BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang dibangun atas dasar keberagaman. Tidak heran apabila para pendiri bangsa ini menggunakan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu”, sebagai identitas bangsa ini. Unity in diversity, kesatuan dalam konteks keberagam-ragaman, (bhineka tunggal ika) sebagai dasar paradigmatif bagi paham “persatuan” sebagai salah satu sila dalam Pancasila itu, turut sebagai paradigma filosofis bagi politik hukum nasional di Indonesia. 1 Indonesia bersifat pluralitas 2 karena terdiri dari beragam suku, bahasa dan adat istiadat yang tersebar dari sabang sampai merauke. Demikian juga beragam agama dan aliran kepercayaan yang diyakini oleh setiap penduduknya. Baik dari agama yang berasal dari luar Indonesia yang dibawa oleh penyebar agama, demikian juga agama suku atau keyakinan-keyakian dan aliran-aliran kepercayaan yang masih tumbuh subur didalam masyarakat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keunikan bangsa ini. 1
M. Solly Lubis, Managemen Strategis Pembangunan Hukum, (Bandung : Bandar Maju, 2011), hal. 78 2 Arti kata pluralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bersifat majemuk, banyak macam, (Departemen Pendidikan Nasional : Balai Pustaka, Jakarta, 2007), Hal. 883
Universitas Sumatera Utara
Menyadari sifat pluralitas dalam beragama yang dianut oleh penduduk di Indonesia, kendatipun Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah agama Islam, para pendiri bangsa ini memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masingmasing. Ini terbukti bahwa masalah kebebasan beragama ini dengan tegas diatur didalam konstitusi RI (Republik Indonesia). Dimana konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan pegangan didalam penyelenggaraan suatu negara. 3 Berbicara masalah konstitusi tidak dapat terlepas dari apa yang menjadi muatan dari konstitusi itu sendiri. Ada tiga hal pokok yang menjadi muatannya, yaitu: pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; dan ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. 4 Berdasarkan muatan konstitusi ini, UUD 1945 sebagai konstitusi RI memuat tentang jaminan atas hak-hak asasi manusia khususnya masalah kebebasan beragama yang termasuk didalam hak yang fundamental. Ada yang beranggapan bahwa didalam pergeseran rezim otoritarian di Indonesia menuju demokrasi, jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme 3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hal. 35 4 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007), hal. 43
Universitas Sumatera Utara
demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan beragama. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam agama resmi. 5 Orang atau komunitas di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat atau aliran kepercayaan yang masuk kategori tidak beragama. 6 Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil. Terkait kebebasan beragama di Indonesia, masalah yang mendapat perhatian adalah adanya asumsi mengenai banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang bermasalah dilihat dari perspektif kebebasan beragama. Peraturan itu bermasalah, baik karena dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama maupun karena bertentangan satu sama lain berdasarkan hirarkinya. Masalah perundang-undangan yang bermasalah didalam menjamin kebebasan beragama ini 5
Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Surat Edaran Mendagri itu seharusnya hanya berisi petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri. Mahfud MD, Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi,(Jakarta: 2009), hal 1. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia, Menuntut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, yang diselenggarakan oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) pada Senin, 5 Oktober 2009 di Ruang Vanda II Wisma Serbaguna, Jakarta. 6 Misalnya Dayak Kaharingan di Kalimantan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, Komunitas Sunda Wiwitan di Jawa Barat, dan lain-lain, hanya karena keyakinan adat mereka berbeda dengan mainstream mayoritas, banyak mengalami tekanan sosial maupun hambatan-hambatan dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Seperti misalnya setiap anak yang lahir tidak bisa memperoleh akte kelahiran, pernikahan tidak bisa dicatatkan, KTP tidak diberikan. Semua itu disebabkan karena mereka memegang adat yang telah turun-temurun di kalangan mereka. Dikalangan penghayat kepercayaan diskriminasi dialami sejak proses pengurusan akte kelahiran sampai akte kematian, bahkan sampai pemakaman. Ibid
