69
BAB IV SENI PERTUNJUKAN WAYANG GOLEK PURWA DI PURWAKARTA
Dalam bab ini, peneliti memaparkan hasil temuan dan pembahasan mengenai permasalahan yang di kaji, dan merupakan interpretasi dari fakta-fakta yang terkumpul tentang keberadaan kesenian tradisional wayang golek di Purwakarta.
Adapun
pemaparan
yang
dijelaskan
dalam
penulisan
ini
dikembangkan menjadi empat sub pokok bahasan. Pertama, mengenai kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat Purwakarta, Kedua mengenai latar belakang dan perkembangan kesenian wayang golek di Purwakarta, yang akan di bahas pula mengenai awal mula masuknya kesenian wayang golek ke wilayah Purwakarta, struktur pertunjukan beserta kelengkapan peralatan pertunjukannya. Ketiga, yaitu tentang faktor penghambat perkembangan kesenian wayang golek purwa. Dan keempat, adalah mengenai upaya yang dilakukan dalam rangka pelestarian kesenian taradisional wayang golek purwa baik dari pemerintah setempat maupun dari seniman kesenian wayang golek.
A. Kondisi Geografis dan Sosial Budaya Masyarakat Purwakarta Penulis memaparkan tentang kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat Purwakarta secara umum. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kaitan antara kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat Purwakarta dengan keberadaan kesenian tradisional wayang golek purwa di Kabupaten Purwakarta.
70
1. Kondisi geografis, Geomorfologis, Klimatologis, dan Administratif Kabupaten Purwakarta Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Daerah Purwakarta berada pada posisi geografis antara 6º25' - 6º45' Lintang Selatan dan 107º30' - 107º40' Bujur Timur. Dari segi transportasi dan komunikasi, letak geografis Purwakarta cukup strategis, karena dilalui oleh jalan raya negara/ propinsi, jalan tol. Dan jalan kereta api. Jalan-jalan itu menghubungkan Purwakarta dengan Bandung sebagai ibukota propinsi Jawa Barat (berjarak lebihkurang 60 km), dengan Jakarta ibukota negara (berjarak lebih-kurang 120 km), dan Cirebon sebagai pelabuhan Jawa Barat sebelah Timur (berjarak lebih-kurang 160 km). Morfologi tanah Kabupaten Purwakarta bervariasi, dari dataran rendah ke dataran tinggi, dengan ketinggian 150-1500 meter di atas permukaan laut (dpl), yang makin meninggi kearah pegunungan di bagian tenggara. Beberapa gunung yang membentang dari Barat ke Timur, antara lain : G. Cantayan, G. Bongkok, G. Cilalawi, G. Burangrang, G. Cupu, G. Dingdingsari, G. Haur, G. Gedongan, G. Karadak, G. Kencana, G. Kacapi, G. Lembu, G. Mandalawangi, G. Masigit, G. Parang, G. Pamoyanan, G. Panawingan, G. Pangukus, G. Sandaan, G. Sanggabuana, dan G. Sembung. Secara umum Kabupaten Purwakarta terletak dalam elevasi 83,60-670 meter dari permukaan laut (dpl), terdiri atas.
71
a) Dataran tinggi (pegunungan) dengan luas lebih dari 30% dari luas wilayah Kabupaten. Dataran itu di daerah selatan meliputi wilayah Kecamatan Wanayasa, Kecamatan Darangdan dan Kecamatan Bojong. b) Dataran berbukit meliputi hampir 50% dari seluruh wilayah Kabupaten, yang
mencakup
Kecamatan-kecamatan
Jatiluhur,
Sukasari,
Plered,
Sukatani, Tegalwaru, Maniis, Pondoksalam, Kiarapedes, dan Pasawahan. Bagian terbesar wilayah Barat merupakan daerah Bendungan Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur). c) Dataran rendah dibagian utara dengan luas sekitar 20% dari luas wilayah Kabupaten Purwakarta, yang meliputi Kecamatan-kecamatan Purwakarta, Babakan Cikao, Bungursari, Cibatu dan Campaka (Hardjasaputra, 2008:2930). Sedangkan kondisi geologi daerah Purwakarta terdiri dari batuan sedimen klastik, berupa batu gamping, batu lempung, batu pasir konglomerat, batu pasir dan batuan vulkanik. Sebagian jenis tanahnya adalah tanah latosol dan sebagian kecil adalah tanah aluvial, andosol, grumosol, litosol, podsolik dan regosol. Potensi tersebut mendorong munculnya kegiatan pertambangan. Purwakarta berada pada cekungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan kemiringan 0-40 % dari DAS Cilamaya. Hal itu sangat berpengaruh pada hidrologi dan sistem drainase daerah Purwakarta. Pada cekungan tersebut dibangun Bendungan Ir. H. Juanda di Jatiluhur (seluas 7.757 ha) dan Cirata (seluas 182 ha), yang berfungsi sebagai ”flow control”, irigasi, pembangkit tenaga listrik, juga sebagai sumber air minum DKI Jakarta. Luas kedua waduk tersebut setara dengan 9,19% luas daerah
72
Purwakarta. Pembangunan bendungan tersebut dimungkinkan oleh keberadaan sejumlah sungai yang ada di daerah Purwakarta. Purwakarta beriklim panas yang terbagi atas zona panas dan zona sedang, berkisar antara 22º - 32º C pada siang hari dan 17º - 26º C pada malam hari. Secara agroklimat Purwakarta berada di daerah lembab permanen (1-4 bulan basah/tahun dengan curah hujan 100 mm/bulan). Jumlah bulan kering rata-rata 1-3 bulan/tahun. Curah hujan antara 1413 mm - 4501 mm/tahun, dengan curah hujan rata-rata 3093 mm/tahun. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret dan Desember. Kondisi ini biasa terjadi di Kecamatan Wanayasa (4501 mm). Hari hujan paling banyak adalah 148 hari. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta, diperoleh data bahwa Kabupaten Purwakarta mempunyai luas wilayah sekitar 87.138, 369 Ha atau 871, 38 km², dimana luas ini terdiri dari luas tanah sawah kering dan semacamnya 17.040, 139 Ha atau 170, 40 km², sedangkan luas tanah kering (darat) 70.098, 176 Ha atau 700, 98 km² (Hardjasaputra, 2008: 31-33). Adapun batas-batas wilayah administratif Kabupaten Purwakarta adalah sebagai berikut. a. Bagian Barat dan sebagian wilayah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karawang. b. Bagian Utara dan sebagian wilayah Timur berbatasan dengan Kabupaten Subang. c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung.
73
d. Bagian Barat Daya berbatasan dengan Kabupaten Cianjur (Hardjasaputra, 2008: 38). Untuk lebih memperjelas gambaran tentang Kabupaten Purwakarta, berikut ini dapat dilihat peta Kabupaten Purwakarta. Peta 4.1 Peta Kabupaten Purwakarta
Sumber : www.Purwakarta.com
Pada masa pemerintahan Bupati R. Mukhtar (1969-1979) wilayah administratif Kabupaten Purwakarta terdiri atas 7 Kecamatan. Salah satu kecamatan yang berpenduduk paling sedikit adalah kecamatan Pasawahan yaitu sebanyak 32.947 orang (1974). Pada saat itu Kecamatan Pasawahan terdiri atas 10
74
desa yaitu, Pasawahan, Cihuni, Sawahkulon, Tanjungsari, Salem, Parakansalam, Ciherang, Cisitu, Selaawi, dan Pondokbungur. Untuk lebih memperjelas gambaran tentang Kecamatan Pasawahan, berikut ini dapat dilihat peta Kecamatan Pasawahan. Peta 4.2 Peta Kecamatan Pasawahan
Sumber: Kantor Kecamatan Pasawahan Peta di atas merupakan wilayah Kecamatan Pasawahan yang merupakan lokasi penelitian penulis dalam rangka kajiannya tentang Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa, alasan penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Pasawahan adalah karena saat ini satu-satunya paguyuban yang masih bertahan
75
dalam mengembangkan seni tradisional wayang golek purwa di Kabupaten Purwakarta bertempat di Kecamatan Pasawahan, grup kesenian tersebut adalah Wargi Mekar. Untuk lebih memperjelas keadaan masyarakat di Kecamatan Pasawahan maka penulis mencari informasi di kantor Kecamatan yang bersangkutan, dan diperoleh informasi bahwa pelaksanaan pembangunan dalam bidang ekonomi, baik melalui proyek kabupaten dan propinsi maupun proyek nasional yang terjadi di wilayah kabupaten Purwakarta, berangsur-angsur mendorong kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Purwakarta berubah ke arah yang lebih baik. Kondisi ini tercermin dari potensi ekonomi dalam beberapa bidang, terutama bidang pertanian, perkebunan, peternakan perikanan, dan industri. Begitu pula dengan masyarakat yang bertempat tinggal di Kecamatan Pasawahan pada dasarnya mereka hidup dan mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Keadaan ekonomi masyarakat yang makin bertambah baik akibat adanya pembangunan dibidang ekonomi menyebabkan masyarakat khususnya yang ada di Kecamatan Pasawahan, dan umumnya yang ada di wilayah Purwakarta mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik, hal itu secara langsung dapat mempengaruhi daya beli masyarakat termasuk menyewa jasa para seniman wayang golek purwa untuk mengadakan pertunjukan dalam berbagai acara, baik itu acara hajatan, upacara ritual maupun pada saat hari raya lainnya.
76
2. Perkembangan Penduduk dan Mata Pencaharian Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta, berdasarkan luas wilayahnya Purwakarta dinyatakan sebagai kota terkecil di Jawa Barat. Walaupun demikian perkembangan jumlah penduduknya dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Sejak awal tahun 1969 jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta tiap tahun selalu meningkat terutama sejak memasuki masa Orde Baru, jumlah penduduk Purwakarta terus bertambah. Secara tidak langsung hal itu berhubungan erat dengan perubahan kondisi umum ekonomi dan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik, sebagai salah satu dampak dari program pembangunan. Tabel 2.1 Data Penduduk Kabupaten Purwakarta Menurut Jenis Kelamin pada Tahun 1969
NO.
KECAMATAN
P E N D U D U K Laki-laki Perempuan Jumlah
1.
Purwakarta
47.296
47.290
94.586
2.
Jatiluhur
18.948
18.589
37.537
3.
Campaka
24.489
24.779
49.268
4.
Plered
37.617
38.286
75.903
5.
Darangdan
25.629
27.859
53.488
6.
Wanayasa
16.809
17.894
34.703
7.
Pasawahan
16.128
16.819
32.947
186.916
191.516
378.432
Jumlah Sumber : Sejarah Purwakarta
77
Tahun 1974 Kabupaten Purwakarta berpenduduk 378.532 orang, terdiri atas 187.016 laki-laki dan 191.516 perempuan, tersebar di 7 kecamatan yang mencakup 70 desa. Pada Pelita I (1969-1975), pertumbuhan penduduk Purwakarta dengan luas wilayah 978,02 kilometer persegi adalah sebagai berikut. Tabel 2.2 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Purwakarta Tahun 1969-1974 Tahun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Kepadatan Rata-rata/km²
1969
174.275
179.248
353.523
361
1970
173.450
187.499
360.949
369
1971
185.496
186.619
372.115
380
1972
187.014
188.713
375.727
384
1973
186.417
190.306
376.723
385
1974
187.016
191.516
378.532
387
Sumber : Sejarah Purwakarta Menurut statistik Jawa Barat tahun 1975, pada periode tersebut jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta paling sedikit apabila di bandingkan dengan penduduk kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Tetapi pada tahun-tahun berikutnya jumlah penduduk yang ada di Purwakarta terus mengalami pertambahan, hal itu pada dasarnya disebabkan adanya migrasi dari luar Kabupaten Purwakarta. Selain hal tersebut diakibatkan pula karena di Purwakarta terdapat daya tarik yang menjadi faktor pendorong urbanisasi dan migrasi, antara lain adanya kawasan industri dan banyaknya kegiatan pembangunan, baik pembangunan perumahan maupun pembangunan infrastruktur.
