BAB IV POLA OPERASIONAL ANGKOT CICAHEUM-CIROYOM
Bab ini menguraikan kondisi supply dan demand layanan angkot, pola operator dalam memaksimalkan tingkat utilitas dari input layanan angkutan yang diberikan dan pola serta mekanisme operator (pengemudi) dalam menyeimbangkan kebutuhan dan penyediaan layanan dan juga kualitas layanan angkot. IV.1. Kajian Umum Supply dan Demand Layanan Angkot
IV.1.1 Penyediaan Layanan Angkot Cicaheum-Ciroyom Rute angkot Cicaheum–Ciroyom termasuk tipe konsentris dalam yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan dalam kota sesuai dengan pola jaringan jalan di Kota Bandung yang cenderung bersifat konsentris di sekitar pusat kota. Tipe ini merupakan modifikasi dari tipe radial tanpa cabang radialnya. Pola lintasan rute ini diberikan pada Gambar IV.1 berikut. Gambar IV.1. Rute angkot Cicaheum-Ciroyom
Rute ini dilayani oleh 206 angkot yang terdaftar dan termasuk dalam wilayah koperasi pengusaha Kobanter Baru. Lintasan rute ini melewati enam kecamatan 62
yaitu Cibeunying Kaleer, Cibeunying Kidul, Coblong, Sukajadi, Cicendo dan Andir. Keenam wilayah tersebut termasuk kecamatan-kecamatan di Kota Bandung dengan kepadatan yang tinggi yaitu, yang paling tinggi, Andir dengan 27.538 jw/km2 dan yang terendah adalah Cibeunying Kaleer dengan kepadatan 15.019 jw/km2. Tingginya potensi bangkitan pergerakan dari jumlah penduduk tersebut membuat wilayah tersebut juga dilayani oleh beberapa rute yang lain sehingga terjadi tumpang tindih rute pada beberapa ruas jalan. Studi Masterplan Angkutan Umum Kota Bandung (2004) mengidentifikasi bahwa trayek Cicaheum-Ciroyom ini mengalami tumpang tindih rute dengan 5 trayek lain pada beberapa ruas jalan di sepanjang lintasannya. IV.1.2 Permintaan Layanan Angkot Gambaran tingkat permintaan layanan angkot trayek Cicaheum-Ciroyom dalam penelitian ini diperoleh dari survey on board. Survey on board yang dilakukan juga dapat memberikan informasi mengenai panjang rata-rata perjalanan penumpang. Survey ini menunjukkan bahwa jumlah penumpang bervariasi menurut waktu yaitu sebagaimana diberikan pada Tabel IV.1. berikut. Tabel IV.1 Penumpang rata-rata per satuan jarak tempuh, pnp/km Cicaheum - Ciroyom Senin Jum'at Minggu Rata-rata Ciroyom - Cicaheum Senin Jum'at Minggu Rata-rata
Pagi 2.68 2.58 2.31 2.53
Siang 2.33 1.29 2.18 1.93
Sore 2.05 2.17 2.12 2.12
Rata-rata 2.35 2.01 2.20
Pagi 2.16 1.99 2.35 2.17
Siang 2.14 1.26 1.94 1.78
Sore 1.90 1.86 1.85 1.87
Rata-rata 2.07 1.70 2.05
N=5
63
Tabel IV.1 di atas menggambarkan bahwa permintaan akan layanan angkot pada trayek Cicaheum-Ciroyom bervariasi berdasarkan waktu maupun berdasarkan arah pergerakan. Survey on board yang dilakukan mencatat keterisian kendaraan pada kedua arah pergerakan angkot baik dari arah Terminal Cicaheum menuju Terminal Ciroyom, maupun arah sebaliknya dari Terminal Ciroyom menuju Terminal Cicaheum. Berdasarkan waktu pergerakan kendaraan antara pagi, siang dan sore, terlihat bahwa permintaan pada pagi hari merupakan yang paling tinggi (2,53 pnp/km arah Cicaheum-Ciroyom dan 2,17 pnp/km pada arah Ciroyom-Cicaheum) kemudian menurun pada siang hari (1,93 dan 1,78) dan kemudian naik lagi pada sore hari ( 2,12 dan 1,87). Berdasarkan hari, maka terlihat bahwa penumpang pada hari Senin, yang dianggap mewakili hari Selasa, Rabu dan Kamis, rata-rata 2,35 pada arah Cicaheum-Ciroyom dan 2,07 pada arah sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum. Jumlah ini menurun pada hari Jum’at (2,01 dan 1,70) kemudian naik lagi pada hari Minggu (2,2 dan 2,05). Dari variasi menurut waktu (pagi, siang dan sore) dan hari, terlihat bahwa ratarata penumpang dari arah Cicaheum menuju Ciroyom lebih tinggi dibanding pada arah sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum.
