Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
BAB POTENSI SUMBER DAYA
VII
KEHUTANAN
Pembangunan kehutanan di Indonesia diarahkan untuk mencapai visi jangka menengah yaitu Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat. Berdasarkan visi tersebut, penyelenggaraan pengurusan hutan diarahkan untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari serta untuk sebesar-besarnya
kemakmuran
rakyat
yang
berkeadilan
dan
berkelanjutan. Dalam upaya untuk mencapai misi tersebut, Departemen Kehutanan juga telah menetapkan Lima Kebijakan Prioritas yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 456/Menhut/2004 yaitu : 1) Penanggulangan pencurian kayu di hutan Negara dan perdagangan kayu illegal, 2) Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan, 3) Rehabilitasi dan Konsevasi Sumber Daya Hutan, 4) Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, 5) Pemantapan Kawasan Hutan. Kelima kebijakan prioritas tersebut juga didukung dengan satu Kebijakan pendukung. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Badan Planologi
Kehutanan
yaitu
penyusunan
rencana
makro
dibidang
kehutanan dan pemantapan kawasan hutan (sesuai Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.13/Menhut-II/2005 tanggal 5 Mei 005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan) maka Badan Planologi Kehutanan
sangat
berkepentingan
dengan
kebijakan
prioritas
Pemantapan Kawasan Hutan disamping sebagai agen yang mendukung keberhasilan pencapaian kebijakan prioritas yang lain. Kebijakan
307
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
prioritas pemantapan kawasan hutan dimaksudkan untuk: a) Mewujudkan keberadaan kawasan hutan dan penutupan lahan, b) Mendukung berjalannya unit-unit pengelolaan hutan untuk berbagai pemanfaatan hutan dan hasil hutan, c) Mewujudkan intensifikasi pengelolaan hutan dan hasil hutan, d) Mendukung terwujudnya kelestarian usaha dan daya dukung kehidupan dari hutan. Sedangkan dalam kebijakan pendukung Badan Planologi Kehutanan bertanggungjawab dalam mewujudkan ketersediaan
rencana-rencana
kehutanan
yang
menjadi
acuan
pelaksanaan kegiatan pembangunan kehutanan. Pembangunan kehutanan bidang planologi kehutanan tahun 2008 dituangkan dalam suatu Rencana Kerja Badan Planologi Kehutanan tahun 2008 dan merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Badan Planologi Kehutanan Tahun 2005 - 2009 (Penyempurnaan) sebagai rencana tahunan. Sedangkan dalam pelaksaanaannya, Rencana Kerja Badan Planologi Kehutanan tahun 2008 akan dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan baik Pusat maupun Daerah (Balai Pemantapan Kawasan Hutan atau BPKH dan Dinas Kehutanan). Di dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, kepemilikan sumberdaya dapat menentukan kinerja pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Kartodihardjo (1999), kepemilikan sumberdaya menentukan bentuk kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya, yang mana kelembagaan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan, dan pengaturan kelembagaan lebih lanjut berkorelasi positif
untuk
dapat
mengubah
kinerja
pengelolaan
hutan
yang
diharapkan. Dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, dikenal beberapa bentuk kepemilikan sumberdaya hutan, yaitu : 1. Private Property Right (hak kepemilikan pribadi, contohnya hutan
rakyat)
307
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
2. State Property Right (hak kepemilikan negara, contoh hutan
negara : hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi) 3. Common Property Right (hak kepemilikan bersama, contohnya
adalah hutan adat/ulayat) Bentuk
kepemilikan
merupakan
salah
satu
faktor
dari
kelembagaan, sehingga kepemilikan juga dapat menentukan kinerja dalam pengelolaan hutan. Hutan rakyat merupakan salah satu dari bentuk kepemilikan sumberdaya hutan. Menurut Undang - Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 disebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang dibebani hak milik. Hutan rakyat ini berada dalam kawasan sekitar masyarakat dan keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Kedekatan hutan rakyat dengan masyarakat ini dapat dilihat dari pola pengelolaan hutan rakyat. Dari sisi pola pengelolaan, pengelolaan hutan rakyat dapat dibedakan menjadi pola monokultur dan pola campuran (agroforest).Terdapat suatu hubungan antara kebutuhan hidup masyarakat dengan pola tanam yang ada dalam suatu sistem pengelolaan hutan rakyat. Hubungan tersebut dapat dilihat dari jenis tanaman yang ditanam dan pola penanaman. Bentuk tradisional hutan rakyat adalah untuk dikelola dengan pola campuran (agroforest). Dengan pola
ini
maka
hutan
memberikan
manfaat,
diantaranya
dalam
mendukung penyediaan bahan baku kayu untuk industri kehutanan.
7.1. Kondisi Hutan Pelalawan Hutan adalah sumber daya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan mempunyai fungsi sangat penting untuk mengatur tata air, pencegahan bahaya banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah, dan pelestarian lingkungan hidup. Untuk dapat memanfaatkan secara lestari, hutan harus dilindungi dari kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, hama dan 307
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
penyakit. Selain itu hutan adalah kekayaan alam yang tidak ternilai, sehingga hak-hak bangsa dan negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan agar hutan tersebut dapat memenuhi fungsinya. Hutan juga merupakan sumber kehidupan yang paling hakiki karena segala macam kebutuhan makhluk hidup tersedia di dalamnya. Produk yang paling berharga dari hutan adalah zat asam yang merupakan zat yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup dalam bernafas. Fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem tidak dapat digantikan oleh sarana yang lain, sehingga apabila manusia tidak dapat menggunakan hutan secara bijak berarti kehancuran alam telah mengintai. Oleh karena itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hutan mencakup seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat pada umumnya, maupun pemerintah dan usahawan. Akibat dari pengaruhnya yang sangat luas, keberadaan hutan telah menjadi perhatian seluruh masyarakat, bahkan masyarakat internasional, sehingga praktek pengelolaan hutan harus dilakukan dengan cara yang menjamin kelestarian serta memenuhi harapan semua pihak. Untuk
mendukung
hal
tersebut
diperlukan
informasi
yang
transparan dan menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan secara lengkap. Salah satu sumber informasi yang diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap adalah melalui dokumen rencana strategis. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan antara lain disebutkan bahwa pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meningkatkan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi dan kemakmuran rakyat serta untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal tersebut tentunya tidak saja untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang akan datang dengan cara tidak merusak lingkungan. Pencapaian
tujuan
tersebut
ditempuh
melalui
pembangunan
307
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
berkelanjutan
yang
berwawasan
lingkungan
pembangunan
yang
mengoptimalkan
upaya
yaitu
suatu
pendayagunaan
proses dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia agar keduanya berdampingan dan berkembang secara serasi dan seimbang baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Untuk menjawab ketentuan tersebut, Pemerintah Kabupaten Pelalawan melalui Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan telah menyusun bagan alur pikir rencana strategis Dinas Kehutanan sebagai berikut:
307
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 1. Peta Batas wilayah pengelolaan Hutan di Kabupaten Pelalawan
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Sampai dengan tahun 2004 luas hutan di Provinsi Riau yang ada berdasarkan peta adalah 4.182.358,99 Ha dengan rincian berdasarkan fungsinya sebagai berikut: Tabel 7. 1.
Hutan di Kabupaten Pelalawan Berdasarkan Fungsi
Jenis Hutan
Ha
%
Hutan produksi terbatas
1.815.949,74
43,42
Hutan produksi tetap
1.605.762,78
38,39
Hutan Konservasi
531.852,65
12,72
Hutan lindung
228.793,82
5,47
4.182.358,99
100,00
Jumlah
Sumber : Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan Tahun 2006
Sementara, luas kawasan hutan Kabupaten Pelalawan dengan pembagian kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) adalah 755.896,10 Ha dengan rincian berdasarkan TGHK sebagai berikut : Tabel 7. 2.