78
Persebaran penduduk di Purwakarta merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah daerah setempat, karena persebaran penduduk tidak merata. Hal itu terjadi akibat daya dukung lingkungan tidak seimbang antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Oleh karena itu, sebagian kecamatan berpenduduk cukup padat dan sebagian lagi berpenduduk sedikit. Dampaknya bagi pembahasan ini adalah dengan tingginya tingkat kelahiran dan persebaran penduduk di Purwakarta, maka akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan penduduk sehingga akan mempercepat perubahan, baik itu sosial maupun budaya masyarakat setempat. Hal tersebut akan berakibat pada suatu perkembangan, yaitu perkembangan kesenian wayang golek purwa. Berdasarkan komposisi penduduk di atas bisa dilihat bahwa sebagian masyarakat berada pada usia dewasa yaitu usia untuk menghasilkan produktifitas pekerjaan. Kecamatan Pasawahan memiliki potensi tenaga kerja yang produktif antara usia dewasa lebih dari 50%. Bila dimaksimalkan akan membuat Kecamatan Pasawahan ini lebih maju dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain yang ada di Purwakarta. Meningkatnya potensi tenaga kerja tidak terlepas dari tingkat pendidikan yang dicapai oleh masyarakat. Mengenai perkembangan pendidikan di Kabupaten Purwakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
79
Tabel 2.3 Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid dan Guru yang Berada di Bawah Pengawasan P&K dari Tahun 1981-1985 di Kabupaten Purwakarta Tingkat
Tahun
Pendidikan SD
Jumlah
Jumlah Murid
Jumlah Guru
Sekolah 1981
308
72.626
1.741
1982
376
75.796
2.196
1983
377
73.040
2.477
1984
434
80.059
2.645
1985
436
80.823
2.705
1981
18
7.913
339
1982
21
10.042
453
1983
27
13.160
453
1984
33
11.891
501
1985
29
13.941
585
1981
13
5.501
316
1982
12
5.625
291
1983
14
6.997
358
1984
13
8.288
426
1985
19
9.053
547
SLTP
SLTA
Sumber : BPS Purwakarta 1981-1985 Pada tabel tersebut nampak bahwa jumlah SD pada tahun 1983 terlihat menurun sedangkan jumlah sekolah bertambah, demikian pula pada tingkat SLTP pada tahun 1984 jumlah muridnya menurun dan juga jumlah sekolahnya menurun
80
pada tahun 1985. Pada tingkat SLTA nampak sekali bahwa jumlah murid terus bertambah sedangkan jumlah sekolah pada tahun 1984 menurun. Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari BPS Purwakarta, bahwa alasan keadaan pendidikan di Purwakarta seperti ini ialah disebabkan oleh keadaan ekonomi atau biaya sekolah karena keadaan ekonomi masyarakat pedesaan mempunyai pendapatan rendah terpaksa menarik anak-anaknya untuk ikut bekerja untuk memperoleh tambahan pendapatan, sedangkan jumlah sekolah berkurang pada umumnya merupakan sekolah swasta yang berada di daerah pedesaan yang karena tidak ada biaya terpaksa menutup sekolahnya. Lebih lanjut BPS Purwakarta memberikan penjelasan melalui wawncara dengan Bapak Agus Suwono, bahwa penurunan jumlah siswa atau jumlah anak usia sekolah karena pada tahun-tahun itu jumlah penduduk Purwakarta pun mengalami penurunan. Ada pula faktor lain yang menyebabkan berkurangnya sekolah ialah karena adanya program KB. Hal ini dimungkinkan karena dengan berjalannya program KB maka pertumbuhan penduduk dapat dibatasi hal ini pun berpengaruh terhadap jumlah anak usia sekolah. Adapun hubungan antara tingkat pendidikan yang dicapai masayarakat Purwakarta dengan perkembangan kesenian wayang golek di wilayah ini adalah bahwa tingkat pendidikan masyarakat akan berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap pentingnya upaya pelestarian kesenian tradisional yang dirasa perlu dilakukan dalam rangka mencegah musnahnya seni tradisi masyarakat Indonesia. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta, diperoleh data bahwa pada umumnya masyarakat yang
81
berdomisili di bagian tengah Jawa Barat, pola kehidupan masyarakat Kabupaten Purwakarta didominasi oleh kultur budaya sunda. Sejalan dengan perkembangan zaman yang ditandai oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat Purwakarta banyak dipengaruhi oleh budaya asing. Namun demikian, budaya masyarakat pada dasarnya tetap bernuansa budaya sunda dan budaya agama, terutama budaya Islam. Mayoritas penduduk Purwakarta (99,46%) adalah pemeluk agama Islam (muslim), dan sisanya adalah non muslim. Dengan kata lain, penduduk Purwakarta adalah masyarakat beragama. Hal itu antara lain ditunjukan oleh keberadaan sejumlah sarana ibadah yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat. Sarana ibadah itu terdiri atas masjid 907 buah, langgar 2.716 buah, gereja 12 buah, dan 8 pura/kelenteng/vihara. Selain itu, terdapat sarana /fasilitas pendidikan agama, yaitu 32 Madrasah Aliyah, dan 206 pondokpesantren. Secara umum tingkat pendidikan SD/MI merupakan tingkat pendidikan terbanyak yang dicapai oleh penduduk Kabupaten Purwakarta. Yaitu 33.42% laki-laki dan 38.67% perempuan. Penduduk yang mencapai tingkat pendidikan perguruan tinggi dan akademi/dipeloma hanya sedikit, yaitu laki-laki 1,57% dan 1,09, perempuan 1,13%, dan 0,49%. Sarana pendidikan formal terdiri atas Sekolah Dasar 446 unit, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 41 unit, Sekolah Menengah Umum 18 unit, Sekolah Menengah Kejuruan 18 unit, dan 4 perguruan tinggi dengan jenjang pendidikan Strata 1. Dalam upaya meningkatkan kemajuan di bidang pendidikan secara kuantitas dan kualitas, dikembangkan intensifikasi pendidikan formal dan non
82
formal. Selain itu berlangsung pula latihan keterampilan kerja dan pendidikan kaum wanita melalui Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga. Pelayanan Kesehatan Dasar dilaksanakan oleh 19 unit Puskesmas dan 54 unit Puskesmas Pembantu yang tersebar di seluruh Kecamatan. Fasilitas rujukan dilayani oleh Rumah Sakit Umum Daerah “Bayu Asih” (Tipe C). Kegiatan kesehatan kemasyarakatan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri melalui Pos Pelayanan Terpadu berjumlah 833 unit Posyandu. Upaya pelayanan kesehatan swasta dilaksanakan oleh Balai Pengobatan Swasta, rumah bersalin dan apotek, serta fasilitas laboratorium kesehatan. Kualitas kesehatan masyarakat mengalami peningkatan, sejalan dengan perkembangan potensi pembangunan dan pengetahuan masyarakat mengenai prilaku hidup bersih dan sehat. Secara normatif aspek yang ingin dicapai dalam meningkatkan pembangunan manusia adalah meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH), menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan menurunkan angka kematian ibu melahirkan. Tahun 2001 angka kematian tercatat 52,68 per seribu kelahiran hidup (Hardjasaputra, 2008: 42-44). Berdasarkan kondisi geologinya, Purwakarta cukup kaya dengan bahan tambang galian. Bahan tambang itu terdiri atas batu kali, batu andesit, batu gamping, lempung, pasir, pasir kuarsa, sirtu, tras, fosfat, barit dan gips. Selain itu, kondisi alam, termasuk jenis tanah berpengaruh pada keragaman hayatinya. Tanah jenis alluvial dan latosol sangat baik untuk budidaya padi di sawah, palawija dan perikanan darat.
83
Jenis tanaman pangan yang dikembangkan oleh masyarakat adalah padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Potensi produksi sayuran terdiri dari komoditas bawang, tomat, melinjo, buncis dan cabe. Komoditi buah-buahan diantaranya pisang, nenas dan manggis. Sedangkan komoditi perkebunan yang dijadikan unggulan adalah teh, bambu, kelapa, cengkeh, dan pisang abaka. Selain itu, produksi hasil hutan berupa kayu pertukangan, kayu bakar, daun kayu putih dan rotan. Sementara hewan peliharaan yang dikembangkan adalah sapi, kerbau, domba, kambing, itik, ayam ras dan ayam buras. Selain perikanan kolam dan perikanan air deras, perikanan jaring apung di Waduk Jatiluhur dan Cirata merupakan potensi yang belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu bentuk keragaman hayati dan pelestarian plasma nutfah, Kabupaten Purwakarta telah menentukan pohon Jamuju (Podocarpus imbricatus) sebagai flora khas Kabupaten Purwakarta, serta ikan tawes (Puntius gonionotus), dan ikan balidra (Notopterus chitala) sebagai fauna khas Kabupaten Purwakarta (Hardjasaputra, 2008: 46). Salah satu potensi penting dalam perekonomian Purwakarta adalah industri, baik industri besar maupun industri sedang. Industri besar pada umumnya berupa industri tekstil (termasuk benang tenun dan garment) dan bahan kimia. Industri besar terkonsentrasi di Kecamatan Jatiluhur, Campaka dan Bungursari. Hasil industri itu terutama benang tenun dan garment, memberikan kontribusi besar bagi nilai ekspor sektor perdagangan. Sedangkan industri sedang antara lain adalah industri keramik dan genteng yang berlokasi didaerah Plered.
84
Industri keramik adalah salah satu potensi ekonomi yang ada di Kabupaten Purwakarta, pada umumnya usaha keramik ini dilakukan oleh warga Desa Anjun Plered secara turun-temurun, walaupun ada juga yang memulai bisnis ini tanpa didahului oleh orang tua ataupun kerabatnya dalam arti kreatif mencari pemasukan (uang) untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu masyarakat yang ada di Kecamatan Plered juga mengusahakan industri genteng dan batu bata dalam rangka memperbaiki taraf hidup mereka. Melihat potensi alam serta keragaman hayati yang dimiliki Purwakarta memungkinkan masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan tidak jarang pula banyak diantara penduduk di Kabupaten Purwakarta yang bekerja sebagai buruh pabrik, selain dari profesi-profesi lain yang suudah lazim dimiliki oleh penduduk yang ada di Indonesia (Hardjasaputra, 2008: 46).
3.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Purwakarta Kesenian
tradisional
yang
berkembang
dalam
masyarakat
akan
dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Seni wayang golek yang berkembang di Kabupaten Purwakarta tentunya juga dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud sosial budaya suatu masyarakat akan dicerminkan dalam suatu adat istiadat. Masyarakat Purwakarta berpedoman pada adat istiadat Sunda. Masyarakat Sunda adalah sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati dan menggunakan norma-norma serta nilai-nilai budaya Sunda (Ekadjati, 1984: 130). Berdasarkan letak geografis Kabupaten Purwakarta
85
yang masih berada dalam wilayah Propinsi Jawa Barat dan mayoritas mempunyai penduduk dengan etnik Sunda, maka sudah sewajarnya bila bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Purwakarta adalah bahasa Sunda. Secara umum masyarakat Purwakarta menggunakan bahasa Sunda berdialek Priangan yang didalamnya terdapat undak-usuk basa (tingkatan bahasa). Menurut pendapat Ardiwinata (1992: 20) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Oerang Soenda yang menyatakan bahwa, Dalam hubungan sehari-hari tingkatan bahasa Sunda yang dipergunakan di Priangan meliputi : 1. Basa lemes pisan (bahasa yang sangat halus) 2. Basa lemes (bahasa halus) 3. Basa sedeng atau basa lemes keur sorangan (bahasa sedang atau bahasa halus untuk diri sendiri) 4. Basa kasar (bahasa kasar) 5. Basa kasar pisan (bahasa sangat kasar). Sebagian masyarakat Purwakarta terutama generasi tua, pemakaian undakusuk basa dalam komunikasi sehari-hari masih kuat dan sering digunakan, namun di kalangan generasi muda pemakaian undak-usuk basa sepertinya sudah memudar, artinya bahwa generasi muda sekarang sudah tidak lagi membedakan tingkatan bahasa dalam komunikasi sehari-hari, namun bukan berarti mereka sering menggunakan bahasa kasar.
86
Sementara itu, masyarakat Purwakarta pada umumnya menganut agama Islam, selain menjalankan kewajiban beragama dalam kehidupan sehari-hari mereka masih memadukan antara ajaran agama dan adat. Hal ini dapat terlihat dengan kebiasaan masyarakat Purwakarta bila akan memanen padi, mereka umumnya selalu menyediakan sesajen untuk dipersembahkan pada sang penguasa atas hasil panen yang baik. Setelah memanen padi selanjutnya masyarakat yang umumnya para petani yang tinggal di Purwakarta selalu mengadakan selamatan untuk mensyukuri hasil panen yang mereka peroleh. Dengan kenyataan seperti itu menyebabkan susahnya untuk memisahkan antara adat dan agama karena kedua unsur ini erat dan telah mengakar serta telah menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan masyarakat Purwakarta (wawancara masyarakat, 4 Agustus 2009). Selain itu, masyarakat Purwakarta yang khususnya bermukim di pedesaan banyak yang masih berkunjung ke makam-makam yang dianggap keramat untuk menyampaikan permohonan atau doa sebelum mengadakan suatu usaha, pesta atau perhelatan. Hal ini timbul karena masih adanya kepercayaan pada ceritacerita mitos, sehingga ajaran agamapun sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib, seperti mengadakan upacara-upacara ritual apabila akan mendirikan rumah, menanam dan memanen padi dan masih banyak hal lainnya yang dilakukan dan bukan termasuk unsur-unsur agama Islam, tetapi masih sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Cerita mitos dan nilai-nilai agama mempunyai fungsi untuk mengatur sikap dan sistem nilai manusia serta mempertahankan tata tertib sosial dalam lingkungan masyarakat yang belum banyak menggunakan prinsip-prinsip ilmu
87
pengetahuan modern. Itulah sebabnya di daerah pedesaan disamping orang taat menjalankan ajaran agama sering juga mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan kata lain sebagian besar dalam alam pikiran masyarakat Purwakarta khususnya yang bermata pencaharian sebagai petani dan berada di daerah pedesaan mengakui bahwa batas antara unsur-unsur ajaran agama Islam dan bukan Islam berbanding tipis dan tidak dapat dibedakan. Selain itu, nilai-nilai falsafah pewayangan juga sangat mempengaruhi keadaan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Purwakarta. Seni pewayangan dan padalangan mengandung unsur-unsur falsafah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Hal itu menunjukan bahwa seni pewayangan tidak sematamata hanya sebagai hiburan saja. Segala perlambang yang terdapat didalam dunia pewayangan penuh dengan unsur-unsur yang meliputi silib, sindir, simbol, siloka dan sasmita. Dari kelima unsur yang terdapat didalam seni pewayangan dan padalangan tersebut dapat ditemukan falsafah tentang kehidupan. Demikian juga dengan cerita atau lakon yang dibawakan Ki dalang selalu diakhiri dengan kesimpulan dan memberikan penerangan mana yang baik dan buruk yang harus bisa dibedakan oleh manusia dalam kehidupannya. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa betapa banyaknya pelajaran hidup yang bisa didapat dari menonton pagelaran kesenian wayang golek dab hal itu sangat berpengaruh pada kehidupan sosial budaya masyarakat Purwakarta yang masih menggemari kesenian wayang golek (Djunaedi, Penataran Dalang se Jawa Barat: 1981).
