BAB SATU
Reyna Di Rumah Reyna Kamis, 1 Agustus 2013. 6: 18
“Drrrrrrrtttt… drrrrrrrrrttt… drrrrrrrrrrttt… dddrrrrrrrttt…” Aku membuka perlahan kedua mataku ketika mendengar bunyi itu. Dengan masih dikuasai rasa kantuk, aku menatap ke arah ponsel Axel FT-22 milikku yang tergeletak tak jauh dari posisiku tengkurap. Benda elektronik berwarna silver itu bergetar dan bergerak-gerak karena ada panggilan masuk. Aku mengambilnya dan kulirik layarnya, tertera tulisan, „Kambing Tua memanggil...‟ Aku menghela nafas kecil. “Mau apa sih dia menelepon pagi-pagi seperti ini?” Lalu kutekan tombol Reject dan kuputuskan untuk meneruskan tidurku yang sempat terganggu barusan. Tapi tak lama berselang, ponselku itu bergetar lagi. Aku membuka mata lagi dengan menahan rasa kantuk dan kesal yang sudah mulai menumpuk. Kulihat lagi layar ponselku, „Kambing Tua memanggil…‟ “Sial!” Umpatku kesal. Tapi kali ini kuterima teleponnya. “Selamat pagi, nona Moonwalker.” Sapa si penelepon. Aku benci mendengar gaya bicaranya yang dibuat-buat itu. Dipikirnya itu mesra, padahal menjijikkan! “Mau apa kau?” Tanyaku ketus. “Wow… kenapa kasar sekali? Apa aku mengganggumu?” Dia malah balik bertanya. “Tentu saja! Kalau kau ingin bicara, cepatlah!” “Aku hanya ingin bertanya, apa sabtu malam kau ada acara?” “Memangnya kenapa?” Kali ini aku yang balik bertanya. “Ehm… aku hanya ingin mengajakmu makan malam di The Full Moon Restaurant, kau mau „kan?” Dia memohon dengan nada memelas. Sudah kutebak. “Sayang sekali… aku sudah ada janji dengan seorang pria.” Kataku berbohong. Dia terdengar kecewa. “Kecuali kau mau menuruti permintaanku, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk merubah pikiranku.” Lanjutku.
“Katakan!” Kali ini dia terdengar sangat bersemangat. “Kau tahu Speeder X2 Limited Edition?” Tanyaku. Kudengar dia menelan ludah. “Jangan bilang kalau kaumemintaku untuk membelikannya untukmu!” Katanya shock. “Yeah, kalau kau tak bisa terserah saja, yang jelas pikiranku tak akan berubah kecuali karena benda itu.” Aku mulai menahan tawa. “Ehm… kalau begitu, aku… aku… ehm, selamat pagi!” Dia mengakhiri panggilan. Aku cekikikan. Senang sekali bisa mengerjainya. Yeah, yang barusan menelepon adalah Albert McFinley, seorang bujang lapuk yang bekerja sebagai dosen di Universitas Submarine City, sama sepertiku. Kunamai „Kambing Tua‟, tentu saja karena usianya yang sudah hampir kepala lima, selain itu dia juga sudah lama mengejarku, mencoba segala cara untuk menjadikanku istrinya. Tapi aku selalu menolaknya, alasannya sangat jelas, memangnya tak ada pria lain yang lebih tampan dari dia? Walau pun seandainya dia adalah pria terakhir yang hidup di dunia ini, aku masih tetap akan berpikir sejuta kali untuk menikah dengannya. Sudah botak, gendut, norak pula! Iiiihhhh…! Banyak cara yang sudah dilakukannya untuk menarik perhatianku, salah satunya dengan selalu mengajakku makan malam – seperti tadi. Tapi setelah ini, aku pikir dia akan menyerah, tak lain karena syarat yang kuajukan tadi, Speeder X2 Limited Edition, sebuah mobil sedan sport mewah yang hanya diproduksi sebanyak 99 unit dan harganya mencapai 20 juta Sevs atau kira-kira lima belas tahun gajinya. Hahh! Mana mungkin dia mampu membelinya? Aku bangkit dari posisi tidurku dan duduk di sisi ranjangku. Kulirik jam digital berbentuk hati berwarna pink yang kuletakkan di meja sebelah tempat tidurku. Layar kecilnya menampilkan waktu 6. 26. “Hmm… gara-gara dia aku jadi kehilangan 30 menit waktu tidurku yang berharga.” Gumamku kesal. Yah, aku memang biasa bangun jam tujuh pagi setiap harinya. Tidak pagi memang tapi aku juga tak terlalu perlu bangun pagi karena aku masuk kerja jam sembilan. Aku putuskan untuk bangkit dari ranjang dan turun ke lantai bawah, mandi, sarapan lalu… Hey! Aku baru ingat, hari ini aku tak ada jam mengajar karena mahasiswaku ada kegiatan di lapangan, ya khusus hari ini saja. Jadi aku punya banyak waktu untuk melakukan banyak hal di rumah. Kukenakan sandal tidurku yang bagian depannya berbentuk kepala kelinci berwarna pink. Tapi belum sempat aku melangkahkan kakiku, tiba-tiba ponselku bergetar lagi. Aku memutar kedua bola mataku dan kuraih ponselku itu. Kuterima panggilan tanpa melihat nama peneleponnya terlebih dulu. “Hallo…” Sapaku dengan malas.
