38
BAB V ANALISIS DATA A. Periodisasi Penerapan Sitem Muḍārabah di BMT Amanah Ummah Sukoharjo Pada tataran praktiknya, terdapat dua periode penerapan model muḍārabah di BMT Amanah Ummah, khususnya pada produk pembiayaan. Hal ini disampaikan langsung pada sesi wawancara28 dengan Manajer Utama BMT Amanah Ummah, Faisal Abdul Haris, S.E. 1. Klasik Masa ini terjadi pada periode awal-awal berdirinya BMT Amanah Ummah yang masih belum memiliki cabang. Pada periode ini, BMT Amanah Ummah masih melayani muḍārabah jangka panjang. Prinsip muḍārabah jangka panjang sama seperti praktik zaman Nabi yakni tetap berlangsung selama modal dari BMT sebagai ṣāḥibul māl masih dipegang oleh nasabah selaku muḍārib. Konsekuensinya, kerja sama ini akan terus berlangsung selama tidak terjadi kebangkrutan ataupun pengembalian modal dari muḍārib. Pada periode ini, BMT masih mau melayani pembiayaan muḍārabah modal usaha di pasar dan usaha-usaha kecil yang notabenenya minim standar pengadministrasian. Pihak BMT 28
Wawancara dilakukan pada hari Jumat, sembilan September 2015 pukul 21.30 di kediaman Manajer Utama BMT Amanah Ummah.
39
menggunakan asas kepercayaan pada para muḍārib yang melaksanakan
program
usahanya.
Model
penagihan
dan
pemeriksaan usaha dilakukan dengan cara sederhana. Pihak BMT datang dan menanyakan hasil pendapatan yang diperoleh muḍārib dan kemudian membaginya sesuai dengan waktu sirkulasi perputaran uang. Model bagi hasil menggunakan sistem revenue sharing namun sudah dikurangi harga pokok barang. Artinya, keuntungan tersebut hanya dikurangi harga pokok barang tanpa dikurangi biaya operasional seperti transportasi dan lain sebagainya. Yang bertugas menagih adalah bagian marketing lending. Misalnya, 50 baju dengan harga pokok Rp. 500.00,00 terjual dengan harga Rp. 600.000,00 maka penghitungan bagi hasil terhitung dari jumlah barang terjual yang dikurangi harga pokok baru kemudian dibagikan sesuai persentase kesepakatan nisbah. 600.000 – 500.000 = 100.000 dikali persentase nisbah. Jika nisbah bagi hasil adalah 60% muḍārib dan 40 % BMT maka BMT akan mendapatkan jatah sebesar Rp. 40.000,00. Namun tidak semua pembiayaan model seperti ini dapat diterima,
BMT
juga
mempertimbangkan
tingkat
kesulitan
pemeriksaan dan pembagian keuntungan. Jika teknis pembagaian atau prosedurnya terlalu rumit serta ada indikasi merugikan BMT maka BMT tidak melayani. Jikapun melayani ada syarat tersendiri.
40
Misalnya dalam hal kerja sama pengadaan toko yang berisi barang pokok, tidak semua barang yang ada di toko di danai BMT. BMT hanya mendanai produk barang-barang tertentu saja yang memungkinkan sesuai pertimbangan, seperti telur ayam dan beras. Model inilah yang sering disebut dengan konsep muḍārabah musytarakah. Muḍārabah musytarakah berbeda dengan muḍārabah murni seperti pada masa Nabi. Muḍārabah jenis ini merupakan kolaborasi dari akad muḍārabah murni dan musyārakah murni. Prinsip muḍārabah murni adalah semua biaya, alat, tempat dan kebutuhan usaha disediakan oleh ṣāḥibul māl sedangkan muḍārabah hanya bertugas mengelola saja. Sedangkan konsep musyārakah murni, anatara pihak satu dengan pihak lainnya samasama menyertakan modal usaha, tempat maupun kebutuhan lainnya yang dikelola secara bersama. Hal ini berbeda dengan konsep pendanaan yang dilakukan BMT, BMT hanya menyediakan modal bahan pokok tertentu saja sedangkan tempat dan lain sebagainya sudah dimiliki muḍārib, jadi model tersebut bukanlah muḍārabah murni. Namun juga bukan musyārakah murni sebab BMT tidak ikut dalam pengelolaan usaha. Sehingga muḍārabah jenis ini—notabenenya juga banyak digunakan di lembaga keuangan syariah lainny—merupakan jenis muḍārabah musytarakah.