IV.2. Kinerja Finansial Pengemudi Angkot Cicaheum-Ciroyom
Dalam penelitian ini kinerja finansial angkutan umum ditinjau pada tingkat pengemudi yang didefinisikan sebagai perbandingan (rasio) antara pendapatan yang diperoleh terhadap total biaya operasional yang dikeluarkan pengemudi setiap
harinya.
Tinjauan
pada
tingkat
pengemudi
karenanya
tidak
memperhitungkan keseluruhan biaya yang sebenarnya menjadi input dalam penyediaan layanan angkutan misalnya biaya investasi dan penyusutan nilai kendaraan ataupun biaya perijinan. Mekanisme dari operator dalam penyediaan layanan angkutan adalah membagi beban antara pengemudi dan pemilik kendaraan melalui sistem sewa-menyewa 64
sehingga yang menjadi beban sepenuhnya bagi pengemudi adalah biaya operasional sehari-hari dengan komponen terbesarnya adalah untuk biaya bahan bakar. Dengan beban operasional pada pengemudi, maka akan terdapat kemungkinan bahwa pengemudi akan melakukan optimalisasi pendapatan dengan meminimalkan biaya operasionalnya. Peran pemerintah dalam pengaturan layanan angkutan umum, terutama moda angkot, terbatas hanya pada pengaturan rute sementara keputusan apakah angkot tersebut akan beroperasi sepenuhnya sesuai ijin trayek yang dimiliki atau sebaliknya tidak beroperasi sama sekali sepenuhnya berada pada operator. Kinerja finansial operasional angkot dari sisi pengemudi adalah perbandingan antara pendapatan dibagi dengan biaya untuk operasi yang dikeluarkan untuk setiap hari operasinya. Terhadap rasio ini juga dapat ditambahkan jarak yang ditempuh sehingga rasio pendapatan terhadap biaya untuk setiap satuan jarak tempuh dapat diketahui. Biaya dalam transportasi terdiri dari biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung yang meliputi biaya awak, biaya administrasi, biaya bunga modal, biaya penyusutan, biaya BBM, pelumas, ban dan pemeliharaan sementara biaya tidak langsung merupakan biaya pengelolaan dan administrasi manajemen perusahaan. Keseluruhan komponen biaya tersebut dikenal sebagai Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang juga memperhitungkan biaya penyusutan aset. Pada perusahaan angkutan dengan jumlah armada yang besar dan dengan manajemen yang rapi, masing-masing komponen biaya-biaya tersebut dapat ditelusuri dengan mudah, misalnya, dari administrasi perusahaan. Keadaan berbeda ditemui pada operasional angkot yang relatif tidak terdapat administrasi yang lengkap merekam setiap pengeluaran maupun penerimaan. Pada sistem kepegawaian, misalnya, angkot yang beroperasi tidak memiliki ikatan kontrak kerja yang kuat antara pemilik dan pengemudi sebagai karyawan yang akan mengatur secara jelas dan tegas tugas masing-masing pihak. Kesepakatan antara pemilik dan pengemudi hanya mengenai hak dan kewajiban masing-masing dimana pemilik bertanggung jawab atas kondisi kendaraan agar tetap laik jalan
65
