1
BAB IV PROFIL LINGKUNGAN KEBAHASAAN ANAK
4.1 Lingkungan Kebahasaan Keluarga Putu Lila dilahirkan di Singaraja, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah Singaraja pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 00:05 WITA. Lila lahir dalam keadaan normal dengan berat badan 2,8 kilogram dan panjang 50 cm. Desmita (2009: 102) mengungkapkan bahwa pada waktu bayi masih berada dalam kandungan ibunya, badannya telah membentuk sekitar 1.5 milyar sel-sel saraf permenit. Jadi, saat dilahirkan, bayi kemungkinan telah memiliki semua sel otak yang akan dimiliki sepanjang hidupnya. Namun, keberadaan otak bayi belum matang. Oleh karena itu, otak bayi terus berkembang sampai anak berusia 2 tahun seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Myer yang dikutip Desmita (2009) menyatakan bahwa pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25% dari berat otak dewasanya, maka pada ulang tahun yang kedua, otak bayi sudah mencapai kira-kira75% dari otak dewasanya. Keberadaan otak bayi dan perkembangannya sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak seperti yang digagas oleh Chomsky (2002) yang dalam teori pemerolehan bahasanya mengungkapkan bahwa bahasa merupakan objek alami, suatu komponen intelektual manusia yang secara fisik direpresentasikan di dalam otak dan merupakan bagian dari perkembangan biologisnya.
2
Menurut Taylor (1990: 230) pemerolehan bahasa dipengaruhi oleh tiga variabel penting, yaitu bahasa yang diperoleh, anak yang memeroleh bahasa tersebut, dan lingkungan tempat bahasa itu diperoleh. Seorang anak bisa memeroleh bahasa karena dilengkapi dengan keadaan fisik yang memungkinkan dia menggunakan bahasa serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Di samping itu, anak juga tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebahasaan yang digunakan penuturnya secara aktif. Berikut ini adalah gambaran lingkungan kebahasaan tempat Lila dibesarkan yang akan dibahas berdasarkan lingkungan kebahasaan keluarga dan lingkungan kebahasaan teman sebaya. Sejak lahir, Lila tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Celukbuluh, Desa kalibukbuk Kecamatan Buleleng. Dia lahir dari seorang ibu yang berasal dari Bali yang merupakan wanita etnis Bali yang berasal dari Kabupaten Karangasem, namun sudah tinggal di Kabupaten Buleleng sejak berusia 15 tahun karena mengikuti ayah yang dipindah tugaskan. Ibu Lila merupakan wanita yang lahir dengan bahasa ibu, bahasa Bali. Selain Bahasa Bali, bahasa Indonesia juga dikuasainya melalui jenjang bangku sekolah formal. Bahasa ketiga yang dikuasai adalah bahasa Inggris yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal Strata 1. Jadi, ibu Lila fasih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Ibu Lila bertemu dengan ayah Lila, Frank (bukan nama sebenarnya), pada tahun 2003. Ketika bertemu dengan ayah Lila, ibu Lila sedikit demi sedikit mulai belajar bahasa Jerman secara otodidak. Ayah Lila merupakan seorang laki-laki yang berasal dari Jerman yang lahir dengan bahasa ibu bahasa Jerman. Selain bahasa Jerman, dia juga fasih
3
menggunakan bahasa Inggris. Sejak tahun 2003, ayah Lila sudah tinggal di Bali meskipun dia masih sering mengunjungi negeri asalnya kurang lebih dua kali dalam setahun. Frank memutuskan untuk mulai belajar bahasa Indonesia untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat lokal karena dia tinggal di Bali. Bahasa Indonesia dipilih untuk dipelajari karena dia ingin dapat berkomunikasi bukan hanya dengan orang Bali, tetapi juga dengan orang Indonesia dari etnis lain yang tinggal di Bali dan dari informsai yang dia peroleh kebanyakan orang Bali juga mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dia memutuskan untuk tidak mempelajari bahasa Bali karena dia tidak mau dibingungkan oleh dua bahasa yang berbeda. Ayah Lila menganggap bahasa Bali lebih sukar untuk dipelajari karena adanya perbedaan tingkatan dan dia tidak mau dibingungkan oleh perbedaan-perbedaan tingkatan tersebut. Ayah Lila mempelajari bahasa Indonesia dengan sangat serius dan bahkan dia memiliki guru bahasa Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Saat ini, dia sudah fasih menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap dengan orang-orang di sekitarnya. Sejak sebelum Lila dilahirkan, orang tuanya sudah mendiskusikan tentang bahasa-bahasa yang nanti akan digunakan untuk berkomunikasi dengannya. Mereka akhirnya memutuskan bahwa ketika berbicara dengan Lila, ayah Lila menggunakan bahasa Jerman dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Jerman? Bahasa Jerman digunakan karena merupakan bahasa Ibu ayah Lila dengan harapan Lila juga bisa menggunakan bahasa tersebut. Namun, pada kenyataanya, karena juga belajar dan senang menggunakan bahasa
4
Indonesia secara tidak sadar ayah Lila sering menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan Lila. Ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia, ini dimaksudkan agar percakapan-percakapan yang terjadi antara Lila dan ibunya bisa dimengerti oleh ayah Lila. Pada kenyataanya ibu Lila tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia saja, namun kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali pada saat –saat tertentu, misalnya ketika Lila melakukan sesuatu yang nakal dan ibunya menjadi marah. Seiring dengan perkembangan umur Lila, ketika dia sudah dapat merespon kata-kata orang tuanya, percakapan-percakan antara orang tua dan anak sering terjadi dalam bahasa Indonesia dan Jerman. Kadang-kadang ibu Lila juga menggunakan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman yang sering digunakan oleh ayah Lila dan Lila ketika berbicara satu dengan yang lainnya. Dalam keluarga, orang tua Lila juga memiliki komitmen bahwa dalam berkomunikasi dengan anak seberapa kecil pun anak, orang tua harus menggunakan bahasa `normal`, menggunakan kata-kata yang sesungguhnya dan bukan mengikuti bahasa bayi; seperti yang dilakukan para orangtua pada umumnya. Pada umumnya, ayah dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi satu sama lain, namun jika percakapan-percakapan menyangkut hal-hal yang lebih dalam atau diskusi-diskusi tentang topik-topik atau isu-isu tertentu, percakapan-percakapan sering sekali terjadi dalam bahasa Inggris. Namun, Lila tidak disuguhi bahasa Inggris secara langsung dan tidak diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut meskipun sejak dilahirkan dia juga sudah
5
terbiasa mendengar kata-kata atau ucapan–ucapan dalam bahasa Inggris. Pengaruh bahasa Inggris pun hampir tidak terlihat dalam perkembangan bahasanya. Di samping itu, Lila sama sekali tidak disuguhi bahasa Inggris karena orang tuanya tidak mau, Lila dibingungkan oleh kebanyakan bahasa sekitar. Jadi dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tuanya untuk berkomunikasi dengan Lila adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman. Taylor (1990: 227) mengungkapkan bahwa, ketika anak sejak lahir sampai pada umur dua tahun pusat dari perkembangan bahasanya adalah orang tuanya, terutama ibunya. Dalam keluarga inti Lila, percakapan-percakapan terjadi dalam bahasa-bahasa, seperti yang digambarkan dalam diagram berikut Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris
Ibu
ayah Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris Bahasa Jerman dan kadang-kadang Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia, kadang-kadang B.Jerman, B.Bali
6
Lila Bagan 4.1: Lingkungan Kebahasaan Keluarga Inti Pada prinsipnya, Lila hanya tinggal dengan keluarga inti, yaitu ayah dan ibu. Dalam keluarga tersebut, dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu ada seorang pengasuh anak yang bekerja paruh waktu, yaitu seorang wanita etnis Bali yang bernama Warti. Warti hanya bekerja selama 6 jam, per hari, yaitu dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 14.00. Ketika berbicara dengan Lila, Warti menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga ketika berbicara dengan ayah Lila. Namun, ketika berbicara dengan ibu Lila, Warti menggunakan bahasa Bali. Selain seorang pengasuh anak, keluarga juga dibantu oleh seseorang yang mengurus kebun. Dia adalah seoarang lelaki, yang juga merupakan etnis Bali, yang bernama Ketut. Ketut juga bekerja paruh waktu, yaitu dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00 dari hari senin sampai sabtu. Bahasa yang digunakan oleh Ketut dalam keluarga tersebut sama dengan bahasa yang digunakan oleh Warti. Di samping lingkungan kebahasaan keluarga inti dan orang orang yang membantu keluarga tersebut setiap harinya, Lila juga memiliki hubungan dengan keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun pihak ayah. Dari pihak ibu, Lila memiliki seorang nenek etnis Bali, dua orang paman dan seorang bibi kandung. Baik nenek maupun paman dan bibinya bertemu dengan Lila secara reguler. Dengan nenek dari pihak ibu, Lila bertemu hampir setiap bulan selama 2 hari sampai satu minggu. Hal ini disebabkan oleh neneknya tinggal jauh di kabupaten lain, yaitu Kabupaten Karangasem. Nenek Lila menggunakan bahasa Indonesia
7
dan bahasa Bali ketika berbicara dengan Lila. Salah satu paman dan bibinya berjumpa atau mengunjungi keluarga tersebut hampir setiap minggu sementara paman yang lain bertemu dengan Lila hampir setiap bulan. Bahasa yang digunakan oleh mereka ketika berkomunikasi dengan si kecil Lila sama dengan bahasa yang digunakan oleh nenek mereka. Sementara di antara mereka sendiri menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi satu sama lain. Dari pihak ayah, Lila memiliki seorang nenek dan seorang paman. Nenek Lila tinggal di Jerman dan sejak kelahiran Lila neneknya sudah datang ke Indonesia sebanyak dua kali dengan rentang waktu dua bulan dan tiga bulan. Ketika berkomunikasi dengan Lila, nenek menggunakan bahasa Jerman. Sementara dengan paman dari pihak ayah, Lila baru bertemu sekali saja. Ketika berumur 1;10, Lila untuk pertama kalinya diajak ke Jerman oleh orang tuanya. Ketika di Jerman, keluarga tersebut tinggal di rumah neneknya. Mereka tinggal di Jerman selama enam minggu dan selama di sana, Lila disuguhi bahasa Jerman sangat intensif, baik oleh neneknya maupun anggota keluarga lain. Sejak masih bayi, Lila juga sudah diperkenalkan pada buku-buku bayi baik dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Indonesia. Buku-buku bayi yang dimaksudkan adalah buku-buku yang memiliki kertas-kertas yang tebal dan sulit untuk dirobek anak. Ayah Lila khususnya, hampir setiap hari memperlihatkan gambar-gambar yang ada di buku dan memberitahukan kata-kata yang ada dalam buku-buku tersebut dalam bahasa Jerman. Ini dilakukan ayahnya secara natural dan bukan untuk tujuan penelitian ini. Di antara buku-buku yang sering digunakan untuk bermain dan berlatih berbicara adalah buku-buku anak karangan Helmut
8
Spanner yang berjudul Erste Bilder Erste Wörter dan Mein Bärenbuch. Bukubuku lain, misalnya berjudul Kennst Du das? Die Farben, Kennst Du Das? Dein Körperr. Buku-buku dalam bahasa Indonesia juga diperkenalkan kepada Lila, khususnya buku-buku cerita anak yang biasanya dibacakan kepada Lila menjelang tidur pada malam atau siang hari. Buku-buku tersebut, misalnya Kisah Si Rusa Kecil, Periuk Bunbuku, Pindy dan Pinky, Georgia Abott dan lain-lain.
4.2 Lingkungan Kebahasaan Teman Sebaya Meskipun ketika berumur satu sampai dua tahun Lila lebih banyak berada di lingkungan rumah, namun secara bertahap seiring dengan perjalanan umurnya, dia mulai memiliki kelompok teman sebaya, meskipun masih sangat terbatas. Dalam perkembangan kebahasaan anak, Taylor (1990:227) juga melukiskan bahwa ketika berumur sekitar 2-3 tahun, anak mulai bisa mengkomunikasikan kebanyakan dari keinginan fisik maupun sosialnya dengan menggunakan bahasa. Di samping itu, lingkaran komunikasi anak juga semakin luas dengan mulai dimilikinya lingkaran komunikasi teman sebaya. Lokasi tempat tinggal keluarga Lila yang berada di sebuah gang yang kecil, yang terdiri atas sebelas buah rumah, membuat suasana atau hubungan antara tetangga yang satu dengan yang lainnya cukup akrab. Di gang kecil tersebut ada tiga pasang keluarga yang memiliki anak-anak yang sering bermainmain dengan Lila. Hampir semua keluarga yang tinggal di gang tersebut merupakan keluarga etnis Bali dan hanya satu keluarga yang merupakan keluarga
9
yang berasal dari Jawa yang sudah lama tinggal di Gilimanuk dan pindah tinggal di dekat rumah keluarga Lila tepat ketika Lila merayakan ulang tahunnya yang pertama. Dari sembilan orang anak yang berumur sekitar 1;5 sampai 6;0, lima dari mereka sangat akrab dengan Lila. Anak- anak tersebut bernama Koming, Angel, Erlin, Nita dan Restu. Ketika Lila berumur 1 tahun, Koming berumur sekitar 4;0, Angel 4;5, Erlin 1;5, Nita 5;5 dan Restu 3;0.
