BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Isolasi Kitin dari Kulit Udang
5.1.1
Tepung kulit udang Kulit udang yang diperoleh dari pasar Kebun Roek Ampenan kota
Mataram dibersihkan kemudian dikeringkan yang selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender, dan diayak dengan ayakan 100 mesh sehingga diperoleh tepung kulit udang yang bewarna pink seperti yang terdapat pada lampiran 1. Hasil yang lewat dari ayakan ini digunakan untuk memperoleh kitin. 5.1.2
Proses demineralisasi Proses demineralisasi ini bertujuan untuk menghilangkan garam-garam
anorganik atau kandungan mineral yang ada pada kulit udang. Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil, mineral yang terkandung dalam kulit udang ini lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik (Marganov, 2003). Pada proses demineralisasi, dari 200 g tepung kulit udang yang digunakan setelah proses diperoleh kitin kasar sebanyak 95 g. Proses yang terjadi pada tahap demineralisasi adalah mineral yang terkandung dalam kulit udang bereaksi dengan HCl sehingga terjadi pemisahan mineral dari kulit udang tersebut. Proses pemisahan mineral ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung udara pada saat larutan HCl ditambahkan ke dalam sampel (Hendry, 2008), sehingga penambahan HCl ke dalam sampel dilakukan secara bertahap agar sampel tidak meluap. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
35
36
Ca3(PO4) 2(s)+ 6HCl(aq) CaCO3(s) + 2HCl(aq) H2CO3(g)
5.1.2
→3CaCl2(aq) + 2H3PO4(aq) →CaCl2(aq) + H2CO3(g) →CO2(g) + H2O(l)
Proses deproteinasi Kulit udang bebas mineral yang diperoleh dari tahap demineralisasi
dilanjutkan dengan tahap deproteinasi. Proses ini bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan protein dari kitin. Pada tahap deproteinasi, protein yang terkandung dalam kulit udang larut dalam basa sehingga protein yang terikat secara kovalen pada gugus fungsi kitin akan terpisah. Menurut Karmas (1982) penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu yang tinggi maka proses penghilangan protein semakin efektif dan menyebabkan terjadinya proses deasetilasi. Proses pengadukan dan pemanasan bertujuan untuk mempercepat pengikatan ujung rantai protein dengan NaOH sehingga proses degradasi dan pengendapan protein berlangsung sempurna (Austin, 1981). Pada proses demineralisasi terjadi pengurangan massa serbuk kulit udang sebesar 105 g dari 200 g serbuk kulit udang menjadi 95 g kulit udang tanpa mineral. Pada proses deproteinasi terjadi pengurangan massa sebesar 21,479 g dari 95 g kulit udang bebas mineral (kitin kasar) menjadi 73,521 g kulit udang tanpa protein. Jadi pada penelitian ini diperoleh rendemen kitin sebesar 36,76% (dapat dilihat pada lampiran 2). Hasil ini sesuai dengan penemuan para peneliti sebelumnya yang menyatakan kadar kitin kulit udang di atas 20% (Marganov, 2003). Kitin yang diperoleh dicuci dengan aquades sampai pH netral. Kitin tersebut dikarakterisasi secara FTIR untuk identifikasi gugus-gugus aktifnya. Spektra FTIR pembentukan senyawa kitin pada penelitian ini berada pada daerah
37
serapan bilangan gelombang sekitar 3475,73 cm-1 menunjukkan serapan gugus hidroksil (pada literatur serapan gugus hidroksil pada bilangan gelombang 3448 cm-1). Terjadi perbedaan serapan gugus hidroksil pada hasil penelitian ini disebabkan masih adanya gugus asetil yang terikat kuat pada struktur senyawa kitin. Sedangkan gugus amina (ikatan N-H ulur) muncul di daerah 3265, 49 cm-1 (pada literatur menunjukkan di daerah 3250-3300 cm-1), (ikatan C-H) pada daerah 2883,58 cm-1 (literatur 2891 cm-1), gugus amida (ikatan C=O ulur) muncul pada daerah 1660,71 cm-1(literatur 1640-1680 cm-1), serapan ikatan N-H bengkokan muncul pada bilangan gelombang 1554,63 cm-1 (literatur 1530-1560 cm-1), dan gugus amina (ikatan N-H kibasan) muncul di daerah bilangan gelombang 707,88 cm-1 (literatur 650-750 cm-1). 5.2