Universitas Sumatera Utara
perlu segera diselesaikan. Akan tetapi, harmonisasi maupun sinkronisasi aturan hukum di bidang kebebasan beragama belum ditangani optimal. Masalah kebebasan beragama dan hubungan antarumat beragama sangat tergantung pada harmonisasi dan sinkronisasi aturan-aturan hukum tersebut. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama 7 misalnya, adalah salah satu yang banyak dikritisi. Aturan itu pada pokoknya melarang melakukan penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Ketentuan itu jelas mengisyaratkan negara
melindungi
warga
negara
Indonesia
melalui
perlindungan
atas
penyalahgunaan dan penodaan agama, dan pada saat bersamaan melarang aliran agama lain itu untuk tidak membuat penafsiran di luar ajaran yang konvensional. Aturan itu selain dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan beragama menurut konstitusi, juga dinilai sebagai bentuk intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu. Namun ada juga sekelompok orang yang beranggapan bahwa undangundang ini tidak bertentangan dengan konstitusi dah dibutuhkan keberadaanya. Kebebasan beragama merupakan hak yang fundamental yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Hak untuk beragama merupakan hak yang tidak dapat diambil oleh siapapun (unalienable) 7
UU Nomor 1/PNPS/1965 berpangkal dari penetapan presiden (penpres). Penpres bukanlah bentuk perundang-undangan sebagaimana diakui UUD 1945, melainkan suatu bentuk hukum “jadijadian” yang pembentukannya diklaim Soekarno menjadi wewenangnya. Lewat Surat Presiden Nomor 2262/Hk/59, 20 Agustus 1959, kepada DPR, disusul dengan Surat Nomor 3639/Hk59, 26 November 1959, Soekarno mendalilkan klaimnya itu sebagai buah dari kewenangan luar biasa yang ia tuai berkat Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Universitas Sumatera Utara
karena hak untuk beragama ditentukan oleh dirinya sendiri dan tanpa ada paksaan dan dipaksakan oleh orang lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya negara dalam hal ini tidak boleh melakukan intervensi terhadap hak kebebasan beragama akan tetapi harus dapat memberikan suatu jaminan kepada warga negaranya untuk dapat menjalankan agamanya tanpa ada gangguan dari pihak manapun. 8 Ini sesuai dengan bunyi Pasal 28I UUD 1945 telah ditegaskan bahwa hak untuk bebas beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Demikian juga Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing
dan
untuk
beribadat
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu”. Bukti dari keseriusan pembahasan pengaturan kebebasan beragama secara universal, saat ini sudah ada empat instrumen internasional utama didalam mengatur kebebasan beragama ini. Instrumen-instrumen tersebut adalah : (1), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 9, (2), Kovenan Hak Sipil dan Politik 10, (3),
8
Sumika Putri, http://fh.unsoed.ac.id. Diakses tanggal 7 maret 2012 Didalam hukum internasional modern, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi ini ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusinya No. 217 A (III) pada tanggal 10 Desember 1948. United Nations, United Declaration of Human Rights. Lihat selengkapnya di Alkhanif, Hukum & Kebebasan Beragama Di Indonesia(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2010), hal.5. 10 Kovenan ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB melalui resolusinya No. 2200A (XXI). Walaupun kovenan ini sudah di tetapkan 1966 namunl kovenan ini baru berlaku secara resmi pada tanggal 23 Maret 1976 meskipun dasar ratifikasi telah dibuka sejak pertama kali kovenan ini ditetapkan yakni 19 Desember 1966. Kovenan Hak Sipil dan Politik adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur tentang kebebasan beragama yang bersifat mengikat secara hukum negara-negara yang menandatanginya. Oleh karena itu ditetapkan Kovenan ini merupakan langkah maju dari dunia internasional untuk lebih mengefektifkan perlindungan terhadap hak kebebasan be ragama. Lihat selengkapnya, ibid hal.22. 9