Gambar 4.1: Bermain dengan teman-teman
10
Gambar 4.2: Bercengkrama dengan Koming
Gambar 4.3: Lila bermain dengan Nita dan Restu Kelompok teman tersebut bertemu setiap hari di sepanjang gang. Mereka biasannya berkumpul di sepanjang gang pada sore hari. Mereka bermain bersama dan meskipun saat itu, dari segi umur, Lila merupakan anak paling kecil, namun dia sudah sering diikutkan dalam berbagai aktivitas oleh teman-temannya
11
tersebut. Di samping itu, Lila juga leluasa bermain di rumah mereka, pun anakanak lain juga terbiasa bermain di rumah Lila. Karena mereka bertemu setiap hari, maka tentu percakapan-percakapan atau celotehan-celotehan anak juga sering terdengar di antara mereka. Koming, Angel, dan Erlin merupakan anak dari keluarga etnis Bali, namun Nita dan Restu merupakan anak yang berasal dari keluarga etnis Jawa yang sudah tinggal lama di Bali. Jadi, ketika mereka bermain dan bercakap-cakap, percakapanpun terjadi dalam dua bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Anak-anak Bali mendengar dan mendapat kata-kata dalam bahasa Indonesia dari Nita dan Restu, sementara Restu dan Nita belajar bahasa Bali juga dari kawan-kawannya, dan secara otomatis Lila juga dihadapkan pada lingkungan bahasa teman sebaya yang menggunakan bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Di samping lingkungan teman sebaya tersebut, Lila juga sering diajak bermain oleh seorang anak yang berumur 11 tahun yang bernama Windi. Windi adalah anak kedua Warti. Sejak Lila lahir, Windi sudah sering bersama Lila dan Lila selalu senang kalau diajak bermain oleh Windi. Windi dan Lila juga bermain bersama hampir setiap hari. Dalam berkomunikasi dengan Lila pada umumnya Windi menggunakan bahasa Indonesia dan kadang-kadang juga menggunakan bahasa Bali. Jadi, dengan lingkungan teman sebaya, Lila berada pada lingkungan dwi bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Dari uraian yang telah didiskusikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bahasa Indonesia, Jerman, Bali dan bahasa Inggris. Namun, bahasa yang digunakan berkomunikasi kepada anak
12
atau, bahasa yang ditujukan kepada anak pada umumnya, adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Sementara dalam penelitian ini yang dilihat adalah bahasa anak itu sendiri, yang terfokus pada bunyi bahasa yang diproduksi oleh anak. Dilihat dari kuantitas orang-orang yang berkomunikasi dengan anak, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dominan didengar dan diproduksi oleh anak.
4.3 Sekilas Bahasan Pemahaman Bahasa Anak Sebelum anak mampu memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang dapat dikaitkan dengan makna tertentu, anak lebih dahulu
memiliki pemahaman
tentang masukan-masukan yang didapatkan dari orang-orang di lingkungannya. Dardjowidjojo (2000:75) menyatakan bahwa setelah bayi lahir dan mendapatkan masukan dari orang-orang di sekitarnya, dia mengembangkan pemahaman terlebih dahulu, bahkan dikatakan bahwa pemahaman lima kali lipat daripada produksinya. Clark dan Clark (1977: 43) memaparkan bahwa pemahaman memiliki makna yang sempit dan makna yang lebih luas. Dalam arti sempit, pemahaman mengacu pada proses mental ketika pendengar menyimak bunyi yang dikeluarkan oleh pembicara dan menggunakan bunyi tersebut untuk mengonstruksi suatu interpretasi tentang apa yang dimaksud oleh pembicara. Secara lebih sederhana,
13
pemahaman adalah membangun makna dari bunyi yang terdengar. Dalam arti yang lebih luas, pemahaman yang berawal dari interpretasi terhadap bunyi yang didengar tidaklah berhenti dalam tahap ini saja. Ketika mendengar suatu pernyataan, pendengar menyimak informasi yang mereka dengar dan kemudian menyimpannya dalam ingatan mereka. Ketika mendengar suatu pertanyaan, mereka biasanya mencari tentang informasi yang diinginkan dan mecari jawaban dari pertanyaan tersebut. Ketika mendengar perintah atau permintaan, mereka biasanya memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan akhirnya melakukan sesuatu. Masih berkaitan dengan pemahaman, Dardjowidjojo (2000) menyebutkan bahwa Hirsch-Pasek dan Golinkoff mendefinisikan komprehensi sebagai suatu proses interaktif yang melibatkan berbagai koalisi atau korespondensi antara lima faktor: sintaktik, konteks lingkungan, konteks sosial, informasi leksikal dan prosodi. Hirsch-Pasek dan Golinkoff memberikan beberapa alasan tentang mengapa komprehensi mendahului produksi. Pertama, untuk komprehensi, anak hanya perlu mengenali masukan yang datang dan tidak perlu memanggil ulang apa pun yang telah masuk seperti halnya pada produksi. Kedua, komprehensi memerlukan hanya penerimaan paket informasi yang masuk, sedangkan produksi memerlukan pembuatan informasi tersebut. Ketiga, komprehensi memerlukan pengaktifan pilihan-pilihan leksikal, tetapi bentuk leksikal itu telah dipilih oleh pembicara sedangkan dalam produksi pilihan ini harus dibuat oleh interlokutor. Tahap pemahaman yang mengawali tahap produksi sangat dipengaruhi oleh topik-topik yang dibicarakan kepada anak. Pada tahap-tahap awal
14
perkembangan bahasa anak, topik-topik biasanya berkaitan dengan hal-hal yang berada di sekitar lingkungan anak. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitarnya, benda-benda, gambar ataupun mainan yang mereka miliki. Clark dan Clark (1977) menyebutnya sebagai konsep here and now yang diterjemahkan oleh Dardjowijojo (2000) menjadi konsep sini dan kini. Dalam kasus Lila, yang tumbuh dalam lingkungan bilingual, juga terlihat bahwa komprehensinya lebih berkembang daripada produksinya. Sejak usia dini Lila sudah menyimpan informasi-informasi, baik dalam bahasa Indonesia ataupun dalam bahasa Jerman. Meskipun lebih banyak masukan yang diterima dalam bahasa Indonesia, namun informasi dalam bahasa Jerman pun terekam dalam memori Lila. Ini terlihat ketika Lila diajak bercakap-cakap oleh ayahnya dalam bahasa Jerman, Lila meresponnya dengan nonverbal ataupun verbal. Pada suatu hari, ketika berumur 1;7, Lila mendapatkan makanan ringan yang terbungkus plastik. Setelah makanan ringan tersebut habis, Lila membuang pembungkusnya di teras rumah. Ketika ayah Lila melihat hal itu, dia mengatakan, “Tun das rein in die abfall eimer!” (“Buang itu di tempat sampah!”) sambil menunjuk plastik pembungkus yang tergeletak di lantai. Mendengar apa yang dikatakan ayahnya, Lila memungut plastik tersebut dan berlari ke dapur ke tempat terletak sebuah tong sampah, kemudian dia membuang plastik pembungkus tersebut ke dalam tong sampah. Di samping itu, sering, ungkapan-ungkapan, pertanyaan, atau suruhan dalam bahasa Jerman dibalas oleh Lila menggunakan bahasa Indonesia. Misalnya, ketika Lila berumur 1;8, ayahnya bertanya, “Wo ist dein buch?” (“Di mana bukumu?”) Lila menjawab, ana- ‘di sana’, sambil menunjuk ke arah
15
meja. Ketika Lila menginjak umur dua tahun, komprehensinya semakin berkembang dan disertai dengan respon-respon yang mulai bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Suatu hari, saat Lila berumur 2;1, ayahnya bermain dengan Lila membuat benda-benda dari duplo (mainan bongkar pasang). Ayahnya menunjukkan bagaimana caranya membuat kursi dan meja dari duploduplo yang bisa dipasang dan dibongkar. Dalam bahasa Indonesia, mainan ini sering dikenal dengan nama mainan bongkar pasang. Percakapan antara ayah dan anak terjadi seperti di bawah ini:
(1)
Papa
: Was machen wir jetzt? ‘Apa yang kita lakukan sekarang?’
Lila
: ‘so’
Lila
: ‘jetzt’
Papa
: gleich
Lila
: ‘mana meja’
Papa
: Mejanya, o mejanya.
Lila
: ‘mau lagi buat’
Begitu pula ketika Lila bercakap-cakap dengan neneknya yang berasal dari Jerman. Sering Lila merespon tuturan neneknya dengan bahasa Indonesia atau mencampur ekspresi bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Misalnya, ketika suatu
was
apa
jetzt
machen
membuat
so
wir
kita
gleich segera
sekarang akhirnya, ayo
16
hari mereka akan jalan-jalan ke luar dan neneknya bertanya apakah Lila sudah siap. (2)
Nenek
: Bist du fertig? ‘Apa kamu sudah selesai?’
Lila
: ‘belum’
Nenek
: Oma ist fertig. ‘Oma sudah selesai’
Lila
: ‘mama auch’ ‘mama juga’
du
kamu
fertig
selesai
oma
nenek
ist
aux
auch
juga
Melihat respon yang diberikan oleh Lila, dapat dikatakan bahwa Lila memiliki pemahaman baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman. Meskipun bahasa Jerman masih jarang diproduksi, namun informasi atau masukan-masukan yang ada di sekitarnya sudah disimpan oleh Lila dalam memorinya. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa sampai usia 2;6, Lila belum bisa membedakan dua sistem bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan Jerman. Ini ditandai dengan adanya respon bahasa Jerman dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. Bahkan dengan teman-teman sebayanya yang tidak mengerti bahasa Jerman, Lila sering mengatakan nein ‘jangan’ ketika dia tidak mau mainannya dipakai orang. Atau ketika dia melihat mainan miliknya digunakan oleh seorang teman dan Lila merebutnya sambil mengatakan nein
17
‘jangan’. Ini membuktikan bahwa pada umur itu, Lila belum mengerti bahwa ketika berkomunikasi dengan teman-temannya dia seharusnya menggunakan bahasa Indonesia. Dalam kasus-kasus studi perkembangan bahasa dini anak yang disuguhi lingkungan bahasa yang bilingual, sering anak-anak pada awalnya belum bisa membedakan dua sistem linguistik yang berbeda. Hal ini juga dialami oleh Hildegard, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan bahasa Inggris dan Jerman yang perkembangan bahasanya diteliti oleh orangtuanya (Hakuta, 1974:49). Hakuta yang mewawancarai Leopod, ayah Hildegard, mendapat informasi bahwa dari penelitian yang dilakukan Leopold baru pada umur tiga tahun Hildegard memperlakukan kedua bahasa yang diperolehnya sebagai dua sistem linguistik yang berbeda. Dia menggunakan kedua bahasa tersebut secara berbeda ketika berkomunikasi dengan orang tuanya. Kepada ayahnya dia menggunakan bahasa Jerman dan kepada ibunya menggunakan bahasa Inggris. Kasus yang serupa juga terjadi pada Ingrid seperti yang dipaparkan Grosjean (1982:167). Pada mulanya Ingrid yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa Swedia dan bahasa Inggris (ayah berbahasa Inggris dan ibu berbahasa Swedia) memroduksi bahasa yang bercampur antara kedua bahasa tersebut, namun ketika Ingrid berumur tiga tahun dia bisa menggunakan kedua bahasa tersebut secara terpisah. Dilihat dari perkembangan bunyi bahasa yang muncul pada Lila, dapat dikatakan bahwa Lila memeroleh baik kompetensi maupun performasi dalam berbahasa. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah pengetahuan anak tentang
18
bahasa yang diperolehnya yang direalisasikan dengan performasi bahasa, yaitu dalam bentuk-bentuk fonologis yang mampu diucapkan oleh Lila. Pada awalnya, bentuk-bentuk fonologis belum mampu diucapkan secara sempurna, namun dapat dilihat bahwa bentuk-bentuk yang dilafalkan mengarah pada kata-kata tertentu yang mengacu pada makna-makna tertentu. Perkembangan bahasa yang diperoleh Lila sesuai dengan hipotesis nurani yang dicetuskan oleh kaum nativisme yang salah satu penggagasnya adalah Chomsky. Penganut nativisme berpendapat semua kanak-kanak di dunia akan memeroleh bahasa Ibunya asal mereka diperkenalkan atau diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Lust (2006) yang mengadaptasi teori Chomsky mengatakan anak-anak memeroleh bahasa secara alami meskipun kadang-kadang mereka disuguhi lebih dari satu bahasa sekaligus.
19
BAB V ELEMEN BUNYI DAN VARIASI UCAPAN
5.1 Elemen Bunyi dan Urutan Perkembangan Bunyi Anak yang belajar bahasa atau bahasa-bahasa pertamanya sama sekali tidak “mengetahui” apakah ia akan mendengar bahasa Indonesia, Jepang, Rusia, Inggris atau Hongaria (Schane, 1992: 9). Selanjutnya Schane juga berargumen bahwa meskipun anak tidak mengetahui tentang bahasa yang mereka dengar, dengan adanya fakta bahwa mekanisme suara semua manusia itu sama, anak mempunyai potensi untuk menghasilkan segala bunyi yang signifikan dalam bahasa tertentu atau bahasa yang akan dipakai anak tersebut. Watson
(1992:32)
memaparkan
bahwa
meskipun
tahap
awal
perkembangan bunyi anak bilingual dipengaruhi oleh berbagai faktor, anak bilingual tidak begitu dapat dibedakan dengan anak monolingual pada tahap produksi satu kata satu frasa. Mayoritas dari anak bilingual di dunia yang disuguhi
20
lebih dari satu bahasa mengalami dominasi pada satu bahasa tertentu sehingga kata-kata pertama yang diproduksi biasanya merupakan bagian dari satu bahasa tersebut. Di samping itu, bahkan dalam kasus-kasus anak yang dianggap bilingual primer yang disuguhi dua bahasa secara bersamaan dengan kuantitas yang sama sejak anak dilahirkan dan terus berkelanjutan, biasanya anak tidak sadar bahwa mereka disuguhi dua sistem linguistik yang berbeda.
