi secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan binatang coba yang memperoleh makanan aslinya (PVI) yang menunjukkan kadar 1008,24 ± 129,93 µmol/L maupun daging saja (PV) yang kadarnya adalah 974,32 ± 14,21 µmol/L (p<0,05). Kadar rata-rata Glutathionee dari binatang yang mendapatkan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) dan makanan aslinya (PVI), memang lebih tinggi dibanding dengan kadar
130
Glutathionee yang ditunjukkan oleh hewan yang mendapat makanan daging saja (PV), akan tetapi perbedaannya ternyata tidak cukup signifikan (p>0,05). Begitu juga antara binatang yang mendapatkan daging saja (PV), makanan asli (PVI) dan dengan hiperkolesterol (PVI), kadar GSH nya tidak berbeda secara signifikan (p>0,05). Tabel 5.16 Perbedaan Kadar GSH pada minggu III, XII dan XX di masing-masing Perlakuan MINGGU XII P -440,95 <0,001†† PI vs PII PI vs PIII -501,04 0,004† PI vs PIV -497,22 0,214 PI vs PV -64,96 0,999 PI vs PVI -587,93 <0,001†† PII vs PIII -60,09 0,893 PII vs PIV -56,27 1,000 PII vs PV 375,98 0,115 PII vs PVI -146,98 0,005† PIII vs PIV 3,82 1,000 PIII vs PV 436,07 0,030† PIII vs PVI -86,89 0,586 PIV vs PV 432,25 0,203 PIV vs PVI -90,71 1,000 PV vs PVI -522,96 0,040† *: Kemaknaan berdasarkan nilai uji non paramaterik Mann-Whitney; †: JENIS PERLAKUAN
MINGGU III P -133,41 0,009† -206,89 <0,001†† -206,89 <0,001†† -27,13 0,561 -61,05 0,199 -73,49 0,126 -73,49 0,126 106,27 0,320 72,36 0,132 0,00 1,000 179,76 0,001†† 145,84 0,005† 179,76 0,001†† 145,84 0,005† -33,92 0,469
MINGGU XX P -195,02 0,029†* -205,20 0,057†* -206,04 0,029†* 60,20 0,029†* -248,44 0,029†* -10,18 0,343 -11,02 0,886 255,22 0,029†* -53,42 0,029†* -0,85 0,686 265,40 0,029†* -43,24 0,486 266,25 0,029†* -42,40 1,000 -308,64 0,029†* Kemaknaan <0,05, ††:
kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Pada minggu ke XII, kadar GSH hewan coba yang mendapat daging plus bumbu dosis maksimum (PII) yang kadarnya menjadi 1277,71 ± 5,01 µmol/L mendekati kadar Glutathionee binatang coba yang mendapatkan daging plus bumbu dosis optimum (PIII) dengan kadar menjadi 1337,81±59,95 µmol/L dan
131
minimum (PIV) yang kadarnya menjadi 1333,98±202,36 µmol/L, sehingga kadar Glutathionee di tiga perlakauan ini menjadi tidak berbeda (p>0,05). Gambaran kadar Glutathionee pada minggu XX masih mirip dengan minggu XII, tetapi tingkat signifikansinya berubah. Dengan menggunakan uji statistik non parametrik, diketahui bahwa hewan yang memperoleh makanan sumber kolesterol (PI) yang kadarnya meningkat menjadi 904,51 ± 30,13 µmol/L, secara signifikan masih lebih rendah dibandingkan dengan yang memperoleh daging plus bumbu baik yang dosis maksimum (PII) yang kadarnya turun menjadi 1099,53 ± 20,61 µmol/L, dosis optimum (PIII) dengan kadar menjadi 1109,70 ± 116,19 µmol/L maupun minimum (PIV) yang kadarnya menjadi 1110,55 ± 90,56 µmol/L dan makanan aslinya (PVI) 1152,95 ± 9,59 µmol/L (p< 0,05); tetapi secara signifikan masih lebih tinggi dibandingkan dengan kadar IL-6 hewan yang mendapatkan diet daging saja (PV) yang kadarnya menjadi 844,31±20,16 µmol/L (p<0,05). Kadar Glutathionee diantara perlakuan bumbu (maksimum, optimum dan minimum tidak berbeda secara statisktik tetapi yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang memperoleh makanan aslinya (PVI). Perbedaan kadar di atas dapat dijelaskan oleh dinamika perjalanan kadar glutahione yang diukur pada minggu 0, III, XII dan XX. Hasil pengukuran di masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.6 dan tabel 5.17. Seperti yang disebutkan di atas bahwa kadar GSH pada awal penelitian adalah 1052 µmol/L. Pada minggu ke III kadar GSH pada hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), daging babi saja (PV) dan yang
132
memperoleh makanan aslinya (PVI) mengalami penurunan. Penurunan yang signifikan dialami oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) (p<0,05) sedangkan hewan yang memperoleh makanan asli (PVI) dan daging saja (PV) penurunannya tidak signifikan (p>0,05).