88
B. Latar Belakang dan Perkembangan Kesenian Wayang Golek di Purwakarta 1. Sejarah Masuknya Kesenian Wayang Golek ke Wilayah Purwakarta Awal mula munculnya wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Disebutkan bahwa pada tahun 1583 M, Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar mengemukakan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun “wayang purwo” yang berjumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir, bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit) oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek. Tidak sedikit dari masyarakat kita yang memiliki anggapan bahwa seni padalangan atau pewayangan di Pasundan berasal dari Jawa Tengah. Hal ini didasarkan pada kejadian sejarah bahwa orang Sunda pernah mendapat pengaruh dari Mataram. Terlebih masih adanya bukti-bukti yang menguatkan hal tersebut, diantaranya dalam pola raut (keureutan) muka wayang dan mahkota (hiasan dikepala) yang meniru wayang kulit purwa. Kakawen atau suluk masih menggunakan bahasa kawi atau Jawa Kuno, begitu pula dengan alur cerita mengikuti pola cerita pujangga Jawa (Ki Dalang Suherman Elan Surawisastra, wawancara, 2009).
89
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa seni padalangan atau pewayangan di Priangan datangnya dari Jawa Tengah, yang melewati Tegal dan Cirebon. Akan tetapi, walaupun seni padalangan dan pewayangan berasal dari Jawa Tengah tidak semua pola pagelaran dalam pertunjukan wayang meniru wayang kulit purwa karena para seniman Sunda beranggapan bahwa pola pagelaran wayang tersebut diolah dan diserasikan dengan selera masyarakat Sunda, sehingga terjadi perbedaan antara wayang golek purwa di Jawa Barat dengan wayang kulit di Jawa Tengah. Dengan kata lain, dalam pagelaran wayang golek purwa, kita memiliki ciri khas sendiri (Soepandi, 1988: 23). Mengenai sejarah masuknya wayang ke wilayah Priangan dijelaskan bahwa sekitar tahun 1244 M wayang telah masuk ke Jawa Barat dibawa oleh Prabu Surya Amiluhur. Bahkan, Brandes berpendapat sebelum datangnya pengaruh Hindu para karuhun kita telah mengenal wayang. Namun, dari pendapat-pendapat di atas kurang di sertai oleh bukti-bukti yang menguatkan kebenarannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiryanapura mengenai asalusul Dalang, kita mendapatkan informasi mengenai sejarah masuknya wayang ke Jawa Barat. Dijelaskan bahwa pada masa jabatan Bupati Bandung dipegang oleh Indradireja atau Adipati Wiranatakusuma II yang menjabat tahun 1794-1829 berhasil mendatangkan dalang asal Tegal bernama Ki Dipa Guna Permana yang bertugas menjadi dalang lebet atau dalang tetap di Kraton. Selain mementaskan wayang Ki Dipa Guna Permana juga menurunkan keahliannya pada Ki Gubyar yang menyebarkan wayang di Purwakarta dan Ki Klungsung yang menjadi guru
90
Dalang-dalang di Garut. Jadi, dapat dikatakan bahwa Ki Dipa Permana merupakan leluhur para Dalang di Pasundan atau Jawa Barat dan Ki Gubyar sebagai dalang yang berhasil menyebarkan kesenian wayang golek di wilayah Purwakarta. Setelah Adipati Wiranatakusuma II lengser dan digantikan oleh Dalem Karang Anyar atau Adipati Wiranatakusuma III tahun 1829-1846 menjabat sebagai bupati Bandung, beliau memanggil dua dalang asal tegal, yaitu Ki Darman dan Ki Surangsing. Kedua dalang tersebut mendapatkan tugas yang berbeda, dimana Ki Darman ditugaskan untuk mencoba membuat wayang dari bahan kayu atau wayang golek purwa dan kemudian menetap di Cibiru, sedangkan Ki Surasungsing membuat gambelan sebagai pengiring jalannya pertunjukan wayang dan kemudian beliau menetap di Cimahi. Cerita-cerita Purwa merupakan sastra agama Hindu yang mengkisahkan kepahlawanan misalnya Ramayana dan Mahabarata. Kedua sastra tersebut dengan cepat menyerap dan menyebar di Indonesia, karena adanya keselarasan antara kegemaran masyarakat pada waktu itu dengan isi cerita kedua epos tersebut. Dengan diterimanya kebudayaan Hindu oleh masyarakat kita, maka timbul akulturasi antara kebudayaan lokal, dalam hal ini kepercayaan animimedinamisme dengan kebudayaan Hindu. Berangkat dari sinilah banyak para pujangga mulai menyalin kakawen-kakawen yang berasal dari bahasa sangsakerta kedalam bahasa Jawa Kuno atau bahasa kawi dimana kedua bahasa tersebut lebih dimengerti oleh masyarakat pada waktu itu.
91
Sebelum membahas mengenai sejarah masuknya wayang khususnya wayang golek ke Priangan, penulis sedikit menjelaskan mengenai sejarah masuknya dan berkembangnya wayang secara umum. Secara umum wayang merupakan seni kalangenan (jenis kesenian yang tidak dipertontonkan bagi masyarakat umum dan hanya dipertunjukan untuk hiburan kalangan tertentu) yang sangat akrab bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pulau Jawa. keberadaanya terus berkembang dalam budaya bangsa
Indonesia. Wayang dengan
bentuk
pagelarannya merupakan karya cipta asli bangsa Indonesia yang diakui oleh UNESCO sebagai karya adhi luhung dunia. Tahun 1988 di pulau Jawa terdapat kurang lebih 40 jenis wayang yang digolongkan menurut ceritanya, cara pentas dan cara pembuatannya. Kini hampir sepertiganya telah punah. Menyusuri
keberadaan
wayang
harus
seiring
dengan
sejarah
perkembangan agama Hindu di Indonesia. Bukti awal tentang keberadaan wayang terdapat diantaranya dalam prasasti Tembaga yang bertahun 840 M (762 Saka), isinya menyebutkan salah satu jenis pekerjaan yang bernama “Aringgit” yang mengandung arti tukang wayang atau Dalang. Tukang Wayang atau Aringgit ini juga dikenal dengan nama “Juru bharata” yaitu orang yang mampu medar lalakon turunan Bharata, sama halnya dengan sebutan juru pantun yaitu orang yang mampu medar (menceritakan) cerita pantun (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009). Kemudian dalam prasasti Ugrasena
(896 M) disebutkan beberapa
kelompok kesenian, diantaranya yang disebut “Parbawayang”, atau pertunjukan
92
wayang. Prasasti Balitung (907 M/829 saka) juga menyiratkan keberadaan wayang yang tertera dalam kalimat “Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita Bhima Kumara”. Menurut sumber lain (Jajang Suryana, 2001) bukti lebih tua dari yang tercatat dalam Prasasti Tembaga, bahwa sekitar 778 M masa Wangsa Syailendra hingga 907 M masa Wangsa Sanjaya keberadaan wayang, terutama wayang kulit telah ada dan sering menampilkan cerita tentang roh nenek moyang, selanjutnya setelah adanya akulturasi dari agama Hindu cerita Ramayana dan Mahabharata mulai populer. Wangsa Sanjaya memliki kepekaan yang lebih kental dalam menafsirkan ajaran Hindu Siwa yang menjadi agama resmi Mataram Kuno saat itu. Hal tersebut diwujudkan dengan mendirikan komplek Candi di Dieng yang semua unsurnya baik nama, arsitektur, maupun lokasinya diambil dari kitab Mahabarata. Sehingga seluruh tempat di Dieng sarat nuansa pewayangan dari nama Kawah, telaga, sampai nama candi yang terbagi dalam empat komplek, yakni kelompok Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi. Umumnya setiap Candi Hindu dihiasi dengan relief dari kisah-kisah wayang. Fragmen-fragmen tersebut merupakan substansi ide yang akhirnya mendorong kalangan para seniman pada waktu itu untuk memvisualkannya dalam bentuk lainnya. Adanya indikasi demikian maka peranan Candi Hindu dimasa
93
Wangsa Sanjaya sebagai trah Galuh menjadi pemicu awal terciptanya seni wayang di Nusantara. Menurut perkiraan para Dalang berdasarkan cerita turun temurun. Wayang kulit awal terbuat dari kulit kayu dengan dengan cerita berdasarkan Mahabharata yaitu cerita Bhima Kumara. Selanjutnya muncul wayang yang dibuat dari daun lontar (disebut wayang purwa awal). Dalam cerita Jawa, yang memiliki wayang purwa adalah Sri Jayabaya, ketika bertahta di Mamongan, Kediri ( 939 M). terbuat dari daun tal dan menggambarkan wajah para dewa, manusia zaman purba atau purwa yang ditiru dari bentuk arca. Sedangkan wayang yang terbuat dari kulit binatang diciptakan oleh Raden Panji Inukertapati pada 1223 M (Raden Panji Ksatriaan) ketika menjadi Raja di Janggala. Tokoh yang berjuluk Prabu Surya Amisena ini sebelumnya juga mengembangkan wayang daun tal. Pada jaman itulah pertunjukan wayang kulit dengan semua kelengkapanya mulai terbentuk, termasuk tatabeuhan dengan laras salendro dan awal penggunaan kakawen yang begitu berpengaruh kepada perkembangannya. Kepopuleran pertunjukan wayang juga tercantum dalam Kakawih Arjunawiwaha yang digubah oleh Empu Kanwa sekitar abad ke 11. Hal itu menandakan bahwa seni wayang saat itu telah berkembang dan berpengaruh serta sangat digandrungi oleh masyarakat. Kemunculan wayang kulit yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan Wayang Lontar ( sekitar 934 M), dan wayang kertas atau wayang beber ( sekitar 1140 M ), menjadi awal morfologi dimensi bentuk selanjutnya. Pada tahun 1315 Raja Brawijaya V menciptakan wayang krucil atau wayang klitik. Jenis ini merupakan boneka dengan bahan dasar kayu namun bentuknya pipih,
94
mendekati bentuk wayang kulit, sedangkan raut tokoh-tokohnya merupakan tiruan dari raut wayang beber. barulah pada awal abad ke 16 muncul wayang tiga dimensi yang disebut golek. Perubahan ideologi agama dari masa Hindu dan Buddha ke masa Islam juga berpengaruh kuat terhadap tatacara pagelaran wayang. Tahun 1515 Raden Patah yang berkuasa di Demak merubah bentuk wayang agar tidak mirip manusia (karena diharamkan dalam ajaran Islam). Penokohan wayang satu persatu dipisahkan mandiri dan tidak di beberkan. Wayang tersebut terbuat dari kulit dan diberi sampurit (jepitan) untuk menancapkan wayang. Namun belum ditatah, hanya diberi warna saja untuk membedakan tokoh. Raden Patah dibantu oleh para wali diantaranya Sunan Giri menciptakan keragaman tokoh wanara pada lakon Ramayana. Sunan Bonang menciptakan bentuk-bentuk binatang seperti gajah, kuda, garuda dan sebagainya. Sunan Kalijaga mengatur kelir, gebog dan belincong. Sedangkan Raden Patah sendiri selain merubah gambar wayangnya juga menciptakan Gugunungan serta mengatur janturan wayang. Karena ide Sunan Kalijaga yang menciptakan kelir, gebog dan belincong yang menimbulkan efek bayangan sehingga kemudian timbul anggapan bahwa wayang dimaknai sebagai bayang-bayang manusia adalah berkat jasanya Sunan Kalijaga. Karena sebelumnya tidak ada pagelaran wayang yang menggunakan bayangan sebagai titik tampilan, sehingga pertunjukannyapun harus malam hari. Saat itu wayang kulit mencapai masa keemasannya. Bahkan oleh para wali sering pagelaran wayang pergunakan sebagai media ampuh penyebaran agama Islam. Menurut beberapa cerita, Sunan Kalijaga mempunyai cara yang jitu untuk
95