Gejala perkembangan
kebahasaan seperti yang dituturkan Watson juga ditemui pada kasus perkembangan bahasa, khususnya pada tahap perkembangan bunyi bahasa Lila pada usia dini, yaitu pada usia 1;2 sampai 2;6. Penelitian yang melihat perkembangan bunyi anak bilingual bahasa Indonesia dan Jerman ini dimulai ketika anak berumur 1;2. Pada umur 1; 2, Lila telah memproduksi bunyi-bunyi, baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Bunyi vokal yang paling sering muncul adalah bunyi vokal-depan-rendah . Bunyi vokal lain yang muncul kemudian adalah bunyi vokal-depan-tinggi i, vokal-belakang-tinggi u, vokal-depan-tengah e, dan bunyi yang kedengaran seperti bunyi vokal- pusat-tengah . Dari kelima bunyi vokal yang muncul pada usia tersebut, bunyi yang paling dominan dan paling sering muncul adalah bunyi , baru kemudian diikuti bunyi i dan u. Ketiga bunyi vokal tersebut adalah pola tiga-vokal dasar yang ditemukan dalam hampir semua bahasa (Schane, 1992: 10). Produksi ketiga vokal tersebut yang dikuasai oleh Lila sesuai dengan teori yang dicetuskan Jakobson (dalam Schane, 1992: 11) yang menyatakan bahwa i, a dan u secara menyeluruh merupakan fonem vokal
21
pertama yang muncul dalam bahasa anak-anak. Jokobson mengulas bahwa ketiga vokal tersebut dirujuk sebagai vokal paling dasar yang muncul sebagai segmen dalam hampir semua bahasa dan sebagai segmen pertama dalam bahasa anakanak. Vokal-vokal tersebut sangat bertolak belakang. Dalam hal ini, vokal a sebagai vokal rendah bertolak belakang dengan vokal i dan u yang merupakan vokal tinggi. Sementara itu, vokal i dan u bertolak belakang atau berkontras dilihat dari segi perbedaan titinada. Vokal i memiliki karakter bertiti nada tinggi sementara vokal u bertiti nada terendah. Dominasi bunyi vokal-depan-rendah juga dapat dilihat dalam contoh yang digambarkan dalam spektrogram di bawah ini.
Gambar 5.1: Bunyi vokal yang diproduksi anak
22
Gambar 5.2: Bunyi Pada gambar 5.1, terlihat bahwa Lila mengeluarkan bunyi
yang
panjang dan diulang. Bunyi tersebut diucapkan dengan durasi yang cukup lama, yaitu antara 700-800 ms dengan frekuensi, yang berkisar antara 24 Hz-30 Hz. Frekuensi bunyi yang terdeteksi dalam gelombang suara tersebut cukup kecil karena ketika sedang direkam posisi alat perekam tidak bisa diletakkan terlalu dekat dengan anak, untuk menghindari anak merasa terganggu dengan alat tersebut. Pada gambar 5.1, dominasi bunyi juga terlihat dibandingkan dengan bunyi nasal-alveolar . Dibandingkan dengan bunyi , bunyi memiliki frekuensi lebih tinggi dan durasi yang lebih panjang. Bunyi memiliki frekuensi sekitar 20 Hz – 25 Hz, sementara bunyi n hanya 4 Hz-8 Hz. Durasi yang diperlukan untuk mengeluarkan bunyi sekitar 250 ms – 300 ms, sedangkan durasi yang dibutuhkan untuk produksi bunyi n berkisar antara 150 ms – 160 ms.
23
Bunyi sering muncul dan dikombinasikan dengan bunyi konsonan bilabial hambat , serta bunyi nasal dan sehingga muncullah bentuk fonologis , , dan yang sering direduplikasi oleh anak. Pada grafik gelombang suara yang diproduksi anak, yang terlihat dalam kedua gambar di atas, dapat terlihat bahwa bunyi vokal memiliki gelombang suara yang besar dan durasi yang panjang. Dari bunyi-bunyi vokal yang dikembangkan oleh Lila pada umur 1;2, salah satu bunyi yang diperoleh di luar bunyi vokal dasar yang dicetuskan Jakobson adalah bunyi . Ketika bunyi pertama kali muncul, Lila selalu mengatakan sambil menunjuk-nunjuk gambar seekor kucing, yang sering diperkenalkan dengan kata miao atau katze kats dalam bahasa Jerman oleh orang tuanya. Berikut adalah gambar gelombang bunyi ketika Lila memproduksi bentuk fonologis .
24
Gambar 5.3: Spektrogram bunyi Bunyi pada gambar 5.3 hanya memiliki frekuensi sekitar 4 Hz -6 Hz dan durasi yang pendek, yaitu sekitar 70 ms – 85 ms. Kemunculan bunyi ini dapat dimengerti karena bunyi adalah bunyi vokal yang keluar yang memerlukan energi yang paling lemah. dan frekuensi kemunculan bunyi tersebut baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali serta Bahasa Jerman cukup tinggi sehingga pada akhirnya anak juga belajar untuk memproduksi bunyi tersebut. Dalam bahasa Jerman khususnya, bunyi sangat sering muncul diakhir kata seperti dalam kata meine ‘punya saya’, k ecke ‘pojok’, ente ‘bebek’, alle ‘semua’, kette ‘kalung’, jede ‘setiap’, danke ‘terima kasih, bitte, ‘tolong/silakan’. Dalam http://www.vistawide.com termuat bahwa sekitar 89% kata-kata dengan gender maskulin, 74% kata-kata dengan gender netral dan 25% kata-kata dengan gender feminim memiliki bentuk plural –e yang sering dilafalkan dengan bunyi . Kata-kata tersebut sering didengar oleh Lila. Jadi bunyi dikembangkan oleh anak karena anak menerima banyak masukan kata-kata yang mengandung bunyi tersebut. Oleh karena itu, jika digambarkan dengan bagan, maka fonem vokal yang secara regular muncul pada umur 1;2 dalam kasus Lila adalah sebagai berikut:
25
Bagan 5.1: Fonem Vokal Umur 1;2 Bunyi-bunyi konsonan yang muncul adalah bunyi bilabial-hambat-tak bersuara , bilabial- hambat-bersuara , bilabial-nasal- bersuara , alveolar-nasal-bersuara , bunyi dental-hambat- tak bersuara dan bunyi dental-hambat- bersuara sehingga suku kata yang sering muncul pada umur ini adalah , , , , , , . Kebanyakan bentuk-bentuk fonologis yang terdengar belum bisa dikaitkan dengan makna tertentu yang berhubungan dengan orang, objek maupun perbuatan. Beberapa ahli menamai tahap ini sebagai tahap ocehan bayi atau dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai babbling period. Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa; mengungkapkan isyarat emosi; memproduksi kata-kata pertama (Desmita, 2009: 114). Sering kali bentuk-bentuk fonologis yang sama muncul ketika dia sedang bermain sendiri, bermain dengan orang lain, ketika dia sedang dimandikan, makan dan melakukan aktivitas lain. Bunyi-bunyi yang dikeluarkan pada umur ini lebih sebagai latihan alat ucap anak. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul misalnya: (1)
26
Sehubungan dengan periode ocehan bayi ini,
Clark & Clark (1977)
menyebutkan bahwa ocehan bayi memberikan kesan mulai munculnya bunyi bahasa dibandingkan suara tangisan bayi. Hal ini karena pada tahap ocehan bayi sering muncul gabungan antara vokal dan konsonan, seperti misalnya bababa, mamama, mememe, papapa. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode ini mulai menurun ketika anak-anak mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya yang dapat dihubungkan dengan makna. Anak memproduksi kata-kata pertama yang mengacu pada makna sekitar umur satu sampai satu setengah tahun (Clark & Clark, 1977: 391). Sementara Desmita (2009:114) mengungkapkan bahwa pada ulang tahun pertama, anak menguasai kira-kira 12 kata dan penguasaan ini meningkat secara dramatis hingga diperkirakan sekitar 300 kata atau lebih pada ulang tahun yang kedua. Pada kasus Lila, ketika dia berumur 1;2, dua bulan setelah ulang tahunnya yang pertama, baru terdeteksi hanya beberapa bentuk fonologis yang dapat direlasikan dengan makna tertentu.
Bentuk-
bentuk
tersebut,
yaitu
Bunyi sering
27
terdengar ketika anak melihat ibunya atau barang-barang yang berhubungan dengan ibunya. Misalnya, ketika suatu siang ibunya pulang dari bekerja dan menaruh tas tangannya di teras rumah, Lila berusaha mengambil tas tersebut dan mengatakan sambil menunjuk-nunjuk tas tersebut. Bunyi juga sering keluar ketika anak melihat ayahnya atau ketika dia ingin digendong ayahnya. Bunyi ini juga terdengar ketika anak menunjuk-nunjuk benda-benda yang berhubungan dengan ayahnya. Misalnya, ketika anak melihat secangkir kopi yang terletak di atas meja di teras rumah, anak menunjuk-nunjuk cangkir tersebut sambil mengatakan yang di ulang-ulang, bahkan jika cangkir tersebut kosong dan tidak berisi kopi, anak juga mengatakan . Hal ini bisa dimengerti karena di rumah tersebut, setiap orang memiliki cangkir yang berbeda. Khusus untuk ayahnya, ayah Lila memiliki cangkir kopi yang besar, yang warnanya selalu sama. Sementara ibunya memiliki cangkir teh yang lebih kecil yang memiliki warna berbeda dengan cangkir kopi. Cangkir-cangkir tersebut memiliki hubungan yang sangat khas dengan pemiliknya dan anak terbiasa melihat setiap cangkir tersebut berada dalam genggaman orang tuanya, khususnya di pagi hari. Khusus untuk bentuk fonologis dan juga sering terdengar pada produksi bunyi pada hampir setiap anak yang memeroleh bahasa mana pun di dunia. Hal ini dijelaskan oleh Clark & Clark (1977; lihat juga Dardjowidjojo, 2000: 84-86) yang mengadaptasi teori Jakobson, yang menyebutkan bahwa dalam pemerolehan bahasa, anak mengembangkan kontras bunyi yang muncul dalam
28
urutan yang konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah kontras antara bunyi vokal dan konsonan. Pada umumnya bunyi vokal yang pertama muncul adalah bunyi vokal sementara bunyi konsonan adalah konsonan hambat , dan . Dengan kontras tersebut, anak mampu memproduksi kata seperti papa, baba, mama. Jakobson kemudian berargumen bahwa perkembangan sistem bunyi yang diperoleh anak sejak dini tersebut memberikan penjelasan tentang mengapa kata seperti papa dan mama digunakan secara umum dalam berbagai bahasa di dunia sebagai kata yang digunakan untuk merujuk makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Kata papa dan mama merupakan bagian dari kata-kata pertama yang diproduksi anak dalam bahasa mana pun di dunia. Selanjutnya dikatakan karena orang tua bersifat egois, maka mereka memberi atribut terhadap kedua kata tersebut dengan makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Bentuk terdengar ketika Lila melihat orang lain meninggalkan rumah. Kata dada sering diucapkan orang-orang di rumah ketika orang-orang pergi, yang selalu disertai dengan lambaian tangan. Hampir setiap hari ada anakanak yang bermain di rumah keluarga tersebut, dan setiap kali anak-anak tetangga meninggalkan rumah, selalu mengucapkan kata dada disertai dengan lambaian tangan, yang sering dijawab dada juga oleh orang tua Lila. Jadi kata dada relatif sering didengar oleh Lila sehingga bentuk fonologis tersebut juga merupakan salah satu kata yang dikembangkan oleh Lila, yang mengacu pada makna selamat tinggal. Bentuk lain yang muncul adalah yang mengacu pada seekor anjing tetangga yang bernama Doggy, yang selalu menghabiskan waktu di rumah
29
keluarga Lila karena keluarga Lila sering memberinya makan. Setiap orang memanggil anjing itu Doggy dan Lila sangat senang melihat anjing tersebut dan memanggil-manggilnya . Sementara bentuk fonologis [] merujuk pada binatang unggas, yaitu ayam. Ayam adalah salah satu binatang yang juga sering ada di pekarangan rumah. Ayam-ayam tetangga sering datang berkeliaran dan Lila pada umur 1;2 melafalkan []. Mengapa Lila merujuk binatang tersebut dengan bunyi yang jauh dari kata ayam? Pada suatu saat, ketika Lila berumur satu tahun, neneknya dari pihak ayah tinggal di Bali selama tiga bulan. Nenek Lila selalu berkomunikasi dengan Lila dalam bahasa Jerman dan setiap kali ada ayam yang berkeliaran di pekarangan rumah, neneknya selalu menunjuknya dan mengatakan kikeriki. Bunyi kikeriki adalah tiruan suara ayam dalam bahasa Jerman yang di dalam bahasa Indonesia biasanya disuarakan kukuruyuk. Pada akhirnya, setiap kali melihat ayam, Lila selalu melafalkan []. Dapat dilihat bahwa bunyi [] yang muncul digunakan untuk mengganti bunyi [] yang saat itu belum dikuasai oleh Lila. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan bunyi Jakobson (1972) yang menyatakan bahwa bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar. Bentuk lain, yaitu [] merujuk benda yang berupa bunga. Sejak Lila usia dini, dia sudah tertarik pada warna-warna di sekitar rumah, terutama warna-warna bunga yang ada di kebun. Warna-warna terang seperti merah, oranye dan ungu merupakan warna-warna bunga bougainvillaea yang ada di kebun rumah. Kalau
30
diajak berjalan-jalan di sekitar kebun, maka dia menunjuk-nunjuk bunga dan mengatakan []. Melihat data perkembangan bunyi awal yang dikuasai Lila, seperti dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi bahasa Lila mengikuti teori perkembangan fonologi anak yang dicetuskan oleh Jakobson (1971) yang juga termuat dalam Clark dan Clark (1977: 392). Jakobson menemukan bahwa kontras bunyi dikuasai anak secara konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah antara bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal pertama yang muncul adalah bunyi depan-rendah yang diproduksi dengan posisi mulut terbuka lebar dengan posisi lidah yang datar. Bunyi ini direpresentasikan dengan bunyi A. Bunyi ini sering dikombinasikan dengan kontras konsonan, biasanya bunyi hambat- bilabial baik yang bersuara maupun tak bersuara PByang sering difluktuasikan di antara keduanya. Lambang huruf kapital digunakan untuk menggambarkan kontras yang muncul, mengingat bahwa pada tahap perkembangan bunyi awal yang dikuasai anak, segmen yang muncul sangat bervariasi. Menurut Jakobson, kontras selanjutnya yang muncul dalam sistem bunyi konsonan adalah kontras bunyi oral dan nasal konsonan, yaitu antara bunyi oral bilabial dan nasal bilabial, yaitu P-BM(lambang Mdi sini merepresentasikan segmen nasal pertama yang muncul, namun realisasi bentuk fonetiknya bisa bervariasi dari suatu produksi ke produksi lain). Pada tahap ini, yaitu tahap awal perkembangan bunyi, Clark dan Clark menyebutkan bahwa
31
anak-anak mengembangkan “bentuk-bentuk kata” yang potensial seperti: ba, pa, ma, baba, papa dan mama. Kontras selanjutnya yang muncul adalah antara konsonan bilabial dan konsonal dental. Konsonan P-B dikontraskan dengan konsonan T-D, dan M dikontraskan dengan N. Di bawah ini adalah bagan tahap perkembangan kontras konsonan yang dikembangkan oleh Lila ketika berumur 1;2.