Proses Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan Transformasi kitin menjadi kitosan melalui proses deasetilasi. Proses
deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari kitin dengan menggunakan larutan alkali agar berubah menjadi gugus amina (-NH2). Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan hidrogen yang kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksilat pada rantai bersebelahan (Muzzarelli, 1986). Pemutusan ikatan antara gugus asetil dengan gugus nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amina (-NH2) perlu digunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi 60% pada suhu 100-1100C selama 4 jam. Penggunaan larutan alkali dengan konsentrasi yang tinggi serta suhu tinggi selama proses deasetilasi dapat mempengaruhi besarnya derajat deasetilasi yang dihasilkan (Kim, 2004; Odote et al., 2005). Hal ini membuktikan bahwa semakin besar konsentrasi semakin banyak zat-zat yang bereaksi dan semakin besar
38
kemungkinan terjadinya tumbukan (Habibi, 2008). Proses deasetilasi dalam basa kuat dan panas menyebabkan hilangnya gugus asetil pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan positif sehingga dapat larut dalam asam organik (Bastaman, 1989) seperti asam asetat ataupun asam formiat. Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi adisi, pada proses ini gugus –OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan (Mahatmanti, 2001). Kitosan yang dihasilkan sebanyak 47,305 g dari serbuk kitin awal yang digunakan pada proses deasetilasi 70,521 g, terjadi pengurangan massa akibat mengalami proses deasetilasi sehingga diperoleh presentase transformasi kitin menjadi kitosan sebesar 67,08% (dapat dilihat pada lampiran 2) dengan penampilan serbuk yang bewarna putih krem. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu kadar kitosan dari kitin kulit udang lebih besar dari 50% (Marganov, 2003). Spektra FTIR kitosan (lampiran 4) menunjukkan adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 3441,01 cm-1 (O-H stetching), 1660,71 (C=O amida). Serapan pada bilangan gelombang 1660.71 cm-1 (puncak amida) masih muncul disebabkan kitosan yang dihasilkan belum terdeasetilasi secara keseluruhan. Kualitas kitosan dapat diketahui juga dari besarnya persen derajat deasetilasi. Perhitungan derajat deasetilasi kitosan dengan metode base line yang diusulkan oleh Domszy dan Rovert (Khan et al, 2002) digunakan untuk mengetahui persen derajat deasetilasi (DD) kitosan kulit udang. Pada penelitian ini diperoleh persen
39
derajat deasetilasi sebesar 84,85% (perhitungan DD kitosan terdapat pada lampiran 5), hal ini menunjukkan belum seluruhnya kitin terdeasetilasi menjadi kitosan. Kitosan dikatakan telah terdeasetilasi sempurna jika DD > 90% (Srijanto, 2003). Masih rendahnya DD kitosan hasil penelitian disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor pengadukan, suhu serta jenis habitat atau pemeliharaan udang yang digunakan. 5.3
Karakterisasi Kitosan Kitosan yang diperolah dikarakterisasi untuk mengetahui mutu kitosan
yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji kadar air, kelarutan dalam asam asetat 2%, tekstur, warna, serta uji dengan larutan ninhidrine. Hasil karakterisasi kitosan yang diperoleh dari penelitian dibandingkan dengan standar mutu internasional kitosan yang dapat dilihat pada Tabel 5.1 Tabel 5.1 Karakterisasi Kitosan Parameter Kadar air Kelarutan dalam asam asetat 2% Tekstur
Nilai dari kitosan yang diperoleh 1,55 %
Nilai dari standar internasional ≤ 10 %