mengislamkan masyarakat yaitu dengan menggratiskan setiap pagelaran wayang. Dan penonton hanya diwajibkan mengucapkan kalimah syahadat sebagai syarat menonton pagelaran. Kehadiran wayang trimatra baru muncul setelah perkembangan wayang dwimatra semakin popular, Catatan khusus tentang wayang golek ditulis diantaranya oleh M.A Salmun dan R.M Ismunandar, dengan kalimat senada mereka menjelaskan bahwa pada abad ke 16 atau pada tahun 1583 M, Sunan Kudus membuat wayang yang dapat dimainkan dengan kayu
sehingga
pertunjukan wayang dapat dilaksanakan pada siang hari karena sebelumnya pertunjukan wayang kulit harus dimalam hari. Lebih rinci Ismunandar menjelaskan bahwa bentuk wayang seperti boneka tersebut, mengambil bentuk ”wayang purwo” dengan cerita-cerita menak (berjumlah tujuh puluh buah), diiringi gamelan salendro dan pertunjukanya tidak memakai kelir, hanya memakai plangkan ( tempat meletakan wayang golek yang terbuat dari kayu). Wayang ini disebut wayang golek. Wayang jenis ini merupakan wayang yang berdiri utuh, bukan lagi wayang sebagai penutup pada setiap pertunjukan wayang kulit, seperti yang disebutkan oleh sejumlah penulis bahwa setelah usai pertunjukan wayang kulit, biasanya menjelang akhir pagelaran selalu ditampilkan tarian dengan menggunakan wayang golek wanita dengan tokoh yang tidak terdapat dalam cerita wayang. Pada Wayang Golek Sunda saat ini, tarian tersebut dikenal dengan istilah tari maktal yang dipakai di awal cerita. Golek sendiri dalam bahasa Jawa mengandung arti mencari (nggoleki), dalam kaitannya sebagai penutup pagelaran
96
dimaksudkan agar penonton dapat mencari makna atau inti pelajaran dari cerita yang di gelar. Di Jawa Barat keberadaan wayang disinyalir sudah ada sebelum abad ke 16 M, hal itu tersurat dari sumber naskah sejarah yang bernama Sanghiang Siksa Kandang Karesian. Naskah ini dianggap sebagai sumber sejarah yang lengkap karena mempunyai isi semacam Ensiklopedia tentang pemerintahan, kepercayaan, kebudayaan, kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran dan lain-lain dari masyarakat sunda. Naskah dengan candrasangkala “nora catur sagara wulan” atau 1440 saka ( 1518 M) merupakan petuah Sang Sadu sebagai prinsif hidup masyarakat sunda. Pada poin ke empat tertulis Mikukuh Darma Pitutur yang salah satunya petuahnya adalah menyangkut aspek budaya. Khusus mengenai wayang, naskah ini menyebutkan : “ Hayang dek nyaho di sakweh ning carita ma, geus ma: Darmajati, Sanghyang Hayu, Jayasena, Sedanama, Pujayakarna, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama, Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kalapurbaka, Jarini, Tantri. Sing sawatek caritama, mamen Tanya ” , artinya : jika ingin tahu semua cerita seperti Darmajati …. Dst. Segala sifat cerita bertanyalah kepada memen (Dalang). Istilah memen atau dalang juga disebut dalam kata yang berbeda, yaitu pada poin ke 5 yang disebut Ngawakan Tapa Di Nagara, tertulis kalimat “sing sawatek guna, aya ma satya diguna di kahulunan, eta kehna turutaneun, kena eta ngawakan tapa di nagara”. Maksudnya, setiap orang yang memiliki keahlian, mulai dari anak gembala sampai kepada pembesar negara, membaktikan keahliannya ke pada negara
97
dengan penuh kesetiaan. Aneka keahlian yang tersebut salah satunya adalah medu wayang atau dalang wayang. Dari keterangan tersebut, keberadaan seni wayang di tatar sunda sudah berkembang pada masa itu. Melihat naskah tersebut yang memuat berbagai aspek budaya dengan lengkap, maka boleh jadi keberadaan wayang sendiri sudah ada pada masa-masa sebelumnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan keberadaaanya seiring dengan awal perkembangan wayang jaman Mataram Kuno (masa Wangsa Syailendra dan Sanjaya, 778 M). Namun perkembanganya untuk menjadi seni pertunjukan, tidak sepesat di wilayah Jawa. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama khususnya Hindu yang mengalami akulturasi dengan ajaran asli sunda yaitu agama Sanghyang. Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian tidak menyebutkan jenis wayang yang pernah ada pada masa itu, namun dapatlah ditarik kesimpulan sepertinya para dalang (memen/medu wayang) mementaskan pagelaran wayang dengan jenis wayang kulit atau wayang beber, seiring dengan populernya wayang tersebut di wilayah Jawa pada masa itu. Menurut M.A Salmun pada buku Padalangan 2 yang dicetak tahun 1954 masuknya wayang ke sunda berkat jasa putra Prabu Surya Amisena yang bernama Maha Prabu Mahesa Tandreman (Prabu Surya Amiluhur) yang menjadi raja di Pajajaran setelah kerajaan Janggala yang diperintah sebelumnya, hancur tersapu banjir besar. (Namun keterangan tentang tokoh ini tidak cocok dengan kajian sejarah Sunda). Raja inilah yang mengembangkan wayang di Pajajaran. Malah tahun 1224 M , bahan wayang dari daun lontar diganti dengan daluang, sejenis kertas yang tebal dan liat terbuat dari
98
papagan saeh (papagan: irisan kayu, saeh: sejenis pohon yang kulitnya bisa dipakai untuk membuat daluang/karton). Ukurannya ditambah, baik tinggi maupun besarnya agar dapat terlihat dari jarak jauh. Pada saat penyebaran agama Islam di Jawa Barat terutama di Cirebon, tahun 1479-1568 wayang kulit juga dimanfaatkan oleh Sunan Gunung Jati sebagai media pengislaman penduduk dengan menggunakan cara yang sama dengan metode Sunan Kalijaga di Jawa Tengah. Daerah Sunda yang pertama kali tersentuh oleh wayang golek yang diciptakan Sunan Kudus adalah daerah Cirebon dengan nama Wayang Cepak yang mulai dikenal pada abad ke 16 pada zaman Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati). Setelah itu kemudian tersebar ke berbagai daerah terutama setelah adanya jalan Pos yang dibuat antara tahun 1808 sampai 1811 maka perkembangannya lebih jauh masuk ke daerah Priangan. Sedangkan wayang golek purwa di Sunda mulai dikenal di abad ke 19 dengan dibukanya jalan raya Daendels yang menembus daerah pedalaman priangan. Selain Wayang Golek yang mulai digemari di wilayah pedalaman, tumbuh pula varian wayang lainnya. Seperti Wayang Wong Sunda dan Wayang Lilingong. Wayang Lilingong bisa disebut sebagai tiruan dari konsep Wayang Krucil. Wayang Suluh muncul di Jawa Tengah setelah usai Perang Dunia ke II yang diciptakan oleh Generasi Baru Angkatan Muda Republik Indonesia berdasarkan keputusan Kongres Pemuda RI ke 2 yang difungsikan untuk memberi penerangan tentang arti dan tujuan perjuangan revolusi kepada masyarakat yang buta huruf pada waktu itu. Ceritanya diangkat dari kisah- perjuangan seperti Perang Surabaya, Linggarjati, dan Perundiangan Renville. Maka tokoh-
99
tokoh seperti Bung Karno, Bung Tomo Bung Hatta sampai van Mook dan Jendral Spoor pun diukir dari bahan kulit. Sedangkan di Jawa Barat muncul Wayang Golek Modern yang diciptakan oleh R. Umar Partasuanda. Gagasan Wayang Modern tersebut timbul manakala Jepang melarang adanya pertunjukan kesenian melewati pukul 12 malam. Sedangkan pagelaran Wayang Golek biasanya sapeuting jeput. Akhirnya timbul inisiatif untuk meringkas lakon dari 10 jam menjadi 3 jam tanpa kehilangan essensi cerita. Kegiatan ngawayang ini ditampilkan di Jawatan Radio Jepang dengan istilah ditambul. Kemudian Partasuanda mengambil konsep atau unsur sandiwara untuk dimasukan dalam pagelaran wayang diantaranya, dalang harus bisa lebih dari 2 orang, kemudian adanya setting/background yang dapat diganti-ganti sesuai dengan suasana cerita. Dan ditunjang juga dengan adanya effek, baik lighting, sound, sampai ke teknik pertempuran yang menggunakan arus listrik. Wayang Modern tersebut bisa dikatakan sebagai hasil modifikasi dari teknik pembuatan sebuah film (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009). Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa masuknya seni wayang golek ke wilayah Purwakarta tidak terlepas dari sejarah masuknya wayang ke daerah Priangan, karena wilayah Purwakarta merupakan bagian dari wilayah Jawa Barat maka tidak berlebihan pula bahwa seni wayang golek yang ada di Purwakarta mendapat pengaruh langsung dari dalang yang menjadi pelopor berkembangnya seni pewayangan dan padalangan yang berasal dari Jawa Tengah. Terlepas dari hal tersebut Purwakarta juga memiliki kesenian daerah yang bersumber dari
100
kesenian Jawa Barat itu sendiri. Sesuai dengan trend atau perubahan zaman, seni yang ada di Kabupaten Purwakarta pun berkembang sampai akhirnya memiliki identitas tertentu, terutama dalam bentuk gerak, tari, gaya, peralatan dan busana. Masyarakat yang ada di Kabupaten Purwakarta masih berupaya mempertahankan kesenian tradisional dari generasi ke generasi. Keberhasilan masyarakat Purwakarta dalam mempertahankan kesenian-kesenian tradisional terlihat dari masih bertahannya kesenian-kesenian tradisional tersebut sampai saat ini, termasuk kesenian wayang golek purwa yang keberadaannya masih dilestarikan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.
2. Pertunjukan Kesenian Wayang Golek Purwa Sebelum melaksanakan pagelaran wayang golek, dalang biasanya melakukan ritual-ritual sebagai berikut : 1. Membakar kemenyan, dengan tujuan : -
Memanjatkan doa dan memohon perlindungan kepada Tuhan YME
-
Menerapkan mantra atau jampi dengan tujuan memberikan sugesti kepada penonton agar tidak meninggalkan pagelaran sebelum selesai.
2. Penyajian lagu yang dianggap sakral dan judulnya sesuai dengan adat atau kebiasaan di daerah dimana pagelaran diselenggarakan. Misalnya di Kabupaten Purwakarta dan Subang serta di beberapa daerah lainnya lagu Kembang Gadung (wawancara Ki Dalang Suherman, 2009). Berikut adalah syair lagu Kembang Gadung yang sering dinyanyikan dalam pagelaran kesenian wayang golek Purwa khususnya di daerah Purwakarta.
101
Kembang Gadung Muji Syukur Ka Hyang Agung Ka Gusti Nu Maha Suci Kembang Gadung nu kahatur Ka sadaya kaom dangu Neda jembar hampurana Ka Gusti Nu Maha Suci Neda diaping dijaring Neda sapa’at pangriksa Sareng ka para karuhun Nyanggakeun ieu pangbakti Ulah bade hiri dengki Kembang gadung nu kahatur Nyanggakeun ieu pangbakti Pangbakti ti seuweu siwi.
Setelah melakukan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh Ki dalang, selanjutnya pertunjukan wayang digelar, dan waktu penyelenggaraan biasanya dilakukan semalam suntuk. Dalam penyelenggaraan pertunjukan wayang terdapat struktur pertunjukan yang diawali dengan : 1. Tatalu Tatalu merupakan suatu tanda pertunjukan wayang akan dimulai, selain itu tatalu mempunyai fungsi untuk menarik masa atau penonton. Tatalu dimainkan sebelum dalang naik ke atas panggung dan tatalu merupakan bentuk pagelaran yang dimainkan di luar garapan dalang. 2.
Tari Maktal atau Ngembankeun Tari maktal atau ngembankeun merupakan pertunjukan awal dalang yang
bertujuan memperlihatkan keahlian dalang dalam menarikan wayang.
102
3.