Luas Kawasan Hutan Kabupaten Pelalawan Berdasarkan RTRW Provinsi Riau Tahun 2001-2015
Jenis Hutan
Ha
%
Hutan produksi terbatas
297.018,16
39,29
Hutan produksi tetap
424.456,69
56,15
444,78
0,06
33.976,47
4,49
-
-
755.896,10
100,00
Hutan bakau Hutan suaka alam Hutan lindung Jumlah
Sumber : Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan Tahun 2006
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Hutan juga merupakan sumber kehidupan yang paling hakiki karena segala macam kebutuhan makhluk hidup tersedia di dalamnya. Produk yang paling berharga dari hutan adalah zat asam yang merupakan zat yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup dalam bernafas. Fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem tidak dapat digantikan oleh sarana yang lain, sehingga apabila manusia tidak dapat menggunakan hutan secara bijak berarti kehancuran alam telah mengintai. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hutan mencakup seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat pada umumnya, maupun pemerintah dan usahawan. Akibat dari pengaruhnya yang sangat luas, keberadaan hutan telah menjadi perhatian seluruh masyarakat, bahkan masyarakat internasional, sehingga praktek pengelolaan hutan harus dilakukan dengan cara yang menjamin kelestarian serta memenuhi harapan semua pihak. Untuk
mendukung
hal
tersebut
diperlukan
informasi
yang
transparan dan menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan secara lengkap. Salah satu sumber informasi yang diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap adalah melalui dokumen rencana strategis. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan antara lain disebutkan bahwa pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meningkatkan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi dan kemakmuran rakyat serta untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal tersebut tentunya tidak saja untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk kepentingan yang akan datang dengan cara tidak merusak lingkungan. Pencapaian
tujuan
tersebut
ditempuh
berkelanjutan
yang
berwawasan
pembangunan
yang
mengoptimalkan
melalui
lingkungan upaya
yaitu
pembangunan suatu
pendayagunaan
proses dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia agar keduanya
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
berdampingan dan berkembang secara serasi dan seimbang baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana yang serasi dengan kesadaran untuk memelihara
dan
meningkatkan mutu lingkungan hidup. Tantangan yang paling besar dalam membangun sektor kehutanan adalah meningkatnya kebutuhan berbagai sektor yang justru memerlukan lahan hutan, antara lain pemakaian lahan hutan untuk pembangunan industri, pertanian dalam arti luas, dan pemukiman. Selain itu masih pengelola pengusaha hutan yang kurang menyadari akan fungsi hutan sebagai penyeimbang lingkungan, hal ini ditunjukkan dengan lebih menekankan pada azas ekonomi perusahaan daripada azas kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Hasil hutan di satu sisi memang merupakan sumber penghasilan, dan di sisi lain merupakan potensi alam yang harus dilindungi kelestariannya. Untuk dapat mencapai keinginan tersebut diperlukan peraturan pengelolaan, tenaga profesional, dan pengawasan yang memadai agar semua kepentingan tersebut dapat terpenuhi dengan baik. Pembangunan pengusahaan hutan harus memperhatikan: •
Mengupayakan
perwujudan
pra
kondisi
yang
mantap
untuk
mendukung kegiatan pengusahaan hutan secara berkelanjutan, terutama menyangkut kepastian kawasan sumber daya hutan produksi termasuk unit-unit pengelolaan hutannya. •
Kegiatan pengusahaan hutan yang mampu memberikan manfaat berupa produksi hasil hutan, baik kayu maupun non kayu secara terus menerus dengan selalu didukung oleh upaya-upaya peningkatan
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
produktivitas hutan produksi sehingga mampu memenuhi kebutuhan hutan akan hasil hutan dalam jangka panjang. •
Mengupayakan perwujudan pemeliharaan dan peningkatan kegiatan dan fungsi konservasi pada areal hutan produksi guna terwujudnya pembangunan pengeusahaan hutan yang berwawasan lingkungan.
•
Mengupayakan perwujudan pembangunanpengusahaan hutan yang berorientasi pada penibgkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
•
Mengupayakan
perwujudan
kemampuan
pranata
dan
institusi
pembangunan pengusahaan hutan dalam peraturan perundangundangan, ketatalaksanaan, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, koordinasi antar sektor dan kerjasama untuk mendukung pembangunan pengusahaan hutan. Hutan menurut fungsinya dibagi menjadi hutan lindung, hutan suaka alam, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konsversi. Hutan mempunyai peranan yang penting bagi stabilitas keadaan susunan tanah dan isinya sehingga selain memanfaatkan harus diperhatikan pula kelestariannya.
Pembangunan
sektor
kehutanan
diarahkan
untuk
peningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada tabel Luas Hutan Menurut Peruntukannya dan Kecamatan di Kabupaten Pelalawan, luas hutan di daerah ini lebih kurang 725.945 ha. Jika dirinci menurut penggunaanya sebagian besar yaitu sekitar 88,97 % adalah Hutan Produksi. Untuk mengetahui luas lahan kawasan hutan menurut fungsi dan kabupaten berdasarkan tata guna hutan kesepakatan di kawasan DAS Pelalawan dapat dilihat pada Tabel berikut.
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Tabel 7. 3.
Luas Hutan Pelalawan
Berdasarkan
Peruntukan
di
Kabupaten
KAWASAN HUTAN No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KECAMATAN
Teluk Meranti Kuala Kampar Pelalawan Bunut Bandar Petalangan Kerumutan Pangkalan Lesung Ukui Pangkalan Kuras Langgam Pangkalan Kerinci Bandar Sikijang JUMLAH
HP (Ha)
HUTAN BAKAU (Ha)
TN. TESSO NILO (Ha)
SUAKA MARGASATWA (Ha)
JUMLAH (Ha)
265,404 13,094 81,044 21,185 15,369 27,154 534 67,868 63,672 90,544 0 0 645,868
1,425 7,142 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8,567
0 0 0 0 0 0 0 36,872 0 0 0 0 36,872
16,031 0 0 0 0 18,607 0 0 0 0 0 0 34,638
282,860 20,236 81,044 21,185 15,369 45,761 534 104,740 63,672 90,544 0 0 725,945
Sumber : Database Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan TA. 2006
Luas wilayah Kabupaten Pelalawan berdasarkan tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluruhnya mencapai 1.292.264 ha. Dari luasan tersebut sampai tahun 2006 telah digunakan menjadi 4 kelompok pemanfaatan kawasan hutan. Kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pengelolaan hutan khususnya hutan alam atau yang dikenal dengan istilah IUPHHKHA seluas 257.881 ha yang terdiri dari 149.229 ha berada pada Hutan Produksi dan 108.652 ha berada pada Hutan Produksi Terbatas seperti disajikan pada Tabel berikut. Tabel 7. 4. NO. 1. 2.
Luas Areal dan Jumlah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam di Kabupaten Pelalawan
NAMA PERUSAHAAN HP (Ha) HPT (Ha) PT. Yos Raya Timber 67.126 PT. The Best One Uni 44.568 Timber 3. PT. Siak Raya Timber 43.211 4. PT. Nanjak Makmur 47.470 5. PT. Hutani Sola Lestari 17.971 6. PT. Agam Sempurna 37.535 Jumlah 149.229 108.652 Sumber: Peta TGHK dan Peta CDK Kabupaten Pelalawan Tahun 2006
TOTAL (Ha) 67.126 44.568 43.211 47.470 17.971 37.535 257.881
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Sementara,
kawasan
hutan
di
Kabupaten
Pelalawan
yang
dimanfaatkan untuk kegiatan pengelolaan hutan tanaman atau yang dikenal dengan istilah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHKHT) mencakup luasan sebesar 425.213 ha yang terdiri dari 188.290 ha berupa Hutan Produksi, 154.804 ha berupa Hutan Produksi Terbatas, 81.689 ha berupa Hutan Produksi Konvensi dan 430 ha di areal penggunaan lain, seperti dapat dilihat melalui tabel berikut: Tabel 7. 5.
Perusahaan dengan IUPHHKHT di Kawasan Hutan Kabupaten Pelalawan
NO.
