BAB IV Hasil Dari Aspek Biologi Ulat Sutera Liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) Selama Proses Habituasi dan Domestikasi Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh
4.1. Perubahan tingkah laku Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua macam pakan daun sirsak dan teh, telah terjadi perubahan tingkah laku dari alam dan di ruangan (Tabel 6). Tabel 6. Perubahan tingkah laku A. atlas dari alam dan di ruangan _______________________________________________________________ Karakteristik di alam
Karakteristik di ruangan
_______________________________________________________________ - Sangat aktif & selalu berpindah
- Lebih tenang
tempat - Siklus hidupnya panjang
- Siklus hidupnya pendek
- Produksi telur rendah
- Produksi telur tinggi
Berdasarkan Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa terjadi perubahan tingkah laku dari liar di alam menjadi tenang dalam ruangan. Selama proses habituasi berlangsung (F1-F2) A. atlas dapat beradaptasi dengan kondisi dalam ruangan, sehingga tampak terjadi perubahan tingkah laku, yaitu larva lebih tenang, imago tidak terbang jauh, dapat menkonsumsi dan memanfaatkan pakan dengan baik, proses oogenesis dan embriogenesis menjadi cepat dan siklus hidupnya menjadi lebih pendek. Berdasarkan hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian pakan daun sirsak dan teh dalam ruangan, menunjukkan keberhasilan hidup (100 %), jumlah telur yang banyak dan kualitas kokon yang baik (Tabel 13).
42
Di alam cuaca sering berfluktuatif dengan kisaran suhu di bawah 20 0C dan di atas 30 0C. Kondisi ini yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas ulat sutera liar Attacus atlas. Pada tahap larva aktifitas kehidupan jadi terganggu dam kesehatannya jadi memburuk, suhu di atas 30 0C mengakibatkan pakan cepat layu, larva tercekam dan tidak bisa menkonsumsi pakan dengan baik, sehingga mengganggu pertumbuhan ulat sutera. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Bila kelembaban dan suhu berubah secara ekstrim maka akan menyebabkan ulat sutera tidak bisa beradaptasi, sehingga kesehatan ulat sutera menjadi buruk. Di dalam ruangan/laboratorium suhu berkisar antara 20 0C-29 0C. Masing-masing fase perkembangan mempunyai suhu optimal yang berbeda-beda. Masa inkubasi telur dan ulat kecil (instar 1-3) kisaran suhu berkisar antara 22 0C-24 0C, karena pada tahapan instar ini larva masih peka terhadap rangsangan sinar matahari secara langsung yang dapat mengganggu kulit/tubuh larva . Ulat besar (instar 4-6) suhunya berkisar antara 2429 0C dengan kelembaban 68-70 %, tahapan ini aktivitas fisiologis ulat sutera menuju pematangan larva, pola makan secara teratur dan pembentukan protein sutera dengan serat-seratnya. Masa pupasi berada pada kisaran suhu 26-29 0C. Jika suhu di bawah 26 0
C atau kelembaban yang tinggi, menyebabkan kemunculan imago menjadi cacat,
sayapnya kerdil dan tidak mengembang, sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya seperti tidak bisa terbang dan berkopulasi, masa pupasinya menjadi lambat.
43
4.2. Proses Habituasi dan Domestikasi A. Atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Sirsak Hasil pengamatan selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2), dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang selalu dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun sirsak, dapat dijelaskan sebagai berikut : Total waktu yang diperlukan A. atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu F1 : 64-88 hari dengan rataan 76,0 ± 8,14 hari (Tabel 7) Tabel 7. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Daun Sirsak (n = 80).
Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,40 ± 0,89 2. Larva 34-47 39,55 ± 4,38 a) Instar 1 5-8 6,20 ± 1,06 b) Instar 2 5-7 5,85 ± 0,59 c) Instar 3 4-6 5,10 ± 0,64 d) Instar 4 4-6 4,75 ± 0,64 e) Instar 5 6-8 6,55 ± 0,60 f) Instar 6 10-12 11,0 0± 0,85 3. Munculnya Imago 20-29 a) Jantan 20-28 23,33 ± 3,06 b) Betina 27-29 28,0 0± 0,71 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari
Setelah hasil dari F1 kemudian dilanjutkan dengan proses pemeliharaan pada generasi kedua (F2), total waktu yang diperlukan Attacus atlas yang diberikan pakan daun sirsak untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya pada F2 ini, yaitu mulai dari telur
44
sampai imago bertelur lagi memerlukan waktu 56-76 hari dengan rataan 66,0 ± 6,72 hari (Tabel 8). Tabel 8. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Daun Sirsak (n= 80) Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 7,25± 0,96 2. Larva 30-40 33,95± 4,12 a) Instar 1 4-6 4,90± 0,79 b) Instar 2 4-6 4,70± 0,73 c) Instar 3 4-5 4,60 ± 0,50 d) Instar 4 4-5 4,65 ± 0,49 e) Instar 5 6-8 6,90 ±0,72 f) Instar 6 8-10 8.20 ± 0.89 3. Munculnya Imago 20-28 • a) Jantan 20-24 23,33 ± 0,58 b) Betina 23-28 24,74 ±2,22 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari 4.3. Proses Habituasi dan Domestikasi A. atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Teh Dari 160 ekor larva yang dipelihara diambil 250 butir telur dari 3 ekor betina yang telah dikawinkan, kemudian ditetaskan dan dipelihara pada pakan daun teh, didapatkan bahwa total waktu yang diperlukan A. atlas dengan pemberian pakan daun teh untuk menyelesaikan sekali daur hidupnya, yaitu mulai dari telur sampai imago bertelur lagi untuk generasi pertama (F1) memerlukan waktu 63-82 hari dengan rataan 72,5 ± 7,48 hari (Tabel 9).