Konsonan P-B
Oral P-B
Bilabial P-B
Nasal M
Alveolar T-D
Bilabial M
Alveolar N
Bagan 5.2: Tahap Perkembangan Kontras Konsonan yang Dikuasai Lila
Bagan di atas sesuai dengan bagan yang digambarkan oleh Clark dan Clark (1977: 39).
32
Pada umur 1;2, fonem konsonan yang muncul secara konsisten adalah Titik/Cara Artikulasi Hambat Frikatif Afrikat Nasal Getar Lateral Semivokal
Bilabial
Alveolar
Palatal
Velar
Glotal
Bagan 5.3: Fonem Konsonan Umur 1;2 Pada bagan 5.3, terlihat bahwa bunyi-bunyi anterior, yang diproduksi di bagian depan mulut diproduksi lebih awal oleh Lila, sementara bunyi-bunyi belakang belum mampu untuk dikembangkan. Bunyi glotal h adalah bunyi yang berada di antara vokal dan konsonan yang cenderung lebih mudah untuk dikuasai anak. Bunyi-bunyi anterior yang bilabial, misalnya, hanya dengan menggerakkan bibir sedikit saja, bunyi tersebut sudah
muncul. Pengucapan
bunyi-bunyi tersebut paling mudah dikuasai anak. Sementara bunyi lain, yang diproduksi di belakang bagian mulut, lebih sulit karena untuk dapat mengeluarkan bunyi-bunyi tersebut, Lila harus menggunakan lidahnya atau membutuhkan gigi yang sudah tumbuh secara normal. Namun, pada umur 1;2, Lila belum memiliki cukup gigi serta belum dapat menggunakan lidahnya secara optimal.
33
Tiga bulan kemudian, ketika Lila berumur 1;5, bunyi-bunyi yang muncul sudah semakin bertambah. Bunyi vokal , , dan konsonan frikatif dan velar-hambat sudah mulai muncul. Namun, kemunculan bunyi dan masih sangat terbatas, yaitu hanya pada akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul sudah merujuk benda-benda tertentu, baik yang ada di sekelilingnya maupun dari gambar-gambar yang dilihat (Pada setiap data fonologis yang muncul dalam penelitian ini, ditulis dalam tiga lajur. Lajur pertama adalah bunyibunyi yang diproduksi anak, lajur kedua adalah bunyi ideal yang seharusnya diproduksi, dan lajur ketiga adalah kata-kata yang diproduksi). Bunyi-bunyi yang terdengar,yaitu
(2)
‘sabun’
‘air’
‘bebek’
‘ikan’
maem (informal)’
‘lampu’
‘habis’
‘makan’
Beberapa bentuk fonologis yang muncul sering merepresentasikan lebih dari satu makna. Misalnya, bunyi terdengar ketika Lila melihat air, atau gelas, cangkir, botol, atau dot. Ketika anak melihat gambar gelas, dia juga
34
menyebutnya begitu juga ketika dia melihat botol di atas meja. Meskipun botol itu kosong tidak berisi air, dia tetap mengatakan Demikian juga halnya dengan bentuk fonologis Untuk Lila, adalah bebek itu sendiri atau angsa. Keluarga tersebut memiliki dua ekor angsa, dan pada umur 1;5, Lila masih memanggil angsa dengan bentuk fonologis Mengapa angsa disebut oleh anak? Hal ini dapat dijelaskan, baik secara semantis maupun fonologis. Secara semantis, angsa memiliki ciri-ciri fisik yang mirip dengan bebek. Keduanya merupakan binatang unggas yang berkaki dua dan berbulu serta berparuh. Dalam buku anak-anak yang sering ditunjukkan kepada anak sering terlihat gambar bebek atau itik yang merupakan anak bebek. Anak sering diperkenalkan bahwa binatang tersebut bernama bebek, sehingga ketika Lila melihat angsa yang berjalan-jalan di kebun rumah, dia memanggilnya karena untuk umurnya yang masih sangat muda, anak belum bisa membedakan bahwa angsa memiliki leher yang lebih panjang daripada bebek. Sementara dari segi fonologis, kata angsa terdiri dari bunyi-bunyi yang secara artikulatoris belum bisa diucapkan oleh anak pada umur tersebut. Pada umur 1;5, Lila belum mampu untuk memproduksi bunyi serta bunyi yang berada di posisi tengah kata. Dengan kata lain bunyi bebek dipilih oleh anak karena secara kodrati bunyi tersebut yang terdiri atas bunyi konsonan bilabial lebih mudah disuarakan oleh anak. Bentuk fonologis lain yang diproduksi, yang sering memiliki lebih dari satu makna adalah , bentuk merujuk pada binatang babi, baik
35
yang dia lihat di kenyataan maupun di gambar. Kata juga digunakan ketika anak melihat gambar gajah. Setiap kali melihat gambar gajah ataupun melihat seekor gajah di TV, Lila memanggilnya . Pada umur 1;5 kata-kata yang merujuk pada makna suatu benda atau keadaan dalam bahasa Jerman juga sudah mulai terdengar meskipun realisasi fonem yang muncul adalah realisasi fonem bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut dapat dilihat di bawah ini. (3)
h
heiß
meao
‘suara kucing’
banane
‘pisang’
Kata heiß yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘panas’ adalah salah satu kata bahasa Jerman yang sering diucapkan Lila. Ini bisa dimengerti karena, setiap kali dia mendapat makanan, makanan yang diberikan masih dalam keadaan hangat. Sebelum mulai makan, untuk menghindari anak terkejut dengan makanan yang mungkin agak panas, orang tuanya selalu mengatakan achtung heiß ‘hatihati panas’. Hal yang menarik, yang dapat dilihat di sini adalah bahwa pada umurnya yang masih sangat muda, Lila memproduksi beberapa kata dalam bahasa Jerman dan kata-kata ini muncul secara konsisten. Memang dalam produksi bahasanya, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan yang dikeluarkan anak. Hal ini dapat dimengerti karena masukan yang diperoleh anak dari lingkungan sekitarnya
36
kebanyakan dalam bahasa Indonesia. Dari segi kuantitas, orang yang berbicara kepada anak dalam bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada orang yang berbicara dalam bahasa Jerman. Beberapa kata yang secara konsisten diproduksi dalam bahasa Jerman adalah sebagai berikut.
kiekiriki
‘tiruan bunyi ayam’
heiß
‘panas’
banane
‘pisang’
nain
nein
‘tidak’
affe
‘monyet’
hand
‘tangan’
buch
‘buku’
bauch
‘perut’
kuh
‘sapi’
clown
‘badut’
(4)
auto
‘mobil’
Pada data (4), kata-kata tersebut mulanya selalu diucapkan dalam bahasa Jerman. Contohnya, sampai umur 1;8, anak selalu menyebut atau memanggil ayam dengan bunyi otopea dalam bahasa Jerman, yaitu kiekiriki ‘bunyi suara ayam’. Ini disebabkan saat anak berumur sekitar satu tahun, neneknya yang berasal dari Jerman tinggal di Bali selama tiga bulan. Setiap hari ketika melihat ayam, neneknya memperkenalkan kepada anak bahwa ayam itu berbunyi kiekiriki. Karena saat itu anak belum menguasai bunyi velar-hambat-tak bersuara
37
, maka yang keluar adalah bunyi alveolar-hambat–tak bersuara , yang memiliki kesamaan fonetis dengan bunyi k. Kata ayam yang terealisasi dalam bentuk fonetis baru muncul ketika anak berumur 1;9. Dari segi fonologis, munculnya mendahului bunyi juga dapat dijelaskan karena bunyi yang merupakan bunyi palatal-semivokal secara natural dikembangkan lebih lambat daripada bunyi-bunyi alveolar. Hal yang serupa juga terjadi dengan kata banane ‘pisang’. Bunyi jauh lebih dahulu dikembangkan daripada kata ‘pisang’ yang baru aktif digunakan ketika anak berumur 2;1. Jika kita lihat, kata banane terdiri atas bunyi-bunyi konsonan bilabial dan alveolar yang secara natural lebih dahulu dikembangkan oleh anak daripada kata pisang yang di dalamnya terdapat bunyi alveolar-frikatif-tak bersuara dan bunyi velar-nasal . Sementara untuk kata buch ‘buku’ dan auto ‘mobil’, masukan yang didapat sangat identis dengan ayahnya. Ayah Lila adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada buku. Setiap kali bepergian hal yang dibawa pulang sebagai hadiah untuk anaknya sering berupa buku anak-anak yang penuh dengan gambar-gambar. Ayah dan nenek yang berasal dari Jerman selalu memperkenalkan anak pada buku-buku yang baru. Buku sering dipakai ayah Lila untuk melatih anak untuk mengetahui benda-benda atau hal-hal yang ada di sekitar anak. Begitu juga dengan kata auto ‘mobil’. Hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan sering diketahui anak dari ayahnya.
38
Pada kasus yang ditemukan dalam penelitian ini, data yang terdapat pada (4), pada tahap ujaran bunyi satu kata pada awalnya, selalu muncul dalam bahasa Jerman dan tidak dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kata-kata yang terdapat dalam data (2) yang selalu diucapkan dalam bahasa Indonesia, pada awalnya tidak pernah diproduksi dalam bahasa Jerman. Temuan ini mendukung pendapat perkembangan awal bilingualisme yang ditulis oleh Grosjean (1982: 183) yang mengadaptasi hipotesis Volterra dan Taeschner, yang dikembangkan pada tahun 1978. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa tahap pertama dalam perkembangan bahasa anak bilingual adalah tahap satu sistem linguistik atau satu sistem leksikal yang mengandung kata-kata dari kedua bahasa yang diperolehnya. Selanjutnya dikatakan bahwa hal yang menarik dalam tahap pertama pemerolehan bahasa anak bilingual adalah ketika anak memiliki satu sistem leksikal yang terdiri atas kata-kata yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperoleh jarang ada ketumpang tindihan di antara kata-kata yang diproduksinya. Hal ini sesuai dengan yang dilukiskan dari hasil penelitian Imedadze dan Uznadze (Grosjean, 1982), yang meneliti anak bilingual Rusia-Georgia. Misalnya, anak menggunakan bahasa Rusia untuk bunga tsiti dan bahasa Georgia untuk bola buti, tetapi anak tidak pernah menggunakan kata bunga dalam bahasa Georgia, begitu pun sebaliknya kata buti, dalam bahasa Rusia. Peneliti lain yang mendukung hipotesis bahwa pada awalnya anak bilingual memiliki satu sistem linguistik yang mengkombinasikan elemen-elemen dua bahasa yang disuguhkan
39
kepadanya adalah Swain yang meneliti anak bilingual untuk topik disertasinya (Grosjean, 1982). Dalam bahasa Bali, kata yang muncul adalah jajak ‘kue’ dan mai ‘sini’. Dua kata ini sering terdengar ketika Lila bermain dengan temantemannya. Setiap kali ada beberapa teman yang bermain, salah satu dari mereka pasti memanggil teman lain dengan kata mai-mai sambil melambai-lambaikan tangan mereka ke arah teman yang baru datang. Ketika mereka sedang bermain itulah, kerapkali ada anak yang membawa jajanan karena salah satu rumah tetangga adalah warung penjual jajan, dan mereka sering mengatakan, Mau jajak? Kata jajak diserap oleh Lila dan yang muncul kemudian adalah bunyi dadak. Pada umur 1;6, Lila mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang terdiri atas dua kata, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas. Dengan demikian, muncullah bentuk-bentuk seperti: (5)
a
‘apa ini’
‘tidak ada’
‘papa duduk’
Satu bulan kemudian, bunyi-bunyi semivokal dan serta bunyi afrikat dan mulai muncul. Bunyi-bunyi seperti di bawah ini mulai terdengar. (6)
‘bawa’
40
‘berat’
‘kecil mama’
‘awas’
‘hujan’
Khusus untuk bunyi afrikat dan kemunculannya masih sangat terbatas pada kata ‘hujan’. Namun pada produksi kata-kata yang lain yang mengandung bunyi dan , bunyi sering diganti dengan bunyi dan bunyi sering diganti dengan bunyi , sehingga bentukbentuk yang diproduksi anak adalah sebagai berikut: (7)
‘cicak’
‘jajak’
‘jatuh’
‘kencing’
Menginjak umur 1;8, meskipun belum ada elemen bunyi baru yang dikuasai selain apa yang dikembangkan pada umur 1;7, kuantitas bunyi yang memiliki makna dalam bahasa Jerman mulai lebih terdengar dan lebih konsisten. Meskipun realisasi fonem yang dikeluarkan masih dipengaruhi oleh bunyi-bunyi bahasa Indonesia. Contoh: (8)
auto
‘mobil’
buch
‘buku’
maus
‘tikus’
41
kuh
‘sapi’
ö
könig
‘raja’
clown
‘badut’
Elemen bunyi baru mulai muncul lagi ketika Lila berumur 1;9. Elemen bunyi tersebut adalah bunyi palatal-nasal ñ. Lila mulai bisa mengembangkan bunyi tersebut dalam kata-kata seperti : (9) ñ
mñ
‘monyet’
ñ
ada ñ
‘ada monyet’
ini uñ
ini ñ
‘ini bunyi’
uda bañ
ñak
‘sudah banyak’
Pada bulan berikutnya, usia 1;10, Lila juga mulai mengeluarkan bunyibunyi yang terdiri atas tiga kata. Pada umur ini, anak sudah belajar merangkai kata-kata pendek. Meskipun ujaran-ujaran yang dikeluarkan belum sempurna, namun makna dari apa yang diucapkannya, dapat ditangkap. (10) []
[]
‘mama cuci muka’
[]
[] ‘cuci muka mama’
[ ñ]
‘ini punya Ina’
[] ‘Ini jajak kuskus’ [] sini’
‘Papa duduk di
42
Setelah mengembangkan bunyi ñ, dua bulan kemudian pada bulan Mei 2008, saat Lila menginjak umur 1;11, sebulan sebelum ulang tahunnya yang kedua, dia mulai menguasai bunyi lateral seperti dalam ujaran ‘jalan-jalan’. Jika digambarkan dalam bagan, maka fonem vokal yang sudah dikuasai Lila sampai berumur 2;0 adalah sebagai berikut:
ə
ɛ
Ɔ
Bagan 5.4: Fonem Vokal Umur 2 Tahun
Sementara fonem konsonan yang dikuasai adalah seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini. Titik/cara Artikulasi Stop/hambat Tak bersuara bersuara Frikatif
Bilabial
Labio dental
Alveolar/denta l
palatal
Velar
Glotal
43
Afrikat
Nasal
Lateral
ñ
Getar Semivokal
Bagan 5.5: Fonem Konsonan Umur 2 Tahun Setelah Lila berumur 2 tahun, bunyi-bunyi yang dikembangkan masih tetap sama, namun ada tambahan bunyi baru yang muncul ketika anak berumur 2;1, yaitu bunyi velar-nasal Bunyi ini muncul di antara bunyi vokal dan di akhir kata. (11)
Selain
‘dingin’
binta
‘bintang’
‘Koming’
ila
bunyi
bunyi
yang
‘hilang’
dikembangkan
setelah
anak
berumurBunyi ini muncul dengan jelas ketika anak berumur 2:5. Ini tampak ketika anak mengatakan lagi om lagi Tahapan-tahapan perkembangan bunyi bahasa yang diperoleh Lila yang terealisasi dalam bentuk-bentuk fonologis juga sesuai dengan teori perkembangan bahasa anak yang dicetuskan oleh Piaget. Piaget mengemukakan bahwa
44
perkembangan kognitif anak memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa anak dan pada saat yang sama membatasi level pemerolehan bahasa itu sendiri (Taylor, 1990: 231). Melihat perkembangan bentuk-bentuk fonologis yang dilafalkan oleh Lila, kata-kata yang diacu pada umur 1;2 sampai 2;6 masih merujuk pada benda-benda, kegiatan maupun orang-orang yang ada di sekitar anak atau dekat dengan anak. Ketika penelitian ini dilakukan anak masih dalam tahap sensori motor dan baru menginjak tahap pra operasional. Pada tahap ini anak belajar tentang dunianya melalui rasa, melihat maupun manipulasi terhadap objek. Anak mulai memproduksi kejadian-kejadian atau mengucapkan bendabenda yang dilihatnya atau meniru orang-orang yang ada di sekitarnya. Saat berumur 2;4, Lila juga banyak berlatih berbicara melalui cerita-cerita yang sering dibacakan oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Cerita-cerita tersebut adalah cerita anak-anak yang termuat dalam buku-buku kecil. Sering, ketika sudah selesai dibacakan cerita, Lila sendiri mengambil buku tersebut dan membolak balikkan halaman buku serta melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku sambil mengatakan apa yang dia lihat pada gambar tersebut. Contoh menarik terdapat pada rekaman dalam DVD yang diambil pada Oktober 2008 ketika Windi dan Lila melihat-lihat salah satu cerita yang berjudul Si Jempol. (12)Windi
: Ini apa?