41
2. Modern Seiring dengan berkembangnya BMT Amanah Ummah juga diiringi dengan kebijakan baru. Salah satunya adalah dalam penerimaan pengajuan modal usaha muḍārabah. BMT Amanah Ummah sudah tidak melayani sistem muḍārabah jangka panjang. Jadi hanya proyek maupun tender jangka pendek yang dilayani. Dengan pertimbangan bahwa dengan model ini persentase keuntungan lebih jelas serta mudah dalam segi pengawasan dan pemeriksaannya. Seperti proyek borongan dan lain sebagainya. Sistem bagi hasil yang digunakan adalah sistem revenue sharing. Pelaporan keseluruhan biaya pada akhir akad atau setelah proyek itu sudah selesai. Marketing lending hanya memeriksa kondisi lapangan jika diperlukan saja. Jika tidak diperlukan maka marketing lending hanya menagih dan memeriksa di akhir. Ketika terjadi keterlambatan kerja maka dapat diperpanjang sesuai kesepakatan. Untuk mengefisienkan pendanaan, sistem muḍārabah klasik diganti dengan produk lain seperti akad jual beli murābahah. Sehingga pada periode ini tidak ada model klasik. Contoh, pembiayaan pengadaan bahan makanan pokok dengan sistem muḍārabah diganti dengan akad murābahah. Artinya, di sini ada pengalihan akad dari yang biasanya menggunakan sistem muḍārabah menjadi murābahah.
42
Jika menggunakan muḍārabah, pihak BMT akan memodali pengelola dana untuk membeli barang-barang kebutuhan disertai pembagian hasil dengan persentase tertentu. Namun jika dialihkan dengan akad murābahah, pihak BMT akan menjadi penjual bahanbahan makanan pokok sedangkan nasabah bertindak sebagai pembeli. Di sini, BMT Amanah Ummah menyebutkan harga jual yang terdiri dari harga pokok barang serta tingkat keuntungan tertentu (margin) atas barang, dimana harga jual tersebut disetujui oleh nasabah. Dengan mekanisme tersebut, BMT akan mendapatkan keuntungan yang lebih jelas dan pasti sehingga meminimalisir risiko kerugian. Berbeda dengan paktik muḍārabah klasik yang rentan mengalami kerugian dan cukup kesulitan dalam hal pemeriksaan usaha. B. Penerapan Bagi hasil Revenue Sharing di BMT Amanah Ummah Dalam penerapan sistem bagi hasil akad muḍārabah, BMT Amanah Ummah menggunakan sistem bagi hasil revenue sharing. Namun terdapat perbedaan penerapan sistem revenue sharing pada produk pembiayaan dan penghimpunan dana. Pada produk penghimpunan dana, bagi hasil sepenuhnya menggunakan konsep revenue sharing, yakni persentase keuntungan diambil dari pendapatan tanpa dikurangi biaya pokok dan biaya operasional. Sedangkan pada produk pembiayaan, bagi
43
hasil dilakukan setelah dikurangi harga pokok tanpa dikurangi biaya operasional. Dari delapan jenis produk penghimpunan dana, enam diantaranya menggunakan akad muḍārabah muṭlaqah, yakni pihak ṣāḥibul māl menyerahkan sepenuhnya pengelolaan uangnya kepada muḍārib; baik jenis usaha, waktu, dan tempat usaha. Dua produk lainnya menggunakan akad wadī‘ah, yakni Simpanan Wadī‘ah dan Simpanan Qurbān. Dalam akad wadī‘ah tidak ada sistem bagi hasil melainkan pihak BMT memberikan bonus sesuai kebijakan BMT. Sedangkan dari tiga produk pembiayaan, hanya ada satu yang menggunakan akad muḍārabah,yakni Investasi (bagi hasil). Produk-produk penghimpunan dana yang menggunakan sistem revenue sharing adalah Investasi Muḍārabah, Simpanan Dana Amanah Wisuda, Investasi Takāful Tarbiyah, Investasi Muḍārabah Berjangka, Simpanan Multiguna Syariah Al-Syāmil, dan Simpanan Haji Mabrur. Investasi Muḍārabah menggunakan akan muḍārabah muṭlaqah sehingga pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada pihak BMT. Karena simpanannya bisa diambil sewaktu-waktu maka persentase keuntungan yang dibagi tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan produk lain, yakni 20 % untuk nasabah dan 80 % untuk BMT. Adapun produk Simpanan Amanah Wisuda merupakan produk akad muḍārabah yang dikemas secara menarik dalam bentuk simpanan untuk keperluan menjelang wisuda. Sistem setorannya dilakukan secara