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Permusuhan berdasarkan Agama dan Kepercayaan (Deklarasi Hak Kebebasan Beragama) 11 dan (4), Deklarasi Hak Orang-Orang Minoritas Secara Etnik, Bahasa, dan Agama (Hak Kelompok Minoritas) 12. Norma-norma hukum diatas yang sudah diuraikan sebelumnya sebagai jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah-olah hanya merupakan “macan kertas” 13 dalam prakteknya. Banyak hal-hal yang terjadi di bangsa ini yang menciderai kebebasan beragama. Rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undangundang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Selama tahun 2011, berdasarkan kategori bentuk pelanggaran, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 92 kasus.Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah 11
Deklarasi ini adalah satu-satunya instrumen internasional yang mengatur secara khusus perlindungan terhadap kebebasan beragama. Disebut dengan Deklarasi 1981 karena Deklarasi tersebut ditetapkan oleh Mejelis Umum PBB pada tanggal 25 November 1981 melalui resolusinya No. 36/55. Deklarasi 1981 ini seperti DUHAM tidak mengikat secara hukum terhadap negara-negara yang menandatanganinya ketika Deklarasi ini ditetapkan. Selengkapnya lihat, ibid, hal.28. 12 Deklarasi ini ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1992 melalui resolusinya No. 47/135 untuk melindungi hak kelompok minoritas. Deklarasi ini penting karena pengakuan terhadap hak-hak kelompok kaum minoritas telah ditinggalkan semasa pembentukan Deklarasi Universal. Tidak ada satupun pasal dalam DUHAM yang mengatur secara khusus hak kelompok minoritas. Selengkapnya lihat, ibid, hal.37. 13 Arti macan kertas menurut KBBI adalah sesuatu yg tampak kuat dan galak, tetapi sebenarnya tidak bertenaga dan jinak.
Universitas Sumatera Utara
kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%). 14 Ada 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2011 berdasarkan kategori korban. Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah Abraham (4 kasus), kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT (masing-masing 1 kasus). 15 Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah aparat kepolisian yakni 32 kali (26%), bupati, walikota atau oknum-oknum pejabat di lingkungan kabupaten/kota 28 kali (23%), Tentara 16 kali (13%), Satpol PP (10 kali), Pemerintah Provinsi (8 kali), Kantor Kemenag atau KUA (8 kali). 16 Berdasarkan laporan tersebut ditemukan bahwa jemaat Ahmadiyah adalah kelompok yang paling banyak mengalami kasus pencideraan terhadap kebebasan 14
The_Wahid_Institute,http://www.wahidinstitute.org/Laporan_Kebebasan_Beragama_2011_ diAkses tanggal 7 Maret 2012 15 Ibid 16 Ibid
Universitas Sumatera Utara
beragama di Indonesia. Kelompok ini banyak mengalami kekerasan dari kelompok lain didalam melaksanakan kebebasan beragamanya dari tahun ketahun. Selain itu Bakor Pakem 17 mengeluarkan Surat Keputusan Bersama/ SKB sebagai keputusan mengikat untuk melarang ajaran Ahmadiyah Indonesia karena ajarannya telah menyimpang dari kepercayaan Islam. Ini tertuang pada keputusan Bakor Pakem No. KEP-033/A/JA/6/2008. Pada dasarnya isi SKB ini adalah melarang semua bentuk manifestasi dari ajaran Ahmadiyah tersebut. Tidak ada laporan resmi tentang jumlah keseluruhan dari anggota jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Hal ini dikarenakan Ahmadiyah tidak diakui sebagai agama resmi. 18 Kasus GKI Taman Yasmin berhubungan dengan ijin pendirian rumah ibadah. Jika dirujuk sejarahnya, proses pembangunan GKI Yasmin sudah dimulai sejak tahun 2000. Namun, masalah baru muncul pada tahun 2008, ketika Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Bogor Yusman Yopi membekukan izin pembangunan gereja tersebut melalui surat Nomor 503/208-DTKP tertanggal 14 Februari 2008. Alasannya, ada keberatan dari forum ulama dan ormas islam se-kota Bogor. Surat ini terbit sesudah surat izin dikeluarkan oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto pada 13 Juli 2006. Karena keberatan, pihak GKI Yasmin menggugat surat pembekuan izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara hingga tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya, MA 17
