Bab Satu Pernikahan Kristen dan Disiplin Gerejawi 1. Pendahuluan Dalam bagian awal dari karya tulis ini telah digambarkan sekilas tentang pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah yang masih bervariasi di GTM. Padahal GTM telah memiliki satu tata gereja. Lebih khusus lagi, ditemukan beberapa masalah di beberapa jemaat GTM yang masih mencampuradukkan antara disiplin gerejawi dan pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah. Hal itu terjadi pada pasangan nikah yang sebelumnya telah melakukan hubungan seksual layaknya suami-istri. Sebelum peneguhan dan pemberkatan nikah, mereka harus mengaku dosa mereka, entah di hadapan majelis jemaat atau di hadapan anggota jemaat dalam ibadah minggu, tergantung pada kebijakan internal majelis jemaat. Setelah mereka mengaku dosa, barulah gereja dapat memberikan pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah. Fenomena di atas berlangsung karena TRT GTM belum sepenuhnya mengatur uraian teologis-eklesiologis tentang pernikahan Kristen dan tentang tertib gerejawi/disiplin gerejawi, khususnya menyangkut pengakuan dosa. Hal itulah yang menyebabkan munculnya pemahaman yang bervariasi di kalangan para pejabat gerejawi dan warga jemaat di GTM. Oleh karena pemahaman yang beragam itu, muncullah berbagai implikasi yang berbeda terhadap pelaksanaan akta pengakuan dosa bagi warga jemaat yang sebelumnya telah hidup sebagai suami-istri. Pengakuan dosa dijadikan syarat mutlak bagi pasangan nikah yang sebelumnya 22
23 telah hidup sebagai suami-istri untuk dapat diteguhkan dan diberkati nikahnya oleh gereja. Oleh karena itu, dalam bagian pertama karya tulis ini, penulis akan menguraikan secara teologis dua hal yaitu pernikahan Kristen dan disiplin gerejawi, termasuk pengakuan dosa sebagai bagian integral dari disiplin gerejawi. Uraian ini nantinya akan menjadi prinsip-prinsip kritis untuk menganalisis hubungan antara peraturan mengenai pernikahan dan peraturan mengenai tertib gerejawi dalam TRT GTM tahun 2011. Mengingat cakupan tentang pernikahan Kristen, disiplin gerejawi, dan pengakuan dosa yang sangat luas, dan jika dikaitkan dengan fokus penulisan karya tulis ini pada bidang hukum gereja, penulis akan membatasi uraian ini pada prinsipprinsip pernikahan Kristen, prinsip-prinsip disiplin gerejawi, dan pengakuan dosa sebagai bagian integral dari disiplin gerejawi.
2. Pernikahan Kristen Sebagian besar masyarakat mempunyai pandangan, bahwa pernikahan dibentuk untuk memproduksi anak (Encyclopedia of Marriage and The Family vol.2, s.v. “Marriage Definition”). Pernikahan didefinisikan sebagai suatu kesatuan personal yang intim di mana seorang laki-laki dan perempuan sepakat untuk mewujudkan serta memelihara hubungan seksual mereka dan menyempurnakannya dalam kemitraan seumur hidup yang didasarkan pada cinta dan komitmen bersama (The Zondervan Pictorial Bible Dictionary, s.v.”Marriage”).
24 Pernikahan dalam Alkitab hanya ditemukan sekali yakni dalam Kidung Agung 3:11. Ayat ini mendeskripsikan pernikahan sebagai resepsi pernikahan (the wedding) antara raja Salomo sebagai mempelai laki-laki yang akan mempersiapkan diri untuk menjumpai mempelai perempuan dan disaksikan oleh putri-putri Sion. Istilah yang lasim digunakan dalam Alkitab adalah perkawinan. Dalam Alkitab kawin (the marriage) ditemukan 64 dalam 58 ayat (dalam PL : 18 dalam 17 ayat dan dalam PB : 46 dalam 41 ayat) yang berarti berbaur, beristri, berkeluarga, bersuami, berumah tangga, menikah (Alkitab Sabda 2014). Dasar perkawinan pertama kali ditetapkan Allah dalam Kejadian 2:18-25 di mana seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya satu daging. Bersatu(dabaq=to cleave) mempunyai arti bersatu, berpaut, dan melekat secara jasmani dan rohani (Alkitab Sabda 2014). Berdasarkan Kej 2:18-25 ini, Allah menetapkan perkawinan dan kesatuan keluarga sebagai lembaga yang pertama dan paling penting di bumi (Alkitab Sabda 2014).Dalam PB, kata kawin pertama kali digunakan saat Yesus melakukan mujizat yang pertama, yakni mengubah air menjadi anggur, saat berlangsung perkawinan di Kana (Yoh 2:1-25). Perkawinan (gamon, Yunani) di Kana ini menegaskan kuasa dan karya Allah yang memperlengkapi segala kekurangan yang ditemukan saat perkawinan dilaksanakan. Dari uraian di atas dapat diketahui pernikahan/perkawinan dapat berarti pesta/perjamuan kawin namun dapat pula berarti ikatan suami-istri yang telah diberkati dan diteguhkan Tuhan.
25 Johanes Calvin, reformator gereja, memahami pernikahan sebagai sebuah institusi sosial yang kudus di mana Tuhan Allah meneguhkan dan memberkati lakilaki dan perempuan (Adiprasetya t.t., 1). Disebut kudus sebab suami-istri, yang mendedikasikan diri mereka untuk melaksanakan kewajiban mereka satu sama lain, akan menjadi sebuah keluarga yang dikendalikan oleh Tuhan (Adiprasetya t.t., 1). Di dalam keluarga tersebut, ada sebuah kekudusan yang agung dan sangat dekat dengan kerajaan Allah (Rubio 2003, 78). Dari uraian ini, penulis berpendapat bahwa pernikahan dikuduskan Tuhan jika suami istri bersedia dituntun dan diarahkan Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Pernikahan mempunyai tujuan mulia yakni tercipta kebersatuan suami dan istri di mana mereka saling mengasihi, saling bekerja sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab satu sama lain sehingga pada satu sisi terwujud kebahagiaan dalam berumah tangga, bermartabat, sejahtera dalam seluruh anggota keluarga, dan pada sisi yang lain, tercapai rasa aman dan keseimbangan dengan keluarga-keluarga yang lain serta masyarakat (National Council for Family Affairs, 4-5).
2.1. Rancangan dan Ketetapan Allah Pernikahan adalah tata tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan Allah. Ia mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup sebagai suamiistri (Abineno 1993, 54). Ketetapan Tuhan ini diakui oleh pasangan nikah dan gereja sehingga anggota majelis gereja dapat melaksanakan pelayanan peneguhan dan pemberkatan kepada pasangan nikah.