Larut
Larut
Serbuk
Serbuk Putih sampai kuning pucat
Warna
Putih krem
Uji dengan larutan ninhidrine
Positif bewarna ungu
-
Karakterisasi kitosan hasil penelitian pada tabel 5.1 di atas menunjukkan bahwa kitosan yang diperoleh telah memenuhi nilai standar internasional sehingga bisa digunakan untuk berbagai aplikasi. Kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air yang rendah. Besarnya kandungan air pada kitosan tidak dikehendaki dalam pemanfaatan di berbagai bidang, karena akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroorganisme (Rochima et al., 2004). Kadar air pada kitosan
40
dipengaruhi oleh proses pada saat pengeringan, lama pengeringan, jumlah kitosan yang dikeringkan dan luas permukaan tempat kitosan dikeringkan (Apsari et al, 2010). Kelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan salah satu parameter yang dapat dijadikan sebagai standar penilaian mutu kitosan. Semakin tinggi kelarutan kitosan dalam asam asetat 2% berarti mutu kitosan yang dihasilkan semakin baik (Rochima et al., 2004; Mukherjee, 2001). Kitosan yang dihasilkan memiliki kelarutan yang sempurna dalam asam asetat 2%. Kelarutan diamati dengan membandingkan kejernihan larutan kitosan dengan kejernihan pelarutnya. Pembuktian ada tidaknya gugus amina pada kitosan dilakukan uji menggunakan larutan ninhidrine. Hasil uji ninhidrine kitosan menunjukkan positif yang dapat dilihat dari perubahan warna kitosan yang bewarna putih krem menjadi ungu. Ninhidrine merupakan oksidator kuat yang bereaksi dengan gugus amina dari senyawa kitosan pada pH 4-8 menghasilkan senyawa hasil ikatan antara hidrindantin dan ninhidrine melalui jembatan nitrogen yang bewarna ungu (Sanjaya et al., 2007). Ninhidrine digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gugus amina bebas pada kitosan yang diperoleh sebelum dikarakterisasi menggunakan FTIR . 5.4 Kadar Total Kolesterol Darah Sebelum dan Setelah Pemberian Kitosan Pengukuran kadar total kolesterol dalam darah tikus Sprague dawley dilakukan setelah tikus percobaan diberikan asupan makanan yang mengandung kolesterol tinggi. Pengambilan darah tikus dari pleksus retroorbitalis dan diukur dengan
metode
presipitasi
secara
spektrofotometri.
Tikus
percobaan
hiperkolesterolemia ditandai dengan kadar total kolesterol mencapai > 130 mg/dL.
41
Hasil dari pemeriksaan ini merupakan data kadar total kolesterol darah sebelum diberikan perlakuan dibandingkan dengan data kadar total kolesterol darah setelah pemberian perlakuan. Kelompok
A
merupakan
kelompok
kontrol
positif
yaitu
tikus
hiperkolesterolemia tanpa diberikan obat simvastatin maupun kitosan. Kelompok B yaitu kelompok tikus percobaan hiperkolesterolemia diberikan obat standar penurun kolesterol darah yaitu simvastatin. Kelompok C, D dan E merupakan tikus percobaan hiperkolestrolemia diberikan bahan uji kitosan masing-masing 0,5% b/v, 1% b/v, dan 2% b/v. Kadar total kolesterol darah setelah pemberian obat penurun kolesterol darah diukur pada minggu ke III dan ke V. Kadar total kolesterol darah tikus percobaan sebelum dan setelah pemberian kitosan dan simvastatin ditunjukkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Rata-rata kadar total kolesterol darah sebelum dan setelah pemberian kitosan Kadar total kolesterol darah Penurunan kolesterol darah (mg/dL) Minggu ke Kelompok perlakuan Minggu ke 0 III V 0 III V Kontrol positif (A) 139 130e 113d 0 9e 26 d Simvastatin (B) 143 85a 64,5a 0 58 a 78,5 a d c d Kitosan 0,5% (C) 143 104,5 97 0 38,5 46 c c b c Kitosan 1% (D) 143 99 79 0 44 64 b b a b Kitosan 2% (E) 143 92 64,5 0 51 78,5 a Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Kadar rata-rata total kolesterol darah tikus percobaan setelah pemberian kitosan mengalami penurunan dibandingkan sebelum pemberian kitosan. Hal ini disebabkan kitosan merupakan serat larut dan berbentuk gel jika dilarutkan dalam air sehingga menghambat penyerapan lemak oleh tubuh (Jin et al., 2003). Kitosan dapat mengikat dan menyerap lemak dengan efisien sehingga berpengaruh terhadap berat badan serta kadar lemak pada feses (Wiyatna et al., 2006). Selain