NAMA PERUSAHAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
CV. Alam Lestari CV. Bhakti Praja Mulia CV. Harapan Jaya CV. Mutiara Lestari CV. Riau Bina Insani CV. Tuah Negeri KUD Bina Jaya Langgam PT. Arara Abadi (1) PT. Arara Abadi (2) PT. Arara Abadi (3) PT. Arara Abadi (4) PT. Bukit raya Pelalawan PT. Madukoro PT. Merbau Pelalawan Lestari PT. Mitra Hutani Jaya PT. Mitra Tani Nusa Sejati PT. Nusa Prima Manunggal PT. Nusa Wana Raya PT. Putra Riau Perkasa PT. Puteri Lidung Buatan PT. PT. RAPP (1) PT. PT. RAPP (2) PT. PT. RAPP (3) PT. PT. RAPP (4) PT. Riau Bina Insani PT. Rimba Lazuardi PT. Rimba Mutiara Permai PT. Rimba Peranap Indah PT. Satria Perkasa Agung (1) PT. Satria Perkasa Agung (2) PT. Selaras Abadi Utama PT. Triomas FDI
HP (Ha) 3.300 6.000 4.800 6.595 15.000 2.588 17.939 21.650 57.570 5.642 2.581 9.625
HPT (Ha)
HPK (Ha)
1.813 8.356 13.411 13.380 26.155 3.200 4.272 7.300 4.412 2.380 19.410 19.273 3.360 3.345 10.910 8.801 4.100 -
2.300 4.798 180 11.876 10.239 10.290 1.318 5.262 9.105 3.180 1.590 150 1.095 199 5.658 849 13.600 -
APL (Ha) 430 -
TOTAL (Ha) 3.300 6.000 4.800 2.300 4.798 610 1.813 26.827 23.650 23.670 26.155 3.200 15.000 5.590 7.850 7.300 4.412 17.939 21.560 2.380 66.675 22.590 20.863 3.510 4.440 10.910 9.000 4.100 11.300 3.430 13.600 9.625
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
NO. 35. 36.
NAMA PERUSAHAAN
HP (Ha)
PT. Uniseraya PT. Wira Karya Sakti JUMLAH
35.000 188.290
HPT (Ha)
HPK (Ha)
946 154.804
81.689
APL (Ha)
TOTAL (Ha)
430
35.000 946 425.213
Sumber: Peta TGHK dan CDK Pelalawan, Tahun 2006.
Kawasan hutan yang dijadikan atau dikonversi untuk kegiatan perkebunan mencapai 296.358 ha yang terdiri dari areal seluas 23.865 ha berada pada kawasan Hutan Produksi, 19.981 ha berada pada Hutan Produksi Terbatas, 234.362 ha berada pada kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi, dan 18.150 ha berada pada Areal Penggunaan Lain. Jumlah perusahaan perkebunan yang terlibat sebanyak 35 perusahaan. Tabel 7. 6. No.
Ijin Perkebuanan di Kawasan Eks Hutan Kawasan Hutan
Jumlah Perusahaan
Luas (Ha)
1.
Hutan Produksi
8
23.865
2.
Hutan Produksi Terbatas
7
19.981
3.
Hutan Produksi Konversi
33
234.362
4.
Areal Penggunaan Lain
7
18.150
Jumlah
296.358
Sumber: Peta TGHK dan CDK Pelalawan, Tahun 2006.
Sedangkan
luas
areal
kawasan
hutan
yang
dimanfaatkan
seluruhnya seluas 982.652 ha. Dari jumlah tersebut yang dimanfaatkan untuk perkebunan
rakyat adalah 3.200 ha yang berada pada Hutan
Produksi Konversi dan dimiliki oleh CV. Radita. Luas areal kawasan hutan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan swasta 296.358 ha, IUPHHK-HT seluas 425.213 ha, IUPHHK-HA seluas 257.881 ha.
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
3,200 257,881
296,358
Perkebunan Besar sw asta IUPHHK-HT IUPHHK-HA Perkebunan Rakyat
425,213
Gambar 7. 2. Luas Areal Kawasan Hutan Pelalawan Dinas Pengolahan dan Peredaran Hasil Hutan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan di bidang pengolahan dan peredaran hasil hutan berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan oleh kepala dinas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Sub Dinas Pengolahan dan Peredaran Hasil Hutan mempunyai fungsi : •
Menyelenggarakan
pembinaan
dan
kelancaran
peredaran
serta
pemasaran hasil hutan. •
Menyelenggarakan pengamanan penerimaan negara yang berasal dari pungutan.
•
Menyelenggarakan pembinaan tata usaha hasil hutan dan tata usaha pungutan.
•
Menyelenggarakan pembinaan pengukuran dan pengujian hasil hutan serta tanda legalitas hutan. Melalui tabel di bawah ini dapat dilihat kawasan hutan yang telah
dibebani dengan hak konsesi dan kawasan hutan yang konversi menjadi perkebunan melalui proses pelepasan kawasan hutan di Kabupaten Pelalawan.
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Tabel 7. 7.
Jenis Peruntukan Kawasan Hutan di Kabupaten Pelalawan
No.
Jenis Peruntukan Kawasan Hutan
Jumlah
1.
IUPHHKHT/HTI
26
2.
IUPHHKHA/HPH Yang Sudah Berakhir/Belum Diperpanjang
3.
Perkebunan Melalui Pelepasan Kawasan Hutan
21
Jumlah
53
6
Sumber: Laporan Akhir Penyusunan Data Penunjang Database Kawasan Hutan di Kabupaten Pelalawan Tahun 2006 Keteranngan: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam (IUPHHKA)
Di Kabupaten Pelalawan terdapat 27 IPKH yang mendapat izin industri dengan kapasitas produksi sebesar 71. 670 m3 per tahun dan suplai bahan bakunya telah dijamin HPH. 20 perusahaan penggergajian dengan kapasitas produksi sebesar 55.000 m3 per tahun diterbitkan izin industrinya oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan tanpa terlebih dahulu
mendapat
rekomendasi
dari
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Pelalawan dan tidak ada HPH yang menjamin suplai bahan baku terhadap perusahaan penggergajian ini. Hal ini dapat mengakibatkan maraknya pengambilan kayu secara ilegal. Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Perhutanan Sosial mempunyai tugas melaksanakan sebagaian tugas pokok dinas kehutanan di bidang perlindungan hutan dan perhutanan sosial berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan oleh kepala dinas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut,
Sub
Dinas
Perlindungan
Hutan
dan
Perhutanan
Sosial
mempunyai fungsi : •
Menyelenggarakan kegiatan pengamanan dan menjaga hak-hak negara atas hutan dan hasil hutan.
•
Menyelengarakan dan menyusun perlindungan hutan dan perhutanan sosial.
•
Menyelengarakan penyuluhan dan penaggulangan kebakaran hutan.
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
•
Menyelenggarakan pembibitan,
dan
reboisasi
membina dan
kegiatan
rehabilitasi
serta
perbenihan
dan
penghijauan
dan
konservasi tanah pada kawasan hutan dan hutangmilik/rakyat. •
Menyelenggarakan dan membina kegiatan di bidang perlindungan dan kelestarian hutan serta membantu penyelenggaraan pengembangan aneka guna hutan.
•
Menyelenggarakan pembinaan dan bimbingan aneka usaha kehutanan dan pembinaan pengayaan tanaman hutan pada kawasan hutan, hutan rakyat/milik. Cabang Dinas merupakan unsur pelaksana dinas yang mempunyai
wilayah kerja meliputi satu atau beberapa kecamatan. Cabang Dinas dipimpin oleh seorang kepala yang dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala dinas. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) mempunyai kedudukan sebagai unsur pelaksana teknis operasional Dinas Kehutanan. Unit Pelaksana Teknis Dinas dipimpin oleh seorang kepala yang berada dan bertanggung jawab kepada kepala dinas. Keadaan dan kebutuhan UPTD kehutanan dapat dilihat melalui tabel di bawah ini. Tabel 7. 8.
Keadaan dan Kebutuhan UPTD Kehutanan Tahun 2007
Kecamatan
UPTD Kehutanan Tersedia
Kebutuhan
Kekurangan
Langgam
-
1
1
Pkl. Kerinci
-
1
1
Pkl. Kuras
-
1
1
Pkl. Lesung
-
1
1
Ukui
-
1
1
Bunut
-
1
1
Pelalawan
-
1
1
Kuala Kampar
-
1
1
Kerumutan
-
1
1
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Teluk Meranti Jumlah
-
1
1
-
10
10
Sumber : Laporan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan Tahun 2007
Kelompok jabatan fungsional dinas mempunyai tugas melakukan kegiatan teknis sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Kelompok jabatan fungsional dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior selaku ketua kelompok yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala dinas. Kondisi ekonomi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan petani berubah status mencari hasil hutan (kayu) karena kesulitan dalam mengembangkan usaha sebelumnya. Menurut masyarakat nelayan pada saat ini sangat sulit mencari ikan yang disebabkan oleh ketersediaan ikan yang ada di perairan sungai sebagai akibat dari pencemaran perairan sungai. Begitu juga dengan petani, dimana produksi dan nilai tukar hasil pertanian rendah. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tekanan terhadap hutan
menjadi
meningkat
pula.