26 Dalam The Zondervan Pictorial Bible Dictionary dikemukakan, bahwa pernikahan termasuk dalam urutan penciptaan (The Zondervan Pictorial Bible Dictionary s.v. ”Marriage”). Tuhan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar dan rupa Allah. Mereka diciptakan untuk saling melengkapi dan bersatu dalam pernikahan (Kej 12:26; Mat 19:4-6). Kejadian 1:1–2:7 menguraikan, bahwa di samping Tuhan Allah menciptakan langit, bumi, dan sekalian isinya termasuk tumbuhan dan hewan, Ia juga menciptakan laki-laki dan perempuan yang nantinya menjadi satu daging (Kej 2:21-24). Hal ini diungkapkan oleh J.L.Ch.Abineno, dengan mengutip pernyataan H.Bavinck, bahwa sejarah dunia tidak dimulai dengan jatuhnya manusia ke dalam dosa, melainkan dengan suatu perayaan pernikahan (Abineno 1993, 54). Bahkan Hortensius Florimond menyebut kisah penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2 sebagai awal “pernikahan yang ideal” karena Tuhan Allah menciptakan ha-adam yang tidak menunjuk pada nama seorang lakilaki, tetapi ha-adam mempunyai arti manusia dalam artian umum, yang mencakup laki-laki dan perempuan (Florimond 2009, 10). Lebih lanjut, Florimond berpendapat, bahwa manusia mencapai kepenuhannya ketika tercipta kebersamaan dan kesatuan antara laki-laki dan perempuan, atau yang lebih tepatnya penciptaan baru menjadi sempurna ketika terdapat diferensiasi antara laki-laki dan perempuan (Florimond 2009, 10 dan 12). Abineno menandaskan, bahwa pernikahan sebagai penetapan atau peraturan Tuhan Allah adalah pemberian-Nya kepada manusia (Abineno 1991, 1). Tuhan Allah mengetahui, bahwa manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan tidak dapat
27 hidup seorang diri sehingga Ia menetapkan lembaga pernikahan di mana laki-laki dan perempuan dapat bersatu menjadi pasangan suami-istri. Pernikahan merupakan rancangan dan ketetapan Tuhan Allah juga sangat ditekankan oleh Jay E.Adams. Adams mengemukakan, bahwa sejak Tuhan Allah membentuk pernikahan, tidak ada satu pun pernikahan yang ditentukan berdasarkan kemauan manusia (Adams 1980, 4). Sebaliknya, pernikahan sebagai sebuah lembaga hanya ditentukan dan diatur oleh Allah sendiri (Adams 1980, 4). Dengan kata lain, hanya Tuhan Allah yang mempunyai hak prerogatif untuk mengatur dan menetapkan pernikahan tersebut. Baik individu maupun pemerintah, kedua-duanya tidak punya otoritas untuk memutuskan aturan dan ketetapan tentang pernikahan atau perceraian (Adams 1980, 4). Dari uraian di atas jelaslah, bahwa pernikahan yang berlangsung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan hanya karena keputusan dua orang itu saja, tetapi pernikahan harus diterima sebagai lembaga yang ditetapkan oleh Tuhan Allah. Itu berarti dalam lembaga pernikahan, hanya Dia yang memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur dan menetapkan pernikahan tersebut. Tidak ada satu pun pihak yang dapat menggugat apapun yang telah diatur dan ditetapkan oleh Tuhan Allah dalam pernikahan.
2.2. Perjanjian antara Manusia dan Allah Dalam pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah di gereja-gereja, seringkali dilakukan pengucapan janji seperti yang terdapat dalam akta pelayanan dan peneguhan nikah GTM berikut ini
28 Apakah saudara(i) mengaku dan berjanji dengan sungguh di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya bahwa saudara(i) telah mengambil saudara(i) ………. menjadi suamimu (istrimu) dan bahwa saudara akan mengasihi dia baik dalam suka maupun dalam duka, dan akan melayani dia sebagaimana seorang Kristen setia kepada suaminya (istrinya)? (Himpunan Keputusan SSA XVIII GTM 2011, 107)
Pengucapan janji nikah yang dilakukan oleh pasangan nikah, seperti yang terdapat dalam akta pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah GTM, berasal dari kebiasaan orang-orang Romawi (Abineno 1991, 44). Pengucapan janji yang didahului dengan pertanyaan seperti di atas, tentu mengharapkan jawaban, ikrar bahkan janji14 dari pasangan nikah. Perjanjian itu bukan hanya antara suami dan istri, demikian pula sebaliknya, namun perjanjian itu melibatkan tiga pihak yakni suami, istri, dan Tuhan yang kemudian disaksikan oleh warga jemaat. Derek Prince mengistilahkannya “tali tiga lembar” yaitu suami, istri, dan Tuhan (Prince 1995, 25-26). Artinya, dalam sebuah pernikahan, tercipta sebuah dimensi baru di mana Tuhan Allah menjadi pihak yang tidak terpisahkan dari pasangan suami-istri. Ketika Tuhan Allah terlibat dalam hubungan tersebut, Ia memberkati pernikahan tersebut dan tali tiga lembar itu akan tetap kuat dan tidak mudah diputuskan (Prince 1992, 25-26). Perjanjian antara pasangan nikah dan Tuhan Allah mengandung dua hal penting yakni pertama, keputusan untuk hidup bersama yang berasal dari mereka
Abineno menyebutkan bahwa janji yang diucapkan di hadapan Allah dan jemaatNya lebih mengarah kepada “sumpah”(Abineno 1991, 44). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumpah berarti pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb): pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu) (Kamus Besar bahasa Indonesia http:// kbbi.web.id/ sumpah ) diakses 8 Agustus 2014. 14
29 sendiri, dan kedua, kesediaan untuk hidup bersama dalam terang kasih dan pimpinan Tuhan yang menjadi Sumber yang penting dalam kehidupan mereka sebagai suami-istri (Abineno 1991, 47). Itu berarti, pasangan nikah yang memutuskan untuk berumah tangga senantiasa dituntun, diarahkan, dan dikendalikan oleh kuasa Tuhan semata jika mereka bersedia untuk menjadikan Tuhan sebagai Sumber kehidupan dan selalu menghayati janji, sumpah, dan ikrar yang mereka pernah ucapkan saat peneguhan dan pemberkatan nikah.
2.3. Sifat-sifat Purwa Hadiwardoyo menggolongkan sifat-sifat pernikahan Kristen dalam dua bentuk yakni primer (pokok) dan sekunder (Hadiwardoyo 1990, 64-65). Sifat primer (pokok) pernikahan meliputi monogami, indisolubilitas, heteroseksual, dan terbuka akan adanya anak, sedangkan sifat sekunder mencakup kebahagiaan, jaminan nafkah, naiknya gengsi, kerukunan dua keluarga besar, dan lain sebagainya (Hadiwardoyo 1990, 64-65). Menurut Abineno, pernikahan Kristen adalah persekutuan hidup antara suami dan istri yang bersifat total, eksklusif, dan berkesinambungan (Abineno 1982, 32-40).15 Dalam bagian ini akan diketengahkan sifat-sifat pernikahan Kristen yaitu total, ekslusif, berkesinambungan, dan kudus.