Lila
: ojoh melah ‘ogoh-ogoh merah’
Windi
: Men Ini?
Lila
: ojoh ojoh ijao ‘ogoh-ogoh hijau’
Windi
: Ini ogoh-ogohnya kenapa ini?
45
Lila
: Is ‘nangis’
Windi
: Kok nangis dia?
Lila
: ‘mau ibu’
Windi
: Di kasi apa dia?
Lila
: ‘kasih hadiah’
Windi
: Siapa ini?
Lila
: ñ ‘papanya’
Windi
: Bukan, si Jempol
Lila
: ñ ‘papanya’
Latihan-latihan berbicara seperti ini, dengan melihat gambar dalam cerita juga sering dilakukan oleh Lila dengan ayahnya. Meskipun ayahnya berbicara menggunakan bahasa Jerman, Lila sering meresponnya dengan bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa keterampilan pasif Lila dalam bahasa Jerman jauh melebihi produksi anak dalam bahasa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena di lingkungan rumah, ayah Lila adalah satu-satunya orang yang menggunakan bahasa Jerman secara aktif kepada Lila. Salah satu rekaman yang menarik untuk dilihat adalah percakapan yang terjadi antara ayah Lila dan Lila pada bulan November 2008. Pada saat itu, Lila membolak- balik sebuah cerita yang berjudul Periuk Bunbuku.
(13)Frank
Lila
: Was ist das schoon buch? ‘Buku apa itu?’ : ‘periuk’
46
Frank
: O, und kenst du das buch? ‘O, Apa kamu tahu buku itu?’
Lila
: ‘periuk’
Frank
: Oh Pinokio
Lila
: ‘ndak-ndak periuk’
Frank
: O ya, ya, jetzt verstehe ich. Erzähltmal was gehts das? ‘O ya, ya.sekarang aku mengerti. Coba ceritakan, apa itu?’
Lila
: ‘pada suatu hari, ini musang nangis’
Frank
: Warum? ‘kenapa?’
Lila
: ’ butter/mentega’
Frank
: Ya genauch, die haben keine essen ya
mau
roti
sama
‘Ya tentu saja, mereka tidak punya makanan ya.’
Percakapan-percakapan seperti di atas sering terjadi antara ayah dan anak. Sampai Lila berumur 2;6, Lila masih sering menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahnya yang diungkapkan dalam bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia, meskipun kata-kata dalam bahasa Jerman sudah muncul di sana sini, tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Indonesia masih sangat mendominasi produksi bahasa Lila. Kebanyakan dari anak-anak yang disuguhi bahasa bilingual tidak sadar bahwa mereka disuguhi dua sistem bahasa yang berbeda sampai anak berumur dua tahun (Watson, 1992: 34). Demikian juga halnya dengan Lila, bahkan sampai umur dua setengah tahun belum terlihat bahwa dia menyadari perbedaan linguistik tersebut terlihat dari jawaban-jawaban dalam bahasa Indonesia yang diberikan
47
kepada ayahnya ketika ayahnya bertanya dalam bahasa Jerman. Produksi katakata yang dikeluarkan Lila terdiri dari kata-kata, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman. Dia belum bisa memilah kepada siapa bahasa Indonesia harus digunakan dan kepada siapa kata-kata dalam bahasa Jerman harus digunakan. Pada saat penelitian ini selesai dilakukan, yaitu ketika anak berumur 2;6 tidak ada tambahan fonem konsonan baru yang dikuasai anak. Jadi, jika digambarkan dalam bagan, fonem konsonan yang dikuasai anak sampai umur 2;6 adalah sebagai berikut:
Titik/cara Artikulasi Stop/hambat Tak bersuara bersuara Frikatif
Bilabial
Labio dental
Alveolar/dental
ñ
Getar
Glotal
Lateral Semivokal
Velar
Afrikat Nasal
palatal
Bagan 5.6: Fonem Konsonan Umur 2;6
48
Perkembangan bunyi yang dikuasai anak dari umur 1;2 sampai 2;6 digambarkan dalam grafik perkembangan bunyi anak berikut ini.
Umur
1;2
1;5
1;7
1;9
1;11
Bunyi Vokal Bunyi konsonan
2;4
ñ
Grafik 5.1 Grafik Perkembangan Bunyi Anak Umur 1;2 sampai 2;6
Pada grafik 5.1 terlihat bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai oleh anak sangat ditentukan oleh posisi bunyi tersebut diproduksi. Semakin ke depan posisi bunyi, semakin mudah anak untuk memproduksinya. Bunyi-bunyi yang diproduksi di bagian belakang mulut, akan diperoleh lebih lambat. Melihat bunyi-bunyi yang dikembangkan oleh Lila sebagai anak yang disuguhi bahasa dalam lingkungan bilingual dapat dikatakan bahwa elemen bunyi yang dikuasai serta urutan perkembangan bunyi yang dikuasainya sesuai dengan teori perkembangan bunyi yang dicetuskan oleh Jakobson (1971).
Jakobson
mencetuskan teori yang sangat berpengaruh tentang pemerolehan sistem bunyi yang secara eksklusif menekankan pada pemerolehan bunyi yang benkontras
49
(Clark&Clark, 1977: 392-393).
Jakobson berhipotesis bahwa cara anak-anak
menguasai bunyi bahasa sangat erat kaitannya dengan fitur-fitur bahasa yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia secara umum. Rumusan hipotesanya dapat dilihat berikut ini. a. Secara umum anak-anak memeroleh kemampuan untuk memmroduksi
bunyi-bunyi bahasa dengan menguasai kontras dari bahasa orang dewasa. b. Urutan pemerolehan kontras bunyi ini berlaku secara universal c. Urutan pemerolehan bunyi ini dapat diprediksi, dilihat dari kontras yang
ditemukan dalam bahasa-bahasa di dunia. Bunyi-bunyi yang tersebar paling banyak pada semua bahasa akan dikuasai lebih dulu, sementara bunyi-bunyi khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan. d. Anak-anak secara kontinyu akan mengembangkan kontras-kontras bunyi
yang terdapat dalam bahasa dewasa mereka. Secara umum, Lila mengikuti urutan perkembangan bunyi yang digagas oleh Jakobson seperti yang diuraikan di atas. Lila pada awalnya paling sering menyuarakan vokal selanjutnya vokal i
dan u. Karena titik tolak
penelitian ini adalah saat anak berumur 1;2, dapat dikatakan bahwa ketika anak berumur 1;2 ketiga bunyi tersebut telah muncul secara silih berganti dan secara kuantitas memang bunyi menduduki posisi paling atas. Namun, dua bunyi vokal lain tidak bisa dipastikan mana yang muncul lebih dahulu, karena saat
50
penelitian ini mulai dilakukan kedua bunyi tersebut sudah diproduksi anak, begitu juga dengan bunyi vokal lain, yaitu bunyi . Teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi konsonan juga secara umum dipatuhi oleh Lila. Bunyi-bunyi konsonan yang muncul paling awal adalah bunyi- bunyi bilabial, yaitu bunyi hambat-bilabial-ringan dan nasal-bilabial . Bunyi-bunyi konsonan yang diperoleh juga semakin berkembang dengan dikuasainya bunyi hambat-bilabial-berat . Selanjutnya bunyi konsonan yang dikembangkan adalah bunyi-bunyi alveolar, yaitu bunyi nasal-alveolar , hambat-alveolar- ringan dan hambat-alveolar-berat . Setelah bunyi-bunyi hambat- alveolar dan nasal-alveolar dikuasai, baru kemudian bunyi-bunyi frikatif muncul. Bunyi frikatif yang muncul adalah bunyi frikatif-palatal dan bunyi frikatif-glotal . Namun kemunculan kedua bunyi frikatif tersebut masih sangat terbatas, yaitu hanya muncul di akhir kata. Selanjutnya, muncul satu-satunya bunyi velar, yaitu bunyi . Kemunculannya pun juga sangat terbatas, yaitu di akhir kata. Menjelang umur dua tahun Lila juga mengembangkan bunyi-bunyi afrikat dan , namun-bunyi-bunyi tersebut hanya muncul di antara bunyi vokal. Dua bunyi konsonan terakhir yang dikuasai Lila beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang kedua adalah bunyi palatal-nasal ñ dan bunyi lateral . Sampai pada ulang tahunnya yang kedua, Lila belum menguasai bunyi velar-berat dan bunyi nasal-velar. Bunyi frikatif-labio dental dan bunyi getar juga belum dikembangkan. Bunyi velar-nasal , baru muncul ketika Lila berumur 2;1 atau
51
setelah ulang tahunnya yang kedua. Bunyi dikuasai ketika anak berumur 2;5. Sampai umur 2;6 tidak terdeteksi ada bunyi baru yang dikembangkan oleh anak. Dalam kasus Lila, meskipun dia diajak berkomunikasi oleh orang tuanya dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman dapat dilihat bahwa bunyi bahasa Indonesia yang diproduksi anak lebih dominan daripada bahasa Jerman. Hal ini dapat dimengerti karena lebih banyak orang yang berkomunikasi kepada anak dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jerman. Hal ini dapat dilihat, khususnya ketika anak memroduksi kata-kata yang memiliki makna dalam bahasa Jerman realisasi fonem yang muncul adalah fonem bahasa Indonesia. Di bawah ini adalah sebaran fonem vokal dalam bahasa Jerman.