-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.6. Dinamika Perubahan Kadar GSH pada Masing-masing Perlakuan yang Diukur pada Minggu III, XII dan XX Pada minggu XII, hewan yang memperoleh daging plus bumbu (PII-PIV) baik yang dosis maksimum, optimum dan minimum, Kadar GSHnya meningkat secara signifikan (p<0,05), begitu juga kadar GSH hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), dimana peningkatannya bahkan melebihi peningkatan GSH hewan yang mendapatkan bumbu. Di pihak lain, kadar GSH hewan yang
133
memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging babi saja (PV) tetap menurun, dan bahkan yang mendapat diet hiperkolesterol (PI) kadarnya menurun secara signifikan (P<0,05), sedangkan yang mendapatkan menu daging babi saja (PV), mengalami penurunan yang tidak signifikan. Tabel 5.17 Dinamika Perubahan Kadar GSH berdasarkan waktu dan jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
1052,0 947,19 836,77
947,19 836,77 904,51
104,9 110,4 -67,7
0,004† 0,003† 0,043†
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) MG 0 - MG III 1052,0 1080,59 MG III - MG XII 1080,59 1277,71 MG XII - MG XX 1277,71 1099,53
-28,5 -197,1 178,2
0,441 <0,001†† <0,001††
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) MG 0 - MG III 1052,0 1154,08 MG III - MG XII 1154,08 1337,81 MG XII - MG XX 1337,81 1109,70
-102,0 -183,7 228,1
0,073 0,004† 0,001††
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) MG 0 - MG III 1052,0 1154,08 MG III - MG XII 1154,08 1333,98 MG XII - MG XX 1333,98 1110,55
-102,0 -179,9 223,4
0,236 0,048† 0,018†
77,7 72,6 57,4
0,138 0,163 0,263
PERLAKUAN PER MINGGU KOLESTEROL (PI) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
1052,0 974,32 901,73
974,32 901,73 844,31
MAKANAN ASLI TIKUS (PVI) 43,8 MG 0 - MG III 1052,0 1008,24 -416,5 MG III - MG XII 1008,24 1424,70 271,7 MG XII - MG XX 1424,70 1152,95 †: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
0,415 <0,001†† <0,001††
134
Pada minggu XX, kadar Glutathionee pada hampir semua pengukuran mengalami penurunan kecuali hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) yang justru mengalami peningkatan Kadar yang agak signifikan (p=0,043<0,05). Pada hewan yang memperoleh makanan daging dengan bumbu baik yang dosis maksimum (PII), optimum (PIII) dan minimum (PIV) mengalami penurunan yang sangat signifikan (0,000 ≤ p ≤ 0,001) sedangkan yang memperoleh daging babi saja (PV) mengalami penurunan Kadar tapi tidak segnifikan (p>0,05). Hipotesis dalam penelitian ini adalah bumbu babi guling akan meningkatkan kadar GSH pada serum hewan menjadi lebih tinggi dari pada mengkonsumsi daging tanpa disertai bumbu. Hipotesis tersebut dapat dibuktikan, dimana memang kadar GSH serum hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum dan minimum secara signifikan lebih tinggi dibanding tanpa bumbu di minggu III, menjadi tidak signifikan berbeda di minggu XII dan mejadi signifikan berbeda di semua dosis pada minggu XX. GSH adalah bentuk Glutathione yang sudah tereduksi. Disamping itu juga ada kadar Glutathione yang teroksidasi yang beredar di dalam darah, sebagai hasil peredaman atas proses oksidasi dari radikal bebas, yang dikenal dengan istilah GSSG. GSSG kemudian akan direduksi menjadi GSH kembali dengan melibatkan NADPH sebagai katalisator atau sebagai hydrogen donor. Untuk mengetahui mekanisme peningkatan dan penurunan GSH ini disebabkan oleh karena peningkatan kadar dari GSH sendiri atau oleh karena proses oksidasinya yang dicegah maka ketiga kadar ini yaitu GSH, GSSG dan rasio perbandingannya harus