Di samping perkawinan sebagai persekutuan hidup antara suami-istri yang bersifat total, ekslusif, dan berkesinambungan, Abineno menambahkan satu hal lagi yakni perkawinan sebagai suatu persekutuan-percaya. Perkawinan sebagai suatu persekutuanpercaya artinya suami-istri memiliki persesuaian paham tentang soal-soal prinsipil dan mereka mengakui dan berusaha merealisasikan norma-norma dan nilai-nilai terentu. Secara khusus, perkawinan Kristen sebagai persekutuan-percaya berarti suami-istri memiliki iman percaya kepada Allah, yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus sebagai pusat kehidupan pasangan Kristen. Pusat kehidupan inilah yang menentukan kesesuaian paham mengenai soal-soal prinsipil dalam rumah tangga Kristen (Abineno 2010, 73-75). 15
30 Pernikahan Kristen bersifat total berarti persekutuan hidup suami-istri yang mencakup seluruh kehidupan baik jasmani maupun rohani di mana setiap pasangan saling memberi diri seorang kepada yang lain, saling mempercayakan diri secara total, dan terbuka satu sama lain (Abineno 2010, 66-67). Dengan kata lain, dalam memasuki pernikahan, suami-istri tidak lagi berpikir dan melakukan hal-hal untuk diri dan kepentingannya saja (aku) tetapi suami-istri harus berpikir dan melakukan berbagai hal demi kepentingan bersama (kita). Seluruh waktu, tenaga, dan pikiran dicurahkan untuk menjaga keutuhan pernikahan itu. Pernikahan Kristen bersifat eksklusif berarti persekutuan hidup yang hanya terdiri dari dua orang saja yaitu seorang laki-laki yang menjadi suami dan seorang perempuan sebagai istri (Abineno 2010, 68-70). Persekutuan ini dapat terpelihara dan lestari jika keputusan untuk mewujudkan kasih diimplementasikan dalam hal memilih seorang laki-laki saja menjadi suami bagi satu orang perempuan, vice versa. Dengan kata lain, pernikahan Kristen bersifat monogamis. Alkitab tidak pernah membenarkan pernikahan poligami (poliandri/poligini) dan pernikahan antara seorang laki-laki dan laki-laki atau pernikahan seorang perempuan dan perempuan. Tuhan Allah menghukum dan menghancurkan kota Sodom dan Gomora karena di kedua kota itu terjadi penyimpangan seksual (Kej 19:14-25). Hanafi Yahya mengemukakan, bahwa akan muncul banyak masalah dalam pernikahan poligami (Yahya t.t., 180). Masalah yang ditemukan dalam PL, contohnya iri hati antara Sara dan Hagar (Kej 16:4-5), tidak ada kedamaian antara Rahel dan Lea (Kej 30:1), dan terjadi persaingan antara Hana dan Peninah (1 Sam 11:15) (Yahya t.t., 180). Dengan
31 mencermati dampak negatif yang disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi dalam pernikahan, maka penting untuk mendasari sifat yang eksklusif dalam pernikahan Kristen. Pernikahan Kristen bersifat berkesinambungan berarti persekutuan hidup suami-istri yang berlangsung terus-menerus, tidak dapat dipisahkan kecuali karena maut (band. Mat 19:6; Mrk 10:9). Istilah lain yang sejajar dengan sifat ini adalah permanen/indisolubilitas (tidak terceraikan). Dengan kata lain, tidak ada satu pun alasan yang dapat membuat pasangan nikah bercerai, termasuk jika salah satu pasangan jatuh dalam dosa zinah. Jika karena keadaan tertentu, yang bersangkutan kemudian sungguh menyesali perbuatannya dan bertobat, maka perbuatan zinah itu tidak boleh menjadi alasan untuk bercerai, sebaliknya mereka terpanggil untuk saling mengampuni dan melanjutkan lagi pernikahan mereka. Jika yang terjadi adalah perceraian, Joas Adiprasetya menyebut perceraian itu sebagai necessary evil yang berarti sebuah keputusan yang “salah-namun-apa boleh buat,” dan lesser evil yang artinya “paling sedikit salah di antara semua pilihan salah lainnya yang lebih besar” (Adiprasetya t.t., 6). Pendapat Adiprasetya ini memotivasi pasangan nikah untuk secara serius dan bijak menggumuli tentang alternatif solusi yang lain sebelum tiba pada keputusan untuk bercerai. Oleh sebab itu, untuk menjaga agar pernikahan tetap utuh sangat dibutuhkan faktor-faktor seperti kesetiaan dan kasih yang terus-menerus, tanpa syarat, dan tanpa batas (Abineno 2010, 70). Selain ketiga sifat pernikahan yang dikemukakan di atas, terdapat satu tambahan sifat pernikahan Kristen yaitu pernikahan Kristen bersifat kudus.
32 Pandangan ini sering disalahartikan oleh sebagian warga jemaat dengan mengartikan kata “kudus” sebagai laki-laki dan perempuan yang masih suci, belum melakukan hubungan seksual pra-nikah. Pernikahan Kristen bersifat kudus dapat ditemukan dalam 1 Korintus 7:12-14. Kata “dikuduskan” dalam bahasa Yunani adalah agiazw yang menunjuk pada kehidupan salah satu pasangan, suami atau istri yang tidak beriman, yang dikuduskan oleh pasangannya yang beriman (Yates dan Johnson website 2014). Istilah “dikuduskan” berarti, bahwa suami atau istri yang tidak beriman mempunyai hak atas perlindungan Allah dan kesempatan untuk berhubungan erat dengan salah satu anggota keluarga Allah (Yates dan Johnson website 2014). Hal tersebut dapat dicapai melalui motivasi dan keteladanan hidup spiritual yang ditampilkan oleh pasangan yang beriman (Yates dan Johnson website 2014). Jika hal demikian yang terjadi, orang yang belum percaya itu dapat dituntun oleh kuasa Roh Kudus menuju pertobatan dan ia mengalami perlindungan Allah.
2.4. Hal-hal Penting 2.4.1. Companionship (Persahabatan) B.Ward Powers menuliskan, bahwa salah satu hal penting dalam sebuah pernikahan Kristen adalah persahabatan (companionship) (Powers 1987, 7). Hal ini disebabkan kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling melengkapi. Adams mengacu pada Kejadian 2:18 di mana Tuhan Allah menciptakan Hawa bagi Adam tidak hanya sebagai penolong, tetapi juga sebagai sahabat (Adams 1980, 11).
33 Dalam hubungan suami-istri, sebuah persahabatan terjalin jika terdapat seseorang yang dengan intim bersatu dengan pasangannya dalam pikiran, tujuan, rencana, dan usaha (Adams 1980, 11). Tujuan persahabatan yang akrab dan intim dalam pernikahan adalah untuk melumerkan kekakuan dalam hubungan suami-istri karena seorang sahabat hadir untuk mendengarkan dan memahami keberadaan pasangannya.
2.4.2. Prokreasi Beberapa teolog mempunyai pandangan yang sama mengenai tujuan pernikahan, yaitu untuk menjalin hubungan seumur hidup dan dapat berkembang biak (prokreasi). Calvin menekankan gagasan Protestan tradisional tentang tiga tujuan pernikahan yaitu cinta, anak, dan pencegahan dari dosa seksual (Rubio 2003, 77). Pandangan ini juga senada dengan Hanafi Yahya yang menuliskan, “there is no doubt at all that his command to be fruitful and multiply refers to procreation within the marriage institution, and even in difficult situation” (Yahya t.t., 178-179). Pandangan Calvin dan Yahya berseberangan dengan Adams. Adams berpendapat, bahwa pernikahan bukanlah sebuah institusi yang didesain untuk memperbanyak umat manusia (Adams 1980, 5). Meskipun Allah telah mengatur, bahwa prokreasi merupakan sebuah kewajiban dalam pernikahan, prokreasi bukanlah ciri yang fundamental dari pernikahan itu (Adams 1980, 5). Kalaupun termasuk dalam tujuan pernikahan, prokreasi bukanlah tujuan yang paling utama melainkan sebuah sub-tujuan dari pernikahan (Adams 1980, 5). Artinya, prokreasi dapat menjadi harapan dari setiap pasangan nikah untuk mempunyai anak, tetapi
34 prokreasi tidak dapat dijadikan alasan bagi pasangan nikah untuk bercerai jika mereka tidak mempunyai anak (keturunan). Mencermati pandangan yang dikemukakan oleh beberapa teolog di atas, penulis berpendapat, bahwa prokreasi harus dilihat sebagai salah satu tugas dalam pernikahan namun bukanlah segi yang paling mendasar dalam pernikahan. Pasangan suami-istri bertanggung jawab menerima anugerah Tuhan untuk memperoleh keturunan, tetapi bukanlah suatu hal yang mutlak apalagi menjadi alasan bagi suami-istri untuk bercerai hanya karena mereka tidak mempunyai keturunan. Pernikahan merupakan penyatuan yang intim antara seorang laki-laki (suami) dan seorang perempuan (istri) di mana keduanya berjanji di hadapan Tuhan dan warga jemaat untuk saling mengasihi dalam hubungan seumur hidup dan perwujudan kasih itu dapat diimplementasikan dalam tanggung jawab untuk mendidik, merawat, dan mengasihi anak yang dikaruniakan Tuhan. Namun, jika Tuhan tidak berkenan mengaruniakan anak dalam keluarga, suami-istri dapat mewujudkannya dalam bentuk dan cara yang lain. Misalnya mendidik, memperhatikan, dan merawat anggota keluarga/kerabat lain yang membutuhkan perhatian, bantuan, dan kasih sayang.