Bakorpakem adalah sebuah akronim dari nama sebuah lembaga yang lengkapnya disebut ‘Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat’. yang dibentuk di bawah institusi kejaksaan diberikan mandat oleh UU Kejaksaan No.16/2004 khususnya pasal 33 ayat (3) huruf d dan e untuk mengawasi kepercayaan/agama, dan juga untuk pencegahan dan atau penodaan agama. Kejaksaan meletakkan wewenangnya atas dasar untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan. http://mitrahukum.org/konten. diakses tanggal 12 Mei 2012. 18 Alkhanif, Op. Cit. hal 233
Universitas Sumatera Utara
membatalkan pencabutan izin tersebut.Namun, selama proses hukum berlangsung situasi memanas karena sejak izinnya dibekukan, pemerintah kota Bogor menggembok gerbang gereja sehingga jemaat terpaksa beribadah di trotoar jalan sejak tahun 2010. 19 Kasus Aliran Sesat yang sudah selesai diputus dalam persidangan adalah kasus Lia Eden. Pada 2 Juni 2009, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Lia Eden, pemimpin Kelompok Alamulla Jemaah bersalah atas penistaan dan penghasutan rasa benci antar penganut agama karena dakwah dan menyebarkan pesan-pesannya kepada lembaga pemerintah termasuk Istana Presiden. Lia Eden dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun enam bulan. Pengikutnya bernama Wahyu Wibisono dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun dengan tuduhan penistaan agama. Ini adalah kali kedua Eden diadili atas tuduhan penistaan agama. Pada 2006, ia juga pernah dijatuhi hukuman untuk kasus yang sama selama dua tahun penjara dan dibebaskan pada Oktober 2007 setelah menjalani masa tahanan selama 16 bulan. Pada November 2007, Mahkamah Agung menjatuhi hukuman penjara selama tiga tahun kepada putra Eden bernama Abdul Rahman yang mengaku sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad. 20 Melihat persoalan tersebut negara berkewajiban untuk melindungi dan menjamin hak azasi setiap warga negara untuk menjalankan agama, keyakinan dan kepercayaan sebagaimana yang diyakini tanpa ada unsur tekanan ancaman oleh 19
Konflik Pembangunan GKI Taman Yasmin, http://jakarta.okezone.com/read/2012/04/11/501/ 609195/konflik-pembangunan-gki-yasmin-di-bogor-iii, diakses tanggal 17 April 2012 20 http://www.state.gov/documents/organization
Universitas Sumatera Utara
siapapun dan pihak manapun. Apabila negara tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagaimana mandat konstitusi, negara dalam hal ini pemerintah beserta aparaturnya dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia karena tidak menjamin kebebasan masyarakat dalam menjalankan kayakinan dan kepercayaannya. Dengan demikian sangatlah penting untuk menganalisa konstitusi RI didalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Baik menganalisa substansi dan turunannya serta pengimplementasiannnya didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dan dibahas adalah : 1. Apakah secara normatif perlindungan kebebasan beragama yang dimuat didalam konstitusi RI sudah cukup menjamin kebebasan beragama? 2. Bagaimana penjabaran atas konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia? 3. Bagaimana
perlindungan
kebebasan
beragama
yang
diberikan
oleh
pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus dari penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui secara normatif Konstitusi RI sudah cukup menjamin
Universitas Sumatera Utara
perlindungan terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia atau sebaliknya. 2. Untuk mengetahui penjabaran dari Konstitusi RI terhadap perlindungan kebebasan beragama di Indonesia. 3. Untuk mengetahui perlindungan kebebasan beragama yang diberikan pemerintah terhadap kasus-kasus kebebasan beragama di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya di bidang perlindungan kebebasan beragama. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka yang membahas perlindungan kebebasan beragama dalam pengaturan konstitusi RI. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah, legislator dan para praktisi hukum serta para pejuang HAM khususnya didalam upaya penegakan hukum atas dijaminnya perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yangdilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara, penelitian yang mengangkat judul tentang “Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebpebasan Beragama Dalam Konstitusi Republik Indonesia”, ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Namun, ada tesis yang membahas menyangkut kebebasan beragama dengan judul “Implementasi Kebebasan Beragama Menurut Undang-Undang Dasar 1945”, atas nama Agung Ali Fahmi, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Program Studi : Magister Hukum Kenegaraan. Selain kedua judul ini berbeda, substasnsinya juga berbeda. Baik dari