42
mengikat lemak, kitosan juga berfungsi dalam menurunkan sintesis kolesterol oleh tubuh karena bahan dasar atau prekursor untuk sintesis kolesterol telah diserap oleh kitosan dan dikeluarkan melalui feses (Anderson et al., 1990). Hasil pengamatan kadar total kolesterol darah tikus percoban pada minggu ke III terlihat bahwa kadar total kolesterol darah berbeda nyata pada semua perlakuan. Tetapi pada minggu ke V kadar total kolesterol darah pada kelompok perlakuan yang diberikan kitosan 2% b/v (E) tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan yang diberikan simvastatin (B), tetapi berbeda nyata dengan kontrol positif (A), pemberian kitosan 0,5% b/v (C) dan pemberian kitosan 1% b/v (D) . Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas penurunan kadar total kolesterol darah pada tikus yang diberikan kitosan 2% b/v sama dengan obat standar penurun kolesterol darah yaitu simvastatin dengan dosis 0,6mg/BB pada minggu ke V. Bukti bahwa lemak dikeluarkan melalui feses dapat dilihat dari hasil analisis kandungan lemak pada feses sebelum dan setelah pemberian kitosan yang dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Rata-rata kadar lemak pada feses sebelum dan setelah pemberian kitosan Kelompok perlakuan Kontrol positif (A) Simvastatin (B) Kitosan 0,5% Kitosan 1% Kitosan 2%
0 0,02 0,04 0,04 0,06 0,05
Kadar lemak (%) Minggu ke III V 5,20 a 7,05 a 6,83 b 12,06 b b, c 7,99 15,54 c c, d 9,41 19,19 d d 10,79 21,83 e
Peningkatan kadar lemak (%) Minggu ke 0 III V 0 5,17 a 7,02 a 0 6,79 b 12,02 b b, c 0 7,94 15,49 c c, d 0 9,34 19,12 d d 0 10,74 21,78 e
Keterangan : Nilai dengan superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Rata-rata kadar lemak pada feses tikus percobaan sebelum dan setelah pemberian kitosan mengalami kenaikan sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu kandungan lemak feses meningkat dengan bertambahnya jumlah kitosan
43
yang diberikan yang mengakibatkan menurunnya pertambahan bobot badan tikus (Wiyatna et al, 2006). Hal ini disebabkan kitosan merupakan salah satu serat larut yang berbentuk gel yang dapat berfungsi mengikat lemak sehingga lemak tidak diserap oleh tubuh tetapi dikeluarkan dari tubuh bersama feses. Mekanisme hipokolesterolemia oleh serat kitosan terjadi dalam beberapa cara antara lain melalui mekanisme penundaan pengosongan lambung atau menjaga rasa kenyang dan asupan kalori berkurang serta sekresi insulin berkurang yang diikuti dengan penghambatan kerja enzim HMG Co-A reduktase sehingga sintesis kolesterol menurun (Izadi et al., 2012). Serat larut air mengikat lemak, protein dan karbohidrat
yang
mengakibatkan proses pencernaan dan penyerapan lemak menjadi terganggu. Serat larut air mengikat asam kenodeoksikolat serta menghambat kerja enzim HMG Co-A reduktase, sehingga sintesis kolesterol menjadi berkurang. Lignin dan pektin mengikat asam empedu dan membentuk formasi misel yang selanjutnya diekskresikan bersama feses dan serat pangan di kolon difermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek seperti asetat, propionat dan butirat yang kemudian propianat menghambat kerja enzim HMG Co-A reduktase yang menghambat sintesis kolesterol di hati (Izadi et al., 2012). Serat larut air mempengaruhi aktivitas enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol dan asam empedu (Anderson et al., 1990). Kitosan merupakan suatu polimer yang bersifat polikationik. Kitosan dengan struktur [β-(1-4)-2-amina-2-deoksi-D-glukosa] merupakan hasil dari deasetilasi kitin (Apsari et al., 2010). Keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat efektif mengikat kation