45
Tabel 9. Daur Hidup Habituasi F1 Pada Pakan Teh (n=80) ________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 10-12 11,0± 0,82 2. Larva 33-44 38,75± 4,29 a) Instar 1 4-6 5,20± 0,62 b) Instar 2 4-6 5,05± 0,69 c) Instar 3 4-6 4,90 ± 0,72 d) Instar 4 4-6 5,15 ± 0,67 e) Instar 5 7-8 7,75± 0,79 f) Instar 6 10-12 10,7 ± 0,83 3. Munculnya Imago 20-26 • a) Jantan 20-25 21,33 ± 1,53 b) Betina 23-26 25,0 ± 1,41 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari Setelah hasil dari F1 dilanjutkan pemeliharaan pada generasi kedua (F2), yaitu diambil dari 5 ekor betina yang telah dikawinkan, dari 250 butir telur ditetaskan hanya 160 ekor. Total perkembangan 56-74 hari dengan rataan 65,0 ± 8,19 hari (Tabel 10). Tabel 10. Daur Hidup Habituasi F2 Pada Pakan Daun Teh _______________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Stadium _________________________________________________ Kisaran Rata-rata ________________________________________________________ 1. Inkubasi telur 6-8 6,75± 0,96 2. Larva 30-39 33,80± 3,69 a) Instar 1 4-6 4,65± 0,81 b) Instar 2 4-5 4,50± 0,51 c) Instar 3 4-5 4,40 ± 0,50 d) Instar 4 4-5 4,55 ± 0,51 e) Instar 5 6-8 7,3 ±0,86 f) Instar 6 8-10 8,40 ± 0,50 3. Munculnya Imago 20-27• a) Jantan 20-24 22,20 ± 1,77 b) Betina 20-27 22,67 ± 1,71 ___________________________________________________________ • Lamanya umur imago jantan 2-4 hari dan imago betina 2-10 hari 46
Selama proses habituasi (F1-F2) dari bulan Februari 2006-Juli 2006, kondisi suhu dan kelembaban di lokasi penelitian disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Kisaran Suhu dan Kelembaban Selama Proses Habituasi (F1-F2) ____________________________________________________________________ Bulan Kisaran Suhu Rata-rata Kelembaban Rata-rata (0C) (0C) (%) (%) ____________________________________________________________________ Pebruari 20-24 23,08 87-96 88,53 Maret 21-26 24,83 72-95 85,74 April 22-27 25,09 70-92 84,52 Mei 22-27 25,39 63-88 78,50 Juni 23-28 26,58 60-80 70,91 Juli 23-29 26,77 60-78 71,75 ___________________________________________________________________ Proses habituasi (F1-F2) pada masing-masing fase perkembangan, dipelihara pada ruangan dan kisaran suhu yang berbeda. Masa inkubasi telur 22 0C-24 0C, ulat kecil (instar 1-3) dan ulat besar (instar 4-6) pada kisaran suhu ruang 24 0C-29 0C, Masa pupasi dan perkawinan imago 26 0C-29 0C.
47
4.4. Ciri morfologi Attacus atlas ( Lepidoptera : Saturniidae) dan Perilakunya 4.4.1. Imago Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu jenis serangga yang merupakan ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera. Serangga ini hidup secara liar di alam,
Attacus atlas memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrata
transparan dan bintik seperti mata besar, bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm, memiliki tuberkel (duri) di bagian dorsal. Keluarnya ngengat dari dalam kokon berlangsung pada malam hingga pagi hari, antara pukul 21.00 hingga sekitar pukul 09.00. Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon, yang telah terbentuk saat pembuatan kokon. Imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh, sayap belum terbentuk sempurna. Imago yang baru keluar ini akan segera mencari ranting, atau dahan dan akan mengambil posisi menggantung dengan abdomen berada di bawah, sehingga mudah mengembangkan sayapnya. Setelah beberapa saat sayap akan mulai mengembang. Sayap yang baru mengembang ini kondisinya masih lemah dan belum dapat digunakan untuk terbang. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat digunakan untuk terbang. Imago yang keluar dari kokon akan berada di sekitar kokon hingga matahari terbit. Imago ini bila tidak terganggu akan aktif terbang pada sore menjelang malam. Imago ini bila terganggu akan mengeluarkan cairan berwarna putih dari anusnya.
48
Gambar 4. Imago Attacus atlas Imago jantan dan betina dapat dibedakan berdasarkan bentuk antenanya. Imago jantan mempunyai bulu-bulu antena yang panjang dan lebar, sedangkan imago betina mempunyai bulu-bulu yang pendek dan lebih kecil. Warna antena coklat kemerahan, tubuh imago betina biasanya lebih besar dari imago jantan. Proses perkawinan dimulai saat imago betina mengeluarkan semacam zat pemikat lawan jenis yang disebut pheromone. Ngengat jantan yang cara mendeteksi adanya pheromone dengan antena yang panjang dan melebar akan segera mencari dan mendatangi imago betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga menjelang malam hari. Setelah melakukan perkawinan, imago betina akan segera bertelur. Imago betina akan meletakkan telurnya berjajar di bawah daun dan kadang-kadang ada yang diranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang dianggap cocok. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan tetap akan bertelur dengan pola peletakan telur yang sama. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas (F1-F3), imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100 sampai 362 butir.