permasalahan yang menjadi objek kajian
maupun dalam pembahasan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati. 21
21
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,(Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press) ,2003, hal. 39-40
Universitas Sumatera Utara
Selain itu teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian. 22 Penelitian ini menggunakan teori konstitusi sebagai pisau analisa. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, konstitusi menjadi suatu keharusan bagi pengelolaan kehidupan bersama manusia dalam suatu organisasi negara. Atas dasar itu, terminologi konstitusi terus mengalami perkembangan arti dan makna sesuai dengan kebutuhan dan konteks konstitusi dalam masyarakat. Gejala itu dapat dipahami dengan menelaah berbagai pengertian konstitusi yang diungkapkan oleh pakar konstitusi. Seperti K.C Wheare yang menyatakan konstitusi dalam dua pengertian: 23 a. all it used to describe the whole system of government of a country, the collection of rules which establish and regulaten or govern the government (semua itu digunakan untuk menggambarkan keseluruhan dari sistem pemerintahan suatu Negara, kumpulan dari peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan) b. …and partly non-legal or extra-legal, taking the form of usages, understandings customs, or convention which courts do not recognize as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of law strictly so called. (…sebagian bersifat non legal atau ekstra legal, pengambilan bentuk penggunaan, pemahaman, kebiasaan atau adat yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum tetapi tidak kalau efektifnya di dalam mengatur pemerintahan dibanding dengan apa yang secara langsung disebut oleh hukum). 22
Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 16 23 Mirza Nasution, Pertanggungjawaban Gubernur Dalam Negara Kesatuan Indonesia, (Jakarta:Sofmedia), 2011, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
James Bryce dalam pandangannya memaknai konstitusi sebagai kerangka masyarakat politik yang diorganisir melalui hukum. Pemikiran tersebut memahami kontitusi sebagai landasan yang menetapkan dan mengakui keberadaan lembagalembaga negara secara permanen serta hak-hak yang melingkupinya. Ringkasan pemikiran Bryce mengenai konstitusi dipahami sebagai : “… a frame of political society, organized through and by law, that is to say one which law has established permanen institutions with recognized functions and definite rights”. (konstitusi sebagai bingkai masyarakat politik (negara) yang diorganisir dan dengan melalui hukum, atau hal itu dapat dikatakan dengan satu hukum pembentuk lembaga-lembaga permanen yang fungsi-fungsi dan haknya diakui dan diterapkan). 24 Searah dengan pemikiran Bryce, Carl Joachim Friedrich mengartikan konstitusi sebagai upaya untuk secara jelas mewadahi semua kehendak politik rakyat selaku anggota masyarakat hukum, hal mana kehendak politik tersebut diartikan sebagai kehendak hidup bersama dalam sebuah masyarakat politik guna melestarikan diri sebagai hak alami pertama. Hal yang sama dikatakan oleh C.F Strong yang menilai konstitusi sebagai “…a collection of principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjust. (“… kumpulan asas atau prinsip mengenai kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah dan hubungan-hubungan antara yang memerintah dan yang
24
Ibid, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
diperintah). 25 Uraian singkat tersebut menjelaskan bahwa konstitusi merupakan kumpulan prinsip yang melandasi dan mengatur kekuasaan pemerintahan serta hak-hak yang diperintah. Dengan demikian konstitusi mengandung prinsip-prinsip hubungan dan batas-batas kekuasaan antara pemerintahan dengan hak-hak rakyat (diperintah). Konstitusi biasa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman. 26 Konstitusi merupakan norma dasar yang mengatur cara penyelenggaraan kedaulatan rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran R.M. Mac Iver 27 yang menempatkan konstitusi sebagai inti dari hukum tata negara sedangkan Nyoman Dekker 28 menempatkan konstitusi dalam posisi teratas dari suatu piramida hukum tata Negara. 29 Hakikat ajaran yang dapat diambil dari berbagai pemikiran tentang konstitusi mengarah pada kedudukan konstitusi sebagai hukum dasar negara, simbol kedaulatan yang mengatur sistem kekuasaan negara, kemana negara hendak dikembangkan. Robert M.Mac Iver yang menyebut konstitusi sebagai hukum yang mengatur kekuasaan negara. 25 26