Depan Tinggi
Mid
Tengah
Belakang
ü
u
ü
u
ö
o
o
52
Bawah
Sumber: Finegan (2004) Bagan 5.7: Bagan Fonem Vokal dalam Bahasa Jerman
Sampai berumur 2;0, Lila belum bisa memproduksi bunyi-bunyi vokal yang khusus ada dalam bahasa Jerman, seperti bunyi vokal-depan-bundar-tinggi ü , vokal-depan-bundar –sedang ö dan vokal-depan-bundar-rendah . Vokal depan bundar dihasilkan dengan mengucapkan vokal depan takbundar dengan membundarkan bibir tanpa menggerakkan lidah. Bunyi-bunyi depan bundar tersebut, biasanya diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kedekatan fonetis. Misalnya ketika Lila mengatakan könig maka yang ke luar adalah onik
atau ketika dia mengatakan grün maka yang diproduksi adalah
. Dalam studi kasus ini sampai penelitian dihentikan, ketika anak berumur 2;6, anak mengalami kesulitan atau belum menguasai bunyi-bunyi yang merupakan fitur-fitur bunyi vokal yang hanya ada dalam bahasa Jerman dan tidak terdapat dalam fitur bunyi bahasa Indonesia. Bunyi ü biasanya diganti dengan bunyi vokal- belakang -bundar –tinggi u dan bunyi ö biasanya diganti
53
dengan bunyi vokal-belakang-bundar-sedang o . Hal ini dapat dijelaskan bahwa anak dalam proses perkembangan bahasanya cenderung untuk mengikuti bunyi-bunyi yang muncul secara universal. Artinya, bunyi yang dipilih oleh anak adalah bunyi-bunyi yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperolehnya. Sementara itu, bunyi-bunyi yang khusus terdapat dalam bahasa-bahasa tertentu akan diperoleh kemudian. Ini sesuai dengan hipotesa Jakobson yang diuraikan oleh Clark & Clark (1977) yang menyatakan bahwa bunyi-bunyi yang dikuasai terlebih dahulu adalah bunyi yang paling banyak tersebar, sementara bunyi-bunyi yang muncul khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan. Grosjean (1982) melukiskan bahwa adanya pengaruh bahasa dominan terhadap bahasa yang lebih lemah sering terjadi pada kasus-kasus perkembangan bahasa anak bilingual, di samping juga adanya kecenderungan anak untuk menghindari bunyi-bunyi yang sulit, yang hanya ada pada bahasa yang lebih lemah. Dalam kasus Lila, bahasa Jerman memiliki posisi yang lebih lemah karena keluarga tinggal di Indonesia, sehingga secara otomatis bahasa Indonesia didengar dan digunakan secara lebih aktif oleh anak. Dari ulasan dan perkembangan elemen bunyi yang muncul pada studi kasus anak bilingual ini dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Dardjowijojo (2000) yang meneliti pemerolehan bahasa anak monolingual, yaitu pemerolehan bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa perkembangan elemen bunyi yang dikuasai Lila, yang merupakan anak yang disuguhi lingkungan bahasa yang bilingual, hampir sama dengan perkembangan bunyi yang diperoleh oleh Echa. Kemiripan tersebut terlihat baik dalam elemen-elemen bunyi yang muncul
54
maupun urutan perkembangannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa bahasa apa pun yang diperoleh oleh anak, monolingual maupun bilingual urutan serta pola perkembangan bahasanya adalah sama. Grosjean (1982) memaparkan pendapat McLaughlin yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa pada dasarnya sama dilihat dari fitur-fitur bahasa yang dikembangkan serta urutan perkembangannya baik untuk anak monolingual maupun bilingual. Selanjutnya dinyatakan bahwa perbedaan di antara keduanya adalah anak bilingual memiliki tugas untuk membedakan dua sistem bahasa yang berbeda, namun sampai saat ini belum ada bukti bahwa anak-anak tersebut memerlukan piranti pemroses bahasa khusus untuk melakukannya. Hal yang senada diungkapkan oleh Myers-Scotton (2006: 326), yang menyebutkan bahwa beda anak bilingual dengan monolingual adalah mereka melalui tahapan perkembangan dalam dua bahasa. Oleh karena itu, lanjutnya, secara natural, anak-anak akan bertutur dalam bahasa apa pun yang digunakan oleh orang tua atau orang-orang lain yang mengasuhnya saat berkomunikasi dengan mereka, baik itu dalam satu bahasa, dua bahasa bahkan lebih. 5.2 Distribusi Fonem yang Diproduksi Anak Chaer (2009: 89) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan distribusi fonem adalah letak atau beradanya sebuah fonem di dalam satu satuan ujaran, yang kita sebut sebuah kata atau morfem. Fonem pada umumnya dapat berada pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata. Secara khusus ada fonem yang hanya muncul di awal kata atau di tengah kata atau di akhir kata saja. Kadang-kadang ada juga fonem yang muncul di awal kata atau di akhir kata saja.
55
Selanjutnya Chaer menyebutkan bahwa fonem vokal memang selalu dapat menduduki posisi pada semua tempat – walaupun tidak pada semua bahasa-, berkenaan dengan posisinya sebagai puncak kenyaringan pada setiap silabel, sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian: mungkin dapat menduduki posisi awal dan akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi pada awal. Berikut ini adalah distribusi fonem pada kata-kata yang diproduksi oleh Lila ketika dia mencapai umur 2;6.
a. Distribusi Fonem Vokal 1. Vokal /a/ -
dalam realisasi produksi bunyi, fonem ini dapat muncul dalam semua posisi. Kata-kata dalam bahasa Indonesia,
‘ada’,
‘main’,
‘sama’. -
bahasa
Jerman,
seperti
tampak
dalam
contoh:
‘mause’ ‘tikus’, ‘auch’ ‘juga’, ‘nenek’. 2. Vokal /i/
56
-
dalam realisasi produksi bunyi bahasa Indonesia dapat muncul dalam semua posisi, contoh:
‘ini’,
‘hari’, ‘bisa’. -
dalam bahasa Jerman baru muncul pada posisi tengan dan akhir kata saja seperti tampak dalam contoh: ‘eis‘ ‘es’ ‘cowboy’.
3. Vokal /e/ -
dalam bahasa Indonesia, realisasi fonem ini telah muncul dalam
semua
posisi
seperti
tampak
dalamcontoh: meja kadek
-
dalam produksi kata bahasa Jerman, bunyi ini baru muncul dalam posisi awal dan tengah ‘ecke’ ‘pojok’, ‘jetzt’ ‘sekarang’.
4. Vokal / / -
realisasi bunyi dari fonem ini dalam bahasa Indonesia telah muncul
di
semua
‘apel’
posisi
‘kecil’,
seperti
dalam
contoh: ‘terus’,
57
-
dan dalam bahasa Jerman baru terdeteksi muncul pada bagian akhir kata saja sepri dalam bunyi ‘ecke’ ‘pojok’,
‘meine’
‘milik
saya’,
‘affe’ ‘monyet’.
5. Vokal /u/ -
fonem ini dalam bahasa Indonesia telah terealisasi pada semua posisi seperti tampak dalam contoh: ‘sudah’, ‘putus’, ‘bau’.
-
dalam kata bahasa Jerman baru terealisasi pada posisi tengah dan akhir kata seperti dalam contoh: ‘auch’ ‘juga’, ‘pußbal’ ‘sepakbola’.
6. Vokal /o/ -
dalam produksi bunyi bahasa Indonesia, fonem ini sudah terealisasi dalam semua posisi seperti tampak dalam contoh:
‘om’,
‘kolam’,
‘sayur’. -
dalam produksi kata bahasa Jerman bunyi ini juga sudah muncul pada semua posisi seperti dalam kata
58
‘nenek’,
‘krokodil’
‘buaya’,
‘auto’ ‘mobil’.
b. Distribusi Bunyi Konsonan
Pada bagian ini digunakan istilah bunyi, bukan fonem, untuk mendeskripsikan distribusi bunyi konsonan yang muncul karena bunyi-bunyi yang muncul sering divariasikan atau bahkan diganti dengan bunyi lain. Distribusi bunyi yang diprodukasi anak beserta contoh-contoh bunyi yang muncul dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Bahasa Indonesia Bunyi Konsonan Posisi awal Posisi tengah
Bahasa Jerman
Posisi akhir
Posisi awal
Posisi tengah
Posisi akhir
‘pußball’ ‘sepakbola’ ‘buch’ ‘buku’ ‘mause’ ‘tikus’ -
-
-
‘baby’ ‘bayi’ ‘nenek’ ‘nenek’ -
-
‘kuh’ ‘sapi’ ‘da’ ‘di sana’
‘auto’ ‘mobil’ ‘krokodil’ ‘buaya’ -
‘kaputt’ ‘rusak’ ‘motorad’ ‘sepeda motor’ ‘mause’ ‘tikus’
‘putus’
‘papa’
-
b
‘bisa’
‘habis’
-
‘main’
‘koming’
‘belum’
-
-
‘tikus’
‘pesawat’ ‘ikan’
‘di sana’
‘ada’
-
-
-
‘tas’
‘buat’
-
-
-
59
‘nangis’
‘renang’
‘ikan’
‘nul’ ‘nol’
‘banane’ ‘pisang
‘lagi’
‘bola’
‘ular’
-
‘sama’ ‘jatuh’ -
‘kecil’ ‘baju’ oñet ‘monyet’ -
-
-
‘alle’ ‘semua’ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
‘jetzt’ ‘sekarang’ -
-
-
-
‘achtung’ ‘hati hati’ -
-
‘ya’
-
-
‘rusak’
-
-
-
-
-
-
-
-
‘harimau’
‘lagi’ ‘nangis’ -
‘könig’ ‘raja’ -
‘sudah’
-
-
‘auch’ ‘juga’
Bagan 5.8: Distribusi Bunyi Konsonan
5.3 Variasi Bunyi yang Muncul Sesuai dengan perkembangan alat-alat ucapnya, Lila sering mengganti bunyi-bunyi yang belum dia kuasai dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki kedekatan fonetis sehingga bunyi-bunyi yang dikeluarkan bervariasi. Sampai anak berumur 2;0, beberapa bunyi muncul secara terbatas dan ada beberapa bunyi yang belum muncul sama sekali. Di bawah ini akan dibahas variasi-variasi bunyi yang dikembangkan oleh Lila.
60
a. Bunyi hambat- velar- takbersuara
Bunyi hambat-velar-takbersuara hanya muncul secara terbatas, yaitu di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagi berikut. (14)
‘bebek’
na
‘naik’
m
‘kumik’ (nama seorang teman)
dada
jajak
‘kue’
Bunyi pada posisi awal kata sering dilesapkan atau diganti dengan bunyi hambat-alveolar- tak bersuara .
Contoh (15)
‘kapal’ ‘kecil’
‘kaca mata’
‘kencing’
‘kue’
ö
‘könig’
‘raja’
‘kuh’
‘sapi’
‘clown’
‘badut’
‘kacang’ (nama seorang teman)
61
Sementara pada posisi tengah kata, bunyi diganti dengan bunyi hambat-alveolar-tak bersuara .
Contoh (16)
‘buka’
‘kaki’
‘sakit’
‘nakal’
kiekiriki
‘ayam’
Setelah Lila berumur 2;0 lambat laun, bunyi velar-hambat juga sering diganti dengan bunyi palatal-afrikat- takbersuara . (17)
‘kak kumik’
‘Koming’
‘kakek’
‘nakal’
‘kopi’
Dari data (15), (16), (17) terlihat bahwa bunyi velar-hambat-tak bersuara k diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih anterior, yaitu bunyi-bunyi yang dihasilkan di bagian depan mulut. Kalau kita lihat, bunyi t yang digunakan sebagai pengganti bunyi k adalah bunyi yang secara fonetis sangat berdekatan antara satu sama lain. Kedua bunyi tersebut memiliki karakteristik yang mirip,
62
yaitu sama –sama bunyi hambat dan takbersuara. Satu-satunya pembeda adalah letak dimana kedua bunyi tersebut dihasilkan. Anak kecil yang baru belajar untuk menyuarakan bunyi-bunyi bahasa, cenderung memilih bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk dibentuk karena keterbatasan artikulatoris yang mereka miliki. Karena bunyi-bunyi anterior lebih mudah diucapkan oleh anak, maka dapat dimengerti mengapa bunyi velar digantikan dengan bunyi alveolar. Lust (2006: 161) mengkonfirmasi bahwa dalam bahasa anak-anak, beberapa penggantian elemen bunyi sering dilakukan, misalnya bunyi velar-hambat-tak bersuara k diganti dengan bunyi alveolar-hambat-takbersuara t. Dalam perkembangan selanjutnya, bunyi velar ini juga bervariasi dengan bunyi palatal-afrikattakbersuara c. Hal ini juga tidak terlapas dari kenyataan bahwa bunyi c berada pada posisi lebih depan daripada bunyi k. Bunyi c dan k juga merupakan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu sama-sama bunyi tak bersuara atau bunyi-bunyi yang ringan.
b. Bunyi hambat-velar-bersuara
Sampai pada umur 2;0, bunyi hambat-velar-bersuara belum muncul sama sekali. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar-bersuara seperti pada bentuk-bentuk fonologis di bawah ini:
63
(18)
‘gigit’
‘lagi’
‘jagung’
‘bagus’
Jika sebelumnya telah dibahas bahwa bunyi velar-hambat-takbersuara k diganti dengan
bunyi alveolar t, maka untuk bunyi-bunyi velar-
hambat-bersuara sangat sering diganti dengan bunyi alveolar-hambatbersuara . oleh anak. Ini juga dapat dijelaskan bahwa bunyi lebih mudah diucapkan oleh karena posisinya lebih di depan. Yang menarik adalah bahwa anak juga berusaha dalam produksinya mencari padanannya yaitu, bunyi takbersuara diganti dengan bunyi-bunyi yang takbersuara, sedangkan bunyi bersuara diganti dengan bunyi bersuara. Bunyi dan , keduanya memiliki fitur distingtif - voice sedangkan bunyi dan keduanya memiliki fitur distingtif + voice. Kadang-kadang bunyi pada posisi awal dilesapkan misalnya ketika Lila mengeluarkan bunyi ‘gajah’. Pada kasus-kasus tertentu, bunyi ini juga bervariasi dengan bunyi hambat-bilabial-bersuara , misalnya ketika Lila menyuarakan bunyi ‘garfu’. Pada posisi akhir bunyi diganti dengan bunyi yang memiliki kesamaan fonetis, yaitu bunyi k. Bunyi
64
ini muncul ketika Lila mengucapkan bunyi onik ‘könig’, yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘raja’. Mengapa bunyi velar dikuasai sebelum bunyi velar ? Kalau dilihat kedua bunyi tersebut memiliki cirri-ciri yang sama, yaitu merupakan bunyi velar-hambat. Satu-satunya yang membedakan kedua bunyi tersebut adalah dalam penyuaraan. Untuk dapat memroduksi bunyi diperlukan adanya getaran pada pita suara sedangkan bunyi tidak. Bunyi memiliki fitur distingtif + voice. Oleh karena itu, secara natural bunyi lebih mudah dikuasai oleh anak daripada padanan beratnya, yaitu bunyi . Dardjowijojo (2000:83) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi ringan dikuasai oleh anak terlebih dahulu daripada bunyi yang memerlukan penyuaraan. Ini sesuai dengan kaidah voiced plosives are acquired later than voiceless plosives. Ini berarti bahwa untuk anak mana pun di dunia, baik yang monolingual maupun bilingual, bunyi-bunyi ringan akan lebih mudah dikuasai daripada bunyi-bunyi berat.