Keterbatasannya
pengetahuan
menyebabkan masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan yang merusak sumberdaya hutan, seperti penebangan, perambahan, dan pencurian. Penggalian batu dan pasir liar di kawasan hutan yang merupakan juga daerah resapan air dapat menyebabkan fungsi resapan tidak berjalan dengan baik. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan peraturan tentang pengambilan sumberdaya alam di kawasan perlindungan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali. Akibat kerusakan area habitat hutan hujan tropis yang cukup luas di daerah hulu, ditambah dengan penggundulan hutan di sekitarnya, maka timbul resiko-resiko potensial terhadap kelangsungan hidup populasi spesies satwa langka lokal yang memerlukan keanekaragaman
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
ekosistem hutan alam untuk bertahan hidup. Resiko-resiko ini cukup sulit untuk dihitung namun resiko membawa beberapa implikasi serius. Akibatnya akan tercipta komposisi spesies komunitas satwa yang berbeda. Hal ini merupakan bahaya ekologis yang harus diperhatikan secara khusus. Beberapa fungsi ekologis juga bisa mengalami kerusakan di daerah tersebut. Biota tanah, mulai dari mikroorganisme seperti bakteri, jamur dan protozoa sampai ke invertebrata seperti semut dan rayap memegang peranan penting dalam menjaga kesuburan tanah dan kelangsungan ekosistem, terutama untuk tanah di hutan hujan dimana siklus nutrisi harus terjadi dengan laju yang cepat. Ada kekuatiran bahwa biota tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan atas. Hal ini mengakibatkan sulit tercapainya proses pemulihan kembali ekosistem yang mendukung kelangsungan hidup dalam kawasan hutan. Populasi mamalia kecil biasanya juga bergantung pada biomassa dari invertebrata seperti semut dan rayap yang menjadi bagian dari sumber makanan mereka. Sayangnya, selain observasi sampingan mengenai dampak kerusakan hutan terhadap biota tanah, tidak dilakukan pemeriksaan langsung terhadap potensi kerusakan fungsi ekologis. 7.1.1. Hutan Lindung Hutan dataran rendah Kabupaten Pelalawan merupakan hutan hujan tropis dengan komposisi tumbuhan berupa hutan sekunder, sebagian kecil hutan primer dan semak belukar. Hutan primer yang masih alami terdapat di kawasan Hutan Lindung ataupun dijumpai di lahan milik masyarakat. Di beberapa titik seperti misalnya Krumutan masih terdapat lahan masyarakat yang ditumbuhi formasi hutan hujan tropis yang masih alami. Hasil pendataan sementara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Riau menyatakan bahwa di hutan Lindung Pulau 327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Bintan terdapat jenis-jenis seperti Keruing, Meranti, Resak, Jelutung, Semarem, Geronggang, Gaharu, Kempas, Bintangur, Merbulan, Punak.
Gambar 7. 3. Formasi vegetasi hutan primer
Tipe vegetasi semak belukar banyak terdapat di daerah dataran rendah (low land) yang berdekatan dengan DAS Kampar. Kawasan ini memiliki aksesibilitas yang rendah karena merupakan daerah yang jauh dengan pemukiman dan dilintasi jalan raya. Formasi vegetasi yang ada terdiri atas akasia, paku-pakuan, rumput gajah, resam, dan alang-alang Pada beberapa lokasi terlihat pula semak belukar di daerah up land dengan kelerengan mencapai 40%
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 4. Formasi vegetasi hutan Sekunder
7.1.2. Ekosistem Lahan Gambut Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan di dalamnya terdapat keanekaragaman flora fauna yang khas. Namun demikian, Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang rentan (fragile) dalam artian bahwa Hutan ini sangat mudah terganggu/rusak dan sangat sulit untuk dapat kembali lagi seperti kondisi awalnya. Menyadari hal tersebut, maka perlu sekali diusahakan upaya-upaya pencegahan atas segala kemungkinan yang menyebabkan rusaknya hutan ini. Jenis pohon yang mendiami HUtan gambut sangat khas, misalnya: Jelutung rawa Dyera lowii, Ramin Gonystylus bancanus, Kempas atau Bengeris Kompassia malaccensis, Punak Tetramerista glabra, Perepat Combretocarpus rotundatus, Pulai rawa Alstonia pneumatophora, Terentang Campnosperma spp., Bungur Lagerstroemia speciosa, Nyatoh Palaquium spp., Bintangur Callophylum spp., Belangeran Shorea balangeran, Meranti rawa Shorea pauciflora dan Rengas Melanorrhoea 327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
walichii. Semua jenis ini mempunyai sifat habitat yang khas, yaitu hanya tumbuh baik pada habitat tanah rawa Gambut. Dengan demikian, kemungkinan hidup di tempat lain (tanah mineral) sangatlah kecil. Hutan rawa gambut juga memiliki vegetasi lainnya yang sangat indah seperti Palem merah Cyrtoctachys lakka, Ara hantu Poikilospermum suavolens, Palas Licuala paludosa, Kantong semar Nephentes mirabilis, Liran Pholidocarpus sumatranus, Flagellaria indica, Akar elang Uncaria schlerophylla, Putat Barringtonia racemosa, dan Rasau Pandanus helicopus. pada tepi sungai Hutan rawa gambut sering terlihat adanya dominasi tertentu, yaitu Rasau Pandanus helicopus dan Pandanus atrocarpus. Di perairan sungai itu sendiri juga dapat dijumpai jenis-jenis tumbuhan seperti Bakung Hanguana malayana dan Utricularia spp. Di Hutan rawa gambut, pembentukan kubah gambut (peat dome) di bagian tengahnya mula-mula diawali oleh pembentukan gambut topogen lalu diikuti oleh pembentukan gambut ombrogen di atasnya, yang tidak lagi memperoleh pasokan hara dari air tanah maupun air sungai. Dalam pembentukan gambut ombrogen, klimaks vegetasi bergantian tumbuh dan mati disitu, sehingga semakin tebal gambut, semakin miskin jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya, karena pasokan hara semata-mata hanya berasal dari air hujan. Bergerak dari pinggiran kubah gambut, dimana gambut masih dangkal, terdapat "mixed forest" yang terdiri dari pohon-pohon kayu yang besar-besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Ke arah pusat kubah, sejalan dengan permukaan gambut yang menaik, terdapat "deep peat forests" dimana vegetasinya semakin jarang dan kurang jenis-jenis tumbuhannya disebabkan karena gambut semakin tebal dan tidak lagi memperoleh hara dari air tanah/sungai. Di pusat kubah di mana gambut paling tebal, terdapat "padang forests" terdiri atas pohon-pohon kayu kecil dan jarang, pandan dan semak-semak. Perubahan dari "mixed forests" ke arah "deep peat forests" terdapat pada kedalaman gambut sekitar 3 m (Widjaya-Adhi,
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
1986). Di lapangan, kenaikan permukaan kearah pusat kubah seringkali tidak terasa, ini disebabkan oleh karena diameter kubah gambut dapat mencapai 3-10 kilometer, sedangkan kenaikan ketinggian permukaan tanah hanya beberapa centimeter untuk setiap jarak 100 meter. Uraian di bawah ini menjelaskan kondisi hutan rawa gambut yang masih utuh, bekas terbakar serta yang tengah mengalami suksesi.