“Hallo miss Moonwalker, ini aku, Mick Alfredson!” Sahut si penelepon dengan penuh semangat. “Oh, hi Mickey! Ada apa? Kalau kau ingin meminta bertemu denganku untuk mengajukan judul skripsimu hari ini, maaf saja, aku tidak bisa, hari aku tak ada jam, mungkin besok, lusa atau minggu depan.” Aku langsung nyerocos panjang lebar karena aku tahu pasti alasannya menelepon. Mickey terdiam, sepertinya dia agak terkejut dengan perkataanku barusan. “Hallo, kau masih di sana, Mickey? Masih ada yang ingin kausampaikan? Kalau tak ada, aku tutup teleponnya, OK?” Tanyaku. “Ehm… ya baiklah! Terima kasih miss Moonwalker.” “Tuuut… tuuuut… tuuuuut…” “Hmmmhh…” Aku memandangi sejenak ponselku. Kasihan anak itu, sudah beberapa hari ini, dia meminta bertemu denganku untuk mengajukan judul skripsinya tapi aku tak pernah bisa. Bukan apa-apa, aku memang tak pernah ada waktu, apalagi hari ini, tak mungkin aku mengorbankan waktu liburku yang berharga yang langka ini. Hhh, aku pasti bukan pembimbing skripsi yang baik. Terserah lah. “Pluk!” Kulemparkan dengan lembut ponselku itu ke ranjang. Lalu aku turun ke lantai bawah setelah sebelumnya mengambil handuk. Kutekan tombol untuk mengaktifkan eskalator yang ada di dekat pintu. “Klik!” Eskalator aktif dan aku pun turun sambil sesekali masih menguap. Kalau tidak sedang mengantuk, aku pasti akan menggunakan tangga biasa karena eskalator ini cukup boros listrik juga. Sesampainya di lantai bawah, kumatikan eskalator dan lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi pagi. Dua puluh menit berselang, aku sudah selesai mandi dan berdandan. Aku mengenakan t-shirt lengan panjang warna kuning-hitam dengan sebuah celana jeans biru dongker. Rambut hitamku yang lurus sebahu kubiarkan tergerai begitu saja. Ketika sedang bingung mau melakukan apa tiba-tiba kudengar suara letusan senapan sebanyak tiga kali, “Dooor! Dooorr! Dooor!”. Aku tersentak dan langsung berlari-lari kecil menghambur ke arah asal suara yang sepertinya dari rumah keluarga McCraig, tetangga sebelah rumah. Sembari berlari, pikiranku ke mana-mana, mencoba menebak kemungkinan buruk apa yang mungkin terjadi. Aku membuka pintu depan rumahku dan langsung menghambur keluar. Di halaman samping rumah keluarga McCraig aku mendapati, Benny, anak bungsu Pak dan Bu McCraig yang berusia tujuh tahun sedang tiarap di tanah berumput sambil memegangi sebuah senapan, sebuah benda seperti kacamata hitam yang berukuran besar terpasang menutupi matanya. “Menyerahlah kau, penjahat!” Teriaknya. Aku menghela nafas, lega sekaligus jengkel. Pagi-pagi sudah mendapatkan kejutan dari seorang anak kecil yang sedang bermain Online Virtual Game. Alat
yang seperti kacamata itu adalah alat untuk melihat visualisasi 4D dari dunia game yang terhubung dengan internet. Dari kata-kata yang keluar dari mulutnya, aku menebak Benny sedang terlibat baku tembak dengan seorang penjahat. Aku melangkah kembali masuk ke dalam rumahku. Kurasakan perutku mulai keroncongan, sudah harus diisi dengan sarapan. Aku mengambil dua lapis roti tawar dan segera memasukkannya ke dalam Toaster. Kutekan tombolnya. “Klik!”. Sambil menunggu matang, aku menyalakan TV yang ada di ruang dapurku ini. “… Maureen Stone melaporkan langsung dari Seacrast Street, tempat terjadinya pembunuhan disertai mutilasi yang sadis dan melibatkan seorang pejabat setempat…”. “Membosankan!” Gumamku. Setiap hari ada saja pembunuhan. Lama-lama tak ada manusia yang hidup di kota ini. Kuletakkan remote tapi TV-nya kubiarkan menyala. Aku mulai berpikir mengenai hal apa yang akan kulakukan hari ini. Tiba-tiba aku teringat kalau gudang tempat menyimpan barang bekas yang terletak di lantai bawah tanah, sudah lama sekali tidak dibersihkan. Seingatku, gudang itu terakhir kali dibersihkan waktu aku masih kulaih dulu, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Wow! Aku tak bisa membayangkan bagaimana debunya. Dan aku pun menemukan hal yang harus kulakukan, daripada jalan-jalan ke mall membeli ini-itu yang bahkan belum tentu