44
ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein dan lemak). Kemampuan
pengkelat logam yang ditunjukkan oleh kitosan menyebabkan
gangguan fisiologis bagi enzim HMG-CoA reduktase, sehingga menyebabkan kegagalan enzim tersebut dalam membentuk mevalonat. Logam sangat diperlukan oleh enzim karena merupakan kofaktor bagi enzim. Enzim yang kehilangan logam mengalami gangguan fungsi dan rusak (De Bolster, 1997). Kemampuan menurunkan kadar total kolesterol darah terbaik ditunjukkan oleh kitosan 2% b/v dan simvastatin 0,6mg/BB. Persentase penurunan total kolesterol darah mencapai 54,9% pada minggu ke V. Dilihat dari kemampuan kitosan dalam menurunkan kadar total kolesterol darah, semakin tinggi kadar kitosan yang diberikan maka semakin rendah kadar total kolesterol darah. Namun, dalam penelitian ini penggunaan kadar kitosan dibatasi sampai 2% b/v karena merujuk dari penelitian Suarsana (2012) yang menyatakan penggunaan kitosan 2% dan 4% memberikan hasil penurunan kadar total kolesterol darah yang sama. Alasan lain penggunaan kitosan 2% b/v karena kemampuan kitosan sebagai pengkelat logam dikhawatirkan dapat mengikat logam-logam yang terdapat dalam makanan, sedangkan logam-logam yang terdapat dalam bahan makanan merupakan nutrien yang dibutuhkan oleh tubuh. Menurut Hardjito (2006) belum ada efek negatif kitosan terhadap manusia dan toleransi untuk manusia adalah 1,333 gr/kg berat badan. Pada manusia kitosan tidak dapat dicerna sehingga tidak mempunyai nilai kalori dan langsung dikeluarkan oleh tubuh bersama feses. Kemampuan mengikat lemak yang dikeluarkan melalui feses lebih tinggi kitosan 2% b/v dibandingkan dengan simvastatin dengan persentase masingmasing kitosan dan simvastatin yaitu 21,78% dan 12,02%. Hal ini terjadi karena
45
mekanisme kerja dari simvastatin dan kitosan berbeda. Simvastatin bekerja sebagai inhibitor kompetitif yaitu menghambat kerja enzim dengan cara menempati sisi aktif enzim HMG CoA reduktase sehingga substrat tidak dapat berikatan dengan enzim sehingga terjadi kegagalan dalam sintesis kolesterol. (Witztum, 1996). Sedangkan kitosan merupakan salah satu serat larut bekerja di dalam usus mengikat lemak sehingga bahan dasar atau prekursor untuk sintesis kolesterol berkurang menyebabkan sintesis kolesterol menurun (Anderson et al., 1990). Kemampuan kitosan dalam mengikat lemak dipengaruhi juga oleh ukuran partikel kitosan yang digunakan, semakin kecil ukuran partikel maka semakin luas permukaan kitosan sehingga semakin banyak lemak yang bisa diikat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suarsana (2012) dan Wiyatna et al (2006) tidak mencantumkan ukuran partikel kitosan yang digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol darah sehingga presentase pengikatan lemak dan penurunan kolesterolnya berbeda dengan penelitian ini. Perbandingan kadar total kolesterol darah dan kadar lemak pada feses sebelum dan setelah pemberian kitosan dapat
kadar kolesterol darah (mg/dL)
dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2. 160 140 120
(A)
100
(C)
80
(D)
(B)
60
(E)
40 0
1 kontrol positif (A) kitosan 1% (D)
2
3 minggu ke simvastatin (B) kitosan 2% (E)
4
5 kitosan 0,5% (C)
Gambar 5.1 Kadar total kolesterol darah sebelum dan setelah pemberian kitosan
6
46
kadar lemak (%)
(E) 20,02 18,02 16,02 14,02 12,02 10,02 8,02 6,02 4,02 2,02 0,02
(D) (C) (B) (A)
0
1
2
3
4
5
6
minggu ke kontrol positif (A) kitosan 1% (D)