49
4.4.2. Telur Telur dihasilkan oleh imago betina baik yang telah kawin maupun yang tidak. Telur yang dapat menetas menjadi larva adalah telur yang telah dibuahi. Imago betina yang tidak melakukan perkawinan akan menghasilkan telur steril yang tidak menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas secara umum berwarna putih kehijauan, bentuk oval agak gepeng dengan ukuran panjang 2,5-2,7 mm, lebar 2,1-2,3 mm dan tinggi 2,1 mm. Telur yang baru keluar dari imago betina biasanya dilindungi oleh suatu cairan berwarna kemerahan hingga coklat. Cairan ini bersifat lengket ketika basah yang berfungsi untuk melekatkan telur pada substrat. Cairan ini disekresi oleh imago betina bersamaan dengan keluarnya telur. Induk betina biasanya meletakkan telurnya di daun, ranting, wadah pemeliharaan, dan tempat lain yang cocok (Gambar 5).
Gambar 5. Bentuk telur yang diletakkan pada wadah pemeliharaan
50
Penetasan telur biasanya berlangsung pada pagi hari antara pukul 05.00 hingga sekitar 9.30 pagi. Masa bertelur 2 sampai 10 hari, yang diletakkan secara berkelompok. Setelah masa inkubasi telur antara 10 sampai 12 hari, telur mulai menetas menjadi larva. Larva-larva ini menggunakan sisa kulit telurnya sebagai makanan pertama ketika baru menetas, sebelum menggunakan daun sebagai makanan utamanya.
4.4.3. Larva Pada tahap larva, A. atlas memiliki 6 tahapan instar. Pada setiap instar, ciri-ciri, ukuran dan perilaku larva berbeda sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Instar pertama dimulai saat larva menetas dari telur hingga pergantian kulit yang pertama. Pergantian kulit pada larva menandai pergantian masa instar, demikian selanjutnya sampai instar keenam. Pada instar keenam diakhiri saat larva mulai merajut kokon untuk selanjutnya memasuki periode pupa. Pergantian kulit pada tahap larva sangat diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan larva, karena kulit dari zat kitin telah mengeras dan tidak mungkin lagi untuk tumbuh dan mengembang. Pada akhir instar, kulit ini harus dilepaskan dan diganti yang baru untuk melangsungkan pertumbuhan dan perkembangan larva. Pergantian kulit dilakukan pada saat pertumbuhan larva telah mencapai maksimal yang ditandai dengan larva tidak aktif makan dan banyak berdiam diri dengan menggulungkan kepalanya membentuk huruf C atau J. Kondisi ini berlangsung kurang lebih selama 6-24 jam hingga terjadi pergantian kulit. Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala, dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus
51
depan dan usus belakang yang dilakukan dalam bentuk potongan-potongan melalui anusnya (Borror, 1992). Larva yang selesai melakukan pergantian kulit akan diam sebentar dan sesaat kemudian larva akan memakan sebagian eksuvalennya. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutup oleh bubuk putih. Bubuk putih ini akan semakin menebal dengan bertambahnya umur tiap instar. Aktivitas makan larva akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur instar larva.
4.4.3.1 Larva instar pertama Larva yang baru menetas panjangnya rata-rata 0,5-0,9 cm (rataan dari 4 ekor larva ) (Gambar 6). Kepala berwarna hitam, bagian dorsal tubuh terdapat scolus berwarna kuning pucat tanpa bubuk putih dan bagian ventral larva hitam kehijauan.
Daun sirsak larva A. atlas
Gambar 6. Larva instar 1 yang diletakkan pada daun Larva yang baru menetas akan memakan sebagian dari sisa kulit telurnya sebelum memakan daun. Larva segera aktif untuk mencari makan dan tempat yang cocok untuk
52
berlindung. Larva biasanya berlindung di bawah daun untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Setelah memakan sisa kulit telurnya, beberapa saat kemudian larva mulai memilih daun-daun yang muda dan memakan di bagian tepi daun. Ketersediaan daun-daun muda sangat diperlukan pada instar awal, pemeliharaan larva instar 1 harus mendapatkan perhatian yang lebih, terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik, cuaca, pakan, karena pada instar awal ini larva sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Ukuran larva instar 1 menjelang molting antara 1-1,3 cm, warnanya menjadi kuning pucat dan menjadi kurang aktif bergerak. Molting dapat berlangsung beberapa menit dengan gerakan ke kiri dan ke kanan, mengangkat dan menurunkan kepalanya hingga kulit bagian prothoraks robek dan segera melepaskan kulit kepala serta seluruh bagian tubuh lainnya. Setelah kulitnya terkelupas, larva akan berdiam sebentar untuk menguatkan kulit sebelum memakan eksuvalennya.