Gambar 7. 5. Formasi vegetasi hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut terdapat di sesemenanjung kampar dengan keadaan saat dalam keadaan terancam. Pemberlakukan moratorium hutan
alam,
lanjutnya,
diharapkan
dapat
menghentikan
tingkat
deforestasi hutan Riau yang dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah mengakibatkan hutan Riau menyusut hingga 3,7 juta hektar. Rata-rata setiap tahun hutan Riau hilang sekitar 160 ribu hektare. selanjutnya, hutan Riau yang tersisa saat ini hanya 2,45 juta hektar atau 22 persen dari luas daratan Riau. Di antara hutan yang tersisa itu, kawasan Semenanjung Kampar merupakan kawasan yang masih memiliki tutupan hutan cukup luas dengan kondisi relatif bagus. Apabila konversi hutan alam dibiarkan tanpa kontrol, ujarnya,maka kondisi memprihatinkan itu 327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
akan terus menyebabkan peningkatan intensitas bencana banjir, longsor serta kabut asap bagi masyarakat. Analisa vegetasi di lahan gambut semenanjung kampar merupakan suatu
tempat
yang
mempunyai
arti
khusus
bagi
pelestarian
keanekaragaman dan sumber daya genetik serta membentuk salah satu tempat perlindungan yang terakhir bagi sejumlah jenis yang terancam punah tempat lain. Dalam hal ini, berfungsi sebagai tempat pelestarian keanekaragaman hayati lahan gambut. Hal ini terlihat dari hasil analisa vegetasi oleh Wim Giesen pada tahun 2003 bahwa terdapat banyak vegetasi yang tumbuh di kawasan tersebut, beberapa diantaranya adalah
Terentang
Bungur
Jelutung
Perepat
Gambar 7. 6. Jenis Vegetasi Hutan Rawa Gambut di Pelalawan Selain itu Ekosistem Lahan Gambut Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi kawasan hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Selain itu, kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). 7.1.3. Kawasan Suaka Margasatwa Pada Daerah Aliran Sungai Indragiri terdapat Ekosistem lahan Gambut Lindung yaitu Suaka Margasatwa Kerumutan dan kawasan lindung gambut Kawasan SM Kerumutan dan Kawasan lindung gambut ini merupakan bagian dari Ecoregion 85 (Sumatran Peatswamp Forest). Mengacu peta Wetland International, ketebalan gambutnya besar sekali, dengan kedalaman yang berbeda-beda namun 95 % lebih dari 4 meter. Ekosistem SM. Kerumutan merupakan hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa dengan topografi datar. Kawasan SM Kerumutan terletak di antara 102° 24' - 102° 38' BT dan 0° 11' LU - 0° 19' LS. Kawasan SM Kerumutan secara administrasi berada di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir. Di sebelah Selatan dan Barat terdapat kawasan rawa gambut berstatus sebagai kawasan lindung gambut. Kawasan lindung gambut yang ada disebelah Selatan dengan total luasan 52.213 ha berpotensi untuk diperluas. Berdasarkan analisis awal, kondisi kedalaman gambut, hidrologi, potensi flora fauna serta kondisi sosial budaya pada kawasan lindung gambut tersebut tidak berbeda secara signifikan dengan kawasan SM Kerumutan. Berdasarkan kedalaman gambut tersebut maka kawasan ini mutlak menjadi kawasan lindung gambut sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kepres No. 32 tentang kawasan lindung (gambar 4. citra landsat Kerumutan Lanscape TM Image 2005-2006). Gambar 4 Citra Landsat kerumutan Lanscape TM Image Nov 11, 2005 dan Aug 3, 2006.
327
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 7. Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon
329
Draft Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Suaka
Margasatwa
Kerumutan/Kerumutan
lanscape
berada
diantara DAS Indragiri dan DAS Kampar. Beberapa SUBDAS Indragiri yaitu S. Kerumutan, S. Merbau, S. Mengkuang, S. Batang Rengat, dan S. Gaung. Berbicara tentang gambut, tidak lepas dari hidrologi. Formasi hutan rawa gambut terjadi dalam kurun waktu 10.000 – 40.000 tahun. Kawasan ini merupakan cekungan. Keadaan ini mengakibatkan air tidak bisa keluar dari bawah tanah, jika air masuk maka tidak bisa keluar. Apabila kawasan rawa gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar, sehingga kawasan rawa gambut akan dangkal dan unsur hara sangat sedikit. Lama-kelamaan akan terjadi penurunan tanah, unsur harapun sangat miskin dan tumbuhan yang hidup sangat sedikit, gersang dan tidak akan ada hewan yang bisa hidup. Lebih jauh, jika hal tersebut terjadi, fungsi gambut tidak berfungsi sebagai reservoar air lagi dan akan terjadi intrusi air laut.
329
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 8. Peta Citra Kawasan Suaka Margasatwa Kerumutan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 9. Peta Batasan Kawasan HTI dengan Suaka Margasatwa Kerumutan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.1.4. SM Tasik Besar / Tasik Metas Ditunjuk berdasarkan SK Menhut No. 173/Kpts- II/1986 dengan luas penunjukan sekitar 3.200 ha dengan letak geografis diantara 102° 37' - 102° 41' BT dan 0° 32' - 0° 37' LU. Secara administrasi berada di Kabupaten Pelalawan dan mempunyai topografi datar, merupakan kawasan hutan rawa gambut. Vegetasi yang terdapat di daerah ini antara lain Ramin (Gonystylus bancanus Kurz), Meranti (Shorea spp), Suntai (Palaqium walsurifolium), Punak (Tetramerista galabra ming), Kempas (Koompassia malaccensis Maig), Bintangur (Calophyllum spp), dll. Sedangkan fauna yang dapat dijumpai antara lain: Beruang Madu (Helarctos malayanus malayanus), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina),
Belibis
(Dendrocygna
javanica),
Enggang
(Buceros
rhinoceros), Kuntul (Egretta spp), Ikan Arowana (Schleropages formosus), dll. 7.1.5. SM Tasik Serkap / Tasik Sarang Burung Ditunjuk berdasarkan SK Menhut No. 173/Kpts-II/1986 dengan luas sekitar 6.900 ha dengan letak geografis diantara 102° 40' - 102° 45' BT dan 0° 22' - 0° 28' LU dan secara administrasi wilayah ini terdapat diKabupaten Pelalawan. Kondisi secara umum hutan rawa gambut kawasan ini mempunyai beberapa jenis vegetasi antara lain: Ramin (Gonystilus bancanus Kurz), Suntai (Palaqium walsurifolium), Kempas (Koompassia
malaccensis
Maig),
Meranti
(Shorea
spp),
Bintangur
(Calophyllum spp), dll. Sedangkan fauna yang terdapat disana antara lain: Beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), Trenggiling (Manis javanica), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Burung Enggang (Buceros rhinoceros), Burung Belibis (Dendrocygna javanica), Ikan Arowana (Schleropages formosus), dll.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 10. Peta Citra Batasan Suaka Marga Satwa di Kec. Teluk Meranti
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 11. Kawasan Semenanjung Kampar
7.1.6. Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada bagian arah daratan (Kusmana, 1994). Bersifat dinamis. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Oleh karena itu, jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktorfaktor tersebutlah yang dapat bertahan dan berkembang. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota mangrove kecil, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing umumnya besar (Kartawinata et al., 1979). Karena berada di perbatasan antara darat dan laut, maka hutan mangrove merupakan ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan, baik dengan ekosistem darat maupun lepas pantai. Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu memiliki 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji, 1987).