Ibid. hal 24. C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nuansa, Nusa Media, 2004),
hal. 15 27
Astim Riyanto, Teori Konsitusi,(Bandung: Yapemdo), 2003, hal. 10 Ibid. 29 Mirza Nasution, Op. Cit, Hal. 25 28
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga menurut J.G Steenbeek pada umumnya konsitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: 30 1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara; 2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifar fundamental; dan 3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Sehubungan dengan itu teori konsitusi menjadi sangat penting untuk membedah permasalahan analisis yuridis mengenai perlindungan kebebasan beragama karena terkait erat dengan keberadaan konsitusi sebagai hukum dasar negara yang mengatur tentang penjaminan hak-hak asasi rakyat. Selain itu secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum atau “The Rule of Law”, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Menjadi kewajiban dari Pemerintah atau negara hukum untuk mengatur pelaksanaan daripada hak-hak asasi ini, yang berarti menjamin pelaksanaannya, mengatur pembatasanpembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. 31 Ketika pemerintah menjalankan kekuasaaanya berdasarkan konsitusi dengan demikian tipe sebagai negara hukumpun terpenuhi. 30
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni), 1992, hal
31
Zainul Pelly, Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan, (Medan: UD. Sabar, 2002), hal. 18.
74
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Julius Sthal salah seorang tokoh aliran Eropa Continental, konsep negara hukum yang disebutkan dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara. 32 Perjuangan terhadap perlindungan hak asasi menusia menjadi bagian yang penting yang tidak terpisahkan dari konsep negara hukum. Menurut Mirza Nasution, Indonesia mengenal konsep negara hukum Pancasila. 33 Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Oleh karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara Hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama namun kebebasan beragama di negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memiliki konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning yang dikutip Senoadji. 34 “Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of god or to deny it, to believe in Christian religion or any other religion or in none, as we choose” (Kebebasan beragama berarti bahwa setiap orang bebas untuk beribadah, untuk mengakui keberadaan Tuhan atau 32
Mirza Nasution, Loc. Cit, hal. 37 Ibid. hal 43 34 Ibid. hal. 44. 33
Universitas Sumatera Utara
menolaknya, mempercayai agama Kristen atau agama lainnya atau tidak sama sekali, sebagai suatu pilihan).
Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini dinamakan
dengan
Constitusional
States
(Negara
Konstitusional).
Negara
Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum. 35 Suatu negara hukum yang dinamis, negara ikut aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian diaturlah masalah fungsi negara dengan penyelenggaraan hak dan kewajiban asasi manusia itu. Bagaimanapun juga, negara di satu pihak melindungi hak-hak asasi, namun di pihak lain menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum itu, berupa kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini betapa besarnya peranan negara. Berdasarkan uraian diatas didalam menganalisa perihal jaminan kebebasan beragama, ketika Pemerintah menjalankan kekuasaannya berdasarkan konsitusi yang memuat masalah masalah dijaminnya hak-hak asasi manusia khususnya mengenai kebebasan beragama, maka pemerintah dengan sendirinya mengarah kepada pencapaian tujuan dari negara hukum itu sendiri. 35
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana, 2011), hal 35.