135
dilihat. Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi dengan menggunakan metode nonparametrik menurut Spearman pada ketiga jenis indikator GSH tersebut dan dilihat bedanya antara yang memperoleh bumbu (PII-PIV) dengan tanpa bumbu (PI dan PV). Dari pengukuran tersebut di diperoleh hasil bahwa rasio kadar GSH:GSSG pada kelompok yang memperoleh bumbu berkorelasi negatif dengan kadar GSSG (r= -0,421, p= 0,010) dan tidak memiliki hubungan dengan kadar GSH (r= 0,225, p= 0,187), sedangkan pada kelompok daging saja rasio kadar GSH:GSSG berkorelasi positif dengan GSH (r= 0,902, p= 0,000) dan tidak memiliki keterkaitan dengan GSSG (r=0,410, p= 0,186). Hal ini berarti bahwa peningkatan rasio GSH pada hewan yang memperoleh bumbu terjadi oleh karena berkurangnya GSH yang teroksidasi, sedangkan pada hewan yang tidak mendapatkan bumbu, disebabkan karena peningkatan jumlah GSH yang dibentuk.
5.6 Sel Busa (Foam Cell) Deskripsi jumlah sel busa yang terbentuk pada dinding pembuluh darah hewan Wistar di masing-masing minggu pengukuran disajikan pada Tabel 5.18. Pada awal penelitian yaitu ketika hewan berusia 6 minggu masih belum menunjukkan adanya sel busa yang terbentuk (tabel 5.1). Tetapi kemudian sel busa sudah mulai terbentuk pada minggu III perlakuan. Jumlah sel busa yang terbentuk ini dihitung secara manual di dalam satu pembuluh darah. Bilamana dalam satu slide ada lebih dari satu pembuluh darah, jumlah sel busa di masingmasing pembuluh darah dihitung, dijumlahkan dan diambil rata-rata dari gabungan jumlah sel busa yang ada dalam beberapa pembuluh darah tersebut. Dari perhitungan tersebut, jumlah sel busa (Foam Cell) yang terbentuk di setiap
136
minggu pengukuran di masing-masing perlakuan yang berbeda ternyata berbedabeda. Untuk melihat perbedaan tersebut telah dilakukan uji statistik terhadap ratarata jumlah sel busa yang terbentuk dari ke 4 ulangan.
Tabel 5.18 Jumlah Sel Busa (Foam Cell) yang terbentuk di Dinding Pembuluh Darah Tikus Wistar pada Tiga Kali Pengkuran PERLAKUAN PI P II P III P IV PV P VI
MINGGU III MEAN±SD P 97±9 52±13 60±17 27±15 81±8 24±9
0,795 0,752 0,816 0,307 0,771 0,676
MINGGU XII MEAN±SD P 133±35 0,308 53±14 33±9 53±4 71±20 65±9
0,617 0,677 0,683 0,424 0,631
MINGGU XX MEAN±SD P 115±9 75±30 34±4 40±16 77±26 30±15
0,177 0,918 0,084 0,749 0,695 0,308
Tabel 5.18 menunjukkan jumlah rata-rata sel busa yang terbentuk dari ke empat ulangan untuk setiap perlakuan di minggu-mingu pengukuran. Pada minggu ketiga jumlah sel busa yang terbanyak terbentuknya dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (97 ± 9) sedang tersedikit di dapatkan pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (24 ± 9). Pada minggu XII jumlah sel busa yang terbentuk terbanyak masih tetap di hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (133 ± 35) sedangkan tersedikit dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan daging dengan bumbu dosis optimum (33 ± 9). Pada minggu XX jumlah sel busa yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan pada miggu XII dan tetap tertinggi dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (115 ± 9) dan tersedikit pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (30 ± 15).