Jejer Yang dimaksud dengan jejer merupakan babak pertama dalam pagelaran
wayang golek dan Jejer merupakan awal permasalahan dari seluruh rangkaian cerita yang akan digarap oleh dalang selama pagelaran. Jejer bila dilihat dari segi filosofisnya merupakan simbol lahirnya manusia ke alam dunia. 4. Bebegalan Bebegalan merupakan suatu adegan yang secara filosofis menggambarkan bahwa manusia dimana sudah dewasa akan bertemu dengan masalah-masalah hidup, oleh karena itu didalam babak bebegalan selalu diceritakan adanya gangguan dari sekelompok perusuh yang akan menghalangi perjalanan tokoh yang diceritakan dalam babak jejer. Secara otomatis dalam bebegalan kelompok penghambat harus terkalahkan oleh tokoh utama dalam jejer. Selain itu, babak bebegalan merupakan babak demonstrasi dalang dalam mempertontonkan teknik olah wayang dalam adegan perang, sekaligus untuk merubah suasana penonton dari situasi serius memperhatikan cerita jejer kepada situasi yang lebih menarik yaitu dengan menyaksikan adegan peperangan dalam cerita wayang. 5. Nagara Sejen Negara sejen merupakan adegan lanjutan dari babak jejer dengan tokoh yang berbeda. Bila dilihat unsur filosofisnya Negara sejen menggambarkan bahwa hidup di dunia ini ternyata makin lama manusia akan terus diuji dalam rangka menguatkan jati dirinya serta mengasah kebijaksanaannya dalam menghadapi segala masalah yang datang terus menerus dalam kehidupannya.
103
6. Perang Kembang Perang kembang merupakan adegan peperangan antara tokoh yang diceritakan pada jejer dengan tokoh lain yang ada pada jejer Nagara sejen atau yang lainnya sesuai alur cerita. Secara filosofis hal itu menggambarkan bahwa tantangan hidup yang dihadapi manusia akan semakin banyak dan akan semakin tinggi pula resiko yang akan dihadapi olehnya. 7. Patapan Patapan adalah adegan selanjutnya yang biasanya menampilkan tokoh agamis. Dalam tokoh adegan pada umumnya, tokoh utama dalam adegan yang diceritakan jejer memohon pertolongan kepada tokoh didalam adegan patapan untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Secara filosofi hal itu menggambarkan bahwa manusia semakin tua harus banyak mendekatkan diri kepada hal-hal yang baik. 8.
Perang Ruket atau Perang Akhir Perang ruket merupakan adegan terakhir dari suatu jalan cerita yang
digarap oleh dalang dan merupakan klimaks cerita. Dalam adegan ini tokoh yang dijadikan peran utama dalam cerita berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Hal itu biasanya bisa berbentuk membuka tabir rahasia atau bentukbentuk lain sesuai jalan cerita. 9. Tutug Dalam adegan ini diceritakan berkumpulnya kembali tokoh yang dijadikan peran utama dengan keluarga setelah dapat menyelesaikan segala permasalahan
104
yang dihadapi, dan merupakan kesimpulan akhir dari cerita atau lakon yang dipagelarkan (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 4 Agustus 2009).
1). Alat Musik dan Lagu yang digunakan dalam Pertunjukan Wayang Golek Purwa Karawitan dalam pertunjukan wayang merupakan salah satu seni yang harus ada dan dipertontonkan. Adanya karawitan tidak bisa dipisahkan dari cerita serta suasana lakon yang dipertunjukan. Oleh sebab itu dalan, juru kawih serta juru gending harus seirama, satu jiwa dan satu rasa dalam pertunjukan kesenian wayang golek. Misalnya dalang harus mempunyai suara yang bisa diubah-ubah supaya bisa menimbulkan rasa sedih, bahagia, prihatin dan lain-lain. Sedangkan juru kawih harus mengetahui bagaimana menyajikan rumpaka, bukan hanya menuruti keinginannya sendiri, melainkan harus sesuai dengan adegan wayang yang diperankan oleh dalang serta juru gending seharusnya mempunyai kepekaan untuk membaca keadaan dalam cerita yang diperankan oleh dalang, misalnya bila keadaan adegan wayang dalam cerita itu sedang sedih sudah seharusnya pula juru gending menyajikan irama yang menggugah rasa sedih. Dalam pertunjukan wayang golek keharmonisan yang dipertontonkan bukan hanya dari segi penyajian dalang saja, tetapi harus ditunjukan pula dalam segi posisi waditra-waditra gamelan yang dipakai. Keteraturan posisi waditra sangat berpengaruh pada kualitas suara yang di hasilkan, serta hubungan fungsi tabeuh setiap waditra. Seperti gambar di bawah ini adalah susunan posisi waditra gamelan wayang golek gaya Priangan.
105
Posisi Waditra-waditra Gamelan Wayang Golek Gaya Priangan JAGAT PANGGUNGAN/RAJA JAGAT PASEBAN/PATIH JANTURAN KENCA
JURU LADEN II B O N A N G
JANTURAN KATUHU K O T A K
DALANG JURU LADEN I REBAB
PASINDEN GENDER
SARON I
JURU ALOK SARON II
PEKING
G A M B A N G
KENDANG KEMPUL GOONG
KENONG
(Soepandi, 1988: 183). Instrumen atau waditra yang tergabung didalam unit gamelan wayang golek purwa secara lengkap dan mempunyai fungsi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, waditra tersebut adalah: •
Rebab
•
Kendang
•
Gambang:
•
Bonang
•
Rincik (Bonang panerus)
•
Saron pangbarep (Saron I)
•
Saron II/Saron anak
106
•
Peking
•
Demung
•
Jengglong
•
Kempul dan Gong Selain yang disebutkan di atas, kadang-kadang ada beberapa waditra atau
instrumen yang sengaja dihilangkan mengingat kondisi keuangan yang tidak memadai,
diantaranya
yaitu
waditra
rincik
atau
peking.
Didalam
perkembangannya, gamelan wayang yang lengkap adalah gamelan yang terdiri atas gamelan pelog-salendro bahkan ada yang mempergunakan gamelan surupan/laras/angga nada madenda atau minor di samping gamelan pelog dan salendro. Disamping kelengkapan waditra atau instrumen yang digunakan dalam pertunjukan wayang golek, hal lain yang harus diperhatikan adalah lagu yang dinyanyikan pada saat pertunjukan wayang golek berlangsung. Lagu atau kakawen berasal dari kata Ka-kawi-an, kawi berarti bahasa kawi atau Jawa kuno. Selain itu, ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa kakawen berasal dari kata Ka-kawih-an, Kawih adalah lagu-lagu sekaran di daerah Pasundan. Dengan kata lain kakawen adalah lagu-lagu Sunda yang terdapat dalam salah satu sekaran (Soepandi, 1988: 137-138). Dalam seni padalangan Jawa atau di beberapa tempat di Jawa Barat kakawen sama artinya dengan suluk. Oleh karena itu banyak dalang yang mengatakan bahwa lagu yang termasuk kakawen disebut suluk. Suluk berasal dari kata seloka yang artinya adalah simbol-simbol, pepatah, dan penerangan-
107
penerangan yang di rangkai kedalam syair atau puisi. Sedangkan menurut Prabu Harjono, suluk adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh dalang memakai syair yang memberi penerangan atau petuah-petuah kepada masyarakat (Salmun, 1981: 22). Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kakawen ialah lagu-lagu sekaran yang di nyanyikan oleh dalang yang menggunakan bahasa Kawi/Jawa Kuno yang dirangkai menjadi puisi dalam rangka memberikan penerangan atau petuah kepada masyarakat. Adapun kakawen yang sering digunakan dalam pagelaran wayang golek adalah sebagai berikut: Saur Nira Saur nira tan ana panjang Sininggih sabda uninga Saur nira tan ana panjang Sininggih sabda uninga Wala bakti dening asih Ya dening asih Wong asih ora ketara Betet Ijo Betet ijo kepodang ulese kuning Abang matuke ulese keduwung Sandang rawit puter gemeke ya lurik lurik Kadya bocah nganggo kakalung Sendon/Telutur Sri tinon pasewakan Busana maneka warna Kebakpuspiteng udiana Miang hajrah sarwarukma Renggengmanik nawata narawata Narawungkang majuwala najuwala
108
Saur nira adalah kakawen yang dilantunkan oleh dalang pada awal babak setelah murwa (kakawen awal) yang kemudian dilanjutkan oleh syair Betet Ijo dan diakhiri oleh Sendon/Talutur. Selanjutnya bila cerita berganti babak, maka diawali dengan kakawen lainnya yang disesuaikan dengan adegan, contohnya : •
Adegan di dalam kraton mempergunakan kakawen syair Gedong Duwur.
Gedong Duwur Gedong duwur kari samun Pagulingan sepi tingtrim Petetan samya murag Balingbing lan jeruk manis Artinya: Gedung tinggi sunyi senyap Peristirahatan dingin sejuk Tunas berjatuhan Belimbing dan jeruk manis •
Sedangkan bila adegan tersebut menceritakan lakon berada didalam hutan maka kakawen yang dipakai adalah Kayu Agung.
Kayu agung Kayu agung babar wite Samya rembel godonge Samya rogol ya pangpange Sekar mekar ing galihe Pandele si pandan arum Selain itu, dalam pertunjukan seni wayang terdapat nilai-nilai kebudayaan tradisional yang dapat diwariskan pada generasi muda sekarang, nilai-nilai tradisional tersebut antara lain adalah :
109
a. Seni Ukir Seni ukir yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada bentuk ukiran muka wayang. Bentuk tersebut menjadi ciri khas atau karakteristik dari wayang, yang antara lain ialah Ladak yaitu karakteristik wayang yang bersifat sombong, angkuh dan selalu berperan antagonis sedangkan Lungguh adalah karakteristik wayang yang menggambarkan karakter pendiam dan berbudi luhur. b. Seni Rupa Seni rupa yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat dari warnawarna polesan cat pada setiap wayang. Polesan cat dan warna yang digunakan menggambarkan karakter dan mengandung arti misalnya, -
Skema warna merah menggambarkan kebringasan, sifat toma (angkara murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah).
-
Hitam dan biru menggambarkan ketentraman, kebangkitan rohani, dan kedewasaan.
-
Warna putih menggambarkan kemurnian, budi luhur dan tata krama.
-
Warna mas dan kuning merupakan ciri khas para narapati dan kaum ningrat.
c. Seni Suara Seni suara yang terdapat dalam wayang golek dapat didengarkan dalam bentuk tembang-tembang Sunda yang dibawakan oleh Juru kawih, yang
110
mengiringi atau mengisi acara pada saat pertunkukan wayang sedang berlangsung. d. Seni Tari Seni tari yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada saat dalang mempertunjukan tarian yang dibawakan oleh wayang. e. Seni Sastra Seni sastra yang terdapat dalam wayang golek dapat didengarkan dalam bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang golek. Bahasa yang digunakan bukan bahasa sehari-hari tapi menggunakan bahasa kraton. Selain dari tata bahasa yang digunakan seni sastra dapat dilihat dari penulisan cerita wayang seperti cerita Ramayana dan Mahabarata. f. Tata Krama Nilai tata krama yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada ketaatan para dalang memeang teguh aturan atau pakem padalangan. Selain itu nilai tata krama tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara meletakan wayang dalam sikap berdiri ataupun duduk pada orang yang dianggap lebih tua (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
2). Anggota dalam Pertunjukan Wayang Golek Purwa Garapan pagelaran wayang baik wayang kulit maupun wayang golek tidak terlepas dari unsur-unsur pendukung. Unsur pendukung yang dimaksud meliputi Dalang, nayaga, dan juru kawih. Ketiga pendukung yang secara khusus ini terkait erat untuk mengadakan pertunjukan atau pagelaran wayang. Baik atau tidaknya
111
pertunjukan wayang yang mereka sajikan kepada para penonton, tentunya sangat dibutuhkan kekompakan atau harmonisasi garapan. Ketiga unsur tersebut harus benar-benar profesional, dan didukung pula dengan peralatan yang memadai, seperti gamelan, wayang/golek, panggung dan pengeras suara. 1. Dalang Seseorang yang telah mendapat predikat dalang yang oleh sebagian masyarakat sangat dihormati, sehingga apabila mereka memanggil seseorang dengan sebutan dalang harus diawali dengan kata Ki (kiayi) yang artinya orang berilmu. Oleh karena ituki dalang sebagai peran utama dalam pagelaran wayang dituntut
untuk
menguasai
berbagai
ilmu
yang
ada kaitannya
dengan
pewayangan/padalangan, hal itu antara lain : -
Ilmu sejarah. Khusus sejarah pewayangan dari asal-usul wayang sampai kepada falsafahnya.
-
Ilmu sastra (Jawa, Sunda dan Sansekerta atau Kawi)
-
Ilmu karawitan minimal seorang dalang harus mengetahui nada dan suara gamelan
-
Ilmu tari
-
Ilmu teater
-
Ilmu kawih, dll Hal-hal yang disebutkan di atas harus sudah dipahami dengan benar oleh
seorang dalang karena ilmu tersebut merupakan pokok dalam suatu pagelaran wayang. Bila dalang tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka akan timbul
112
cemoohan dari masyarakat terutama penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang. Dalam suatu pertunjukan wayang fungsi atau peran seorang dalang sangat dominan sekali dan banyak yang harus mereka lakukan. Misalnya dalang sebagai penulis naskah atau skenario, dalang sebagai sutradara, dalang sebagai pemeran utama, dan dalang sebagai penata gending atau musik pengiring (pengatur lagu). Oleh karena itu, baik atau buruknya suatu pagelaran sangat ditentukan oleh seorang dalang. 2. Nayaga/Pangrawit Nayaga tidak kalah pentingnya dalam pertunjukan wayang. Mereka dapat menentukan warna pagelaran wayang, bahkan nayaga dapat menghancurkan pagelaran walaupun seberapa pentingnya seorang dalang, bila nayaganya kurang menguasai, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nayaga harus tahu makna cerita yang dibawakan oleh ki dalang, sehingga nayaga bisa memberikan isi lagu yang sesuai untuk mewarnai sebuah cerita wayang. Salah satu contoh, apabila adegan sedih tentunya gamelan yang dimainkan oleh seorang nayaga harus turut mewarnai kesedihan cerita wayang, sehingga akan menggugah hati penontonnya. Jangan sebaliknya adegan sedih diiringi oleh gamelan jaipongan. Nayaga harus memahami betul ilmu karawitan, mereka dituntut bisa bekerjasama dengan para pendukung lainya sebagai nayaga yang propesional.