7.2. Kondisi Mangrove Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994); dan berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan). Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun sembilan-puluhan. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan selama tahun 1999 hingga 2003 baru terealisasi seluas 7.890 ha (Departemen Kehutanan, 2004), namun tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Data ini menunjukkan laju rehabilitasi hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, dan bahkan dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan. Hutan
mangrove
dicirikan
dengan
vegetasi
yang
memiliki
perakaran dan cabang-cabang bagian bawah yang terendam air asin sedalam 0,5–1 meter. Sistem perakaran yang khas untuk pertukaran gas diatas tanah yang tergenang air dan kekurangan oksigen, dikenal sebagai pneumatophora (Mann, 1982 dalam Whitten et al., 1987). Masing-masing spesies memiliki karakter batang yang spesifik untuk habitat yang dipengaruhi pasang surut, seperti akar nafas, akar lutut, akar tunjang, akar sauh yang tinggi atau akar kabel yang mendatar di permukaan tanah (Richard,1984; Vallejo, 1989). Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Riau tahun 2007 luas total hutan mangrove 138 433,62. Dari jumlah tersebut Pulau Bintan memiliki hutan mangrove seluas 8,567 ha dari total luas hutan mangrove di Riau Hutan mangrove tersebut tersebar di dua 369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
kecamatan yaitu kecamatan Meranti dan Kecamatan Kuala Kampar. Letak hutan mangrove tersebut, sebagian masuk kawasan catchment area sebagian lainnya terletak di luarnya. Kondisi vegetasi mangrove di Kabupaten Pelalawan dapat dibagi dalam dua karakter berdasarkan loksi dan formasi vegetasinya, yaitu; mangrove pantai yang berbatasan langsung dengan laut, dan mangrove air payau di daerah muara sungai. Formasi vegetasi mangrove di Pulau Mendol dari laut ke darat terdiri atas Rhizophora, Sonneratia, Bruguiera, dan Xylocarpus Rhizophora dominan pada daerah depan diselingi oleh beberapa jenis Sonneratia. Kondisi tanah berpasir di daerah pantai merupakan faktor penyebab terjadinya kombinasi dua jenis vegetasi tersebut. Sementara itu, di daerah muara sungai memiliki keadaan tanah yang sedikit pasir dan bibir pantai yang relatif lebih curam. Formasi vegetasi dari sungai ke arah darat sama dengan daerah pantai, tetapi di daerah muara sungai Sonneratia baru dijumpai pada jarak 15 m hingga 20 m kedaratan. Kemudian baru diikuti Xylocarpus dan Bruguiera serta beberapa vegetasi darat Pada tahun 1993 luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 2.390.185 Ha, dan sekitar 184.400 Ha terdapat di Provinsi Riau (Giessen, 1993). Luas hutan mangrove ini dari tahun ke tahun mengalami penyusutan secara kualitas. Kondisi hutan mangrove di Kuala Kampar sebagian besar atau sekitar 80 % dalam kondisi rusak parah, selama 4 tahun ini sekitar 300 ha hutan mangrove hilang dengan sekitar 1.500 ha kembali tumbuh karena kerusakan. Hal ini diakibatkan oleh pemungutan kayu bakau untuk bahan baku arang, maupun untuk kepentingan lainnya. Dampak negative akan timbul akibat rusaknya hutan mangrove tersebut. Menurut Sudarmadji (2002), fungsi hutan mangrove meliputi:
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 12. Formasi Vegetasi Mangrove di Kuala Kampar (Pulau Mendol)
Gambar 7. 13. Formasi Vegetasi Mangrove di Teluk Meranti
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Hutan mangrove di Kecamatan Meranti dan Kuala Kampar memiliki potensi yang besar sebagai sumber perekonomian masyarakat dalam hal pemanfaatan kayu dan pengembangan perikanan. Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang atau dapur arang telah lama berkembang dan diusahakan oleh masyarakat dan terus meningkat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 859/Kpts-II/1999 tentang Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Per Satuan Hasil Hutan Bukan Kayu sebesar, Panglong arang dipungut biaya sebesar Rp. 32.000, per ton arang yang dihasilkan. Panglong arang juga menggunakan kayu sebagai bahan bakar sehingga dikenai provinsi sebesar Rp. 1.500 per SM (staple meter) kayu bakar yang digunakan. Selain itu, pihak Pemerintah Daerah juga akan memberlakukan sebuah perda tentang restribusi hasil hutan sebesar Rp. 100.000 per ton arang dan Rp. 16.500 per SM kayu bakar. Seiring dengan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa peluang atau potensi dari hutan mangrove dapat dikemukakan dengan memperhatikan dan pertimbangan kelestarian disekitar hutan tersebut.
7.3. Peranan Ekologis Mangrove 7.3.1. Mangrove dan Bono Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak,pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnyabagi manusia. Kejadian Fenomena alam Bono di Kecamatan Meranti dan Kuala Kampar yang terjadi dalam kurun tiap harinya telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai dan wilayah di sekitar aliran sungai Kampar Kuala Kampar dan Teluk Meranti.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.3.2. Peranan Sosial Ekonomis Mangrove Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain:untuk arang dan kayu bakar, bahan bangunan, bahan baku chip, sumber tanin untuk menyamak kulit, daun nipah dianyam menjadi atap rumah, dan sebagai obat tradisional.
7.4. Potensi HTI Kemasyarakatan Unggulan Strategis Hutan Tanaman Industri (HTI) Kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan potensi hutan yang bertujuan
untuk
memberdayakan
fungsi
masyarakat setempat
tanpa
menganggu
pokoknya (produksi, lindung, dan konservasi). Hal ini didasarkan pada faktor lingkungan dan atau karakteristik lahan yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman
itu,
lahan yang
untuk
mendapatkan
dan
pengelolaannya.
clear
dan
clean
Selain maka
penentuan lahan untuk pengembangan HTI kemasyarakatan unggulan strategis
tersebut
perlu
juga memperhatikan
status
lahan dan
peruntukannya. Produksi, kawasan hutan rakyat, cadangan kawasan perkebunan wasta dan perkebunan rakyat, dan semak belukar, yang berturut-turut tersebar pada satuan lahan B sebesar 65,789.95 Ha (Bandar Petalangan, Bandar Sekijang, Bunut, Kerumutan, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Pelalawan, Teluk Meranti, dan Ukui); satuan lahan A1.1 sebesar 45,354.24 Ha (Bandar Petalangan, Bandar Sekijang, Bunut, Kuala Kampar, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pelalawan, dan Teluk Meranti); satuan lahan D sebesar 38,996.06 Ha (Bandar Sekijang, Kerumutan, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Pelalawan, Ukui, Teluk Meranti); satuan lahan A3 sebesar 35,490.21 Ha (Bandar Petalangan, Bunut,
Kerumutan,
Kuala
Kampar,
Langgam,
Pangkalan
Kerinci,
Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Pelalawan, Teluk Meranti, Ukui); 369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
satuan lahan C sebesar 36,085.56 Ha (Bandar Sekijang, Bunut, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Ukui); satuan lahan
A1.2
sebesar
22,261.02
Ha
(Bunut,
Kerumutan,
Kuala
Kampar, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Pangkalan Lesung, Pelalawan, Teluk Meranti); satuan lahan A2 sebesar 19,466.43 Ha (Bandar Sekijang, Kerumutan, Kuala Kampar, Langgam, Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Teluk Meranti).
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 14. Potensi HTI Kemasyarakatan Unggulan Strategis
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Tabel 7. 9. Penyebaran Potensi Lahan HTI Kemasyarakatan Unggulan Strategis di
_______________ ______
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Peta tanah menggambarkan penyebaran dari satuan peta tanah (SPT) yang memuat berbagai informasi tentang klasifikasi tanah, sifat kimia, dan lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pengelolaan tanaman. Legenda peta tanah disusun berdasarkan unsurunsur SPT yang disajikan secara ringkas, jelas, dan informatif. Unsurunsur SPT terdiri atas satuan tanah, fisiografi, bahan induk, serta fase tanah beserta luasannya. Fase tanah adalah faktor lingkungan dan atau sifat tanah yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan pengelolaan di dalam SPT. Jenis fase yang umum dijumpai di daerah studi adalah bentuk wilayah (lereng), kedalaman tanah/ketebalan gambut,
tekstur/kematangan
gambut,
drainase
internal,
banjir,
kemasaman tanah, kejenuhan basa, pH, C-organik, N-total, P-total, dan K-total. Secara lengkap SPT di Kabupaten Pelalawan disajikan pada Tabel berikut.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Tabel 7. 10. Satuan Peta Tanah di Kabupaten Pelalawan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.4.1. Tanaman Industri Kemasyarakatan Unggulan Strategis Berdasarkan pengambilan data vegetasi dengan menggunakan metoda survey dengan teknik (a) field trip sampling (b) referensi dan (c) kuesioner/wawancara
kepada
penduduk
tempatan
yang
meliputi
komposisi jenis dan keanekaragaman jenis vegetasi, direkomendasikan 111 jenis tanaman industri kemasyarakatan unggulan strategis yang direkomendasikan pada Tabel berikut.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Tabel 7. 11. Fungsi Kawasan Riau
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.4.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Berikut ini adalah hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk 14 jenis tanaman yaitu rotan, sagu, arak, gemelia, sawo kecik, sonokeling, keruing, bintangor, kedondong, pasak lingga, mengkulang, mersawa, rasamala, dan pinus klinki di Kabupaten Pelalawan yang dinyatakan dalam kondisi aktual (kesesuaian lahan aktual) dan kondisi potensial (kesesuaian
lahan
kesesuaian
lahan,
potensial). dimana
Kesesuian
telah
lahan
dilakukan
potensial
beberapa
adalah
modifikasi
perbaikan terhadap faktor-faktor pembatasnya, sehingga kelas atau subkelas kesesuian lahannya akan meningkat dari kelas kesesuaian aktualnya. Modifikasi
atau
perbaikan
yang
dilakukan
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor: tanaman industri yang diusahakan, kemudahan (kemungkinan) modifikasi perbaikan yang dapat dilakukan, dampak terhadap lingkungan, secara ekonomi masih menguntungkan, dan sebagainya. Hasil penilaian kesesuaian lahan aktual dengan mempertimbangkan karakteristik subgrup tanah, menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan aktual tanaman HTI di Kabupaten Pelalawan berkisar pada kelas N (tidak sesuai) sampai S3 (sesuai marginal). Sedangkan pada tingkat sub kelas, faktor-faktor dominan yang menjadi pembatas terdiri atas: genangan (bahaya banjir), drainase jelek (ketersediaan oksigen), ketebalan gambut yang sangat dalam sampai tengahan
dan
kematangan
gambut
pada
tingkat
hemik
(media
perakaran), lereng (bahaya erosi), serta pH tanah rendah dan kejenuhan basa rendah (retensi hara). Kelas kesesuaian lahan aktual tanaman HTI di Kabupaten Pelalawan disajikan pada Tabel 7.12.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Peningkatan kelas dan subkelas kesesuaian lahan, dapat dilakukan dengan cara memperbaiki keadaan karakteristik lahan. Perbaikan ini ditetapkan berdasarkan masing-masing faktor-faktor pembatas yang ada, yaitu I.