44
periodik untuk jangka waktu tertentu yang diperjanjikan untuk melanjutkan sekolah atau menjelang wisuda. Jumlah uang yang disetorkan tetap, misal : 200.000 per bulan selama 3 tahun. Menggunakan bagi hasil revenue sharing dengan nisbah 30 % untuk anggota dan 70 % untuk BMT Amanah Ummah. Produk lainnya adalah Investasi Takāful Tarbiyah. Produk ini hampir mirip dengan produk sebelumnya hanya saja dikolaborasikan dengan sistem jaminan atau takāful. Menggunakan akad muḍārabah dengan mencadangkan dana tabarru’ dengan nisbah 20 % untuk anggota, 50 % untuk BMT Amanah Ummah, dan 30 % dana cadangan tabaru’. Investasi Takāful Tarbiyah adalah simpanan pendidikan bergaransi, artinya : selama masa perjanjian keberlangsungan pendidikan putra putri nasabah dijamin oleh BMT Amanah Ummah. Terkait Jumlah yang disetor dan jangka waktu berdasarkan kesepakatan antara anggota dan BMT Amanah Ummah. Yang paling menonjol pada produk ini adalah adanya persentase dana 30 % dari pendapatan untuk keperluan tabarru’ atau menolong
nasabah
ketika
terjadi
sesuatu
yang
mengakibatkan
terancamnya masa depan pendidikan. Investasi Berjangka Muḍārabah hampir sama dengan produk Investasi Muḍārabah hanya saja pengambilannya berjangka dan tidak dapat diambil sewaktu-waktu. Jika mengambil sebelum waktunya maka akan mendapatkan potongan persentase untuk bagi hasil, potongan
45
tersebut akan masuk ke dana Baitul Māl dan tidak boleh dimanfaatkan oleh BMT. Adapun persentase bagi hasilnya sebagai berikut: satu bulan (nasabah 45% : BMT 65%), tiga bulan (50% :50%), enam bulan (55% : 45%), dan dua belas bulan (60% : 40%). Jika dana yang didepositkan cukup tinggi maka ada peluang untuk melakukan negosiasi pembagian hasil. Simpanan Multiguna Syariah Al-Syāmil merupakan salah satu produk penghimpunan dana muḍārabah yang telah ditentukan jangka waktu simpanannya yakni 1-15 tahun, simpanan per bulan Rp. 50.000 atau kelipatannya. Ini merupakan pembaruan konsep muḍārabah klasik. Dengan ini, ṣāḥibul māl diwajibkan untuk selalu mensuntikkan dana tiap bulannya. Persentase bagi hasilnya adalah 57% bagi nasabah dan 43% bagi BMT. Sama dengan produk lainnya, Simpanan Haji Mabrur juga menggunakan akad muḍārabah muṭlaqah dengan ketentuan nisbah 60% bagi nasabah dan 40 % bagi BMT. Jangka waktu pemberangkatan haji disesuaikan dengan target watu dan nominal uang yang akan disetorkan per bulannya. Pada prinsipnya, penggunaan sistem bagi hasil revenue sharing murni pada produk penghimpunan dana adalah untuk memudahkan penghitungan. Sebab usaha yang dilakukan pihak BMT adalah penyaluran
46
dana sehingga sangat merepotkan ketika harus dikaitkan satu per satu dengan berbagai produk pembiayaan yang dilakukan BMT. Oleh
sebab
itulah
untuk
mempermudah
penghitungan