2.4.3. Kasih dan Fidelitas (kesetiaan) Salah satu faktor penting dalam pernikahan Kristen adalah kasih dan kesetiaan. Adams mengatakan, kasih dalam pernikahan berfokus pada pemberian diri suami-istri kepada pasangannya untuk menepis kesendirian dan kesunyian (Adams 1980, 12). Perwujudan kasih dalam pernikahan Kristen sebetulnya
35 bersumber dari relasi Kristus dan jemaat-Nya (Ef 5:32). Relasi tersebut boleh berlangsung semata-mata karena Kristus mengasihi jemaat-Nya. Jika menelisik lebih jauh Efesus 5:22-33, ditemukan relasi suami-istri yang didasarkan pada relasi Kristus dengan jemaat-Nya. Itu berarti, hubungan suami-istri sepatutnya mewujudkan kasih (agape) yang bersumber dari Kristus kepada jemaat-Nya. Philip S.Watson dengan tegas mengutarakan, bahwa kasih Allah sepatutnya menjadi konsep dasar yang dimiliki oleh pasangan Kristen yang mana di dalamnya terdapat totalitas, ketulusan, dan kerelaan untuk melayani (Watson 1982, 48). Tanpa kasih (agape), tidak ada orang Kristen menjadi Kristen (Watson 1982, 48). Richard Foster mengartikan kesetiaan dalam pernikahan, yakni (a) monogami; (b) sebuah janji seumur hidup untuk mengasihi dan setia; (c) saling merendahkan diri dalam takut akan Kristus; (d) pengendalian seksual di luar perjanjian pernikahan; dan (e) kebebasan seksual di dalam janji pernikahan (Foster 1985, 156-162). Dengan mencermati arti kasih dan kesetiaan yang dikemukakan di atas, tepatlah jika Foster mengutip pernyataan Emil Brunner yang berbunyi “Kesetiaan adalah unsur etika yang memperkaya kasih yang alami.” (Foster 1985, 149). Artinya, kasih dan kesetiaan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
3. Disiplin Gerejawi Istilah disiplin gerejawi sebetulnya sudah setua umur gereja, hanya saja diungkapkan dalam berbagai bentuk dan praktik yang berbeda-beda (Purwanto t.t.,
36 61). Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia menggunakan istilah disiplin gerejawi atau disiplin. Namun dalam beberapa gereja, seperti GKI Jateng (dulu) dan GKJ, istilah yang digunakan untuk menjelaskan disiplin gerejawi adalah siasat gerejawi (Purwanto t.t., 61). Di GTM sendiri, istilah yang dipakai adalah tertib gerejawi. Oleh karena itu,penulis akan menggunakan istilah disiplin gerejawi dalam bagian pertama karya tulis ini. Disiplin berasal dari bahasa Latin yakni “discere” yang artinya belajar (Gray dan Tucker 1986, 163). Dalam kaitan dengan gereja sebagai tubuh Kristus, maka sebagai murid Kristus, warga gereja belajar untuk mematuhi ajaran dan keteladanan Kristus. Jadi disiplin gerejawi sebetulnya menolong kita untuk hidup sebagai muridmurid Kristus yang taat. Lebih lanjut, disiplin adalah tanggung jawab gereja, atas kuasa yang diberikan kepadanya oleh Yesus Kristus, untuk menuntun, mengontrol, dan membina warganya, serta memberikan kritik yang konstruktif kepada warganya yang melakukan kesalahan (Gray dan Tucker 1986, 163). Purwanto menuliskan, bahwa disiplin gerejawi dimaknai secara umum sebagai penegakan moralitas dan perilaku Kristen berdasarkan ukuran-ukuran tertentu oleh otoritas gerejawi tertentu (Purwanto t.t., 61). Dalam Book of Discipline dari Gereja Presbiterian Ortodoks, disiplin gerejawi dipahami sebagai penggunaan otoritas dari Tuhan Yesus yang dilakukan kepada gereja yang kelihatan untuk memelihara dengan baik kesucian, perdamaian, dan tata tertib yang lain (Orthodox Presbyterian Church website 2014).
37 Dari definisi-definisi di atas penulis menyimpulkan, bahwa disiplin gerejawi merupakan tindakan yang dilakukan gereja untuk mendisiplinkan warganya agar dapat hidup dan berperilaku sebagai murid-murid Kristus yang taat menurut Firman Tuhan. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan gereja tersebut didasarkan pada peraturan gereja masing-masing yang tidak bertentangan dengan Firman Tuhan. Dalam menyikapi bahaya perzinahan dan percabulan yang sangat besar di Indonesia, Abineno menekankan pentingnya gereja dan orangtua melaksanakan tugas pastoral (Abineno 2010, 70). Tugas itu bukanlah penerapan “disiplin gerejawi” semata tetapi yang lebih penting adalah penggembalaan karena praktik disiplin gerejawi tidak banyak membantu, sedangkan penggembalaan lebih efektif karena ada kesempatan di mana terjadi percakapan pastoral dengan mereka yang bermasalah (Abineno 2010, 70). Abineno sendiri mengklasifikasikan penggembalaan dalam beberapa bentuk yakni perkunjungan, percakapan, penilikan16 dan disiplin gerejawi, persekutuan, dan pelayanan (Abineno 1967, 37-63). Sehubungan dengan disiplin gerejawi, Calvin berpendapat: All pious method and measure of ecclesiastical discipline ought ever to look to the 'unity of the Spirit in the bond of peace' (Eph 4:3), which the apostle orders us to keep by 'forebearing one another' (Eph 4:2), and when this is not kept, the medicine of punishment begins not only to be superfluous but also harmful, and so ceases to be medicine (Calvin 1960, 54).
Di sini tampak fungsi disiplin gerejawi yaitu untuk mengontrol dan mengoreksi, dan untuk menggembalakan. Calvin selanjutnya menekankan, bahwa
Penilikan dalam KBBI berarti proses, cara, perbuatan menilik; pengawasan; pemeriksaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.3., “Tilik”). 16
38 disiplin gerejawi sepatutnya dilakukan dalam ikatan damai sejahtera di mana kelemahlembutan, kerendahan hati, dan kesabaran sepatutnya ditonjolkan dalam pelaksanaan disiplin gerejawi (Calvin 1960, 54). Jika ketiga faktor tersebut tidak tampak dalam pelaksanaan disiplin gerejawi, penghukuman tidak hanya berlebihan tetapi juga berbahaya karena tidak dapat menjadi obat yang menyembuhkan penyakit moral dan rohani warga jemaat. Pernyataan Calvin di atas menjelaskan, bahwa hal yang paling esensial dalam disiplin gerejawi adalah pelaksanaannya harus dilakukan dengan lemah lembut, sabar, dan rendah hati. Jika uraian Calvin di atas disangkutpautkan dengan pemberlakuan akta pengakuan dosa secara khusus, maka ketiga faktor di atas perlu diperhitungkan. Pemberlakuan akta pengakuan dosa, teristimewa yang dilakukan di hadapan warga jemaat oleh pasangan nikah yang sebelumnya telah hidup sebagai suami-istri, perlu mempertimbangkan ketiga faktor yang dikemukakan Calvin. Jika ketiga faktor tersebut diabaikan, disiplin gerejawi tidak lagi menjadi obat yang menyembuhkan tetapi manfaatnya justru tidak dirasakan. Warga jemaat akan mengalami degradasi spiritualitas dalam kehidupan keluarga, gereja, dan masyarakat. Persekutuan jemaat hanya dilihat sebagai hal rutinitas dan formalitas saja, dan kuantitas jemaat berbanding terbalik dengan kualitas iman warganya.