4.4.3.2. Larva instar kedua Setelah mengalami pergantian kulit yang pertama, larva mulai memasuki instar kedua. Pada awal instar 2 ini, panjang larva rata-rata 1,31 cm dan mencapai 1,7 cm di akhir instar 2. Instar 2 scolus mulai tertutup bubuk putih, kepala berwarna kecoklatan, dan bagian ventral larva masih berwarna hijau gelap. Terdapat bercak merah di lateral segmen ke 3, 4 dan 8-10. Dengan bertambahnya umur larva, bubuk putih semakin menebal dan mendominasi warna larva (Gambar 7). Kecepatan memakan daun pada
53
instar 2 lebih cepat bila dibandingkan instar 1, sehingga daun-daun yang termakan pun lebih banyak.
Gambar 7. Larva Attacus atlas instar 2 Aktivitas makanpun semakin meningkat, sesuai dengan meningkatnya kebutuhan metabolisme larva. Beberapa saat setelah larva aktif makan, larva akan beristirahat, larva kembali meneruskan aktivitas makannya. Perilaku ini biasanya dialami
pada instar-
instar awal (instar 1 dan 2)
4.4.3.4 Larva instar ketiga Ciri morfologi larva instar 3 hampir sama dengan larva instar 2, hanya ukuran tubuh semakin besar dan panjang. Panjang larva instar 3 berkisar antara 1,71 -3 cm, bubuk putih dan bercak merah di bagian lateral segmen mendominasi warna larva, kepala berwarna merah kecoklatan (Gambar 8). Menjelang molting mencapai 3,5-3,8 cm.
Gambar 8. Larva Attacus atlas instar 3
54
4.4.3.5 Larva Instar keempat Larva instar 4 ditandai dengan pergantian kulit yang ketiga. Pada awal instar 4 panjang larva mencapai 3,81 cm (dari 1 ekor larva). Ciri morfologi larva instar 4 berbeda dengan instar-instar sebelumnya. Setelah berganti kulit, kepala berwarna kehijauan, bercak merah di bagian lateral segmen 3, 4 dan 8-10 warnanya memudar menjadi agak kekuningan (Gambar 9). Pada akhir instar bercak ini hampir tidak kelihatan. Warna kepala akan berubah menjadi kekuningan seiring dengan perkembangan larva, pada awal instar warna bagian dorsal dan ventral larva hijau kebiruan, dan di akhir instar bagian dorsal tertutupi oleh bubuk putih. Panjang tubuh larva di akhir instar dapat mencapai 5,5 cm (dari 1 ekor larva). Perbedaan antara awal dan akhir instar terlihat pada ukuran tubuh yang semakin gemuk dan kokoh. Pada larva instar 4 ini, aktivitas makan larva lebih meningkat bila dibandingkan dengan instar sebelumnya. Larva mampu makan daun-daun yang telah tua dengan pola makan mulai teratur yaitu makan daun di bagian pangkal sampai ke ujung dan menyisakan ibu tulang daun. Larva makan dan tidak mengenal waktu, pada pagi hari, siang dan malam hari, baik hujan, maupun panas.
Gambar 7. Larva Attacus atlas instar IV Gambar 9 Larva Attacus atlas Instar 4
55
4.4.3.6 Larva Instar kelima Ciri morfologi larva instar 5 hampir sama dengan larva instar 4. Hal yang membedakan adalah ukuran tubuh yang semakin besar, gemuk dan kokoh. Ukuran panjang tubuh larva instar 5 antara 5,51-8 cm (rataan dari 4 ekor larva). Pertambahan ukuran tubuh larva instar 5 terlihat sangat nyata. Seiring dengan kecepatan larva menkonsumsi pakan daun sirsak maupun daun teh. Larva mampu menghabiskan seluruh bagian daun kecuali ibu tulang daunnya, baik daun yang muda maupun daun yang sudah tua. Pola makan larva instar 5 sudah teratur, yaitu dengan memakan daun setengah bagian dan di kiri atau di kanan ibu tulang daun, dari pangkal hingga ke ujung daun (Gambar 10). Aktivitas makan larva berlangsung terus menerus sepanjang hari yang diikuti dengan periode istirahat beberapa saat. Pada periode ini pengaruh lingkungan terhadap larva relatif kecil, karena perilaku larva tidak menunjukkan hal-hal yang lain dari biasanya. Hal ini kemungkinan karena larva sudah beradaptasi secara baik terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Perubahan lingkungan yang tidak ekstrim akan memberikan pengaruh yang kecil terhadap metabolisme larva.
Gambar 10 Larva Attacus atlas instar 5
56
4.4.3.7 Larva instar Keenam Larva instar 6 merupakan tahapan terakhir stadium larva. Larva instar 6 ini memiliki ciriciri : ukuran tubuh relatif sangat besar, gemuk dan kokoh, panjang tubuh mencapai 8.1-12 cm (rataan dari 4 ekor larva) (Gambar 11).
Gambar 11 Larva Attacus. atlas instar 6 Pada awal instar tubuh berwarna hijau cerah dengan bintik-bintik berwarna hitam di bagian dorsal thoraks dan di sekitar anal. Gerakan larva terlihat lamban karena tubuh yang gemuk dan kokoh. Aktivitas makan larva sangat tinggi, dikarenakan larva instar 6 merupakan periode terakhir untuk memperoleh makanan sebagai cadangan energi pada stadium pupa. Menjelang berakhirnya larva instar 6, tubuh dominan berwarna putih di bagian dorsal, hijau kekuningan di bagian ventral dan lateral. Larva menjadi kurang aktif makan dan aktif berjalan-jalan dari dan ke daun atau ke sudut mencari tempat yang tepat untuk membuat kokon. Kondisi ini diawali ketika larva masih aktif makan, tetapi feses yang dikeluarkan bersifat encer atau diare. Beberapa saat kemudian larva menjadi kurang aktif makan. Larva instar 6 biasanya memilih daun sebagai tempat melekatkan kokon yang aman. Larva yang telah menemukan daun yang cocok akan segera merajut kokon pada
57
daun tersebut. Larva instar 6 membuat kokon dengan menggunakan cairan sutera yang akan segera mengering. Pada saat merajut kokon sudah tidak memakan daun, aktivitas sepenuhnya digunakan untuk membuat kokon.