sementara pengemudi bertanggung jawab atas sejumlah tertentu yang harus disetor kepada pemilik pada setiap hari beroperasinya. Kesepakatan kerja antara pengemudi dan pemilik angkot tidak tertuang dalam bentuk suatu dokumen perikatan melainkan hanya bersifat saling kepercayaan secara lisan. Dengan sistem setoran yang berlaku dalam praktek jasa angkot maka terdapat pemisahan komponen biaya antara yang ditanggung oleh pemilik kendaraan dan komponen biaya yang menjadi tanggungan pengemudi. Pemilik kendaraan bertanggung jawab atas biaya administrasi kendaraan dan pemeliharaan sementara pengemudi, penyewa, bertanggung jawab atas biaya operasional sehari-hari yang sebagian besar merupakan biaya BBM. Komponen biaya gaji awak kendaraan menjadi bagian yang sulit untuk ditelusuri. Pemisahan beban pembiayaan, dan potensi pendapatan, antara pemilik kendaraan dan pengemudi dimana pemilik mendapat bagian yang berjumlah tetap, dalam bentuk jumlah yang harus disetor setiap harinya, mendorong dan juga memberi peluang kepada pengemudi untuk melakukan maksimalisasi pendapatan karena berhubungan dengan jumlah yang akan dibawa pulang oleh pengemudi yang merupakan selisih dari pendapatan bersih (setelah dikurangi biaya operasional) dengan jumlah setoran. Pola operasi pengemudi angkot adalah berusaha secepat mungkin untuk memperoleh jumlah pendapatan yang menjadi kewajiban setorannya dan setelah jumlah tersebut tercapai maka penerimaan yang diperoleh selanjutnya merupakan bagian pengemudi sebagai pendapatan (take home pay). Peluang bagi pengemudi untuk memaksimalkan pendapatannya adalah dengan menekan biaya operasi yang sifatnya berubah menurut jarak tempuh dan pada saat bersamaan memaksimalkan pendapatan dari jumlah penumpang yang diangkut. Biaya BBM yang menjadi tanggungan pengemudi merupakan variable cost yang berbanding lurus dengan panjang pergerakan kendaraan. Mengingat bahwa BBM merupakan komponen biaya dominan dalam keseluruhan biaya yang menjadi beban pengemudi, selain biaya konsumsi dan retribusi, pilihan pergerakan yang meminimalkan jarak tempuh akan juga menekan biaya operasional. Untuk 66
memaksimalkan pendapatan maka pengemudi berkepentingan dengan jumlah penumpang, dan panjang perjalanan, yang diangkut. Biaya setor rata-rata pengemudi kepada pemilik kendaraan dalam satu hari operasi untuk 12 jam adalah Rp.150.000,-. Dengan informasi tersebut maka dapat diperoleh gambaran kinerja finansial rata-rata angkot yang beroperasi di jalanan sebagai berikut. Biaya tetap (setoran), Rp Biaya operasional rata-rata, Rp Jumlah, Rp Pendapatan rata-rata, Rp
150,000.0 135,447.0 + 285,447.0 496,193.00
Pendapatan Biaya operasional
=
Biaya operasional Penumpang - km
=
Pendapatan Penumpang - km
=
1.74
24.3
506.6
Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk rute angkot Cicaheum – Ciroyom kinerja finansial bervariasi dari yang paling rendah sebesar 1,2 sementara yang paling tinggi adalah 2,5 sebagaimana diberikan pada Gambar IV.2 di bawah.
67
Gambar IV.2 Sebaran Rasio Pendapatan-Biaya Pengemudi 30
Percent
20
10
0 1.20 1.25 1.39 1.40 1.46 1.50 1.56 1.57 1.60 1.63 1.67 1.73 1.80 1.83 2.00 2.25 2.40 2.50
Rasio
Dari gambaran di atas terlihat bahwa dalam operasinya pengemudi angkot selalu menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasionalnya. Namun gambaran tersebut hanya melihat dari total biaya yang dikeluarkan langsung oleh pengemudi untuk kemudian dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Sekalipun mayoritas pengemudi berpendapat bahwa jumlah penumpang kurang, yang sebenarnya mereduksi tingkat pendapatan, tapi perhitungan di atas dapat memberi alasan masih eksisnya layanan angkot di Kota Bandung. Kecenderungan perilaku pengemudi dalam merespon kondisi lingkungan operasional akan diuraikan pada bagian berikut.