pembuatan
teras,
penanaman
sejajar
kontur,
penanaman
tanaman penutup tanah, atau usaha pengurangan laju erosi lainnya; II.
pembuatan
tanggul
penahan
banjir
yang
diiringi
dengan
pembuatan saluran drainase untuk mempercepat pengaturan air untuk memperbaiki pembatas genangan dan drainase jelek; III.
pemberian kapur untuk menaikan nilai pH tanah dan pemupukan untuk meningkatkan kejenuhan basa sehingga hara tanaman lebih tersedia. Sementara, ketebalan dan kematangan gambut secara teknis tidak dapat diperbaiki. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk tanaman.
Tabel 7. 12. HTI di Kabupaten Pelalawan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Memperhatikan kepada beberapa faktor yang dinilai dalam pemanfaatan lahan sebagai areal hutan tanaman, dijumpai faktor pembatas yang dianggap serius adalah ketebalan gambut. Ketebalan gambut memang suatu hal yang mendapat perhatian serius dalam pengusahaan lahan ini sebagai lahan pengembangan tanaman industri. SPT 1 dan SPT 2 dengan ketebalan gambut dalam sampai tengahan yang tergenang secara permanen, SPT 3 dengan ketebalan gambut dangkal yang tergenang secara periodik selama musim basah, disamping faktor penghambat drainase tanah yang jelek dapat dimanfaatkan dengan cara pengaturan tertentu. Pembukaan tanah gambut menjadi mempunyai masalah yang cukup banyak, sehingga dengan demikian managemennya betul-betul diperhatikan.
Hal
yang
harus
dipikirkan
jangan
sampai
terjadi
penurunan bahan organik yang drastis pada tanah tersebut. Untuk itu, cara membuat tanggul penahan banjir yang diiringi dengan pembuatan saluran drainase yang baik perlu dipikirkan. Usaha perbaikan tersebut dimaksudkan untuk mempertahankan jumlah air pada masa pertanaman, sehingga akumulasi air pada saat pasang (genangan)dapat dihindari. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan drainase semua SPT 1 dan SPT 2 adalah dalamnya saluran dan jarak saluran. Diharapkan dengan sistem saluran yang lebih baik akan dapat mempertahankan permukaan bahan organik (mencegah subsiden). Disamping itu juga harus dipikirkan jangan terjadinya kekurangan air akibat sistem drainase yang dibuat karena daerah ini juga mempunyai bulan-bulan dengan neraca air kritis. Pengaturan kelembaban tanah yang sesuai dengan tuntutan tanaman adalah lebih diutamakan dalam pengaturan sistem drainase di kawasan ini. Walaupun demikian dengan memilih macam tanaman yang sesuai dengan tingginya air tanah yang dikehendaki oleh tanaman industri tertentu, maka pengaturan drainase lebih difokuskan pada daerah yang tergenang.
369
Gambar 7. 15. Peta Citra 7 EMT 2009
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 15. Peta Citra 7 EMT 2009
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wilayah di bagian timur berada di tanggul sungai, rawa belakang sungai, crevase splay, sisi kubah gambut, kubah gambut dari Sungai Kampar. Di sini juga terdapat anak anak sungai yang mengalir ke sungai tersebut. Dengan demikian, kemungkinan untuk memanfaatkan pasang sebagai air pengairan adalah sangat memungkinkan. Masalah lainnya adalah lahan yang selalu tergenang air, yang membutuhkan pembuatan saluran drainase dan pada daerah yang kedalaman air tanahnya lebih dari 50 cm memerlukan penambahan air dengan air irigasi, sehingga diperlukan rancangan klep pengatur aliran air: pada pasang naik air tidak meluapi lahan dan pada pasang surut air dapat ditahan sehingga muka air tanah dapat dipertahankan sesuai kebutuhan tanaman. Penelitian yang intensif terhadap tata air di kawasan ini sangat diperlukan, karena dalam waktu survai yang relatif singkat tidak mungkin memberikan gambaran yang lebih mendalam ke arah tersebut. Berbeda dengan gambut, pada tanah-tanah aluvial (SPT 3, SPT 5, SPT 6, dan SPT 7) usaha perbaikan dengan membuat tanggul penahan banjir
yang
diiringi
dengan
pembuatan
saluran
drainase
dapat
meningkat kelas kesesuaian masing-masing SPT. Tanaman rotan, sagu, albizia, dan akasia dengan kelas kesesuaian aktual S3 meningkat menjadi kelas kesesuaian potensial S1. Tanaman pisang dengan kelas kesesuaian aktual N meningkat menjadi kelas kesesuaian potensial S2. Begitu juga jarak yang mempunyai kelas kesesuaian aktual berkisar dari N meningkat menjadi kelas kesesuaian potensial S3. Kelas kesesuaian yang terbentuk untuk pengembangan tanaman industri di tanah-tanah sediman (SPT 4, SPT 8, SPT 9, SPT 10, dan SPT 11) adalah hampir sama, yaitu sesuai marginal (S3) untuk semua SPT. Kesesuaian ini terutama dibatasi oleh karakteristik kemiringan yang berombak, bergelombang, sampai berbukit kecil.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
kemiringan erat sekali hubungannya dengan bahaya erosi dan kemudahan
dalam
pemeliharaan,
panen,
pengumpulan
dan
pengangkutan. Dengan perbaikan pembuatan teras, penanaman sejajar kontur, penanaman tanaman penutup tanah, atau usaha pengurangan laju erosi lainnya maka kelas kesesuaian potensial untuk tanaman HTI menjadi sangat sesuai (S1). Pada semua SPT, faktor pembatas pH tanah dan kejenuhan basa yang rendah dapat ditingkatkan dengan pengapuran dan pemupukan. Tindakan pengapuran dan pemupukan yang tepat dan benar dapat meningkatkan kelas kesesuaian semua tanaman dua tingkat dari kelas S3 menjadi S1. Bila dilihat peluang kedepan sebagai kesesuaian potensial di semua SPT tidak sulit untuk dilakukan oleh pemerintah daerah, perusahaan swasta atau investor lainnya, dengan dana yang besar dan teknologi yang tinggi karena hampir semua faktor pembatas (genangan, drainase, pH tanah, dan kejenuhan basa) dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan sedang sampai tinggi.