menggunakan revenue sharing. Pihak BMT cenderung mengambil persentase keuntungan yang lebih tinggi dari nasabah walaupun pada kondisi tertentu pihak nasabah berkemungkinan mendapatkan persentase bagi hasil lebih tinggi. Berikut ini adalah contoh perhitungan bagi hasil revenue sharing pada produk penghimpunan dana; saldo rata-rata Investasi Muḍārabah Berjangka Nur Rizqi bulan Agustus 2015 adalah Rp 3.000.000. Sedangkan saldo rata-rata Investasi Muḍārabah Berjangka seluruh nasabah BMT Amanah Ummah pada bulan yang sama adalah Rp 500.000.000. Jika kedua belah pihak sepakat bahwa nisbah bagi hasilnya adalah 50 % untuk nasabah dan 50 % untuk BMT Amanah Ummah sedangkan pendapatan yang diperoleh dari dana tersebut adalah Rp 11.000.000, maka bagi hasil yang diperoleh Nur Rizqi adalah : (3.000.000/500.000.000) X 11.000.000 X 50% = 33.000. Dalam perhitungan model seperti ini, asumsinya adalah bahwa BMT selalu mendapatkan pendapatan tiap bulannya. Dengan demikian sisa persentase dari bagi hasil tersebut merupakan hak BMT. Sisa tersebut kemudian distribusikan untuk keperluan operasional lainnya sebab kebanyakan usaha yang dilakukan BMT secara garis besar adalah penyediaan jasa.
47
Dalam muḍārabah yang dilakukan pada produk penghimpunan dana, tidak ada transparansi pendapatan yang dilakukan pihak BMT. Pihak BMT selaku muḍārib secara sepihak membagi keuntungan tanpa melaporkan hasil pendapatan terhadap ṣāḥibul māl. Bagi hasil memang sudah dibagi berdasarkan nisbah kesepakatan namun pihak BMT tidak menjelaskan siklus perputaran uang sehingga mendapatkan nilai pendapatan. Pihak BMT hanya menyediakan laporan keuangan beserta neraca secara umum, tidak secara spesifik tiap-tiap akad kerja sama. Pada penghimpunan dana, persentase bagi hasil secara otomatis sudah dibagi menggunakan aplikasi komputer. Oleh sebab itu tidak ada pelaporan keuangan tiap-tiap akad muḍārabah, melainkan menjadi satu dan secara umum. Bagi nasabah yang meminta laporan keuangan, BMT akan memberikan laporan keuangan secara umum. Peneliti juga cukup kesulitan dalam meneliti hal ini, sebab pihak BMT tidak mengizinkan untuk meneliti bagian siklus perputaran uang. Pihak BMT menilai ini merupakan rahasia perusahaan yang tidak boleh dibocorkan kepada pihak luar. Pihak BMT hanya menjelaskan bahwa model bagi hasil tersebut sudah terkomputerisasi menggunakan aplikasi tertentu. Untuk pembiayaan sendiri, praktik muḍārabah hanya terjadi pada pembiayaan Investasi (Bagi Hasil). Untuk saat ini, BMT Amanah Ummah hanya melayani kerja sama investasi jangka pendek berupa proyek
48
maupun tender. Persentase pembagiannya sesuai kesepakatan dengan menggunakan bagi hasil revenue sharing yang sebelumnya sudah dikurangi biaya bahan-bahan pokok namun tanpa pengurangan biaya operasional. Contoh pembagian nisbah, seseorang memiliki proyek pembuatan Sekolahan dengan perhitungan biaya untuk mendatangkan barang-barang baku berupa semen dan lain sebagainya sebesar 200 juta. Kemudian ia mengajukan proposal pada BMT untuk menyediakan dana tersebut. Proyek yang akan ia garap tersebut senilai 300 juta dengan kesepakatan dengan pihak ketiga akan dibayar ketika proyek tersebut selesai. Oleh sebab itu pihak pembuat proyek memerlukan dana dari BMT. Jadi, pembagian nisbah dihitung dari jumlah pendapatan dikurangi biaya barang-barang pokok kemudian baru dikalikan dengan persentase kesepakatan nisbah. 300 juta – 200 juta = 100 juta. 100 juta itulah yang kemudian dibagi hasil, jika kesepakatan nisbah adalah 40% untuk BMT dan 60% untuk muḍārib maka yang didapatkan muḍārib adalah 60 juta. Barulah 60 juta itu digunakan oleh muḍārib untuk menutupi biaya-biaya operasional seperti kuli bangunan, transportasi, makan, dan lain sebagainya C. Alasan Penggunaan Sistem Revenue Sharing Berdasarkan hasil wawancara dengan Manajer Utama BMT Amanah Ummah ada tiga hal pokok yang melatarbelakangi penggunaan revenue sharing pada seluruh akad muḍārabah di BMT Amanah Ummah.