113
3. Juru Kawih Juru kawih di Jawa biasa disebut Waranggana (Warangono), di daerah Jawa Barat atau Priangan biasa menyebutnya dengan sebutan “Sinden” atau “Juru kawih”. Juru kawih artinya orang yang melantunkan lagu sebagai pendukung dalam lakon yang dibawakan oleh ki Dalang. Juru
kawih
merupakan
pemacu
dalam
kelangsungan
kehidupan
rombongan atau grup kesenian wayang golek dimana ia bergabung. Juru kawih yang baik adalah Juru kawih yang menguasai ilmu kawih atau tarik suara serta didukung pula oleh pribadi dan figur juru kawih itu sendiri. Juru kawih bisa mewarnai cerita sesuai dengan kehendak cerita itu sendiri, seperti halnya seorang nayaga. Disaat adegan sedih lagu yang ia bawakan harus turut mewarnai cerita yang sedang di pentaskan sehingga penonton akan tertarik dan terbawa suasana (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
3). Fungsi Kesenian Wayang Golek Purwa Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis, khususnya kepada Dalang wayang golek purwa, bahwa fungsi pertunjukan wayang golek itu sangat beragam, akan tetapi fungsi ritual merupakan fungsi yang paling utama dalam pertunjukan wayang, termasuk di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Fungsi pertunjukan wayang tersebut antara lain : a) Upacara Ngaruat Walaupun masyarakat kita telah banyak dipengaruhi oleh industrialisasi, namun masih banyak desa-desa khususnya yang ada di Jawa Barat mempunyai
114
mata pencaharian sebagai petani tradisional yang tidak terlepas dari seni upacara adat setempat, antara lain adalah upacara Ngaruat. Upacara ini adalah upacara yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari bahaya pemangsaan Batara Kala, diantaranya dilakukan kepada anak tunggal, saramba (empat orang anak lakilaki), serambi (empat orang anak perempuan), pandawa (lima orang anak lakilaki), pandawai (lima orang anak perempuan), nanggung bugang (kakak dan adik atau semua anak yang ada di keluarga tersebut meninggal), pindah rumah, dan mendirikan banugunan baru. Selain itu masyarakat Sunda juga percaya bahwa yang akan menjadi mangsa Batara Kala itu adalah talaga tanggal kaosar (seorang anak perempuan yang diapit oleh dua orang anak laki-laki), pancuran emas (seorang anak laki-laki yang diapit oleh dua orang anak perempuan), ugang-aging (semua anak dalam keluarga tersebut meninggal). Untuk menyelamatkan diri dari bahaya Batara Kala, mereka harus diruat. Baik dengan menggunakan wayang golek (khususnya bagi orang-orang yang mampu), maupun diruat dengan menggunakan pantun (pada umumnya untuk mereka yang kurang mampu). Pada dasarnya ruatan harus menceritakan Batara Kala atau Sudamala. Anak yang diruat pada pagi harinya harus dimandikan dengan cai pangruatan (air bunga dalam bokor yang berisi uang receh yang disebut cangkrub cai). Setelah dimandikan, maka anak tersebut dianggap selamat dari ancaman sang Batara Kala. b) Sedekah Bumi Sedekah bumi adalah salah satu upacara penghormatan terhadap rohroh yang dipercaya sebagai menguasai tanah. Di Banten, penguasa tanah itu
115
dinamakan guriang tanah. Upacara ini adalah upaya para petani yang menghendaki agar produksi pertaniannya meningkat, dan dilaksanakan tatkala akan menebarkan benih padi, menuai padi, atau menyimpan padi ke dalam lumbung masing-masing. Didalam kegiatan ini bisanya dilaksanakan pertunjukan wayang golek purwa terutama di daerah Priangan, sedangkan di daerah Cirebon masyarakatnya melakukan pertunjukan wayang kulit. Mereka beranggapan bahwa jika tidak melaksanakan upacara tersebut akan merasa tidak puas dan berdosa jika tidak melaksanakan pertunjukan wayang. Lebih lanjut lagi mereka takut jika dikemudian hari terjadi malapetaka yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya Dalang wayang golek maupun wayang kulit sangat berperan dalam masyarakat agraris. Di daerah Sumedang terdapat istilah ngidepkeun, yaitu upacara menerima dan menyimpan padi di lumbung. Pada kegiatan tersebut diadakan upacara penghormatan terhadap Dewi Padi yang disertai dengan saajian Jentreng atau ngekngek, yaitu sebuah alat petik dan sebuah alat gesek yang disebut tarawangsa. Ada pula yang mementaskan wayang golek purwa dalam upacara tersebut terutama bagi mereka yang mampu serta menggemari seni wayang golek. Selain yang disebutkan di atas, wayang golek purwa juga biasa dipertunjukan oleh orang-orang yang akan melaksanakan upacara kenduri, khitanan puteranya, menikahkan anak gadisnya, serta pada hari-hari nasional, terutaa HUT RI pada bulan Agustus. Pementasan wayang golek purwa dengan Dalang dan Juru kawih merupakan kebanggaan dan pameran kekayaan budaya bangsa. Fungsi lain yang terdapat dalam kesenian wayang golek purwa adalah
116
wayang golek purwa sebagai sarana pengembangan alam pikiran orang Jawa Barat. Wayang golek merupakan mitologi yang mempertentangkan sebuah dualitas kosmologi antara langit dan bumi, bulan dan matahari, makhluk-nakhluk khayangan(dewa-dewa) dan makhluk-makhluk bumi (manusia). Hal ini, melambangkan alam pikiran orang Jawa yang bertolak dari suatu distingsi antara dua segi dua fundamental realitas, yaitu segi lahir dan batin. Kedua segi ini bersatu dalam diri manusia. Pandangan dualistik ini tercermin dalam struktur cerita wayang, baik dalam Mahabarata maupun Ramayana. Dalam cerita Mahabarata terdapat dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kelompok Pandawa yang memerankan satria-satria yang berwatak baik dan kelompok Kurawa yang memerankan satriasatria yang berwatak tidak baik, sombong, angkuh, licik dan sebagainya. Dalam penempatannyapun disetiap pagelaran kelompok Pandawa berada di sebelah kanan dalang dan Kurawa disebelah kiri dalang. Selain itu terdapat tokoh-tokoh seperti Abiyasa, Dorna dan Kresna yang semuanya merupakan praga-praga untuk menjabarkan konsep ekuilibrium dalam menjaga keseimbangan alam. Demikian dalam cerita Ramayana
dimana ada dua kelompok yang
bertentangan, yaitu kelompok Rama dengan satria-satria baik dan kelompok Rahwana dengan satria-satria yang buruk. Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat. Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi
117
bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya. Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, disana dikemukakan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi
118
dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea
4
tercanang
rumusan
Pancasila
yang
berbunyi:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang
Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta
119
tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam cerita-cerita mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawih Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Asas Kemanusiaan. Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu
ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar. Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran
120
kemanusiaan. Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.
Asas Persatuan Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi
terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama. Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang
wajib
dibela
walaupun
harus
mengorbankan
jiwa
raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
121
Asas Kerakyatan/Kedaulatan rakyat. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar.
Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati. Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula
bernama
Batara
Ismaya
saudara
tua
dari
Batara
Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
Asas Keadilan Sosial Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh
Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan
122
Sadewa
secara
bersama-sama
memerintah
Negara
Amarta.
Kelimanya
digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar (Sutini: Sejarah perkembangan wayang).
4.
Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa di Kabupaten Purwakarta Tahun 1968-1990 Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang tergolong kaya akan
keanekaragaman budayanya. Kekayaan tersebut dapat tercermin dengan banyaknya jenis-jenis kesenian yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok wilayah budayanya. Kesenian yang merupakan salah satu aspek kebudayaan sangatlah menonjol diantara aspek-aspek budaya lainnya. Kesenian dapat pula mencirikan potensi budaya daerah setempat. Seni padalangan dalam hal ini pertunjukan wayang golek adalah salah satu produk kebudayaan rakyat (Folk culture), yang berkembang secara turuntemurun melalui paguron dalang dengan bentuk ragam gaya dan alirannya. Masing-masing kesenian wayang golek kini tengah memasuki era perkembangan yang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga keberadaannya sangat akrab dengan selera tatanan masyarakat industri yang memandang wayang golek
123
sebagai sarana hiburan segar, merakyat dan dapat memberikan makna spritual melalui kandungan nilai-nilai filosofisnya. Iklim kondusif yang menjadikan seni wayang golek dapat masuk pada semua lapisan masyarakat adalah adanya kepuasan penonton yang terpenuhi seleranya, dan hal itu merupakan hasil keterampilan dengan berbagai bentuk kreativitas dalang sebagai seniman pelaku. Dengan demikian tidak mengherankan apabila di Jawa Barat banyak muncul dalang kondang dengan gaya dan ciri khasnya masing-masing. Menurut pembagian wilayahnya, padalangan Jawa Barat terbagi menjadi dua gaya atau aliran, yaitu padalangan gaya Cirebon (wilayah pantai utara) yang terkenal dengan jenis pertunjukan wayang kulit purwa. Daerah persebarannya meliputi Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Selain wayang kulit purwa di Cirebon banyak muncul pertunjukan wayang topeng disamping wayang golek itu sendiri, dan kini keberadaannya masih bertahan. Gaya padalangan lainnya adalah wayang golek Priangan, yang daerah sebarannya meliputi Bandung, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Purwakarta, dan Subang. Sedangkan untuk daerah seperti Sukabumi, Bogor, Karawang dan Bekasi memiliki gaya tersendiri sebagai sub gaya Priangan (Cahyahedi, 2000: 1-2). Berbicara mengenai bagimana kesenian wayang golek muncul dan berkembang di wilayah Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari peranan masyarakat dan warga Jawa Barat sendiri sebagai pendukung dan peminat kesenian wayang golek. Berdasarkan sumber yang ditemukan oleh peneliti dan
124
dari hasil wawancara dengan narasumber terutama Ki Dalang Suherman, maka diperoleh keterangan bahwa masuknya seni wayang golek ke wilayah Priangan termasuk ke wilayah Purwakarta tidak terlepas dari sejarah munculnya wayang di daerah Jawa, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan Memenang/Kediri. Tercatat dalam sejarah, pada tahun 861 M, Raja Hindu Jayabaya dari Memenang Jawa, memerintahkan seniman-senimannya untuk membuat gambar dari patung-patung leluhurnya di atas daun palem. Dia kemudian menyebutnya wayang Purwa. Selanjutnya wayang Purwa pun mengalami pergeseran makna, hingga saat ini wayang Purwa lebih dikenal sebagai wayang kulit. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Bhatara Wisnu. Pigur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Bhatara Guru atau Sanghyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu. Kemudian wayang ini berkembang sebagai salah satu sarana pemujaan yaitu untuk menopang kehidupan religius pada masa berkembangnya kerajaan Hindu-Buddha, yaitu sebagai sarana pemujaaan terhadap Sanghyang Widhi, dalam cerita wayang mengandung unsur penghormatan terhadap arwah nenek moyang, terbukti dengan berlangsungnya kegiatan ngeruat, ngaruat, yang melengkapi sebuah pertunjukan wayang. Hal ini juga
sangat erat kaitannya
dengan sumber cerita wayang itu sendiri yaitu kisah (lakon) didalamnya yang diambil dari dua buah epic terkenal dari cerita kehidupan masyarakat Hindu yang
125