IV.3 Pola Operasional Pengemudi Angkot Cicaheum-Ciroyom
Pola operasional pengemudi merupakan model yang menghubungkan antara kondisi lingkungan yang dihadapi yang lalu direspon oleh pengemudi dalam bentuk pemilihan keputusan dalam pergerakan sehingga membentuk pola perilaku.
68
IV.3.1 Respon pengemudi terhadap potensi jumlah penumpang Untuk menjelaskan perilaku pengemudi sebagai respon terhadap potensi jumlah penumpang yang sedikit dilakukan dengan uji kontingensi C. Jumlah angkot trayek Cicaheum-Ciroyom yang terdaftar adalah sebanyak 206 buah, sehingga dengan tingkat kepercayaan 10%, jumlah sampel yang dianggap memadai adalah minimal 67 orang pengemudi. Hipotesa yang diajukan adalah : Ho = tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatanbiaya terhadap respon pengemudi terhadap potensi penumpang Ha = terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap potensi penumpang Kemungkinan respon pengemudi terhadap potensi jumlah penumpang adalah tetap beroperasi (diberi skor 4), memotong rute (3), ngetem (2) dan tergantung perolehan target pendapatan (1). Perhitungan dilakukan dengan perangkat lunak SPSS dengan menu Analyze, descriptive statistics dan crosstabs. Dari keluaran SPSS diperoleh koefisien kontingensi C sebesar 0,644. Untuk menguji signifikansi koefisien C dilakukan dengan membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Perhitungan Chi Kuadrat yang dilakukan dengan SPSS menunjukkan hasil 20,821. Dengan df = 3 dan dengan taraf kesalahan 10% diperoleh nilai Chi Kuadrat tabel sebesar 6,251. Dari perhitungan di atas terlihat bahwa Chi Kuadrat hitung lebih besar dari Chi Kuadrat tabel (20,821 > 6,251) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara rasio biaya-pendapatan pengemudi dalam mengoperasikan angkot dengan pola operasi sebagai respon terhadap potensi jumlah penumpang. 69
Tabel IV.2. menunjukkan bahwa dari 67 responden, terdapat 22 pengemudi (32,84%) yang merespon potensi penumpang dengan melakukan pemotongan rute, 25 pengemudi (37,3%) yang memilih ngetem, 19 pengemudi (28,36%) yang memilih tetap beroperasi sesuai ketentuan sementara 1 orang (1,49%) yang memilih menyesuaikan dengan perolehan target pendapatan, terutama target setoran. Tabel IV.2 Respon Pengemudi Terhadap Jumlah Penumpang
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
1
1.5
1.5
1.5
2
25
37.3
37.3
38.8
3
22
32.8
32.8
71.6
4
19
28.4
28.4
100.0
Total
67
100.0
100.0
Pemotongan rute merupakan kondisi dimana pengemudi tidak menyelesaikan lintasan pergerakannya sesuai dengan ketentuan menurut trayek. Pengemudi akan menyelesaikan lintasan dari terminal sampai ke terminal hanya apabila potensi pendapatan dari jumlah penumpang dianggap dapat menutupi biaya yang harus dikeluarkan. Tabel IV.3 menunjukkan bahwa pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan ngetem, yaitu bergerak hanya setelah keterisian kendaraan dianggap cukup, menghasilkan kinerja finansial rata-rata (perbandingan antara pendapatan terhadap biaya) yang paling tinggi yaitu 1,66 sementara pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute memiliki kinerja finansial rata-rata 1,62. Pengemudi yang memilih tetap beroperasi seperti biasa tanpa melakukan variasi waktu maupun lintasan dalam pergerakannya memiliki kinerja rata-rata 1,57.