137
Dari segi normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk dan homogenitas data dengan uji Lavene ditemukan bahwa semua data yang diukur pada minggu III, XII dan XX di setiap perlakuan menunjukkan distribusi yang normal dan homogen pada tingkat kemaknaan α < 0,05. Uji beda kemudian dilakukan dengan menggunakan uji One Way Annova yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc menggunakan LSD pada tingkat kemaknaan p<0,05. Tabel 5.19 Perbedaan Jumlah Sel Busa yang Terbentuk di Dinding Pembuluh Darah pada Minggu III, XII dan XX di Masing-masing Perlakuan MINGGU III P 45 <0,001†† PI vs PII PI vs PIII 38 <0,001†† PI vs PIV 70 <0,001†† PI vs PV 16 0,082 PI vs PVI 73 <0,001†† PII vs PIII -8 0,384 PII vs PIV 25 0,011† PII vs PV -29 0,003† PII vs PVI 28 0,005† PIII vs PIV 32 0,001†† PIII vs PV -22 0,023† PIII vs PVI 35 0,001†† PIV vs PV -54 <0,001†† PIV vs PVI 3 0.734 PV vs PVI 57 <0,001†† †: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, JENIS PERLAKUAN
MINGGU XII P 80 <0,001†† 100 <0,001†† 80 <0,001†† 62 <0,001†† 68 <0,001†† 19 0,142 0 1 -18 0,179 -12 0,373 -20 0,142 -38 0,009† -32 0,025† -18 0,179 -12 0,633 6 0,633
MINGGU XX P 41 0,008† 81 <0,001†† 75 <0,001†† 38 0,011† 85 <0,001†† 40 0,008† 35 0,018† -2 0,855 44 0,004† -5 0,688 -43 0,005† 4 0,77 -38 0,012† 9 0,49 47 0,003†
PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Perbedaan jumlah sel busa yang terbentuk di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu yang berbeda disajikan dalam gambar 8.6 lampiran 11, gamabr 5.7 dan tabel 5.19.
138
-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●PVI: makanan asli tikus
Gambar 5.7 Dinamika Pembentukan Sel Busa Berdasarkan Waktu dan Perlakuan Pada minggu III (gambar 8.6.1), sel busa yang terbentuk paling tinggi dijumpai pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) dan yang kedua setelah itu adalah hewan yang mengkonsumsi daging babi saja (P V). Jumlah yang terbentuk di dua perlakuan ini berbeda dengan sangat signifikan dengan jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mendapat makanan daging yang berbumbu disemua dosis (P II-IV) maupun makanan aslinya (PVI) (p<0,05). Jumah sel busa tertinggi yang terbentuk pada kedua perlakuan tertinggi ternyata secara statistik dinyatakan tidak berbeda (p>0,05), begitu juga jumlah sel busa yang rendah yang terbentuk antara hewan yanag mengkonsumsi daging plus bumbu dosis minimum dan makanan aslinya secara statistik dinyatakan tidak
139
berbeda (p>0,05). Tetapi jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis minimum (PIV) secara statistik dinyatakan signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kedua dosis di atasnya. Sedangkan diantara dosis maksimum dan dosis optimum dinyatakan tidak berbeda. Keadaan sepertinya agak berbeda pada minggu ke XII (gambar 8.6.2 lampiran 11) tetapi sebenarnya tidak, karena jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis optimum (P III) yang menjadi lebih rendah dibandingkan dosis minimum (PIV) yang dulunya rendah, ternyata perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan. Begitu juga dengan jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis maksimum (P II) (p>0,05). Pembentukan sel busa pada ketiga perlakuan ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pembentukan sel busa pada hewan hiperkolesterol dan hewan yang mengkonsumsi daging saja (p<0,05). Disamping itu perbedaan jumlah tidak signifikan ini dijumpai juga antara hewan yang mengkonsumsi bumbu dosis maksimum (PII) dan minimum (PIV) dengan yang mengkonsumsi makanan aslinya (PVI). Pada minggu XX (gambar 8.6.3 lampiran 11), jumlah sel busa yang terbentuk
masih
tertinggi
pada
hewan
yang
menkonsumsi
makanan
hiperkolesterol (PI) dan sangat signifikan berbeda dengan perlakuan lainnya termasuk dengan yang mengkonsumsi daging saja (0,000 ≤ p ≤ 0,011). Pembentukan sel busa pada hewan yang mengkosumsi daging babi plus bumbu
140
dosis maksimum (PII), walaupun lebih rendah dibandingkan dengan yang mengkonsumsi daging saja (PV) tetapi secara statistik mereka tidak seginifikan berbeda (p > 0,05).