berasal dari India. Yang pertama lakon wayang ini diambil dari epic Ramayana yang didalamnya mengisahkan mengenai perjuangan tokoh Sri Rama yang ingin merebut kembali sang istri yaitu Dewi Sinta dari dekapan seorang denawa atau raksesa yang bernama Rahwana. Selain kisah Ramayana biasanya lakon pewayangan ini juga diambil dari epic Mahabarata yang didalamnya mengisahkan tentang pertentangan yang terjadi antara Pandawa (anak-anak dari Pandu Dewanata yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dengan Kurawa (anak-anak dari Destarata adik dari Pandu Dewanata yaitu Suyodana atau Duryodana, Dursasana, dan saudara-saudaranya yang semuanya berjumlah seratus orang bersaudara), selain itu dipihak Kurawa ini juga ada seorang saudara kandung dari Pandawa yaitu Karna yang memiliki karakter setia dan lebih memilih untuk membantu Kurawa, karena dia merasa berhutang budi dan akhirnya pertentangan ini berakhir melalui pertumpahan darah yang memuncak di padang Kurusetra. Menurut dugaan, sebagaimana wayang kulit didaerah Jawa, wayang golek digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam ditanah Pasundan. Karena ajaran Hindu sudah cukup akrab di masyarakat Sunda kala itu, sehingga cerita Mahabarata dari tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan ketauhidan. Misalnya, dalam cerita Mahabarata para Dewa punya wewenang yang sangat absolut sebagai penentu nasib dan takdir yang tidak bisa disanggah, maka wali membuat objek baru yang posisinya lebih kuat yaitu lewat tokoh Semar yang pada akhirnya Semar tersebut turun ke bumi karena kesalahannya untuk mendampingi setiap kejadian dalam babak Bharata Yudha, baik sebagai penengah
126
atau sebagai eksekutor. Selain itu pada tahun 1564 Sunan Bonang memanbah semarak pagelaran wayang golek ini dengan menyertakan iringan gamelan, dan juga salah satu trik yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk mengislamkan masyarakat pada waktu itu dengan jalan menggunakan dua kalimah syahadat sebagai tiket masuk sehingga secara langsung orang yang menonton pertunjukan wayang golek ini memeluk agama Islam. Berbicara mengenai bagaimana kesenian wayang golek muncul dan berkembang di wilayah Jawa Barat (Priangan) tidak dapat dilepaskan dari peranan masyarakat dan warga Jawa Barat sendiri sebagai pendukung dan peminat kesenian wayang golek. Oleh karena itu, sejarah kemunculan wayang golek ini akan coba saya ungkapkan berdasarkan keterangan dari tokoh yang saya wawancarai dan dari beberapa sumber literatur yang penulis temukan. Menurut sumber yang penulis temukan ada dua kelompok ahli yang memperkirakan secara berbeda tentang asal mula wayang: yang pertama adalah kelompok Jawa yang mengangap bahwa wayang adalah hasil olah gagasan asli masyarakat Jawa tanpa bantuan bangsa Hindu (India), dan pendapat yang kedua adalah dari kelompok India yang beranggapan adanya pengaruh langsung kebudayaan India terhadap lahirnya kesenian wayang. Menurut kitab Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada tahun 1518 M, disebutkan bahwa leluhur kita sudah mengenal wayang. Didalam sumber tersebut disebutkan bahwa mereka sudah mulai mencatat nama tokoh-tokoh wayang, diantaranya adalah Darmayanti, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Mpu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe,
127
Boma, Sumana, Kala Purba, Jarini, Tantri dan disebutkan pula nama dalang dalam kita tersebut. Nama tokoh-tokoh wayang yang telah disebutkan diatas adalah nama-nama tokoh yang ada dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Ada juga yang mengatakan bahwa wayang golek yang ada di Jawa Barat berasal dari Jawa Timur, yang dibawa oleh Prabu Surya Amiluhur kira-kira pada tahun 1244 M. Tetapi masih sedikit sumber yang mendukung pendapat tersebut. Bahkan menurut Brandes sebelum datangnya orang Hindu bangsa kita sudah mengenal wayang. (Soepandi, 1988 : 32). Perkembangan wayang golek di Jawa Barat diawali dengan kemunculan wayang golek Purwa yang mulai lahir di Priangan, yang secara pasti ada kaitan langsung dengan wayang golek menak Cirebon yang biasa disebut wayang golek papak atau golek cepak. Tetapi, kaitan tersebut hanya sebatas kesamaan raut golek yang trimatra (bentuk tiga dimensi), unsur cerita golek yang secara langsung akan menentukan raut tokoh golek, sama sekali berbeda. Golek menak bercerita tentang wong agung menak, raja menak atau Amir Ambyah, yang berunsur cerita Islam. Sedangkan golek Purwa ceritanya lebih bersumber dari agama Hindu, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiryanapura, masuknya wayang golek ke wilayah Jawa Barat diawali pada tanggal 2 Oktober 1799, bertepatan dengan menjabatnya Indradireja (Wiranatakusuma III) sebagai Patih Citeurep Dayeuh Kolot yang mendatangkan Dalang dari Tegal, yaitu dalang Ki Dipa Guna Permana yang sengaja diundang untuk melakukan pemenatasan wayang bersama murid-muridnya. Kemudian setelah salah satu dalang dari Tegal
128
itu melakukan pementasan, berlanjut pada tahun 1829-1846 murid dari Ki Dipa Guna Permana yang berasal dari Tegal itu diundang kembali oleh Adipati Wiranatakusuma III untuk datang ke Bandung dan menjadi dalang di kraton. Kemudian jenis wayang yang berkembang selanjutnya adalah
jenis wayang
Papak atau wayang menak dengan bentuk trimatra (tiga dimensi) yang merupakan hasil paduan antara gagasan Dalem Karang Anyar, pada masa akhir masa jabatanya sebagai Bupati Kabupaten Bandung tahun 1840-an, dengan Ki Darman sebagai seorang juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, Kabupaten Bandung. Pada awalnya, hasil ciptaan Ki Darman berupa golek gepeng yang meniru pola raut wayang kulit (Somantri, 1989). Dalem Karang Anyar yaitu Wiranatakusuma III berperan menyempurnakan raut golek awal itu hingga bulat torak seperti bentuk wayang sekarang ini. Keturunan Ki Darman sampai saat ini masih terus menghidupkan kegiatan pembuatan golek. Tersebarnya pusat pembuatan golek di kawasan Jawa Barat, seperti di Jelekong, Ciparay, Salacau, Cimareme, Sukabumi, Bogor, Karawang, Indramayu, Cirebon, Garut, Ciamis, dan ditempat lainnya ditunjang oleh keturunan dan murid-murid Ki Darman yang mengembangkan kegiatannya di luar Cibiru yang tetap dijadikan “kiblat” bagi pembuatan golek yang melahirkan gaya Cibiruan. Pada perkembangan berikutnya, Giriharja yaitu kelompok dalang yang tinggal di Jelekong dan Ciparay menjadi “kiblat” kedua, yang melahirkan gaya Giriharjaan, terutama setelah adanya gembrakan di tahun 1980-an. Gebrakan yang dimaksud oleh kelompok Giriharja yang di motori oleh Ade Kosasih
129
Sunarya adalah upaya para dalang Giriharja dalam menghadirkan pola dan isi pertunjukan golek yang berbeda dengan pola pertunjukan golek yang telah mapan tetapi mulai tidak disukai oleh masyarakat pada waktu itu. Giriraharja tetap menginduk pada gaya Cibiruan, tetapi dengan memperketat gaya meniru setepattepatnya ciri-ciri raut yang ada pada wayang kulit. Dalam gaya Cibiruan yang aslipun muncul usaha baru yang dimotori oleh M. Duyeh untuk mencoba menyempurnakan raut golek Cibiruan yang ramping menjadi raut yang lebih membulat, serta menambahkan pola hias bunga dengan warna merah. Gaya Cibiruan yang asli dan Giriharjaan dianggap oleh M. Duyeh kurang menampilkan ciri Jawa Barat, dan hanya sebagai pengekor wayang kulit. Sejak tahun 1920-an pertunjukan wayang golek mulai diiringi oleh sinden, dan sejak saat itulah popularitas sinden sangat menanjak bahkan mengalahkan popularitas wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah, yaitu sekitar tahun 1960-an. Dalam pertunjukan wayang golek lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon Carangan, hanya kadang-kadang saja dipertunjukan pula lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon Carangan yang bagus dan menarik. Hal tersebut secara langsung sangat berpengaruh pada perkembangan seni wayang golek purwa yang berkembang di wilayah Purwakarta (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009). Di dalam kehidupan masyarakat Sunda, pertunjukan wayang golek tidak hanya berperan sebagai sarana hiburan. Didalamnya juga terkandung nilai-nilai yang bisa dipetik bagi kehidupan manusia.
Nilai-nilai tersebut tidak hanya
130
bersangkutan dengan hal-hal spiritual dan religius. Tetapi juga bersangkutan dengan persoalan-persoalan etika kehidupan, bahkan berpolitik dan bernegara. Dengan bahasanya sendiri, wayang golek bahkan mampu menerjemahkan fenomena politik dan kenegaraan yang kaku, formal, dan penuh ketabuan ke dalam bahasa awam yang cair dan mudah di pahami. Melihat fenomena tersebut tidaklah mengherankan jika selama rentang waktu tertentu, wayang golek pernah dijadikan simbol gengsi dan memiliki tempat khusus di hati masyarakat Sunda. Setiap pertunjukan wayang golek, akan selalu dipenuhi penonton. Masalahnya sekarang adalah seberapa jauh kedudukan pertunjukan wayang golek mempunyai arti yang cukup penting bagi pengembangan rohani masyarakat Sunda dewasa ini, setelah berbagai bentuk hiburan lainnya yang datang dari Barat. Apabila memang laju budaya yang datang dari Barat tersebut adalah sebuah arus nilai yang harus ditaklukan oleh seni tradisional, termasuk oleh wayang golek. Sehingga seni tradisional bisa tetap ada dan berkembang di masyarakat. Salah satu faktor yang menghambat atau menurunnya minat masyarakat terhadap seni wayang golek adalah salah satunya mengenai kendala bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang, yaitu menggunakan bahasa Sunda kraton atau bahasa Sunda menak, padahal sekarang pengajaran bahasa Sunda di lembagalembaga pendidikan terutama di sekolah-sekolah sudah sangat terbatas, oleh karenya untuk mengatasi masalah ini maka perlu adanya kerjasama antara pemerintah, institusi, sekolah, dan pihak orang tua untuk mewariskan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian wayang golek kepada generasi muda
131
sedini mungkin. Salah satu wujud nyata dari hal ini mungkin dapat dicontohkan dari apa yang telag coba dirintis oleh Dewan Kuarator Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) yang merasa berkewajiban menangkal arus penurunan daya apresiasi tersebut. Hal itu diwujudkan dengan cara menghidupkan kembali pertunjukan wayang golek yang diselenggarakan setiap dua minggu sekali di gedung kesenian YPK yang berlokasi di jalan Naripan, Bandung. Terjadinya penurunan daya apresiasi masyarakat tersebut antara lain bisa dilihat dari adanya kenyataan jika pertunjukan tersebut sangat sedikit jumlahnya, hal itu terutama dapat dilihat di wilayah Purwakarta sendiri. Minat masyarakat Purwakarta dalam mendukung dan melestarikan kesenian wayang golek ini memang mengalami penurunan, hal itu dapat dibuktikan dengan menurunnya jumlah frekuansi pagelaran wayang golek yang diselenggarakan di daerah Purwakarta. Selain itu, menurunnya popularitas seni wayang golek di Purwakarta dapat dilihat dari banyaknya jumlah dalang yang masih aktif melakukan pementasan wayang di wilayah Purwakarta. Untuk memperjelas hal tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009). Tabel 2.4 Nama-nama dalang di Kabupaten Purwakarta Tahun 1969-2009 No
Nama Dalang
Alamat
1.
Gandasuhayat
Ciseureuh, Purwakarta
2.
Suhada
Ciseureuh, Purwakarta
3.
Ihing
Cikopak, Purwakarta
4.
Mi’at Gandamiharja
Campaka, Purwakarta
132
5.
Komin
Tegal munjul, Purwakarta
6.
Wirta
Maracang, Purwakarta
7.
Unus
Pondok salam, Purwakarta
8.
Uci Sanusi
Cihuni, Purwakarta
9.
Mamat Juharamuda
Plered, Purwakarta
10.
Juhara
Wanayasa, Purwakarta
11.
Oman
Taringgul, Purwakarta
12.
Jawani
Cilingga, Purwakarta
13.
Oji Sopandi
Purwakarta
14.
Wiraatmaja
Cianting, Purwakarta
15.
Aros Suryana
Campaka, Purwakarta
16.
Aan Sonjaya
Bunder, Purwakarta
17.
Enjang
Maracang, Purwakarta
18.
Rahmat
Maracang, Purwakarta
19.
Kosim
Maracang, Purwakarta
20.
Suherman Elan Surawisastra
Pasawahan, Purwakarta
21.
Juhamad
Darangdan, Purwakarta
22.
Bono
Darangdan, Purwakarta
23.
Dayat Gandaputra
Ciseureuh, Purwakarta
24.
Didi
Darangdan, Purwakarta
25.
Samin
Bungursari, Purwakarta
26.
Icut Saputra
Jatiluhur, Purwakarta
27.
Aseng Sonjaya
Campaka, Purwakarta
133
28.
Asep Toni
Campaka, Purwakarta
29.
Amin Wigana
Campaka, Purwakarta
30.
Mamad
Darangdan, Purwakarta
31.
Ajat Sudrajat
Campaka, Purwakarta
32.
Ujang Jaya Taryana
Cianting, Purwakarta
33.