70
Tabel IV.3. Respon pengemudi terhadap potensi penumpang dan kinerja finansialnya Ngetem
2 3 4 10 12 14 16 17 19 26 27 28 30 31 34 37 38 39 42 47 49 54 57 65 66
Rasio pendapatanbiaya 1.20 1.60 1.60 1.50 1.50 1.50 1.50 1.80 1.67 1.67 1.46 1.67 1.50 1.57 1.40 2.00 2.00 2.50 2.40 1.67 1.60 1.60 1.67 1.39 1.67
Rata-rata
1.66
No. Respnd
Memotong rute No. Respnd 8 9 18 20 21 22 25 29 32 35 40 43 44 50 51 52 55 56 58 59 60 63
Tetap beroperasi
Rasio pendapatanbiaya 1.60 1.50 1.50 1.80 1.50 1.67 1.67 1.67 1.56 1.20 2.25 1.50 1.67 1.25 1.56 1.50 1.56 1.83 1.80 1.80 1.56 1.67
1.62
No. Respnd 1 5 6 7 11 13 15 23 33 36 41 45 46 48 53 61 62 64 67
Rasio pendapatanbiaya 1.40 1.50 1.50 1.60 1.67 1.67 1.63 1.60 1.50 1.60 1.60 1.60 1.50 1.50 1.60 1.60 1.50 1.50 1.73
Kejar target pendapatan No. Respnd 24
Rasio pendapatanbiaya 1.5
1.57
Berdasarkan kecenderungan pengelompokannya maka terlihat bahwa kinerja finansial antara kelompok pengemudi yang memilih pola ngetem dan yang memotong rute memusat pada rentang kinerja finansial 1,5 - 1,7 yaitu 16 dari 25 pengemudi (64%) yang memilih pola ngetem dan 15 orang (68,18%) dari 22 orang pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute. Namun pengemudi yang memilih tetap beroperasi tanpa terlalu memperhitungkan kondisi jumlah penumpang juga memiliki kecenderungan kinerja finansial yang memusat pada
71
interval yang sama yaitu 1,5 - 1,7 sebanyak 17 orang (89,5%) dari 19 pengemudi (Tabel IV.4 dan Gambar IV.3). Tabel IV.4 Pengelompokan kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi jumlah penumpang Jumlah Respon Rasio Ngetem 1,0 - 1.49 1.5 - 1.59 1.6 - 1.69 1.7 - 1.9 2.0 - 2.5 N
4 6 10 1 4 25
Memotong rute 2 9 6 4 1 22
Tetap beroperasi 1 7 10 1
Kejar target
19
1
1
Gambar IV.3 Sebaran kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi jumlah penumpang
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa terhadap kondisi jumlah penumpang, pengemudi memiliki kinerja finansial yang relatif sama yaitu berkisar pada rentang 1,5 sampai 1,7. Kecenderungan kinerja ini terjadi baik apabila pengemudi melakukan ngetem, pemotongan rute ataupun tetap melintas tanpa melihat kondisi jumlah penumpang. Hasil ini mengindikasikan bahwa ketiga
72
kemungkinan perilaku pengemudi tersebut memberikan kinerja finansial yang seimbang
dalam upaya pencapaian
maksimalisasi
keuntungan
sehingga
dimungkinkan juga bahwa pengemudi akan melakukan pilihan pola pergerakan yang bervariasi dari hari ke hari. Dari Tabel IV.3 juga terlihat bahwa pengemudi yang memilih pola operasi yang sesuai dengan ketentuan trayek, tanpa memperhitungkan kondisi potensi penumpang, memiliki kinerja finansial yang relatif seragam. Rasio pendapatanbiaya yang terendah adalah 1,4 sementara yang tertinggi adalah 1,73. Selisih antara yang tertinggi dengan yang terendah adalah 0,33. Pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan pemotongan rute memiliki rentang variasi kinerja finansial yang lebih lebar yaitu yang tertinggi sebesar 2,25 sementara yang terendah adalah 1,20. Selisih kinerja finansial tertinggi dengan terendah adalah 1,05. Pengemudi yang memilih pola operasi dengan melakukan perhentian untuk pengisian penumpang sampai pada jumlah yang dianggap memadai (ngetem) memiliki kinerja finansial yang tertinggi sebesar 2,5 sementara yang terendah adalah 1,20. Selisih kinerja finansial tertinggi dengan terendah adalah 1,30. Selisih kinerja finansial yang lebar pada pola operasi memotong rute dan ngetem menunjukkan bahwa pengemudi angkot melakukan upaya maksimalisasi keuntungan dengan lebih mementingkan pendapatan dari tingkat keterisian penumpang daripada melakukan pemenuhan kewajiban lintasan menurut trayek yang sebenarnya. Komponen biaya dominan dalam operasional angkot sehari-hari adalah untuk BBM yang berhubungan langsung dengan jarak tempuh. Dengan mengurangi jarak tempuh maka pengemudi dapat menekan biaya operasional. Pada kasus trayek angkot Cicaheum-Ciroyom, angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum banyak melakukan pemutusan rute pada Jl Pajajaran. Dengan kondisi ini maka jumlah angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum tidak selalu sama dengan jumlah angkot yang sampai ke Terminal Ciroyom.