3.1. Pemahaman Umum Disiplin Gerejawi 3.1.1. Pengertian dan Dasar Istilah disiplin gerejawi secara eksplisit tidak terdapat dalam Alkitab, namun secara implisit dapat ditemukan dalam kitab PL dan PB. Sebagai contoh, dalam
39 Hosea 7:12 dan 10:10, disiplin diidentikkan dengan penghajaran (yacar= to chasten, to admonish, to instruct, to discipline) (Alkitab Sabda 2014). Allah menghajar Israel yang menyembah berhala bangsa-bangsa kafir. Dalam 1 Timotius 5:20, disiplin dimanifestasikan dalam bentuk teguran (elegcho= menunjukkan kesalahan, menginsyafkan, menegur, menerangi, membuktikan, meyakinkan, menghukum) yang dilakukan di depan umum supaya ada efek jera ditujukan bukan hanya kepada anggota jemaat yang melakukan kesalahan, tetapi juga kepada warga jemaat pada umumnya (Alkitab Sabda 2014). Calvin sendiri menekankan pentingnya disiplin gerejawi. Menurutnya, ada tiga hal penting yang mendukung keamanan gereja yaitu doktrin, sakramen, dan disiplin (Johnson t.t., 4). Itu berarti, dalam menjalankan pemerintahan gereja, disiplin gerejawi tidak dapat dikesampingkan sebab gereja menjadi aman, tertib, dan dapat menjalankan misinya sebagai umat pilihan Allah, jika disiplin gereja dapat diberlakukan. Hal penting lainnya yang menjadi pertimbangan adalah karena jemaat adalah locus pengudusan bagi orang-orang yang sudah dipilih Allah untuk mencapai tujuan kehidupan Kristen dalam kerangka kehidupan masyarakat yang lebih luas (Purwanto t.t., 65). Untuk itulah, disiplin gereja perlu dilaksanakan di dalam gereja.
40 3.1.2. Maksud dan Tujuan Gereja-gereja Reformed (calvinis) menyebut tiga tujuan disiplin gerejawi yang dilaksanakan oleh konsistorium17 yaitu: pertama, untuk membimbing, menegur (melalui sanksi), dan mengarahkan orang-orang yang dianggap berdosa agar bertobat dan tidak lagi melakukan dosa yang sama; kedua, kesucian gereja dapat dipertahankan/dijaga agar nama Allah tetap dipermuliakan dan tidak dicemarkan; dan ketiga, melindungi orang-orang Kristen yang baik dari pengaruh buruk orangorang Kristen yang menyimpang dari pandangan hidup beriman dan perilakunya (Purwanto t.t., 68). Pengakuan iman Westminser 1647 juga mengemukakan tentang tujuan pelaksanaan disiplin gerejawi yaitu: untuk menarik dan memikat saudara-saudara yang telah melakukan kejahatan; untuk mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa; untuk membuang ragi yang dapat mengkhamiri seluruh adonan; untuk mempertahankan kehormatan Kristus dan pengakuan Injil yang kudus; dan untuk menghindari murka Allah, yang mungkin dengan sepantasnya akan menimpa gereja kalau gereja itu membiarkan perjanjian-Nya serta meterai-meterai perjanjian itu dicemarkan oleh orang-orang yang melanggarnya secara mencolok (Van den End 2001,137)
Purwanto juga mengemukakan tentang tujuan disiplin gerejawi yaitu untuk memulihkan kehidupan komunitas yang terganggu dan mengembalikan harmoni yang tercederai oleh perilaku dan/atau perbuatan yang menyimpang oleh anggota atau kelompok anggota dari komunitas yang bersangkutan (Purwanto t.t., 2).
17Konsistorium
(consistorium) adalah lembaga gerejawi yang dibentuk Calvin. Lembaga ini kemudian dikenal dengan sebutan majelis. Dalam konteks jemaat Calvin di Jenewa, konsistorium terdiri dari para pendeta dan sekelompok penatua “awam.” Fungsi mereka adalah menangani disiplin gerejawi dan masalah-masalah pastoral dan keagamaan lainnya (Purwanto t.t., 67).
41 Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan disiplin gerejawi dapat dikemukakan secara vertikal dan horizontal. Tujuan disiplin gereja secara vertikal bertujuan supaya pelaku dapat mengoreksi diri sehingga ia tidak mendapat murka Allah, tetapi sebaliknya melalui pertobatannya itu, nama Allah senantiasa dimuliakan oleh sekalian umat. Tujuan disiplin gerejawi secara horizontal adalah supaya pelaku dapat memperbaiki dirinya lalu memulihkan hubungannya yang selama ini rusak dengan orang lain, serta menciptakan keharmonisan dalam interaksi dengan semua orang dalam komunitas.
3.1.3. Langkah-langkah Pada umumnya, langkah-langkah dalam melaksanakan disiplin gerejawi mengacu pada Matius 18:15-17. Menurut Purwanto, disiplin gerejawi secara tradisional dipraktikkan melalui tiga tahap, yakni: tahapan informal, tahapan formal, dan tahapan ekskomunikasi (Purwanto t.t., 64-65). Tahapan pertama bersifat informal karena dilakukan secara pribadi dan privat dengan harapan pelaku dapat mengakui kesalahan yang dilakukannya dan menerima koreksi yang sampaikan kepadanya; tahapan kedua bersifat formal yang mana melibatkan otoritas-otoritas gerejawi secara struktural; dan tahapan ketiga disebut ekskomunikasi atau pengucilan (Purwanto t.t., 64-65). Menurut Peraturan Gereja Jenewa 1561, prosedur yang harus diikuti oleh penatua atau petugas dalam membenahi kesalahan anggota jemaat dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama, untuk perbuatan jahat yang tersembunyi, seseorang/kelompok harus diperingatkan diam-diam, dia/mereka tidak boleh
42 diadukan ke gereja, jika dia/mereka kedapatan membangkang barulah gereja memperingatkan sekali lagi, selanjutnya jika dia/mereka sama sekali tidak mau mengerti dan tidak bersedia mengakui kesalahannya, maka dia/mereka harus dijauhkan dari perjamuan (Van den End 2001, 361). Kategori kedua yakni untuk kejahatan terbuka dan diketahui umum. Dalam hal ini, gereja memanggil yang bersalah dan menasihati dia/mereka agar mereka dapat membenahi diri (Van den End 2001, 361). Sebaliknya, jika mereka bersikeras berbuat jahat mereka harus diperingatkan lagi, kalau akhirnya peringatan dan nasihat tidak ada manfaatnya, maka mereka diberi tahu untuk menjauhi perjamuan hingga dalam diri mereka kelihatan perubahan perilaku hidup (Van den End 2001, 361). Kedua kategori di atas menjelaskan bahwa disiplin gerejawi ditentukan oleh kejahatan yang dilakukan, apakah tersembunyi dan belum diketahui orang banyak ataukah kejahatannya sudah diketahui umum. Dari kedua penjelasan di atas penulis menyimpulkan, bahwa disiplin gerejawi yang berpandangan tradisional bukan merupakan penggembalaan, tetapi lebih kepada sikap menghukum setiap orang yang melakukan pelanggaran yakni dia/mereka harus dijauhkan dari perjamuan. Orang yang melakukan pelanggaran dilihat sebagai terdakwa, bukan sebagai sahabat yang sedang sakit yang harus ditolong. Proses-proses yang ditempuh lebih menekankan penghakiman/ peradilan, bukan penggembalaan. Akhir dari pelaksanaan disiplin gerejawi tersebut adalah hukuman demi penyesalan dan efek jera, bukan pada pertobatan demi pemulihan
43 hidup (Purwanto t.t., 73). Jika demikian, bagaimanakah pandangan mengenai disiplin gerejawi sebagai penggembalaan?