simvastatin (B) kitosan 2% (E)
kitosan 0,5% (C)
Gambar 5.2 Kadar lemak pada feses sebelum dan setelah pemberian kitosan Gambar 5.1 menunjukkan perbedaan kemampuan kitosan dalam menurunkan total kolesterol darah dari masing-masing kelompok perlakuan. Kelompok A adalah kontrol positif yang dibuat hiperkolesterolemia tanpa pemberian kitosan maupun simvastatin. Pada perlakuan ini terjadi penurunan kadar total kolesterol darah pada minggu ke III sebanyak 6,5% dan minggu ke V sebanyak 18,7%. Hal ini disebabkan kadar kolesterol awal sudah mengalami penurunan akibat aktivitas hewan. Kelompok B adalah kelompok tikus percobaan yang diberikan obat standar yaitu simvastatin (0,6mg/BB) terjadi penurunan ratarata kadar total kolesterol darah pada minggu ke III sebanyak 40,6% dan minggu ke V sebanyak 54,9%. Kelompok C adalah kelompok tikus percobaan yang diberikan kitosan 0,5% b/v terjadi penurunan rata-rata total kolesterol darah pada minggu ke III sebanyak 26,9% dan minggu ke V sebanyak 32,2%. Kelompok D adalah kelompok tikus percobaan yang diberikan kitosan 1% b/v terjadi penurunan rata-rata kadar total kolesterol darah pada minggu ke III sebanyak 30,8% dan minggu ke V sebanyak 44,8%. Kelompok E adalah kelompok tikus
47
percobaan yang diberikan kitosan 2% b/v terjadi penurunan rata-rata kadar total kolesterol darah pada minggu ke III sebanyak 35,7% dan minggu ke V sebanyak 54,9%. Pada Gambar 5.1 dapat dilihat terjadinya perubahan kadar total kolesterol darah tikus percobaan selama proses penelitian. Selain itu, terjadi peningkatan kadar lemak pada feses (Gambar 5.2) semakin tinggi konsentrasi kitosan yang diberikan maka semakin banyak lemak yang bisa diikat oleh kitosan sehingga total kolesterol darah semakin menurun dan terjadi peningkatan kadar lemak pada feses tikus percobaan yang diperoleh. 5.5 Efektivitas Simvastatin dan Kitosan untuk Menurunkan Kadar Total Kolesterol Darah Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang telah dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi (Etzioni, 1985). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan kitosan dalam menurunkan kadar kolesterol darah serta efektivitas kitosan dibandingkan dengan simvastatin dalam menurunkan kadar kolesterol darah tikus Sprague dawley. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan mampu menurunkan kadar kolesterol darah tikus Sparague dawley yang mengalami hiperkolesterolemia dengan persentase mencapai 54,9% pada minggu ke V. Selain itu, kitosan dengan konsentrasi 2% b/v memiliki kemampuan yang sama dengan obat standar penurun kolesterol darah yaitu simvastatin (0,6mg/BB) dalam menurunkan kadar kolesterol darah pada minggu ke V. Dilihat dari kadar total kolesterol darah pada
48
minggu ke V dengan pemberian kitosan 2% b/v belum efektif sebab kadar total kolesterol tikus percobaan masih belum menunjukkan kadar kolesterol normal sekitar 10-54 mg/dL, namun bisa diprediksikan efektivitas kitosan dalam menurunkan kolesterol darah akan tercapai jika pemberian kitosan dilanjutkan sampai minggu ke VII berdasarkan hasil analisis data penurunan kolesterol darah dari minggu ke 0 sampai minggu ke V. Pada saat minggu ke VII diharapkan kadar total kolesterol darah tikus percobaan kembali normal. Prediksi penurunan kadar total kolesterol darah ke dalam kisaran normal jika diberikan sampai minggu ke VII dapat dilihat pada Gambar 5.3.
Kadar Kolesterol Darah mg/dL
145 130 115 (A); 104,5
100
(C); 93,25 85 70
(D); 69
55
(B); 54,27 (E); 50,75
40 0
1 kontrol positif (A) kitosan 1% (D)
2
3
4 minggu ke simvastatin (B) kitosan 2% (E)
5
6
7
kitosan 0,5% (C)
Gambar 5.3 Prediksi Kadar total kolesterol darah sebelum dan setelah pemberian kitosan