Tabel 5.20 Dinamika Perubahan Jumlah Sel Busa Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan MEAN I
MEAN II
P
0,0 97 133
97 133 115
-97,0 -36,0 17,7
0,001†† 0,576 0,952
DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII) 0,0 MG 0 - MG III 52 MG III - MG XII 52 53 MG XII - MG XX 53 75
-52,0 -1,0 -21,8
0,022† 1 0,831
DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII) 0,0 MG 0 - MG III 60 MG III - MG XII 60 33 34 MG XII - MG XX 33
-59,7 26,3 -0,9
<0,001†† 0,003† 0,89
DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV) 0,0 MG 0 - MG III 27 MG III - MG XII 27 53 MG XII - MG XX 53 40
-27,3 -25,7 13,3
0,005† 0,008† 0,126
DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
-81,3 10,3 -6,3
<0,001†† 0,408 0,611
PERLAKUAN PERMINGGU KOLESTEROL (PI) MG 0 - MG III MG III - MG XII MG XII - MG XX
0,0 81 71
81 71 77
MAKANAN ASLI HEWAN (PVI) 0,0 -24,3 MG 0 - MG III 24 0,003† -40,7 MG III - MG XII 24 65 <0,001†† 34,8 MG XII - MG XX 65 30 <0,001†† †: Kemaknaan <0,05; ††: kemaknaan ≤ 0,001; (-): Delta negatif I
141
Keadaan di atas disebabkan karena jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging saja (PV) dan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) pada minggu ke XX mengalami peningkatan (tabel 5.20, gambar 5.7), walaupun meningkatnya tidak signifikan, tetapi memberikan efek beda secara signifikan dengan perlakuan bumbu lainnya (tabel 5.19).Jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mendapat bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) menjadi rendah dan menjadi tidak berbeda secara signifikan dengan hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) (p>0,05), tetapi berbeda secara signifikan dengan perlakuan bumbu dosis masksimum (PII) (p<0,05).
Dari sini jelas terlihat bahwa terakumulasinya sel busa secara konsisten tertinggi dijumpai pada hewan makanan hiperkolesterol. Dan hewan yang mengkonsumsi daging babi guling bila dikonsumsi tanpa bumbu memberikan dampak akumulasi sel busa yang lebih rendah secara signifikan tetapi polanya mirip dengan yang mengkonsumsi hiperkolesterol. Bumbu sangat berperan dalam hal menurunkan jumlah sel busa yang terbentuk khususnya hewan yang mendapatkan dosis optimum maupun minimum. Hewan yang mengkonsumsi bumbu dosis maksimum awalnya menunjukkan dampak penekanan tetapi setelah minggu ke XX menunjukkan peningkatan walaupun peningkatannya tidak signifikan. Gambaran perbedaan sel busa di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu pengamatan yang berbeda secara visual dapat diamati pada gambar 7.1.1; 7.2.1; 7.3.1, 7.4.1 lampiran 11. Kalau dilihat hipotesis yang dibuat pada penelitian ini bahwa bumbu babi guling akan menekan terbentuknya sel busa yang diinduksi oleh daging babi
142
guling, sehingga jumlah sel busa yang terbentuk menjadi lebih rendah bila daging babi guling dikonsumsi dengan bumbunya dibanding tanpa bumbu. Hipotesis ini dapat dibuktikan dengan meyakinkan pada penelitian ini, hanya tingkat kemaknaannya bervariasi di antara dosis yang diberikan dan waktu pengamatan. Perbedaan bermakna ditemukan di semua dosis pada minggu ke III, antara dosis optimum di minggu ke XII dan pada dosis optimum dan minimum di minggu ke XX.
5.7 Perkembangan Berat Badan Berat badan hewan coba ditimbang setiap minggu dengan tujuan untuk meleihat perkembangan pertumbuhan selama masa interevensi. Rata-rata berat badan berikut Standard Deviasinya pada minggu-minggu pengukuran yang dicatat (III, XII dan XX) di setiap perlakuan yang berbeda disajikan dalam tabel 5.21.