3.2. Disiplin Gerejawi sebagai Penggembalaan 3.2.1. Prinsip-prinsip Umum Penggembalaan Istilah yang dapat disejajarkan dengan penggembalaan adalah pastoral. Hal itu disebabkan oleh akar kata yang sama dari pastoral dan penggembalaan. Pastoral (pastor) berasal dari bahasa Latin yaitu pastōr yang berarti shepherd (Inggris) dan gembala (Indonesia). Daniel Susanto, dengan mengangkat tulisan John Patton, menguraikan bahwa istilah pastoral atau penggembalaan menunjuk pada sikap memelihara (care) dan memedulikan (concern) (Susanto 2008, 25-26). Artinya, sikap memelihara dan memedulikan dalam pastoral atau penggembalaan yang dilakukan oleh gereja tidak hanya berlangsung pada saat-saat tertentu saja tetapi berkesinambungan, dan tidak hanya ditujukan pada manusia dan masyarakat saja, tetapi cakupan yang lebih luas hingga kepada seluruh alam ciptaan Tuhan (Susanto 2008, 26-27). Mengenai fungsi dasar penggembalaan Daniel Susanto mengadopsi tulisan William A.Clebsch, Charles R.Jaeckle, dan Howard Clinebell (Susanto 2008, 26-32). Clebsch dan Jaeckle mengemukakan tentang empat fungsi dasar penggembalaan/pastoral yaitu menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), dan mendamaikan (reconciling) (Clebsch dan Jaekle 1967, 810, 32-66). Clinebell menambahkan satu fungsi penggembalaan yakni memelihara (nurturing) (Clinebell 1984, 42-43).
44 Fungsi pertama pastoral yakni menyembuhkan (healing) artinya melalui pastoral, seseorang yang terluka dapat disembuhkan dengan cara memperbaiki kesalahannya sehingga orang tersebut dapat lebih maju dari keadaan sebelumnya (Clebsch dan Jaekle 1967, 33). Tentu saja fungsi ini menjadi sangat penting sebab manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan sebagai ciptaan Tuhan, manusia harus tetap memelihara hubungan yang akrab dengan Penciptanya. Untuk dapat memelihara relasi antara Tuhan dan manusia, segala bentuk jalinan yang sebelumya telah rusak harus diperbaiki. Fungsi kedua pastoral yakni menopang (sustaining) berarti melalui pastoral, seseorang yang sedang bergumul ditolong supaya dapat bertahan dan selanjutnya dapat mengatasi keadaan yang nantinya akan ia hadapi (Clebsch dan Jaekle 1967, 89). Di dalam dunia ini, manusia diperhadapkan dengan berbagai pergumulan sehingga dibutuhkan kemampuan dan keteguhan hati dalam menghadapi dan mengatasi pergumulan itu. Jika tidak demikian, manusia menjadi rapuh dan bisa saja mengambil jalan pintas, yakni bunuh diri, sebab ia tidak mampu lagi menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Wiranata Adi, Ketua Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri (LKPBD) Kunang-kunang Al-Qodir Cangkringan, Yogyakarta, "Kasus bunuh diri menempati satu dari sepuluh penyebab kematian di setiap negara," (Merdeka website 2014). Pada 2010, WHO melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa (Merdeka website 2014). Data ini sangat memprihatinkan karena belakangan kasus ini cenderung meningkat di Indonesia. Oleh karena itu, fungsi penggembalaan yaitu
45 untuk menopang seseorang yang bergumul menjadi tugas yang penting dilakukan oleh gereja, sehingga setiap warga tidak sendirian dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi karena ada gereja yang siap menopangnya. Fungsi ketiga pastoral yakni membimbing (guiding) artinya dalam penggembalaan, seseorang yang berada dalam kebingungan didampingi untuk mengambil keputusan-keputusan yang berarti bagi hidupnya dan masa depannya (Susanto 2006, 23). Dalam menjalankan fungsi ini, pelayan pastoral perlu berhatihati, sehingga ia tidak keliru dalam mengambil sikap seperti membujuk, mengancam atau memaksa (Susanto 2006, 31-32). Fungsi keempat pastoral yaitu mendamaikan (reconciling) berarti dalam penggembalaan, pelayan pastoral berupaya untuk memediasi hubungan yang rusak antara seseorang dengan orang lain, atau dengan Tuhan (Susanto 2006, 32). Melalui pelayanan ini, diharapkan terjadi perdamaian antara orang tersebut dengan Tuhan dan dengan sesamanya. Faktor terpenting dalam rekonsiliasi ini adalah kesediaan untuk saling mengampuni kesalahan orang lain (Susanto 2006, 32). Fungsi kelima pastoral yakni memelihara (nurturing) artinya dalam penggembalaan, seseorang dituntun untuk menyadari bahwa di dalam dirinya ada potensi, kemampuan, dan talenta dari Tuhan yang seharusnya dikembangkan dan dipelihara oleh orang tersebut (Clinebell 1984, 43). Tanpa kesadaran yang dimiliki oleh seseorang, bisa saja membuat orang itu menjadi rendah diri dan merasa diri sebagai orang yang tidak berguna dan bersikap apatis.
46 Melihat uraian tentang lima fungsi penggembalaan/pastoral di atas menyadarkan kita, bahwa penggembalaan/pastoral bukanlah pekerjaan gereja yang sepele. Gereja bertanggung jawab untuk melakukan kelima fungsi penggembalaan ini supaya orang lain tidak larut dalam keterpurukannya, melainkan dapat bangkit kembali menjadi pribadi yang kuat dan tangguh karena menyadari bahwa ia/mereka adalah ciptaan yang mulia dan berharga di hadapan Tuhan.