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 16. Peta Eksisting Kawasan Kehutanan Kabupaten Pelalawan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 17. Peta Potensi Pengembangan Kabupaten Pelalawan
Kawasan
Kehutanan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Gambar 7. 18. Peta Sebaran Kawasan Hutan Kabupaten Pelalawan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.5. Kerusakan Hutan di Kabupaten Pelalawan Kebakaran hutan dan lahan merupakan musibah yang senantiasa terjadi di Kabupaten Pelalawan. Musibah kebakaran hutan ini telah memberikan dampak baik kepada perekonomian, transportasi, produksi pertanian maupun hubungan kenegaraan. Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pelalawan dipicu oleh tersedianya bekas lahan terutama pada musim
kemarau,
umumnya
terjadi
pada
lahan
bekas
tebangan
(HPH/HPHTI), lahan perkebunan, lahan masyarakat dan lahan gambut. Disamping itu kerusakan hutan di Kabupaten Pelalawan bersumber dari penggundulan hutan baik yang dilakukan melalui penebangan hutan secara legal maupun secara illegal dan peruntukkan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan. Penggundulan hutan yang terjadi selama ini telah memberikan dampak bagi kerusakan lingkungan dalam bentuk erosi, gangguan terhadap satwa, pengurangan terhadap keanekaragaman hayati dan timbulnya bencana banjir yang melanda beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Pelalawan. Banyak anak-anak sungai yang rusak akibat penggundulan hutan yang tidak terkendali yang meningkatkan debit aliran sungai dan mengurangi kapasitas penyimpanan air dalam tanah serta mengakibatkan variasi aliran air yang lebih besar sepanjang tahun. Kurangnya penegakan hukum telah mendorong praktek illegal logging berkembang subur di Kabupaten Pelalawan. Mudah-mudahan ditahun yang akan datang, hukum bisa ditegakkan di kabupaten ini tanpa memandang siapa yang melanggarnya. Dengan demikian praktek illegal logging akan bisa diatasi guna menyelamatkan hutan Pelalawan yang semakin lama semakin berkurang. Secara umumnya penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pelalawan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah.
Belum adanya alternatif penyiapan lahan yang relatif lebih murah dibanding dengan penyiapan lahan dengan cara pembakaran.
Organisasi Non Struktural Satlak Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pelalawan bersifat koordinatif belum bekerja
secara
maksimal
dalam
kegiatan
penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan.
Perambahan hutan yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung, kawasan konservasi, maupun hutan produksi. Kebijaksanaan
pembukaan
lahan
untuk
pembangunan
non
kehutanan melalui model pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional, Pola Perkebunan Inti
Rakyat, dan
Pola
KKPA
yang
pelaksanaannya tidak dibarengi dengan upaya pengawasan di lapangan terutama dalam pembukaan lahan telah menimbulkan bahaya kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu, bagi investor yang membuka perkebunan besar harus bertanggung jawab setiap kegiatan yang di lakukan. Mereka harus
mengawasai
setiap
kegiatan
yang
dilakukan,
baik
pada
pembersihan lahan maupun pada pada tahap penanaman. Dengan cara seperti ini, resiko yang ditimbulkan akan bisa dikurangi, bahkan kalau bisa dieleminir sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dalam rangka penanggulangan kebakaran hutan dan lahan adalah sebagai berikut : (1) Mendayagunakan organisasi Pusdalhartula mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa yang pada intinya membentuk regu-regu pemadam kebakaran di tingkat desa; (2) Mengintensifkan kegiatan penyuluhan kebakaran hutan dan lahan; (3) Meningkatkan kemapuan SDM pemadam kebakaran, jumlah dana dan
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
sarana prasarana; (4) Mengkoordinasikan instansi yang terkait dengan kegiatan penanggulangan kebakaran dari pusat sampai daerah. Meskipun kebakaran hutan selalu terjadi sepanjang tahun di Kabupaten Pelalawan, namun untuk tahun 2006/2007 tidak separah yang terjadi pada tahun 2004 dan 2005 yang sampai meresahkan negara tetangga akibat dampak langsung dari kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Pelalawan. Kejadian ini telah mendatangkan kerugian yang cukup besar, karena berbagai penerbangan di Pekanbaru terpaksa harus dibatalkan. Begitu juga dengan proses belajar mengajar di sekolah yang banyak terganggu akibat terjadinya kabut tebal yang dapat merusak kesehatan siswa. Dari gambaran di atas masih banyak terlihat titik api-titik api pada masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Pelalawan. Titik apititik api ini kemungkinan besar disebabkan oleh petani melakukan pembakaran lahan untuk membuka perkebunan baru dimana pada umumnya kondisi tanah yang bergambut. Pada tanah yang bergambut, api kadangkala tidak kelihatan padahal api masih hidup dibawah gambut yang tidak terdeteksi oleh petani itu sendiri. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya kebakaran hutan di Kabupaten Pelalawan selama ini, antara lain : (1) Masih lemahnya penegakan hukum (Law Enforcement), (2) Masih belum teranggarkannya dana pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara terprogram (political will) Pemerintah Kabupaten Pelalawan, (3) Lemahnya aspek kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pelalawan, (4) Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pemadaman kebakaran hutan dan lahan, (5) Masih kurangnya sarana dan prasarana pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pelalawan, (6) Masih rendahnya sistem informasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pelalawan, (7) Masih kurangnya pengawasan di areal PBS/HPHTI, (8) Masih kurangnya kesadaran pihak pengusaha PBS/HPHTI
369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
akan pentingnya kualitas lingkungan hidup dalam pembukaan areal, (9) Pola pikir pengusaha masih bersifat profit oriented sehingga kurang memperhatikan program Zero Burning dalam pembukaan lahan, dan (10) Masih kurangnya peran serta masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Adapun
dampak
dan
kondisi
ekosistem
lingkungan
akibat
terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah : (1) Terganggunya aktivitas perekonomian dan pembangunan, (2) Permasalahan kabut asap yang sampai mengganggu kegiatan penerbangan dan lintas pelayaran bahkan
transportasi
darat,
(3)
Penyebaran
penyakit
ISPA
bagi
masyarakat, (4) Punahnya keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna di sekitar lokasi kebakaran, (5) Kerugian negara secara finansial atas punahnya fungsi sumber daya alam hayati dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, (6) Terganggunya aktivitas pendidikan dan (7)
Terganggunya
produksi
pertanian
akibat
lemahnya
intensitas
matahari untuk aktivitas fotosintesa. Upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan secara preventif berupa; pemasangan papan peringatan, penyuluhan dan pemantauan dan penyebarluasan hot spot. Pemasangan papan peringatan diwajibkan kepada pimpinan perusahaan dilokasi yang mudah telihat, rawan kebakaran dengan bahasa yang informatif, mudah dimengerti serta dihindari menggunakan kata-kata yang sifatnya melarang dan mengancam. Penyuluhan diberikan melalui pertemuan sekaligus penyebarluasan leaflet/booklet ataupun dalam bentuk pemutaran film. Pemantauan dan penyebarluasan data hot spot disebarluaskan kepada Kepala Dinas Kabupaten Pelalawan, perusahaan perkebunan dan kehutanan serta kepada instansi terkait untuk dilakukan pengecekan ke lapangan. _______________ ______ 7.1. Kondisi Hutan Pelalawan...............................................................49 369
Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009
7.1.1. Hutan Lindung.........................................................................64 7.1.2. Ekosistem Lahan Gambut.......................................................66 7.1.3. Kawasan Suaka Margasatwa...................................................70 7.1.4. SM Tasik Besar / Tasik Metas .................................................75 7.1.5. SM Tasik Serkap / Tasik Sarang Burung .................................75 7.1.6. Hutan Mangrove .....................................................................77 7.2. Kondisi Mangrove..........................................................................78 7.3. Peranan Ekologis Mangrove..........................................................82 7.3.1. Mangrove dan Bono................................................................82 7.3.2. Peranan Sosial Ekonomis Mangrove........................................83 7.4. Potensi HTI Kemasyarakatan Unggulan Strategis.........................83 7.4.1. Tanaman Industri Kemasyarakatan Unggulan Strategis .......89 7.4.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan ....................................................94 7.5. Kerusakan Hutan di Kabupaten Pelalawan..................................106
369