4.3.4
Pembentukan kokon dan Pupa Pembentukan kokon (Gambar 12), dimulai ketika larva instar 6 mulai
mengeluarkan cairan sutera yang dilekatkan pada wadah pemeliharaan atau pada daun, yang akan digunakan untuk melekatkan kokon. Serat-serat yang terbentuk ini berfungsi untuk menguatkan daun agar tidak jatuh ketika daun sudah tua dan mengering. Setelah menguatkan agar tidak mudah jatuh, larva akan meneruskan pembuatan kokon pada daun tersebut. Pembentukan kokon ini dilakukan larva hingga terbentuk kokon sempurna. Larva akan membentuk kokon dengan memanfaatkan daun sebagai tempat melekatkan kokonnya. Biasanya daun dilipat bagian ujung dan tepi daun, dan dihubungkan dengan serat-serat sutera sehingga akan terbentuk suatu rongga tempat pupa. Bagian kokon yang menghadap ke atas biasanya terdapat lubang sebagai tempat keluar imago. Posisi larva sebelum berubah menjadi pupa biasanya dengan kepala ada di bagian atas, sehingga pada saat pupa calon kepala imago berada di atas, posisi ini akan menguntungkan ketika imago keluar dari kokon. Pembentukan kokon biasanya dimulai pada sore hari. Larva akan tertutup seluruhnya kurang dari 6 jam. Larva yang telah tertutup ini masih terus merajut kokon hingga kokon tersebut terbentuk sempurna. Hal ini terlihat pada kokon yang masih tipis. Setelah kokon tersebut sempurna larva akan berdiam diri beberapa saat kemudian mempersiapkan metamorfosa dari larva menjadi pupa. Kokon yang di dalamnya masih
58
terbentuk larva atau sudah menjadi pupa dapat diketahui dengan menggoyang-goyangkan kokon. Apabila isi dalam kokon tidak dapat bergeser berarti isi di dalam kokon masih berwujud larva, dan apabila isi kokon tersebut bergeser, dan terdapat rongga antar isi kokon dan kokon berarti larva telah berubah menjadi pupa. Larva instar 6 akan membuat kokon sesuai dengan ukuran tubuhnya. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah. Keberadaan kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari gangguan luar. Selain itu kokon berfungsi untuk menjaga agar kondisi luar pupa (dalam kokon) tetap sesuai dan menjaga dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa.
Gambar 12. Pembentukan Kokon Attacus atlas Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat, dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kokon berwarna coklat keemasan, kokon yang baru terbentuk masih agak lemah dan agak basah, oleh pengaruh sinar matahari dan gerakan angin, lama kelamaan akan lebih kuat dan lebih kering.
Daun sirsak
Kokon A. atlas
Gambar 13. Kokon Attacus atlas yang terletak pada daun
59
Tahap pupa merupakan tahapan yang paling penting dalam perkembangan metamorfosis dari larva menjadi imago. Dalam stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago antara lain pembentukan sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Selama tahapan pupa tidak boleh terganggu agar proses organogenesis berlangsung sempurna. Apabila dalam proses ini terganggu maka akan menyebabkan kegagalan pembentukan organ dan kemungkinan besar akan menyebabkan kematian . Pupa Attacus atlas (Gambar 14 b) bertipe obteca yang berwarna coklat hingga coklat tua. Pada stadium ini sudah dapat diketahui jenis kelamin imago, yaitu dengan melihat bentuk dan ukuran calon antena imago. Calon-calon organ yang lain juga sudah dapat terlihat antara lain calon kepala, sayap dan abdomen. Pada saat ini calon organ tersebut masih dalam proses pembentukan organ. Kondisi lingkungan pupa sangat mempengaruhi perkembangan pupa. Pupa akan berkembang menjadi imago, sedangkan imago akan segera bertelur untuk meneruskan generasinya.
a b Gambar 14 a. Bentuk kulit kokon Attacus atlas b. Bentuk pupa Attacus atlas
60
4.5. PEMBAHASAN Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di lapangan oleh Situmorang (1996) pada tanaman keben (Baringtonia asiatica K.) dan mahoni (Sweetenia mahagoni) , Tjiptoro (1997) pada tanaman gempol (Nauclea orientalis L.), Widyarto (2001) pada tanaman dadap (Eryhrina lithospermata M.) dan Wahyudi (2000) pada tanaman mahoni, disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Keberhasilan hidup A. atlas pada dadap, gempol, mahoni, keben, sirsak & teh Jumlah larva (n= 100 ekor). ____________________________________________________________ Keberhasilan hidup (%) Peneliti _________________________________________________ Dadap Gempol Mahoni Keben Teh Sirsak ____________________________________________________________ Widyarto (2001) 19,17 44,58 Situmorang (1996) 10 10 Tjiptoro (1997) 44 Wahyudi (2000) 10 Ali Awan (2007) 100 100 _____________________________________________________________ Dari Tabel 12 dapat dijelaskan bahwa beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menunjukkan hasil sebagai berikut : Situmorang (1996) yang memelihara A. atlas pada tanaman mahoni dan keben mengatakan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara hanya 10 % yang berhasil, bobot kokon ada pupa antara 6,6-11,8 gram. Tjiptoro (1997) melaporkan bahwa dari 100 ekor larva yang dipelihara pada tanaman gempol yang berhasil 44 %, total perkembangan 73.308 hari. Widyarto (2001) yang memelihara pada tanaman dadap dari 100 ekor yang berhasil mencapai masa pupasi hanya 19,17 % dan 44,58 % pada tanaman gempol. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan hidup Attacus atlas yang dipelihara di ruangan/laboratorium lebih tinggi bila dibandingkan dengan di lapangan (Tabel 12).