3.2.2. Disiplin Gerejawi sebagai Penggembalaan Disiplin gerejawi bukanlah penghukuman, tetapi sebagai penggembalaan. Hal tersebut tampak jelas dalam tulisan Purwanto “Memahami Penggembalaan Khusus Menurut Tata Gereja dan Tata Laksana GKI”. Purwanto mengangkat istilah “disiplin gerejawi” versi GKI yang lebih condong menggunakan “penggembalaan khusus” karena di dalamnya tidak mengenal apa yang disebut dalam disiplin gerejawi sebagai tindakan ekskomunikasi mayor (besar) atau pengucilan total (Purwanto t.t., 72). Disiplin gerejawi bukanlah sebuah hukuman yang diberikan kepada seseorang yang terluka, sakit atau bermasalah tetapi lebih jauh dari itu, disiplin gerejawi sebetulnya mengembalikan seseorang kepada identitasnya sebagai makhluk Tuhan yang berharga, sehingga ia harus kembali pada kehidupan yang dikehendaki Tuhan. Untuk itulah, dalam melakukan disiplin gerejawi sebagai penggembalaan perlu ditekankan lima fungsi penggembalaan yang dikemukakan Susanto sebelumnya yakni menyembuhkan (healing), menopang (sustaining), membimbing (guiding), mendamaikan (reconciling), dan memelihara (nurturing). Di
47 samping itu, dalam melakukan disiplin gerejawi, hal yang tidak dapat dilupakan yakni tulisan Calvin. Ia menekankan tentang tiga faktor penting dalam melaksanakan disiplin gerejawi yakni kelemah-lembutan, kerendahan-hati, dan kesabaran dalam melakukan disiplin gerejawi. Dengan kata lain, disiplin gerejawi tidak hanya semata-mata menjalankan aturan gereja. Disiplin gerejawi tidak berlangsung dalam kekakuan dan menghakimi orang yang bersalah. Sebaliknya, disiplin gerejawi merupakan tanggung jawab gereja untuk menggembalakan umatNya ke arah yang dikehendaki Tuhan dengan melaksanakan lima fungsi penggembalaan (menyembuhkan, menopang, membimbing, mendamaikan, dan memelihara) dan tiga faktor penting yakni lemah lembut, rendah hati dan sabar. Dari uraian ini penulis menyimpulkan, bahwa hal penting menyangkut disiplin gerejawi sebetulnya tidak ditentukan pada hasilnya tetapi pada proses penggembalaannya.
4. Pengakuan Dosa dalam Disiplin Gerejawi dan Pernikahan Kristen Gereja Katolik Roma memberlakukan salah satu sakramen yang disebut sakramen tobat. Sakramen ini diberlakukan kepada warga gereja yang melakukan dosa berat. Sakramen tobat atau pengakuan dosa adalah sakramen yang diperuntukkan untuk memberikan berkat pengampunan dan kesembuhan dari Tuhan kepada anggota gereja atas dosa-dosa berat dan ringan yang dibuat setelah menerima sakramen baptis (Katolisitas 2014). Awalnya dalam konsili Trente (1551) diputuskan bahwa sakramen ini terdiri dari empat hal yakni contrition, confession,
48 satisfaction, dan absolution namun dalam perkembangan selanjutnya utamanya di Konsili Vatican II (1962-1965) dan Katekismus Gereja Katolik (1986-1992), selain menegaskan kembali keempat komponen dari sakramen pengakuan dosa di atas, diputuskan pendekatan yang lebih bersifat pastoral pada sakramen pengakuan dosa ini (Katolisitas 2014). Pada umumnya, pengakuan dosa dibagi atas dua bagian yakni pengakuan dosa secara umum dan pengakuan dosa secara khusus. Pengakuan dosa secara umum biasanya diucapkan oleh seluruh umat dalam ibadah jemaat sebagaimana yang diatur dalam tata ibadah minggu dan tata ibadah keluarga di masing-masing gereja. Pengakuan dosa secara khusus biasanya diucapkan oleh anggota jemaat secara pribadi, entah di hadapan pendeta atau anggota majelis jemaat ataukah di hadapan warga jemaat. Dalam uraian selanjutnya, penulis akan lebih memfokuskan pada pengakuan dosa secara khusus.
4.1. Pengakuan Dosa dalam Disiplin Gerejawi Di dalam pengakuan iman Westminster dituliskan Seharusnya orang tidak puas dengan penyesalan yang bersifat umum saja. Sebaliknya tiap-tiap orang wajib berupaya untuk secara khusus menyesali tiap-tiap dosanya yang khusus (Mzm 19:13; Luk 19:8; 1 Tim 1:13,15). Setiap orang wajib mengaku dosanya secara pribadi kepada Allah sambil berdoa memohon pengampunannya (Mzm 51:45,7,9,14; 32:5-6). Bila ia melakukan pengakuan dan menanggalkan dosa-dosa itu, ia akan beroleh anugerah (Ams 28:13; 1 Yoh 1:9) (Van den End 2001, 115).
Dalam pengakuan iman Westminser ini dikemukakan tentang kesediaan seseorang untuk menginteropeksi diri pribadi. Ketika ia mengakui kesalahannya secara pribadi kepada Tuhan, meminta pengampunan kepada Tuhan, dan bertobat (berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama), maka orang tersebut akan
49 beroleh anugerah pengampunan dari Tuhan. Artinya, faktor yang lebih ditekankan adalah pengakuan dosa secara pribadi kepada Tuhan ketimbang penyesalan yang bersifat umum saja. Dalam Tata Gereja Belanda tahun 1571 dikemukakan tugas para pelayan bukan hanya mengajar, menasihati, dan menghukum di depan umum, melainkan juga memperingatkan tiap-tiap orang di bawah empat mata (Van den End 2001, 371). Bila seseorang telah keliru dalam hal kemurnian ajaran, atau telah berdosa dalam hal kesucian tingkah laku, asal saja hal itu tersembunyi dan tidak menimbulkan kehebohan, orang akan mematuhi aturan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh Kristus dalam Matius 18:16-18 (Van den End 2001, 371). Juga ditegaskan, bahwa kalau orang berdosa menyesali dosanya, setelah ditegur oleh satu orang secara pribadi atau di hadapan dua atau tiga orang saksi, maka ia tidak perlu diadukan kepada majelis gereja (Van den End 2001, 393). Sebaliknya, jika orang itu tidak menghiraukan teguran tersebut, maka hal itu harus diadukan kepada majelis gereja (Van den End 2001, 393). Berkenaan dengan semua dosa yang bersifat umum atau yang diketahui umum karena teguran gerejawi tidak dihiraukan, maka pendamaian harus terjadi di depan umum menurut keputusan majelis gereja, dengan bentuk dan cara yang dinilai tepat dengan pembinaan para anggota tiap-tiap gereja (Van den End 2001, 393). Salah satu golongan dalam gereja, sebagaimana yang diatur dalam peraturan Gereja Jenewa tahun 1561, yaitu para penatua, petugas atau utusan pemerintah kota dalam konsistori bertugas
50 mengawasi tingkah laku tiap-tiap orang, mereka harus menasihati secara baik-baik mereka yang dilihatnya bersalah dan menempuh kehidupan kurang teratur. Dan bilamana perlu mereka harus memberi laporan kepada kelompok yang diberi tugas membenahi perbuatan salah dengan cara persaudaraan, dan kemudian melakukannya bersama dengan yang lain-lain (Van den End 2001, 348)
Uraian di atas menjelaskan, bahwa dalam pengawasan dan pemberian nasihat sepatutnya dikerjakan dengan baik, teratur dan tidak kaku. Hal ini senada dengan uraian Abineno. Abineno mengingatkan, bahwa dalam menjalankan penggembalaan dan disiplin gerejawi, gereja harus “memenangkan” orang yang melakukan pelanggaran (berdosa) dengan kasih dan tindakan yang bijaksana (Abineno 2009, 48). Dari penjelasan di atas, kita kemudian mengetahui bahwa pelaksanaan disiplin gerejawi khususnya pengakuan dosa, tidak semata-mata mengatur tentang waktu dan tempat pelaksanaan pengakuan dosa itu, tetapi lebih dalam lagi adalah soal rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang dimaksudkan adalah adanya upaya pendamaian manusia dengan Tuhan dan juga dengan sesamanya manusia. Hal itu dapat dilaksanakan ketika ia bersedia untuk mengakui kesalahannya secara pribadi di hadapan Tuhan, meminta ampun kepada Tuhan, dan berjanji untuk melakukan pembaharuan hidup yang lebih berkenan bagi Tuhan. Dengan demikian rekonsiliasi dapat terwujud. 4.2. Pengakuan Dosa dalam Pernikahan Kristen Dalam bagian ini, penulis akan memuat peraturan tentang pernikahan yang bermasalah khususnya tindakan gereja dalam menghadapi calon pasangan nikah yang sebelumnya telah hidup sebagai suami-istri. Dalam Peraturan Gereja Jenewa 1561 dituliskan
51 Selama masa pertunangan kedua belah pihak tidak boleh hidup bersama-sama sebagai suami-istri, sampai saat perkawinan diberkati di dalam gereja, dengan cara Kristen. Bila ada yang kedapatan bertindak bertentangan dengan peraturan itu, mereka harus dihukum penjara tiga hari dengan makanan roti dan air putih saja, dan dipanggil menghadap konsistori agar mereka ditegur gara-gara kesalahannya (Van den End 2001, 356).