73
Keadaan di atas tergambar dari hasil traffic counting yang dilakukan di 5 (lima) titik sepanjang trayek Cicaheum - Ciroyom pada 3 (tiga) hari yang berbeda yaitu Senin, Jum’at dan Minggu. Tabel. IV.5.a Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Senin) Jam
Jalan
07.0008.00
Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna
144 151 150 91 75
08.0009.00
12.0013.00
177 182 175 97 75
13.0014.00
155 152 148 77 62
148 171 143 86 62
16.0017.00
17.0018.00
146 144 145 87 70
150 142 125 84 65
Tabel. IV.5.b Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Jum’at) Jam
Jalan
07.0008.00
Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna
143 149 143 93 72
08.0009.00
12.0013.00
172 183 172 95 76
13.0014.00
94 95 90 72 47
148 146 135 95 66
16.0017.00 149 155 141 98 78
17.0018.00 157 143 123 88 68
Tabel. IV.5.c Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Minggu) Jalan Pahlawan Sp Dago Eyckman Pajajaran Arjuna
Jam 07.0008.00 62 69 74 68 45
08.0009.00
12.0013.00
60 106 90 70 39
60 121 101 80 51
13.0014.00 100 128 92 88 71
16.0017.00 148 144 90 103 77
17.0018.00 156 150 85 92 65
Tabel IV.5 di atas menunjukkan bahwa jumlah angkot relatif sama pada ruas jalan mulai dari Jl. Pahlawan (keluar dari Terminal Cicaheum) sampai ke Jl. Eyckman sementara pada Jl. Pajajaran dan Jl. Arjuna (yang dekat ke Terminal Ciroyom), jumlah angkot menurun drastis menjadi sekitar 50% dari jumlah di Jl Pahlawan. 74
Pola ini terjadi sama pada setiap interval waktu, baik pagi, siang maupun sore hari. Keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa sebagian angkot yang berangkat dari Terminal Cicaheum melakukan pemotongan rute dengan tidak meneruskan sampai Terminal Ciroyom sehingga terjadi perbedaan jumlah angkot pada beberapa ruas jalan sepanjang trayek Cicaheum-Ciroyom. Dalam upaya menekan biaya operasional, terutama BBM yang berhubungan langsung dengan jarak tempuh, dan pada saat bersamaan hanya melintas pada wilayah-wilayah (ruas jalan) dengan potensi penumpang yang tinggi maka pengemudi menjaga rasio antara pendapatan yang diterima dari keterisian penumpang dengan biaya yang harus dikeluarkan. Berdasarkan data antara rata-rata biaya yang dikeluarkan dan tingkat pendapatan pengemudi dalam setiap hari operasinya terdapat kecenderungan bahwa pengemudi dapat menjaga bahwa setiap biaya yang dikeluarkan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan. Keadaan tersebut dimungkinkan karena angkot pada dasarnya tidak diwajibkan untuk bergerak pada saat-saat tertentu terlepas dari jumlah penumpang yang akan diangkut. Keputusan angkot untuk bergerak secara kontinu, secara sporadis atau bahkan tidak beroperasi sama sekali tergantung dari pengemudi yang mempertimbangkan potensi pendapatan dari jumlah tangkapan penumpang dan dibandingkan terhadap biaya yang harus dikeluarkan. IV.3.2. Respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan lalu lintas Salah satu kondisi lingkungan yang dihadapi dalam operasional angkot sehari-hari adalah kondisi kemacetan lalu-lintas yang menimbulkan tundaan dalam perjalanan.