61
Tabel 13. Keberhasilan Hidup Pada Berbagai Stadia A. atlas (F1-F2) pada pakan daun sirsak dan teh ______________________________________________________________________ Sirsak Teh Fase Perkembangan _____________________________________________________ F1 F2 F1 F2 Periode larva (%) 100 100 100 100 Masa Pupasi (%) 100 100 100 100 Munculnya Imago (%) 10 15 15 22,5 Imago Jantan (%) 3,75 5 5 8.75 Imago Betina (%) 6,25 10 10 13,75 Sex ratio (1:1,5) (1:1,6) (1:1,6) (1:1,6) Jumlah telur /ngengat (137,8±25,5) (165,8±9,32) 182,5±26,72) (193,8±29,28) ______________________________________________________________________ Berdasarkan Tabel 13, dari total 320 ekor larva A. atlas (F1-F2) selama proses habituasi dan domestikasi yang
dipelihara pada pakan daun sirsak dan teh, menunjukkan
keberhasilan hidup yang cukup tinggi. Keberhasilan hidup yang tinggi ini dapat dilihat dari periode larva yang 100 % mencapai masa pupasi, munculnya imago sebanyak 8 ekor (10 %) pada F1 meningkat menjadi 12 ekor (15 %) pada F2 untuk pakan sirsak. Sedangkan pada daun teh, munculnya imago 12 ekor (15 %) pada F1 meningkat menjadi 18 ekor (22,5 %) pada F2. Jumlah telur yang cukup banyak yaitu pada pakan daun sirsak, F1 : 137,8 butir/ngengat meningkat menjadi 165,8 butir/ngengat pada F2. Sedangkan pada pakan daun teh, F1 182,5 butir/ngengat meningkat menjadi
193,8 butir/ngengat
pada F2. Kemunculan imago dan produksi telur yang cukup tinggi di laboratorium, bila dibandingkan dengan di alam yang hanya 10 %. Keberhasilan hidup yang tinggi ini disebabkan terjadinya perubahan tingkah laku dari alam menjadi lebih tenang dalam ruangan dan A. atlas telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kualitas pakan yang tersedia secara berkesinambungan. Selama proses habituasi dan domestikasi A. atlas
62
(F1-F2) dalam ruangan, menunjukkan tahapan perkembangan sebagai berikut (Gambar 15).
Gambar 15. Perkembangan Attacus atlas dalam Ruangan
63
Total perkembangan Attacus atlas yang dipelihara dalam ruangan pada pakan daun sirsak yaitu, F1 : 64-88 hari dengan rata-rata 76,0 ± 8,14 hari, F2 : 56-76 hari dengan rata-rata 66,0 ± 6,72 hari. Sedangkan pada pakan daun teh, F1 : 63-82 hari dengan rata-rata 72,5 ± 7,48 hari, F2 : 56-74 hari dengan rata-rata 65,0± 8,19 hari.
4.4.1. Masa Inkubasi telur Masa inkubasi telur sebagai tahap awal perkembangan Attacus atlas (F1-F2) pada pakan alami daun sirsak dan teh selama proses habituasi dan domestikasi disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Masa Inkubasi Telur A. atlas (F1-F2) proses Habituasi dan Domestikasi Jumlah telur (n = 500 butir) _________________________________________________________________ Lamanya masa inkubasi Telur ____________________________________________________ Pada generasi Pakan daun sirsak Pakan daun teh _________________________________________________________________ F1 (hari) 10-12 (11,40 ± 0,89)a 10-12 (11,00± 0,82)a F2 (hari) 6-8 (7,25± 0,96)b 6-8 (6,75 ± 0,96)b _________________________________________________________________
Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Dari data ini ternyata bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara F1 dengan F2
pada
pakan daun sirsak maupun pakan daun teh. Lamanya masa inkubasi pada F1 karena sebagai awal proses habituasi dimana cuaca dalam ruangan sangat mempengaruhi, menyebabkan proses embriogenesis menjadi lambat sehingga penetasan telur menjadi lama. Pada F2 telah beradaptasi dengan suhu dalam ruangan dimana suhu (22 0C-290C), kelembaban (68-70 %) sehingga proses oogenesis dan penetasan telur menjadi cepat.