c. Bunyi hambat-alveolar-tak bersuara
Bunyi sering dilesapkan pada awal kata. Bentuk-bentuk yang terdengar, misalnya (19)pi
‘topi’
65
‘tidak’
‘telinga’
Pada data (19), dapat dilihat bahwa anak juga sudah memahami kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata seperti dalam contoh kata telinga . Namun, karena pada umur yang masih sangat muda dan keterbatasan perkembangan alat-alat ucap yang dimilikinya, anak belum bisa mengucapkan kata-kata yang terdiri dari tiga suku kata. Apa yang dilakukan anak adalah memilih suku kata yang paling mudah untuk disuarakan. Biasanya, dari data kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata, suku kata terakhirlah yang paling banyak disuarakan. Seperti kata telinga direalisasikan dengan bunyi begitu juga dengan kata cerita disuarakan dengan bunyi , raksasa dengan bunyi , kaca mata disuarakan dengan bunyi . Temuan ini selaras dengan hasil penelitian Darjowidjojo (2000) yang juga mengamati bahwa ketika cucunya mengeluarkan kata-kata yang dwi atau polisilabik, maka yang disuarakan adalah suku kata terakhir. Hal ini bisa dijelaskan bahwa seorang anak yang baru belajar berbicara, seringkali memilih bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk diucapkan dan dari bunyi-bunyi yang dikuasai, biasanya dipilih yang lebih ringan dan ketika memproduksinya memerlukan energi yang lebih sedikit. Pada kasus dalam penelitian ini, anak disuguhi dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, dan anak memiliki lingkungan kebahasaan yang kompleks. Dalam bahasa Jerman, dia sering mendengar kata-kata yang terdiri atas satu suku kata atau monosilabik seperti dalam kata kuh ‘sapi’, buch ‘buku’, ich ‘saya’, da
66
‘di sana’, er ‘dia (laki-laki)’. Di lain pihak, bahasa Indonesia sering terdiri atas lebih dari satu suku bahkan lebih dari dua suku kata. Jadi, ketika anak dihadapkan pada kata-kata seperti ini, dia cenderung memilih bagian mana dari kata tersebut yang akan diucapkan. Seperti telah dikatakan sebelumnya, Lila memilih bagian akhir dari bunyi kata tersebut. Dardjowidjojo (2000) yang mengadaptasi pernyataan Slobin (1979) menyebutkan bahwa secara universal, anak-anak cenderung mengambil suku kata terakhir untuk diproduksi terlebih dahulu. Pemilihan suku kata terakhir ini, cenderung dilakukan oleh anak-anak mana pun di dunia terlepas dari bahasa apa pun yang diperolehnya. Menginjak umur 1;10, bunyi alveolar-hambat-tak bersuara mulai muncul di awal kata meskipun kemunculannya masih sangat terbatas. (20)
‘tas’
‘tiup’
Pada posisi tengah kata, bunyi sudah dapat diucapkan secara sempurna. (21)ita
‘minta’
‘jatuh’
‘itu’
s
‘sepatu’
67
Bunyi alveolar-hambat-takbersuara t adalah bunyi anterior yang ringan. Ini berarti bahwa bunyi t adalah salah satu bunyi yang dapat dikuasai anak secara mudah. Jika seorang anak sudah menguasai bunyi-bunyi bilabial, dan dalam kasus ini, Lila sudah dapat menguasaianya, maka secara natural bunyi selanjutnya yang akan dikembangkannya adalah bunyi-bunyi alveolar-hambat yang ringan kemudian diikuti oleh padanan beratnya. Namun, bunyi hambat-alveolar-takbersuara ini pada posisi akhir kata sering diganti dengan bunyi glotal , seperti yang terlihat pada bentuk-bentuk fonologis di bawah ini: (22)
‘rambut’
‘gigit’
‘obat’
p
‘dompet’
n
ñ
‘monyet’
Bunyi glotal merupakan bunyi yang lemah yang biasanya muncul setelah adanya jeda. Pada salah satu bunyi yang diproduksi Lila, bunyi diganti dengan bunyi hambat-bilabial-tak bersuara seperti dalam ucapan ‘lagi buat’. Hal ini disebabkan karena bunyi adalah bunyi bilabial yang hanya memerlukan sedikit energi untuk memroduksinya. Alasan lain, disebabkan
68
terjadinya proses asimilasi dengan bunyi bilabial yang mendahuluinya, yaitu dengan bunyi .
d. Bunyi frikatif-alveolar-takbersuara
Sampai Lila berumur 2;0, bunyi frikatif-alveolar-tak bersuara hanya muncul di akhir kata sehingga bentuk-buntuk fonologis yang diproduksi adalah sebagai berikut. (23)
‘habis’
‘mobil bagus’
‘tulis’
Pada posisi awal kata, bunyi sering dilesapkan (24)
s
‘sudah’
‘sabun’
‘sampah’ ‘sepatu’
atau bunyi tersebut divariasikan dengan bunyi , sehingga muncul bentukbentuk fonologis sebagai berikut. (25)
‘sakit’ ‘rusak’
69
‘kursi’ ‘susu’
Bunyi konsonan alveolar-frikatif-tak bersuara adalah konsonan frikatif yang paling umum dan muncul secara universal. Karena sifat keuniversalan yang dimiliki, hal ini menyebabkan bunyi menjadi satu-satunya bunyi frikatif ynag dikuasai anak sejak dini, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas, yaitu di akhir kata saja, sehingga bunyi ini sering divariasikan dengan padanan hambatnya yang lebih mudah untuk disuarakan. Bunyi-bunyi frikatif adalah bunyi-bunyi yang sulit untuk diproduksi anak. Untuk dapat menyuarakan bunyi frikatif, anak harus bekerja keras melibatkan lidahnya untuk menyentuh alveolum. Persentuhan lidah dan alveolum ini akan menyisakan sebuah celah untuk alihan udara sehingga bunyi desis terdengar. Akan halnya Lila, sampai dia berumur 2;6, belum mampu mengucapkan bunyi ini secara sempurna di semua posisi kata karena keterbatasan artikulatorisnya. Ketika Lila berumur 1;9 bunyi friktaif juga divariasikan dengan bunyi afrikat sehingga muncul bunyi-bunyi seperti a ‘basah’ dan a ‘pasir’. Saat Lila berumur 1;10 bunyi pernah muncul di tengah kata ketika Lila mengucapkan bunyi fussbal (sepak bola). Setelah anak berumur 2;0 sampai 2;6 bunyi pada posisi awal dan tengah kata lebih sering diganti dengan bunyi palatal-afrikat-tak bersuara .
70
(26)
‘nasi’
‘sayur’
‘sudah’
‘besar’
Kasus bunyi fussbal (sepak bola) yang diproduksi anak yang disampaikan sebelumnya sangat menarik untuk dilihat. Bunyi ini diperoleh anak ketika dia diajak ke Jerman untuk pertama kalinya ketika anak berumur 1;8, menjelang ulang tahunnya yang kedua. Pada saat di Jerman, yaitu MeiJuni 2008, saat itu sedang hangat-hangatnya kompetisi sepak bola Euro 2008. Karena saat itu keluarga berada di Jerman, sering keluarga itu menonton acara pertandingan sepak bola antar negara-negara Eropa tersebut di televeisi. Dalam bahasa Jerman, sepak bola adalah fussbal. Setiap kali akan ada pertandingan di televisi, ayah Lila mengatakan bahwa mereka akan menonton fussbal. Karena frekuensi pemakaian kata tersebut sangat banyak pada masa itu, secara otomatis anak meniru bunyi kata tersebut dan setiap kali menonton acara sepak bola di televise, dia selalu mengatakan dalam padanan Jermannya. Mengapa anak mampu memproduksi bunyi di tengah kata ? Hal ini dapat dijelaskan bahwa kata fussbal itu sendiri sebenarnya dibentuk dari dua kata, yaitu fuss ‘kaki’ dan ball ‘bola’. Dalam bahasa Jerman, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya sebuah kata sering terdiri dari satu suku kata saja, sehingga bunyi yang diproduksi oleh Lila sebenarnya adalah bunyi terakhir dari kata fuss ‘kaki’.
71
e. Bunyi afrikat-palatal-tak bersuara c
Bunyi afrikat-palatal-tak bersuara hanya muncul pada posisi di antara bunyi vokal yang ditemukan pada bunyi-bunyi ‘kecil’, a ‘kaca’. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar- takbersuara .
Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah (27)
‘cicak’
‘kacang’
‘kucing’
‘cuci’
Bunyi ini, kadang-kadang pada posisi awal kata juga dilesapkan, seperti dalam kasus ‘cerita’.
f.
Bunyi afrikat-palatal-bersuara j Bunyi afrikat-palatal-bersuara j juga muncul secara terbatas, yaitu hanya
muncul di antara bunyi vokal. Bentuk fonologis yang terdengar, misalnya dalam kata ‘hujan’. Selebihnya, bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambatalveolar-bersuara misalnya dalam bunyi-bunyi ‘jajak’ dan ‘jatuh’.
72
g. Bunyi nasal-bilabial
Bunyi nasal-bilabial sudah muncul pada semua posisi, baik di awal, di tengah maupun di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagai berikut: (28)
‘mama’
‘ambil’
‘maem/makan’
‘kumik’ (nama seorang teman)
Namun, ketika bunyi diikuti oleh bunyi-bunyi alveolar dan bunyi velar seperti dalam kata ‘mata’, ‘minta’, ‘mandi’, ‘muka’ maka bunyi sering dilesapkan
sehingga
bunyi-bunyi
yang
diproduksi
Lila
adalah
Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bilabial adalah bunyi-bunyi lemah yang ketika diproduksi memerlukan energi yang kurang dibandingkan dengan bunyi-bunyi alveolar atau velar yang memerlukan energi lebih banyak. Dalam lingkungannya bunyi di atas, bunyi bilabial yang muncul di awal kata cenderung lesap.
h. Bunyi nasal-aveolar
73
Bunyi juga sudah muncul pada semua posisi kata. (29)
‘ini’
‘banane’
‘mandi’
‘nein’
Serupa dengan bunyi , bunyi pada posisi awal kata juga sering dilesapkan ketika bunyi ini diikuti oleh bunyi-bunyi alveolar atau bunyi velar. Kasus yang terjadi, misalnya, pada bunyi-bunyi ‘nakal’, ‘nanti’.
i.
Bunyi nasal-palatal ñ Bunyi nasal-palatal ñ baru muncul ketika Lila berumur 1;9.
Sebelumnya, bunyi ñ sering diganti dengan bunyi nasal-alveolar seperti dalam bunyi i ‘minyak’, o ‘monyet’. j.
Bunyi nasal-velar Sampai Lila berumur 2;0, bunyi nasal-velar belum muncul sama sekali. Bunyi ini sering dilesapkan. Hal itu dapat dilihat pada bentukbentuk yang diproduksi berikut ini. (30)
‘buang’
74
‘gendong’
‘terbang’
‘burung’
‘renang’
‘kacang’
‘uang’
Ketika Lila berumur 1;10, bunyi mulai diganti dengan bunyi nasal-alveolar misalnya dalam produksi kata ‘jagung’ , atat ‘achtung-achtung’. Bunyi ini baru muncul ketika anak
berumur 2;1, namun kemunculannya baru pada posisi di antara vokal atau di akhir kata. Contoh (31)
‘nangis’
‘pisang’
‘kucing’
k. Bunyi frikatif-glotal
Bunyi frikatif-glotal sudah muncul, namun masih terbatas, yaitu di akhir kata. Sementara pada posisi awal kata, bunyi ini dilesapkan. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagai berikut: (32)
buch
‘buku’
75
bauch
‘sudah’
‘basah’
‘sampah’
l.
hand
‘ perut’
‘tangan’
Bunyi lateral Bunyi lateral , biasanya dilesapkan. (33)
l
‘lepas’ ‘lobang’
‘kolam’
‘mobil’
Bunyi lateral baru muncul ketika Lila berumur 1;11. Saat itu dia mengatakan ‘jalan-jalan’ dan ‘Marjolyn’. Bunyi ini terus berkembang sampai setelah ulang tahunnya yang kedua.
m. Bunyi frikatif
Bunyi frikatif-labiodental diganti dengan bunyi hambat-bilabialtak bersuara . Dalam bahasa Indonesia, bunyi frikatif jarang sekali muncul dan untuk kata-kata awal bagi seorang anak bunyi ini hampir tidak
76
pernah muncul. Namun, dalam bahasa Jerman, bunyi frikatif sering sekali muncul. Karena sampai berumur 2;6, Lila belum menguasai bunyi ini sama sekali, maka ketika dia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jerman yang mengandung bunyi frikatif, bunyi tersebut divariasikan dengan bunyi bilabialhambat-tak bersuara . Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagai berikut. affe
‘monyet’
ap
apfel
‘apel’
fussball
‘sepak bola’
(34)ap
n. Bunyi getar
Bunyi getar belum keluar sama sekali. Bunyi ini sering dilesapkan. Bentuk-bentuk yang dikeluarkan oleh Lila adalah
(35)
‘rusak’
umpk
‘rumput’
‘garam’
Setelah ulang tahunnya yang kedua, bunyi-bunyi getar divariasikan dengan bunyi lateral sehingga bentuk-bentuk yang muncul adalah sebagai berikut:
77
(36)
‘harimau’
‘marah’
‘burung’
‘renang’
‘rusak’
Berikut ini adalah dua percakapan yang terjadi antara Lila dan ayahnya, ketika Lila mengganti bunyi-bunyi getar dengan bunyi lateral . Percakapan terjadi pada bulan September 2008 (37) dan November 2008
(38). (37)Frank
: Was ist das da? ‘Apa itu?’
Lila
: ’harimau’
Frank
: Und da? ‘dan itu?’
Lila
: ’burung’
Frank
: Burung apa?