Suwardi Taryana
Bungursari, Purwakarta
34.
Aska Wiganda
Purwakarta
35.
E. Kosasih
Purwakarta
Sumber : Data PEPADI Kabupaten Purwakarta Tahun 1990. Sedangkan dalang yang masih aktif melakukan pementasan wayang golek di Purwakarta pada perkembangan selanjutnya sudah sangat sedikit jumlahnya, hal itu bisa dilihat dari tabel berikut. Tabel 2.5 Nama-nama Dalang yang masih Aktif Melakukan Pementasan Wayang Golek di Kabupaten Purwakarta Tahun 2009 Nama Dalang
No. 1.
Suherman Elan Surawisastra
2.
Ujang Jaya Taryana
3.
E. Kosasih Barnas Somantri
4.
Amin Wiganda
5.
Dede Nurkolab
6.
Asep Toni
7.
Samin Sonjaya
8.
Enjang
134
9.
Rahmat
10.
Kosim
Sumber : Data PEPADI Kabupaten Purwakarta Tahun 1993. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada perkembangannya kesenian tradisional mulai mengalami kemunduran dan kurang diminati oleh masyarakat pada umumnya. Hal itu pada hakikatnya diakibatkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan mundurnya seni wayang golek yang tadinya merupakan kesenian primadona yang diagung-agungkan serta mempunyai nilai falsafah hidup yang sangat banyak, ternyata harus tergeser oleh banyaknya kesenian-kesenian luar yang datang ke negara kita sehingga masyarakat pun mulai tergusur arus globalisasi yang melanda bangsa kita. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Purwakarta tanggal 4 Agustus 2009, peneliti memperoleh informasi bahwa menurunnya minat masyarakat Purwakarta dalam mendukung dan melestarikan kesenian wayang golek memang mengalami penurunan, hal ini dapat dibuktikan dengan menurunnya jumlah frekuensi pagelaran wayang yang dipertunjukan di daerah Purwakarta. Selain itu berdasarkan penuturan dari narasumber yang telah peneliti wawancarai yaitu Ki Dalang Suherman bahwa kesenian wayang golek sudah mulai tergusur oleh kesenian atau budaya yang baru. Faktor lain yang menyebabkan menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian wayang golek adalah karena biaya yang relatif tinggi yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan perrtunjukan wayang golek, oleh karena itu sekarang
135
masyarakat lebih memilih untuk menggunakan hiburan lain yang lebih praktis dan murah, misalnya organ tunggal. Selain itu menurut penuturan Ki Dalang Suherman bahwa pada perkembangannya sekarang fungsi wayang golek mengalami pergeseran dari yang tadinya berfungsi sebagai sarana pewarisan nilai-nilai budaya luhur (adhiluhung), misalnya pewarisan nilai tata krama, penyebaran agama yang didalamnya terikat pada berbagai macam aturan yang ketat (pakem padalangan) kini telah mengalami perubahan dalam berbagai aspek, misalnya dalam bentuk wayang itu sendiri atau dalam bahasa yang digunakan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan dari masyarakat terhadap kesenian wayang golek agar kesenian ini bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, misalnya fungsi dari wayang golek sekarang ini lebih mengutamakan aspek hiburan dan ekonomi semata, walaupun hal itu harus mengesampingkan aturan-aturan yang menjadi identitas dari kesenian wayang golek ini sehingga mungkin jika dibiarkan akan dapat menggerus kelestarian dan kemurnian dari kesenian wayang golek ini, namun apabila kesenian ini masih mempertahankan aturan-aturan yang masih bersifat konservatif (kolot) tanpa beradaptasi dengan perkembangan zaman, maka kesenian ini akan ditinggalkan oleh generasi berikutnya.
136
C. Faktor Penghambat Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa Manusia dan seni merupakan dua hal yang tidak adapt dipisahkan, karena manusia memiliki kebutuhan yang mendasar yaitu kebutuhan untuk berekspresi. Lewat aktivitas seni manusia bisa mengekspresikan emosi, pikiran serta kehendaknya secara seimbang. Dalam mengarungi sebuah kehidupan sudah pasti manusia akan berhadapan dengan apa yang dinamakan masalah. Dalam hal ini tentu masalah tersebut akan adapt menghambat kehidupan manusia menuju apa yang diimpikannya. Jelas disini bahwa secara ilmiah, untuk menuju suatu kesuksesan manusia tentu sebelumnya akan menghadapi berbagai hambatan. Sama halnya dengan kesenian, untuk bertahan atau mengembangkan suatu kesenian, apalagi yang bersifat tradisional diperlukan kerja keras untuk menghadapi segala hambatan tersebut. Kondisi kesenian wayang golek purwa sebagai salah satu kesenian tradisional yang dari masa ke masa terus mengalami pergeseran fungsi, seiring dengan terjadinya arus perubahan maka kesenian wayang golek pun hanya menjadi sebuah tontonan saja tanpa berfikir dan merenungi nilai-nilai apa yang terkandung didalamnya. Bahkan sebagian masyarakat terutama dari kalangan generasi muda tidak terlalu menyukai kesenian wayang golek. Keadaan ini semakin lama semakin memprihatinkan sehingga kesenian wayang golek yang merupakan kesenian tradisional Sunda, akan sedikit demi sedikit mengalami kepunahan. Fenomena kemunduran serta kurang begitu dikenalnya kesenian wayang golek yang terjadi pada sebagian masyarakat di Kbupaten Purwakarta
137
tentu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mengikutinya. Dibawah ini dipaparkan mengenai faktor internal maupun eksternal yang menjadi penghambat dalam perkembangan kesenian wayang golek purwa. 1.
Faktor Internal
a. Pribadi Dalang Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa dalang, diperoleh informasi bahwa mundurnya seni padalangan disebabkan oleh pribadi dalang itu sendiri. Pribadi dalang yang dimaksud meliputi : 1) Kurang menjaga harga diri Prilaku dalang yang tidak sesuai dengan predikat dalang yaitu itu satunya adalah dalang berfungsi sebagai juru didik. Oleh karena itu, dalang harus mempunyai berkepribadian luhur, berkarisma dan berwibawa. 2) Kurangnya Latihan Dalang kurang memilki kemampuan yang maksimal sesuai dengan perkembangan pengetahuan masyarakat atau penonton. 3) Kurangnya Hubungan Dalang tidak memilki konektifitas atau hubungan instansi-instansi
atau
lembaga-lembaga
yang
baik dengan
sekiranya
akan
menguntungkan dalang itu sendiri (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
138
2. Faktor Eksternal 1) Pengaruh Kesenian Luar atau Kesenian Modern Dengan kemajuan zaman, banyak bermunculan bentuk kesenian-kesenian modern yang lebih menarik dan dianggap lebih simpel bila dibandingkan dengan kesenian tradisional, hal itu terutama bagi generasi muda, pada dasarnya hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh seni tradisional yang anggotanya lebih banyak dibanding seni lain, salah satu contoh kesenian luar yang banyak diminati oleh generasi muda sekarang seperti organ tunggal, layar tancap, dan lain sebagainya. 2) Pengaruh Teknik Modern Dengan kemajuan teknologi, demikian banyak bentuk pagelaran atau pertunjukan yang oleh masyarakat dianggap lebih menarik dibandingkan pagelaran seni wayang golek. Hal itu bisa dilihat dari teknik penyajiannya serta alat-alat yang digunakan, dan oleh generasi muda hal tersebut dianggap lebih menarik dan diminati dibandingkan dengan seni tradisional yang dianggap kuno untuk selera zaman sekarang. 4) Lingkungan Masyarakat Tumbuh dan berkembangnya jenis kesenian akan bergantung kepada lingkungan masyarakatnya sendiri, salah satu contohnya jika lingkungan masyarakatnya mayoritas kurang berkemampuan serta mengerti akan arti penting kesenian tradisional maka di daerah itu pertunjukan wayang golek akan sangat tidak diminati dan kurang berkembang. Selain itu, bila lingkungan masyarakatnya
139
merupakan masyarakat agamis yang fanatik maka pagelaran seni tradisional akan mendapat hambatan (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 1 Agustus 2009).
D. Upaya yang dilakukan Pemerintah Purwakarta dalam Mengembangkan Kesenian Wayang Golek Wayang sebagai salah satu seni tradisional Indonesia dalam berbagai bentuk dan fungsinya telah berkembang sejak lama. Sudah dikenal pada masa pra sejarah dan berkembang hingga kini, dengan melintasi pengalaman sejarah yang panjang. Seni pewayangan dapat dikatakan adalah produk asli bangsa Indonesia karena tumbuh dan berkembang dari akal budi bangsa Indonesia yang berkembang menjadi seni budaya yang indah dan penuh kandungan ajaran hidup dan kehidupan yang bermanfaat. Berbagai bentuk wayang telah berkembang di Indonesia, beraneka bentuk dan cerita yang semuanya itu sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, wayang digemari oleh pendukungnya terutama masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa wayang dalam berbagai bentuk dan fungsinya dari waktu ke waktu telah berjasa dalam memberikan hiburan kepada masyarakat. Selain itu, dengan menayksikan pertunjukan seni wayang juga banyak memberikan keuntungan yang bermanfaat pada masyarakat seperti penerangan pembangunan, ajaran-ajaran hidup dan lain-lain. Untuk itu perlu adanya suatu pelestarian yang harus dilakukan oleh berbagai pihak diantaranya ialah :
140
1. Upaya yang dilakukan Pemerintah Sesuai dengan visi-misi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Purwakarta yaitu pertama melestarikan seni tradisional dan kedua mengemas seni tradisional agar tetap di gandrungi oleh masyarakat dengan cara koordinasi dengan instansi terkait dan promosi. Maka dari itu, melestarikan kesenian tradisional daerah adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Untuk itu upaya pelestarikan kesenian wayang golek purwa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Purwakarta, yaitu dengan cara mengikuti ajang perlombaan Binojakrama Padalangan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Edi Sedyawati (1981: 50) yang menyatakan bahwa “mengembangkan seni pertunjukan tradisional Indonesia berarti memperbesar volume penyajiannya, dan meluaskan wilayah pengenalannya”. Mengingat banyaknya keuntungan atau manfaat yang dapat kita ambil dari menonton pertunjukan wayang golek, sudah sepantasnya bila pemerintah sebagai salah satu lembaga yang dapat mendukung pelestarian kesenian tradisional sunda terutama kesenian wayang golek menggalakan program pemerintah dalam rangka pelestarian kesenian tradisional tersebut. Dalam upaya melestarikan, membina dan mengembangkan seni wayang golek saat ini, pemerintah telah menggalakan kebijakan dan langkah-langkah yang dapat di laksanakan dalam rangka pelestarian budaya tradisional.
141
2. Upaya yang dilakukan Seniman Pemerintaha adalah suatu alat atau penggerak keputusan, oleh karena itu harus ada pihak yang menjalankan keputusan atau kebijakan tersebut. Dalam bidang kebudayaan pihak tersebut adalah seniman, yaitu orang yang terjun langsung
melaksanakan
kebijakan-kebijakannya.
Oleh
karena
itu
usaha
pelestarian bukan hanya diperlukan dari pemerintah saja tetapi diperlukan juga peran dari para senimannya. Demikian adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh para seniman wayang golek purwa untuk tetap melestarikan kesenian wayang diantaranya adalah : 1. Penataran dan Saresehan Penataran merupakan suatu bentuk upaya untuk menambah wawasan
dan
pengetahuan
dalang
dalam
rangka
meningkatkan
kemampuannya. Baik dalam segi pengetahuan umum atau pengetahuan secara khusus bidang padalangan. 2. Binojakrama Padalangan Binojakrama padalangan merupakan upaya evaluasi sampai sejauh mana kemampuan dalang dalam menggarap seninya untuk dapat memenuhi selera penonton dengan tetap berpijak kepada tetekon atau pakem padalangan sehingga dalang yang bersangkutan mempunyai ukuran kemampuannya sendiri.
142
3. Mengeluarkan Buku atau Diktat Pada umumnya para dalang memiliki pengetahuan dari hasil mendengar secara turun temurun dari gurunya. Sehingga kata-kata baik itu Murwa atau kakawen banyak yang salah menurut kamus oleh karena itu dengan banyaknya buku atau diktat yang bisa dibaca atau dipelajari oleh para dalang akan meningkatkan pengetahuannya dan menyamakan pengetahuan para dalang secara keseluruhan. 4. Perkumpulan atau Organisasi Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas salah satu penghambat perkembangan para dalang adalah kurangnya hubungan oleh karena itu sangat perlu para dalang untuk mempunyai atau masuk dalam sebuah organisasi atau perkumpulan. 5. Pagelaran Banyaknya jumlah pagelaran yang dilaksanakan oleh para dalang akan menambah pengalaman yang bermanfaat dan akan menunjang pada meningkatnya kemampuan dalang itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan dilibatkannya dalang dalam pagelaran-pagelaran, baik yang bersifat kampanye atau penyuluhan-penyuluhan terhadap masyarakat atau penonton (wawancara Ki Dalang Suherman, 1 Agustus 2009).