64
4.4.2. Periode Larva Attacus atlas mengalami enam perkembangan instar, masing-masing instar memiliki kisaran hidup yang berbeda-beda. Instar lima dan enam memerlukan waktu yang cukup lama dan tampak berbeda nyata dengan instar satu sampai instar lainnya pada pakan daun sirsak maupun daun teh. Masa stadium larva A. atlas mulai dari proses habituasi dan domestikasi (F1-F2) disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Masa Stadium Larva A. atlas (F1-F2) Pada Pakan Daun Sirsak dan Teh Jumlah Larva (n=160 ekor/larva)
Lamanya waktu (hari) Masa larva ________________________________________________ Pada generasi Daun sirsak Daun teh ________________________________________________________ 38,75± 4,29a F1 39,55 ± 4,38a F2 33,95 ± 4,12b 33,8 0± 3,69b ___________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
Dari data ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata antara F1 dengan F2. Kisaran hidup larva cukup lama mulai pada F1, sedangkan pada F2 kisaran hidup menjadi lebih pendek. Hal ini disebabkan terjadi penyesuaian pada setiap tahapan instar dengan cuaca dan kelembaban dalam ruangan yang tetap stabil serta kelanjutan dari masa inkubasi telur pada F2 yang lebih cepat.
65
4.4.3. Masa Pupasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama periode pupa A. atlas pada pakan daun teh dan sirsak tampak berbeda, yaitu lama periode pupa pada F2 lebih pendek bila dibandingkan dengan F1. Selama perkembangan, didapatkan bahwa sebagian pupa A. atlas tidak berhasil menjadi imago. Akan tetapi terjadi peningkatan kemunculan imago yaitu 10 % (8 ekor) pada F1 meningkat menjadi 15 % (12 ekor) pada F2 dengan pemberian pakan sirsak. A. atlas yang diberikan pakan daun teh 11,25 % (9 ekor) pada F1 meningkat menjadi 18,75 % (15 ekor) pada F2 (Tabel 13). Mortalitas pra pupa biasanya berupa kegagalan larva instar ke-6 dalam membuat kokon. Larva instar enam yang telah siap berpupasi akan membuat kokon pelindung dirinya di permukaan atas ataupun di bawah daun, berdasar pertimbangan keamanan dan kenyamanan saat melewati masa-masa pupasi. Larva yang siap berpupasi tingkat kepekaan terhadap gangguan akan meningkat, jadi apabila larva mendapat gangguan akan menyebabkan terjadinya kegagalan dalam penyelesaian pembuatan kokon dan kegagalan mencapai tahap pupa dan imago.
4.4.4. Imago Ketika masa pupasi telah berakhir maka imago Attacus atlas akan muncul dari kokonnya, biasanya imago muncul dari kokon pada malam hari. Imago yang muncul dari kokon umurnya pendek dan tidak makan. Imago A. atlas biasanya istirahat pada siang hari (Peigler, 1989). Munculnya imago Attacus atlas dari generasi pertama (F1) sampai F3 pada imago jantan maupun betina tampak berbeda nyata pada pakan daun sirsak maupun pakan daun teh. Imago betina memerlukan waktu yang cukup lama bila
66
dibandingkan dengan imago jantan, hal ini disebabkan pada imago betina terjadi pembentukan telur (oogenesis). Tabel 16. Munculnya Imago A. atlas (F1-F2) pada Pakan Daun Sirsak dan Teh _____________________________________________________________ Lamanya waktu (hari) Generasi ___________________________________________________ Daun sirsak Daun teh _____________________________________________________________ F1 Betina 28,00 ± 0,71a 25,00 ± 1,41a F1 Jantan 23,33 ± 3,06b 21,33 ± 1,53b 22,25 ± 1,71a F2 Betina 24,75 ± 2,22a b F2 Jantan 23,33 ± 0,58 24,50 ± 4,80b _____________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
4.4.5. Keperidian (Fecundity) Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina yang diberi pakan daun teh dan sirsak disajikan pada Tabel 17. Keperidian (fecundity) imago A. atlas pada pakan daun teh mempunyai jumlah telur lebih banyak bila dibandingkan dengan imago A. atlas pada pakan daun sirsak. Tabel 17. Keperidian Imago A. atlas (F1-F2) pada Pakan Daun Sirsak dan Teh _________________________________________________________________ Jumlah telur (butir) Generasi ________________________________________________________ Daun sirsak Daun teh _________________________________________________________________ 182,50 ± 26,72 b F1 137,80 ± 25,15a a F2 165,80 ± 9,32 193,87 ± 29,28b _________________________________________________________________ Ket : Superscript berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata Data yang ada mulai dari F1 sampai dengan F2, dapat dijelaskan bahwa siklus hidup pada generasi pertama (F1) pada sirsak maupun teh lebih panjang dibandingkan dengan F2.