ada gunanya, lebih baik membersihkan gudang saja, iya „kan? Lalu aku melahap roti panggang yang sudah matang dan kemudian mengambil perlengkapan untuk menjalankan „misi kebersihan‟ hari ini: sebuah masker warna hitam, sepasang kaos tangan yang tebal dan besar berwarna pink, Bag Vacuum Cleaner – mesin penyedot debu yang berbentuk seperti tas punggung dan bisa digendong, sebuah celemek biru dan sebuah kacamata terang berukuran besar untuk melindungi kedua mataku dari debu. “Baik, misi dimulai!” Ucapku bersemangat sambil bergaya seperti seorang agen rahasia di film-film spionase yang pernah kutonton. Aku melangkah menuju lantai bawah, tempat gudang itu berada. Anak tangga yang kuinjak berderit-derit, mungkin kalau beratku bertambah satu kilo saja, anak tangga ini akan patah. “Klik!” Aku menekan tombol lampu di dinding setibanya di bawah dan seketika seisi ruangan pun menjadi terang. Huh, untung saja, walau pun sudah bertahun-tahun, lampunya masih hidup, kalau mati, maka aku harus repot-repot menggantinya terlebih dulu dan aku tak yakin mau melakukannya karena pasti susah dan memakan waktu. Sejenak udara pengap langsung menyergapku, untung aku memakai masker dan kacamata, jadi aku tidak terbatukbatuk. Kuperhatikan sejenak ruangan berukuran lima kali enam meter ini, dua per tiga bagiannya sudah dipenuhi oleh barang-barang bekas yang sudah lama tak terpakai, seperti monitor komputer, rice cooker, magic jar dan sebagainya, yang tentu saja semuanya berselimutkan debu tebal. Hmm, aku tak mengerti kenapa dulu aku tak langsung membuangnya saja ya? Jadi tidak menumpuk seperti ini.
Aku juga tak mengerti, haruskah kubuang semua barang ini atau kupilahpilah terlebih dulu? Tapi, kalau pun kupilah-pilah, untuk apa juga nanti? Toh, pasti tak akan bisa digunakan lagi. Akhirnya kuputuskan untuk membuang semua rongsokan yang menumpuk ini, jadi benar-benar bersih nantinya. Aku mulai mengangkati barang-barang itu dan memasukkannya ke dalam sebuah pipa berdiameter satu meter yang terhubung dengan sebuah kotak sampah yang ada di depan pagar luar rumahku. “Klik!” Kutekan tombol untuk mengaktifkannya dan sesaat berselang barang rongsokan yang kumasukkan mulai tersedot menuju kotak sampah yang berada di luar. Alat yang cukup praktis „kan? Jadi, kita tidak perlu capek-capek mengangkat sampah secara manual. Sudah sekitar sepuluh menit aku melakukannya, semuanya berjalan lancar sampai tiba-tiba alat itu mati bersamaan dengan padamnya lampu di ruangan ini. Aku menghela nafas, menahan kesal. Kenapa di saat semangatku sedang membara untuk bersih-bersih listriknya malah padam? Bukan main aku kesalnya, kuhela nafas yang lebih panjang dan menghembuskannya untuk menenangkan diri. Mungkin ini bukan hari yang tepat untuk bersih-bersih. Aku keluar dari gudang dibantu cahaya penerangan seadanya yang berasal dari lantai atas. “Akan kuadukan ke departemen perlindungan konsumen!” Ujarku kesal setelah sampai di atas. “ini sudah ketiga kalinya bulan ini, padahal aku selalu membayar tagihan listriknya tepat waktu!” Tadinya aku mau mengadu lewat telepon saja, tapi setelah kupikir mungkin lebih enak langsung datang ke kantornya, bisa puas mengeluh. Yeah! Aku mengeluarkan skuter matik-ku, Athena Yellow Goddess yang berwarna kuning. Entahlah, aku sedang tak ingin membawa mobil hari ini. Aku menyalakan mesinnya dan memanaskannya sebentar sambil mengenakan kaos tangan warna hitam, jaket kulit hitam dan helm berwarna kuning. Sesaat berselang, aku memacu skuter-ku keluar dari rumah menuju kantor departemen perlindungan konsumen di pusat kota. Ketika melintas di depan pagar rumah, aku melihat sebuah benda yang tergeletak di samping kotak sampah. Benda kecil berwarna biru metalik yang menyerupai ponsel. Aku pun turun untuk memeriksanya karena penasaran. Aku melihatnya dengan seksama dan hey! Ternyata memang sebuah ponsel! Wow! Aku mengambilnya, “Siapa yang membuang ponsel secantik ini?” Gumamku dan kuputuskan untuk „mengutak-atik‟ sejenak sebelum pergi ke pusat kota.