Universitas Sumatera Utara
2. Landasan Konsepsi Penggunaan konsep dalam suatu penelitian adalah untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang dipergunakan penulis dalam merumuskan konsep dengan menggunakan model defenisi operasional. 36Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini : a) Kebebasan Beragama Kebebasan secara klasik dapat diartikan dengan “tidak adanya larangan.” 37 Meskipun demikian, konsep dasar “kebebasan” juga harus memperhatikan tidak adanya intervensi dari kebebasan yang telah dilakukan tersebut terhadap kebebasan orang lain. Jadi ada dua kebebasan yang seimbang, yakni bebas untuk melakukan dan bebas untuk tidak diintervensi oleh tindakan tersebut. 38 Selain itu, Kamus Hukum Black, “kebebasan” diartikan sebagai sebuah kemerdekaan dari semua bentuk-bentuk larangan kecuali larangan yang telah diatur oleh undang-undang. 39 Maksudnya bahwa manusia mempunyai hak untuk bebas selama hak-hak tersebut tidak bertentangan dengan larangan yang ada didalam hukum. Kamus Jhon Kersey mengartikan bahwa ‘kebebasan’
adalah
sebagai
“kemerdekaan,
meninggalkan
atau
bebas
36
Universitas Sumatera Utara, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Thesis, Medan :Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 72 37 Cooter, Robert, D., 1987, liberty, Efficiency, and Law. Law And Contemporary Problems, hal 143. http://www.jstor.org. 38 Al Khanif, Loc. Cit, hal. 86 39 Ibid hal. 87
Universitas Sumatera Utara
meninggalkan.” 40 Artinya semua orang bebas untuk tidak melakukan atau melakukan sesuatu hal. Isaiah Berlin membedakan ‘kebebasan’ dalam dua bentuk yaitu kebebasan dalam bentuk yang positif dan kebebasan dalam bentuk negatif. Kebebasan dalam bentuk positif artinya ‘apa atau siapa’ yang bertindak sebagai sumber hukum, yang bisa menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan atau mendapatkan sesuatu ‘kebebasan’. Sedangkan kebebasan dalam bentuknya yang negatif bersinggungan dengan ruang lingkup dimana seorang harus dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain. 41 Kebebasan dalam arti negatif ini sesuai dengan pengertian kebebasan dari Kamus Kersey, sedangkan kebebasan dalam arti yang positif lebih condong kepada pengertian yang diajukan oleh Kamus Hukum Black. b) Agama Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang
40 41
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
berasal dari bahasa Latin “religio” dan berakar pada kata kerja “religare” yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. 42 Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. Selain itu agama Wad’i atau agama bumi yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao, Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan. 43 Agama Asli adalah bentuk-bentuk atau cara-cara penyembahan yang ada pada suatu suku dan sub-suku; kerohanian khas pada suatu bangsa, suku, dan sub-suku; berasal dari antara mereka sendiri, serta tidak dipengaruhi atau meniru dari komunitas ataupun orang lain. 44 c) Konstitusi Istilah “konstitusi”
dalam bahasa Indonesia berpadanan dengan kata
“constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Malaysia), “constitunonel” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws”, (Amerika Serikat). 45 Dalam bahasa Perancis berasal dari kata kerja “constituer” yang berarti “membentuk” jadi konstitusi berarti pembentukan. Dalam hal ini yang dibentuk adalah negara, maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi yang menegakkan 42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Agama, Diakses 9 maret 2012 Pengertian-agama-secara-umum, /http://umum.kompasiana.com/2009/06/10/ diakses tangal 9 Maret 2012 44 Agama asli, http://www.jappy.8m.net/blank_11.html, Diakses tanggal 9 maret 2012 45 Ellydar Chaidir, Op. Cit. Hal 29 43
Universitas Sumatera Utara
bangunan besar yang bernama negara. 46 Istilah konstitusi sebenarnya tidak digunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian. Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi, juga dikenal istilah UndangUndang Dasar. Demikian juga di Belanda, disamping dikenal istilah “groundwet” (Undang-Undang Dasar) dikenal pula istilah “constitutie”. Pengertian lainnya ada konstitusi tertulis (Undang-Undang Dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi). 47 Undang-Undang Dasar sendiri adalah suatu dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari suatu negara yang lazimnya kepadanya diberikan sifat luhur dan “kekal” dan apabila mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya. 48 Jadi pengertian Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi, yaitu konstitusi tertulis. Undang-Undang Dasar (UUD) sama artinya dengan konstitusi dalam penelitian ini. Pendapat seperti ini antara lain dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam disertasinya yang tidak membedakan antara konstitusi dengan Undang-Undang
46
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), hal 10 M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978) hal 45 48 Juniarto, Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 47
22.