67
Generasi kedua (F2) jumlah telurnya lebih banyak, hal ini disebabkan karena : Perubahan tingkah laku, lebih tenang, efisien dan produktif. Pemeliharaan A. atlas pada pakan daun sirsak maupun pakan daun teh di dalam ruangan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup yang sama (100 %). Keberhasilan hidup yang tinggi dapat diketahui dari prosentase hidup larva yang tinggi, periode larva yang singkat, bobot kokon dan keperidian (fecundity) imago betina yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva A. atlas yang dipelihara pada pakan daun teh maupun sirsak menunjukkan tingkat keberhasilan hidup mencapai 100 %. Dari data yang ada mulai dari F1 sampai dengan F2, dapat dijelaskan bahwa siklus hidup pada generasi pertama (F1) lebih panjang, bila dibandingkan dengan F2. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu : 1. Faktor eksternal (suhu dan kelembaban). Ulat sutera adalah hewan poikiloterm, dimana suhu tubuhnya diatur secara langsung oleh suhu lingkungannya. Aktivitas fisiologis sangat dipengaruhi oleh suhu tubuh, jika suhu yang terlalu tinggi menyebabkan pakan cepat layu dan larva tersebut tidak mau makan, selain itu menyebabkan kecepatan respirasi bertambah dan kontraksi pembuluh darah di bagian dorsal meningkat, terjadi peningkatan metabolisme sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera. Kelembaban tinggi akan mempengaruhi secara langsung kandungan air dalam tubuh larva. Kelembaban yang tinggi juga akan mempermudah proliferasi mikroba pada pakan menyebabkan penyakit pada larva, selain itu kelembaban yang tinggi imago yang akan keluar sayapnya akan cacat dan tidak bisa terbang sehingga tidak bisa terjadi kopulasi.
68
2. Perubahan siklus Larva Attacus atlas awal proses adaptasi berada pada suhu dan kelembaban serta kondisi lingkungan musim penghujan, sehingga pada kondisi ini kandungan air dalam daun tanaman untuk makanan larva relatif lebih banyak. Hal ini secara fisiologis (Chapman, 1969) mengganggu keseimbangan hormon juvenil dan ekdison dalam tubuh larva, yang mengakibatkan pergantian kulit pada instar tertunda, sehingga stadium bertambah lama. Dengan demikian jelas bahwa musim hujan cenderung mempengaruhi siklus hidup Attacus atlas.
3. Perubahan Tingkah Laku Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) terjadi perubahan tingkah laku dari alam menjadi lebih tenang dalam ruangan, karena Attacus atlas telah beradaptasi dengan kondisi dalam ruangan serta kuantitas dan kualitas pakan tersedia secara kontinyu.. Larva instar keenam membutuhkan waktu paling panjang dibandingkan dengan instar lain yang berlangsung 8-10 hari. Hal ini disebabkan pada instar keenam akan memasuki stadium pupa yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Perubahan stadium larva menjadi pupa dalam metamorfosis serangga (Chapman, 1969) membutuhkan waktu cukup lama karena : 1. Terjadinya pertumbuhan dan perubahan dari organ tertentu. 2. Terjadinya proses pengumpulan dan penimbunan cadangan makanan sebagai sumber energi guna mendukung perubahan dari pupa menjadi imago, karena dalam stadium pupa terjadi aktivitas morfologi berikutnya.
69
3. Sekresi protein sutera. Hampir seluruh rongga tubuh larva instar terakhir dipenuhi oleh kelenjar sutera, ulat sutera menggunakan sebagian besar nutrien yang dikonsumsinya selama stadium larva untuk mensintesis protein sutera cair. Pada serat sutera kokon Attacus atlas secara garis besar dipengaruhi oleh kandungan nutrien tumbuhan yang terdapat pada pakan ulat sutera liar Attacus atlas. Ulat sutera liar menggunakan protein dan asam amino dalam daun untuk mensintesis protein khusus di dalam tubuh ulat sutera. Variasi protein daun mempengaruhi pengaturan jumlah protein yang diambil oleh ulat sutera liar dari pakan dan secara langsung mempengaruhi serat kokon. Protein juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera liar. Protein tumbuhan yang dibentuk dari nitrogen udara dan nitrat dalam tanah kemudian akan mengalami metabolisme di dalam tanaman pakan, sehingga akan menghasilkan protein tumbuhan dan asam amino. Tanaman pakan ini kemudian akan dimakan oleh ulat sutera liar Attacus atlas yang selanjutnya akan mengalami metabolisme, sehingga akan menghasilkan berbagai produk antara lain asam amino, peptida, zat warna dan protein yang lain. Asam amino dan peptida tersebut kemudian akan digunakan untuk membentuk protein kelenjar sutera. Protein serat sutera ini dibentuk di dalam kelenjar sutera di bagian sublingual. Lama stadium pupa antara 20-29 hari. Variasi tersebut disebabkan adanya perbedaan kepribadian tiap individu pupa yang telah ada mulai dari stadium telur ataupun larva, sehingga akan berpengaruh juga terhadap lama stadium pupa. Berdasarkan hal tersebut di atas terbukti bahwa tanaman inang dapat mempengaruhi tingkat perkembangan serangga.
70
Hasil penelitian dari pemeliharaan Attacus atlas di dalam ruangan menunjukkan tingkat keberhasilan mendekati 100 persen bila dibandingkan dengan di alam yang hanya mencapai 10 persen saja. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kurangnya keberhasilan disebabkan beberapa faktor, yaitu adanya predator, patogen penyakit dan cuaca. Golongan predator yang dijumpai yaitu semut (Ordo Hymenoptera dari Famili Formicidae), tawon (Ordo Hymenoptera Famili Vespidae), belalang sembah (Ordo Orthoptera dari Famili Mantidae), kepik (Ordo Hemiptera), lalat perampok (Ordo Diptera), laba-laba (Klas Arachnida), dengan beberapa Famili yaitu Lycosidae, Oxiyopidae, Salcicidae) (Situmorang, 1996). Predator-predator ini umumnya menyerang larva dari bermacam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapangan biasanya diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba. Larva dari instar awal ini sangat mudah diserang dan dimangsa predator karena sifat fisiknya yang masih cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi terutama dari larva instar satu.
71