Lila
: ’Burung kakaktua’
Frank
: dan apalagi?
Lila
: ’crocodile’ ‘buaya’
(38)
Lila
:
‘papa robek’
‘papa robek ini’
‘papa yang ini robek’
Frank
: Ya, nanti Papa perbaiki, Papa mau mandi dulu. Atau nanti kalau sudah pulang dari kota.
78
Lila
: ’ya nanti pulang dari kota’
Dari data-data dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka jika digambarkan dalam sebuah grafik, maka variasi bunyi yang muncul pada perkembangan bunyi anak, dalam hal ini Lila, dapat digambarkan seperti pada grafik 5.2.
79
80
Pada grafik 5.2 terlihat bahwa setiap bunyi yang belum diperoleh atau diperoleh secara terbatas akan diganti oleh anak dengan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri distingtif yang hampir sama. Garis vertikal menunjukkan bunyi ideal yang seharusnya diproduksi anak, sementara garis horizontal menunjukkan realisasi fonetis yang mampu disuarakan oleh anak. Garis tebal horizontal pada masing-masing bunyi ideal menunjukkan perkembangan bunyinya, yang dihubungkan dengan garis putus-putus yang menunjukkan variasi yang muncul pada bunyi anak. Bunyi-bunyi berkembang dari bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk diproduksi anak, seperti bunyi-bunyi anterior, setelah bunyi-bunyi anterior dipeoleh anak baru kemudian anak mengembangkan bunyi-bunyi non anterior. Begitu juga bunyi, bunyi hambat akan diperoleh terlebih dahulu sebelum bunyibunyi frikatif dan afrikat dikuasai. Pada grafik juga terlihat bahwa seiring dengan bertambahnya umur anak, bunyi-bunyi yang dikuasai akan semakin kompleks dan semakin mendekati bunyi ideal yang akan dikembangkan oleh anak. Dalam waktu 30 bulan masa perkembangan bahasa Lila, serta dari datadata yang diperoleh dapat dikatakan bahwa posisi suatu bunyi dalam sebuah kata sangat menentukan kemunculan bunyi tersebut. Sampai umur 2 tahun 6 bulan ada bunyi-bunyi yang sudah berkembang dan muncul pada semua posisi, ada bunyibunyi yang diganti dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki kedekatan fonetis dan ada bunyi yang belum muncul sama sekali. Dalam Muslich (2008: 81) disebutkan bahwa bunyi-bunyi dikatakan memiliki kesamaan fonetis apabila dalam peta fonetis; a) bunyi-bunyi tersebut berada dalam lajur (garis horizontal) yang sama,
81
b) bunyi-bunyi tersebut berada dalam kolom (garis vertical) yang sama, c) bunyibunyi tersebut berada pada lajur dan kolom yang sama, d) bunyi-bunyi tersebut memiliki simbol yang sama, tetapi berbeda dalam diakritik, dan e) bunyi-bunyi tersebut memiliki sifat yang sama. Ketika penelitian ini selesai dilakukan, saat Lila berumur 2;6, semua vokal dalam bahasa Indonesia sudah dikuasai dengan baik, namun vokal-vokal khusus yang terdapat dalam bahasa Jerman seperti bunyi ä , ö dan ü belum dikuasai. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi vokal yang memiliki kesamaan fonetis. Sementara bunyi konsonan yang sudah dikuasai pada semua posisi adalah . Bunyi-bunyi ñ muncul hanya secara terbatas pada posisi-posisi tertentu saja. Sementara ada beberapa bunyi yang belum dikuasainya seperti Bunyi-bunyi yang belum dikuasainya biasanya juga diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kesamaan fonetis.
82
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai Lila mengikuti urutan perkembangan fonologi secara universal. Perkembangan bahasa Lila yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bilingual bahasa Indonesia dan bahasa Jerman didominasi oleh bunyi bahasa Indonesia. Di samping itu kata-kata dalam bahasa Jerman direalisasikan dengan fonem dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh input dalam bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada dalam bahasa Jerman. Namun, dibandingkan dengan produksi yang masih minim, kemampuan komprehensi Lila jauh melebihi produksinya dalam bahasa tersebut. Hal ini dibuktikan dengan respon-respon dengan reaksi nonverbal yang diberikan Lila ketika diajak bercakap-cakap dalam bahasa Jerman, atau bahasa Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi percampuran antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa Lila sejak dia berumur 1;2 sampai 2;6, dalam hal ini, perkembangan bunyi bahasanya dapat diuraikan, yaitu (1) elemen bunyi yang sudah dikuasai dan muncul di segala posisi dalam kata adalah bunyi vokal dan bunyi konsonan , (2) elemen
bunyi yang baru dikembangkan secara terbatas pada posisi-posisi tertentu, yaitu
83
ñ, (3) elemen bunyi yang belum dikuasai sama sekali adalah .
Perkembangan elemen bunyi yang muncul pada perkembangan bahasa Lila, secara umum, mengikuti perkembangan pemerolehan bunyi secara universal yang dicetuskan oleh Jakobson, yaitu bunyi-bunyi bilabial dikuasai sebelum bunyi alveolar dan bunyi-bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar. Begitu juga bunyi hambat dikuasai sebelum bunyi frikatif dan bunyi frikatif dikuasai sebelum bunyi-bunyi afrikat muncul. Bunyi- bunyi yang belum muncul atau yang baru muncul secara terbatas sering diganti atau divariasikan dengan bunyi yang memiliki kesamaan fonetis atau memiliki fitur-fitur distingtif yang mirip. Semakin bertambah usia anak, anak semakin mampu untuk mengucapkan bunyi-bunyi yang semakin sulit. Pada awalnya, anak hanya mampu mengembangkan bunyibunyi anterior, yaitu bunyi bilabial-hambat dan alveolar-hambat. Setelah bunyibunyi tersebut dikuasai baru kemudian anak mampu menghasilkan bunyi-bunyi belakang seperti bunyi velar-hambat dan pada saat yang bersamaan dengan munculnya bunyi-bunyi belakang ini, anak juga mulai mengucapkan bunyi-bunyi frikatif meskipun produksinya masih sangat terbatas, yaitu hanya pada posisiposisi tertentu dalam kata. Sementara itu, bunyi-bunyi yang hanya muncul dalam bahasa Jerman, yaitu bunyi vokal ö ä ü belum mampu diproduksi anak. Bunyi-bunyi tersebut diganti dengan bunyi-bunyi vokal yang memiliki kemiripan fonetis. Jadi bunyi-bunyi yang sebarannya lebih universal atau lebih umum dikuasai oleh anak
84
terlebih dahulu sebelum dia mampu untuk menguasai bunyi-bunyi yang khusus yang hanya muncul dalam bahasa Jerman.
6.2 Saran Penelitian ini hanya melihat perkembangan bahasa anak pada rentang waktu sampai anak berumur dua setengah tahun. Penelitian ini bisa dilanjutkan sampai seluruh segmen bunyi baik yang ada dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman muncul. Di samping itu penelitian ini juga dapat dilanjutkan dengan melihat aspek-aspek linguistik yang lain seperti aspek morfologi, sintaksis ataupun semantik. Peneliti lain dapat melihat perkembangan anak-anak bilingual dalam sistem linguistik yang berbeda untuk menyumbangkan hasil-hasil penelitian sehingga memperkaya informasi dalam studi-studi perkembangan bahasa anak bilingual, yang merupakan suatu kajian psikolinguistik.
85
DAFTAR PUSTAKA
Baker, Mark. 2003. Lexical Categories; Verbs, Nouns and Adjectives. Cambridge: Cambridge University Press Beardsmore, Hugo Baetens. 1982. Bilingualism: Basic Principles. England: Tieto Ltd. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Chomsky, Noam. 1959. A Review of B.F. Skinner Verbal Behavior. In Language, 35, No.1. P. 26-58. Available from: http://cogprints.org/1148/0/chomsky.htm Chomsky, Noam. 1965. Aspects of a Tehory of Syntax. Cambridge: MIT Press Chomsky, Noam. 1971. Syntactic Structures. Teh Hague: Mouton Chomsky, Noam. 2000. New Horizons in teh Study of Language and Mind. Cambridge: cambridge University Press. Chomsky, Noam. 2002. On Nature and Language. Cambridge: Cambridge University Press. Chomsky, Noam. 2006. Language and Mind. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Chomsky, Noam. 2008. Noam Chomsky Talks About Universal Grammar Video. Authors@google series. Available http://www.usingenglish.com/weblog/archives/000416.html
from:
Clark, Eve V.1993.Teh Lexicon in acquisition. Cambridge: Cambridge University Press Clark, Herbert H. dan Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language; an introduction to Psycholinguistiks. United States of America: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Cummins, Jim. 2003. Bilingual Children's Motehr Tongue: Why Is It Important for Education? Available from: http://www.iteachilearn.com/cummins/motehr.htm Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
86
de Boysson-Bardies, Benedicte. 1999. How Language Comes to Children: from Birth to Two Years. Massachusetts: teh Massachusetts Institute of Technology De Houwer, Annick. 2005. Early Bilingual Acquisition; Focus on Morphosyntax and teh Separate Development Hypotehsis. Kroll, Judith F. dan De Groot, Annette M. B. editor. Handbook of Bilingualism; Psycholinguistik Approaches. Oxford: Oxford University Press. P. 30-48 Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Dharmowijono, Widjajanti W dan Suparwa, I Nynenekn. 2009. Psikolinguistik; Teori Kemampuan Berbahasa dan pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press Finegan, Edward. 2004. Language; Its Structure and Use. United States of America: Thomson Wadsworth Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Languages. Teh United States of America: Harvard College
Hakuta, Kenji. 1986. Mirror of Language; teh Debate on Bilingualism. Teh United States of America: Basic Books. Inc. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistiks. England: Pearson Education Limited Howart,P. 2006. Teh Role of Acquisition and Learning in Young Children’s Bilingual Development: A Sociocultural Interpretation. International Journal of Bilingual Education and Bilingualism Volume : 8 Number : 6 P. 588-606. Jakobson, Rnenekn. 1962. Selected writings I; Phonological Studies. Teh Hague: Mouton. Jakobson, Rnenekn. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Teh Hague: Mouton & Co. Jakobson, Rnenekn. 1971. Selected Writings II; Word and Language. Teh Hague: Mouton. Jakobson, Rnenekn. 1978. Six Lectures on Sound and meaning. Cambride: Teh MIT Press. Jakobson, Rnenekn. 1980. Teh Framework of Language. Michigan: Michigan studies in teh Humanities. Jakobson, Rnenekn, dkk. 1961. Preliminaries to Speech Analysis; teh Distinctive Features and Tehir correlates. Cambridge: Cambridge University press
87
Kartawinata, Handiyo. 1988. “Language Contact in an Indonesian-Chinese Community: a Sosiolinguistik Study.” (dissertation). Australia: Australian National University Lefrancois, Guy R. 2000. Psychology for Teaching. Wadsworth:Thamson Learning Lust, Barbara C. 2006. Child Language: Aquisition and Growth. Cambridge: Cambridge University Press King, Kendall A. 2006. Child Language Acquisition. In. Fasold, Ralph dan Connor-Linton, Jeff. Editor. An Introduction to Language and Linguistiks. Cambridge: Cambridge University Press. P. 205-234 Meisel, Juergen M., 2001. Teh Simultaneous Acquisition of Two First Languages; Early Differentiation and Subsequent Development of Grammars. In. Cenoz, Jasone dan Genesee, Fred. Editor. Trends in Bilingual Acquisition. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. P. 11-41. Myers-Scotton, Carol. 2006. Multiple Voices: An Introduction to Bilingualism. Malden: Blackwell Publishing Ltd. Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara Naya, I wayan. 1998. “A Descriptive Study of Balinese-English Code Mixing Used by teh Beach Boys Community in teh Tourism Area of Lovina in Tehir Daily Communication.” (tehsis). Singaraja: IKIP Negeri Singaraja Rosenberg, Marsha. 1996. Raising Bilingual Children. Available from: http://iteslj.org/Articles/Rosenberg-Bilingual.html Saputra, Yudha M., Rudyanto. 2005. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Keterampilan Anak TK. Jakarta: DIKTI
untuk
Sebastian-Galles, Nuria dan Bosch, Laura. Phonology and Bilingualism. Kroll, Judith F. dan De Groot, Annette M. B. editor. Handbook of Bilingualism; Psycholinguistik Approaches. Oxford: Oxford University Press. P. 30-48 Shin, Sarah J. 2005. Developing in Two Languages: Korean Children in America. Clevedon: Multilingual Matters Ltd. Sinclair, John. 1994. Collins Cobuild English Dictionary. London: Harper Collins Publisher Soriente, Antonia. 2007. Cross-Linguistic and Cognitive Structures in the Acquisition of WH-Questions in an Indonesian –Italian Bilingual Child. In. Kecskes, Istvan and Albertazzi, Liliana. Editor. Cognitive Aspects of Bilingualism. Dordrecht: Springer. P. 325-362
88
Spolsky, Bernard. 1997. Multilingualism in Israel. (http://iteslj.org/ Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Steinberg, Danny D., dkk. 2001. Psycholinguistiks: Language, Mind and World. Essex: Pearson Education Limited Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistiks: Learning and Using Language. Englewood Cliffts: Prentice-Hall.Inc. Treffers-Daller, Jeanine. 2002. Bilingualism/Multilingualism. available from: (http://www.lang.ltsn.ac.uk) Verma, Mahendra K. 2002. Multilingualism. (http://www.lang.ltsn.ac.uk) Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistiks. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc. Wage Myartawan, I Putu Ngurah dan Sri Adnyani, Ni Luh Putu. 2008. “Perkembangan Fonologi Anak Berumur 1-2 Tahun (Suatu Studi kasus Multilingual)”. Singaraja: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha Watson, Ian. 1992. Phonological Processing in Two Languages. In. Bialystok, Ellen, editor. Language Processing in Bilingual Children. Cambridge: Cambridge University Press. P. 25-48 Yip, Virginia and Mattehws, Stephen. 2007. Teh Bilingual child: Early development and Language Contact. New York: Cambridge University Press.