49
1. Lebih praktis Penggunaan sistem Revenue Sharing lebih efisien dan praktis, khususnya pada bagi hasil muḍārabah di produk penghimpunan dana. Dengan menggunakan sistem revenue sharing lebih memudahkan metode penghitungan yang telah terkomputerisasi bagi seluruh nasabah. Hal ini juga disebabkan karena BMT adalah keuntungan BMT berasal dari penyediaan jasa keuangan, sehingga menyulitkan jika harus menggunakan profit sharing dan menghitung satu per satu kerja sama bisnis sebelum melakukan bagi hasil. 2. Meminimalisir Potensi Kecurangan Hal ini sering terjadi pada produk pembiayaan, khususnya pada sistem muḍārabah klasik. Hal ini menghindari tindakan dari para muḍārib yang sengaja menggelembungkan dana operasional yang mana hal tersebut dapat merugikan pihak BMT. Terlebih lagi sistem pengadministrasian BMT belum serapi perbankan sehingga dapat memunculkan praktik-praktik curang dari oknum yang tidak bertanggung jawab. 3. Memudahkan Masyarakat Dengan penggunaan revenue sharing lebih memudahkan masyarakat awam yang notabenenya minim dalam hal ilmu pembukuan dan pengadministrasian. Dengan ini, masyarakat yang
50
notabenenya masyarakat mikro, kecil, dan menengah dapat melaukan transaksi dengan lebih mudah, praktis, dan efesien. D. Tinjauan Menurut Hukum Islam Pada dasarnya, penerapan sistem bagi hasil revenue sharing pada akad muḍārabah di BMT Amanah sudah sesuai prinsip Islam. Oleh sebab itu transaksi yang dilakukan sudah halal. Dari segi rukun dan sayarat akad muḍārabah sudah terpenuhi semua. Walaupun sistem ini belum pernah ada pada zaman Nabi, namun selama tidak melanggar kaidah-kaidah pokok dan prinsip-prinsip dasar muamalah hal tersebut tetap diperbolehkan oleh syara’. Hanya saja dalam pengoperasiannya perlu dikontrol terus-menerus agar tidak melenceng dari syariat Islam, karena pada dasarnya model muḍārabah yang ada saat ini cenderung lebih kompleks dan rumit ketimbang yang ada pada masa lalu. Walaupun demikian, persentase keuntungan yang diperoleh nasabah selaku muḍārib pada sistem revenue sharing lebih kecil ketimbang profit sharing. Namun hal tersebut masih bisa ditolelir dengan catatan sistem revenue sharing pada produk pembiayaan tidak boleh diterapkan sepenuhnya. Artinya, revenue saharing yang diterapkan tidak boleh sama persis dengan konsep revenue sharing pada lembaga keuangan konvensional, yakni jumlah pendapatan langsung dibuat bagi hasil. Revenue sharing pada produk pembiayaan haruslah terlebih dahulu dikurangi dengan biayabiaya bahan pokok agar pihak nasabah tidak mengalami kerugian. Jika
51
jumlah pendapatan langsung dilakukan bagi hasil ada indikasi pihak nasabah selaku muḍārib tidak dapat memutarkan modalnya karena biaya harga pokok belum dihitung.