Tabel 5.21 Berat Badan Tikus Percobaan selama Masa Eksperimen yang Diukur pada Tiga kali Pengukuran PERLAKUAN
MINGGU III MEAN±SD* P
PI 187,4±23,2 0,282 P II 193,5±9,5 0,469 P III 191,7±30,9 0,510 P IV 178,6±16,2 0,582 PV 201,2±29,3 0,344 P VI 191,7±28,4 0,798 * : tingkat homogenitas 0,909 ** : tingkat homogenitas 0,318 *** : tingkat homohgenitas 0,724
MINGGU XII MEAN±SD** P
MINGGU XX MEAN±SD*** P
289,0±63,9
0,727
405,0±79,3
0,414
268,9±63,8
0,618
0,457
188,1±33,5
0,331
324,1±41,8 352,0±68,2
241,8±13,4
0,783
329,0±46,1
0,091
267,6±32,5
0,217
330,7±39,9
0,944
254,4±29,4
0,186
341,5±59,3
0,288
0,652
143
Pada awal penelitian berat hewan coba berada pada kisaran 111,5 – 159,42 gram dengan rata-rata 121,4 ± 9,3 (tabel 5.1), pada minggu ke III beratnya menjadi 156,46 – 220,67 gram dengan rata-rata 190,7 ± 22,9 gram. Pada minggu ke XII berat hewan coba berada pada kisaran 166,04 – 341,91 gram dengan ratarata 251,6 ± 39,4 dan pada minggu XX berat rata-ratanya adalah 347,0 ± 55,8 gram yaitu antara 294,72 – 513,24 gram. Tabel 5.22 Perbedaan Berat Badan pada minggu III, XII dan XX di masing-masing perlakuan JENIS PERLAKUAN PI vs PII PI vs PIII PI vs PIV PI vs PV PI vs PVI PII vs PIII PII vs PIV PII vs PV PII vs PVI PIII vs PIV PIII vs PV PIII vs PVI PIV vs PV PIV vs PVI PV vs PVI
MINGGU III P -6,14 0,665 -4,27 0,763 8,82 0,535 -13,84 0,335 -4,29 0,762 1,87 0,895 14,96 0,298 -7,70 0,588 1,85 0.896 13,09 0,361 -9,57 0,502 -0,02 0,999 -22,66 0,122 -13,11 0,36 9,55 0,503
MINGGU XII P 20,12 0,434 100,90 0,001†† 47,18 0,077† 21,41 0,405 34,61 0,185 80,77 0,005† 27,06 0,296 1,29 0,96 14,49 0,572 -53,72 0,047 -79,49 0,005† -66,29 0,017† -25,77 0,319 -12,57 0,623 13,20 0,606
MINGGU XX P 80,84 0,063 53,02 0,21 75,99 0,079 74,24 0,085 63,51 0,136 -27,82 0,503 -4,85 0,907 -6,60 0,873 -17,33 0,676 22,97 0,58 21,22 0,609 10,49 0,800 -1,75 0,966 -12,48 0,763 -10,73 0,795
†: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I
Melihat data di atas, berat badan hewan coba yang digunakan cukup bervariasi, untuk itu telah dilakukan uji normalitas dan homogenitas bagi data berat badan di setiap perlakuan disetiap minggu pengukuran dan diperoleh hasil
144
bahwa data rata-rata berat badan pada minggu III terdisitribusi normal dan homogen (p > 0,05), begitu juga pada minggu ke XII dan minggu XX. Untuk melihat apakah perkembangan berat badan mereka berbeda antara perlakuan satu dengan perlakuan yang lainnya di setiap minggu pengukuran atau antara minggu yang satu dengan minggu yang lain di setiap perlakuan, telah dilakukan uji perbedaan dengan menggunakan uji One Way Annova yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc dengan menggunakan LSD. Melihat perkembangan berat badannya, hampir semua hewan coba yang terlibat di masing-masing kelompok ulangan, baik yang di kelompok awal, kelompok tiga minggu, kelompok XII minggu dan di kelompok XX minggu tidak menunjukkan perbedaan berat badan yang berarti (P > 0,05), kecuali hewanhewan pada minggu ke XII dimana hewan coba yang memperoleh daging plus bumbu dosis optimum (PIII) berat badan rata-ratanya sangat rendah dan menjadi berbeda bermakna bila dibandingkan dengan hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), dosis maksimum (PII), daging babi saja (PV) dan makanan aslinya (PVI). Perbedaan signifikan juga dijumpai antara hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PIV) dengan bumbu dosis minimum (PIV). Tetapi setelah 20 minggu perbedaan berat badan tersebut tidak ada lagi.