Peraturan Gereja Jenewa ini menandaskan tentang tindakan yang dilakukan gereja terhadap pasangan nikah, yang sebelumnya telah hidup bersama sebagai suami-istri, yakni memenjarakan mereka dengan memanggil mereka ke konsistori. Hal ini perlu dilakukan di jemaat Calvin karena pertama, untuk mengurangi secara signifikan masalah-masalah moral dan sosial di Jenewa dan kedua, salah satu pokok eklesiologi Calvin yaitu jemaat adalah locus pengudusan bagi orang-orang yang sudah dipilih Allah (Purwanto t.t., 69). Calvin menegaskan, bahwa substansi yang tidak kelihatan dari gereja yakni komunitas yang kudus dan spiritual dari orangorang percaya harus dibuat nyata dalam kehidupan bergereja (Purwanto t.t., 65). Meskipun demikian, Calvin tidak serta merta menerapkan satu-satunya sanksi seperti yang dikemukakan di atas. Adapun sanksi yang terlebih dahulu dilakukan dalam gereja adalah peringatan dan peneguran keras. Jika peringatan ini diabaikan, gereja menetapkan bahwa orang yang melakukan pelanggaran harus mengaku dosa secara terbuka dalam kebaktian umum di gereja, bahkan tidak tertutup kemungkinan ditindaklanjuti secara hukum sipil, dan akhirnya ekskomunikasi (Purwanto t.t., 69). Dengan demikian, pemberlakuan akta pengakuan dosa yang secara khusus dikemukakan di hadapan warga gereja dalam ibadah jemaat bukanlah satu-satunya tahapan yang harus dilalui gereja tetapi terlebih dahulu harus diawali dengan
52 peringatan dan peneguran keras. Artinya tidak ada upaya gereja untuk sesegera mungkin mengekspos kesalahan pasangan nikah kepada warga jemaat secara umum. Tindakan bijak gereja yang dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah bagi pasangan nikah yang sebelumnya telah hidup bersama sebagai suamiistri adalah pihak gereja terlebih dahulu menegur pasangan nikah tersebut dalam percakapan dan peringatan.
5. Kesimpulan Pernikahan merupakan lembaga pernikahan yang ditetapkan dan dirancang oleh Tuhan Allah di mana seorang laki-laki dan seorang perempuan akan membina hubungan sebagai pasangan suami-istri. Dengan adanya rancangan dan ketetapan itu, pasangan suami-istri bersedia untuk diatur dan dikendalikan oleh Tuhan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tidak ada satu pun pihak dari laki-laki ataupun perempuan yang boleh mengunggulkan dirinya dalam pernikahan karena Tuhan yang menjadi sentral dalam kehidupan pernikahan. Pernikahan merupakan perjanjian antara manusia dan Allah. Itu berarti ada dua pihak yang terlibat langsung dalam perjanjian tersebut dan setuju untuk menindaklanjuti perjanjian itu, yaitu manusia (suami-istri) dan Tuhan. Oleh karena Tuhan Allah bertindak untuk merancang dan menetapkan lembaga pernikahan, manusia (suami-istri) dituntut untuk meresponsnya dengan ucapan syukur, mewujudkan kasih (agape) yang vertikal dan horisontal, serta mendahulukan Tuhan dalam segala hal.
53 Pernikahan Kristen bersifat total, ekslusif, berkesinambungan, dan kudus. Sifat-sifat ini dapat bersinergi satu sama lain jika masing-masing pasangan menampakkan kasih yang tanpa syarat, tanpa batas, dan berkesinambungan. Hubungan Kristus dengan jemaat-Nya merupakan metafora bagi pasangan suami-istri Kristen. Hubungan ini dilandasi pada kasih Kristus kepada jemaat-Nya. Oleh karena itu, pasangan nikah Kristen diminta untuk meneladani kasih dan pelayanan Kristus yang tanpa pamrih dan rela berkurban demi jemaat-Nya yang dikasihi. Disiplin gerejawi merupakan tindakan gereja kepada warga jemaat agar setiap pribadi dapat belajar untuk taat dan patuh kepada Sang Guru, Yesus Kristus. Disiplin gerejawi merupakan tindakan penggembalaan yang dilaksanakan oleh gereja kepada warga jemaat dalam ikatan damai sejahtera melalui sikap yang lemah lembut, rendah hati, dan sabar. Dengan kata lain, disiplin gerejawi bukanlah penegakan peraturan, sebaliknya disiplin gerejawi bertujuan untuk mengarahkan seseorang pada pertobatan demi pemulihan hidup. Disiplin gerejawi bukanlah untuk menjalankan hukuman demi penyesalan dan efek jera bagi warga jemaat yang lain tetapi sebagai wujud penggembalaan gereja kepada umat. Manusia adalah makhluk berharga di hadapan Tuhan (1 Pet 3:4). Untuk itu, manusia sepatutnya menghargai Tuhan, menghargai dirinya sendiri, dan juga menghargai sesamanya manusia. Penghargaan itu dapat diwujudkan melalui sikap hidup yang berkenan di hadapan Tuhan dan sesama. Jika manusia jatuh ke dalam dosa, manusia perlu mengakui dosanya. Namun pengakuan dosa, bukan persoalan
54 dimana dan kapan seseorang mengaku dosa, tetapi lebih dalam lagi ialah kesediaan yang sungguh untuk mengaku dosa secara pribadi di hadapan Tuhan, bertobat, dan mau memperbaharui dirinya menjadi lebih baik dan lebih berkenan bagi Tuhan. Pengakuan dosa yang dilakukan oleh pasangan nikah yang sebelumnya telah membina hubungan suami-istri di hadapan warga jemaat dalam ibadah jemaat bukanlah prasyarat/formalitas agar mereka mendapat pelayanan peneguhan dan pemberkatan nikah. Pengakuan dosa yang dilakukan oleh pasangan nikah yang sebelumnya telah membina hubungan suami-istri di hadapan warga jemaat dalam ibadah jemaat bukan pula satu-satunya langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan disiplin gerejawi. Pengakuan dosa merupakan bagian dari disiplin gerejawi, dan disiplin gerejawi merupakan tindakan penggembalaan. Oleh karena itu, gereja bertanggung jawab untuk mengarahkan dan menggembalakan warga jemaat yang melakukan pelanggaran dengan kasih dan tindakan yang bijaksana. Gereja terlebih dahulu harus melakukan proses penggembalaan melalui percakapan dan peringatan. Gereja bertanggung jawab untuk memperingatkan warganya dengan cara memenangkan mereka dari cengkeraman dosa melalui kasih dan tindakan yang bijaksana.