Universitas Sumatera Utara
Dasar. 49 Jadi dalam penelitian ini ketika pemakaian istilah konstitusi itu merujuk kepada Undang-Undang Dasar, dan ketika menggunakan istilah Undang-Undang Dasar itu merujuk kepada konstitusi. Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil:” Government by laws, not by men” negara yang menganut gagasan ini dinamakan
dengan
Constitusional
States
(Negara
Konstitusional).
Negara
Konstitusional adalah negara yang pertama-tama mengakui dan menjamin hak-hak warga negaranya, serta membatasi dan mengatur kekuasaannya secara hukum. 50
G. Metode Penelitian Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitan kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel. 51 Penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau 49
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), hal 1 Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakareta: Kencana, 2011), hal 35. 51 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar grafika, 2009), hal. 105. 50
Universitas Sumatera Utara
segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 52 Maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dengan demikian objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan melalui turunan konstitusi atau dengan meratifikasi instrumen-intrumen internasional yang terkait secara langsung dengan kebebasan beragama. Penelitian hukum juga dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktafakta hukum untuk selanjutnya digunakan dalam menjawab permasalahanpermasalahan. Agar mendapat hasil yang lebih maksimal, maka penulis melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. 53 Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga
52
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
hal.43 53
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), Hal. 132
Universitas Sumatera Utara
penelitian hukum kepustakaan. 54Penelitan ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. 55 Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 56 Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan mengkaji kasus ahmadiyah untuk menemukan peran pemerintah didalam mewujudkan perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia. Hal ini akan dikaji melalui produk-produk hukum yang dikeluarkan didalam mengakomodir perlindungan kebebasan beragama terhadap beberapa kasus pencideraan kebebasan yang terjadi di Indonesia. 2.
Sumber Data Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan dan
berdasarkan kepada data sekunder , maka bahan hukum yang digunakan dapat dibagi kedalam beberapa kelompok, yaitu: 54
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, Cet. Ke-5), hlm. 9. 55 Ibid, hlm. 105 56 Ibid, hlm. 223
Universitas Sumatera Utara
1. Bahan hukum primer, yaitu: a. Undang-Undang Dasar 1945 b. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Korvenan Internasional Tentang HakHak Sipil dan Politik). e. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. f. Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor : 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. g. Peraturan Bersama No. 9 Tahun 2006, Peraturan Bersama No. 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksannaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku, karya ilmiah, Tesis,
Universitas Sumatera Utara
Disertasi, Jurnal Hukum atau hasil penelitian lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, dan sebagainya. 57 3.
Teknik Pengumpulan Data Berkenaan data yang digunakan hanya data sekunder jadi teknik pengumpulan
data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan cara mencari, mempelajari, dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek pelitian. 58 Selain itu akan dilakukan juga pengumpulan data kelapangan (field research) melalui wawancara dengan informan yakni mewakili FKUB Propinsi Sumut, Dr. Arifinsyah, M.Ag sebagai Wakil Sekretaris, dan mewakili Ahmadiyah, Sufi Murti sebagai Mubaligh Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, mewakili MUI Sumut, Drs. Hj. Arso, SH. M.Ag, Ketua Bidang Perundang Undangan, HAM dan Advokasi, Pdt. Hotman Hutasoit, MTh, mewakili PGI Sumut, sebagai Wakil Sekretaris Umum, dan Humala Pardede, Mewakili Kementertian Kebudayan dan Pariwisata Sumut, yang berhubungan dengan 57
Ibid, hlm. 224 Ibid, hlm. 225
58
Universitas Sumatera Utara
penelitian mengenai perlindungan kebebasan beragama di Indonesia kaitannya dengan konstitusi RI. 4.
Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitan bersifat
deskriptif analitis, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum. 59 Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga
menggambarkan
dan
mengungkapkan
dasar
hukumnya,
sehingga
memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaks
59
Ibid.
Universitas Sumatera Utara