Keadaan
ini
akan
mengurangi
peluang
pengemudi
untuk
memaksimalkan pendapatannya sementara biaya BBM akan tetap harus dikeluarkan. Pada sisi lain, daerah-daerah yang potensial mengalami kemacetan adalah daerah-daerah yang merupakan pusat-pusat kegiatan penduduk sehingga juga memberikan peluang pendapatan bagi pengemudi angkot dari pengguna jasa yang merupakan paksawan terhadap angkutan umum.
75
Untuk menjelaskan kecenderungan perilaku pengemudi sebagai respon terhadap kemacetan lalu lintas yang merupakan kondisi lingkungan yang dihadapi dalam operasional sehari-hari dilakukan dengan uji kontingensi C. Hipotesa yang diajukan adalah : Ho =
tidak terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan
Ha =
terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara rasio pendapatan-biaya terhadap respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan
Kemungkinan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan lalu-lintas adalah tetap melintas (diberi skor 4), memotong rute (3), mencari jalan/jalur alternatif (2) dan tidak beroperasi (1). Perhitungan yang dilakukan dengan perangkat lunak SPSS dengan menu Analyze, descriptive statistics dan crosstabs memberikan hasil koefisien kontingensi C sebesar 0,587. Untuk menguji signifikansi koefisien C dilakukan dengan membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel. Perhitungan Chi Kuadrat yang dilakukan dengan SPSS menunjukkan hasil 29,045. Dengan df = 2 dan dengan taraf kesalahan 10% diperoleh nilai Chi Kuadrat tabel sebesar 3,605. Dari perhitungan di atas terlihat bahwa Chi Kuadrat hitung lebih besar dari Chi Kuadrat tabel (29,045 > 3,605) sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Simpulan yang dapat ditarik dari pengujian statistik ini adalah bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara rasio pendapatan-biaya pengemudi dalam mengoperasikan angkot dengan respon terhadap kondisi kemacetan. Tabel IV.7 menunjukkan bahwa dari 67 responden, terdapat 43 pengemudi (64,2%) yang memilih tetap melintas, 10 pengemudi (14,9%) yang memilih
76
melakukan pemotongan rute, dan 14 orang (20,9%) yang melakukan respon dengan berusaha mencari jalan/jalur alternatif menghindari kemacetan dan tidak ada pengemudi yang memilih tidak melakukan operasi. Gambaran di atas menunjukkan bahwa sekalipun terdapat kemacetan, mayoritas pengemudi angkot, hampir 85%, tetap akan beroperasi baik dengan melintas sesuai ketentuan trayek maupun dengan berupaya mencari jalan/jalur alternatif yang memungkinkan angkot dapat melintas sementara yang melakukan pemotongan rute hanya 15%. Tidak adanya pengemudi yang memilih untuk tidak beroperasi karena adanya kemacetan menunjukan bahwa faktor kemacetan tidak menjadi penghalang bagi angkot untuk tetap beroperasi dan lebih dari setengah (64,2%) bahkan tidak peduli dengan kemacetan dengan tetap melintas sesuai dengan jalur menurut ketentuan trayeknya. Sisanya 35,8% tetap beroperasi tapi dengan melakukan penyesuaian lintasannya baik dengan pemotongan rute atau berupaya mencari jalur/jalan alternatif menghindari kemacetan. Kinerja finansial pengemudi dengan memperhitungkan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan menunjukkan bahwa pengemudi yang memilih melakukan pemotongan rute memiliki kinerja finansial rata-rata tertinggi yaitu sebesar 1,81. Kinerja finansial terendah adalah 1,40 sementara yang tertinggi adalah 2,5. Selisih antara yang tertinggi dengan yang terendah adalah 1,10. Pengemudi yang berusaha memilih lintasan alternatif menghindari kemacetan memiliki kinerja finansial rata-rata 1,58. Kinerja finansial tertinggi adalah 2,0 dan terendah 1,2. Selisih kinerja finansial tertinggi dan terendah adalah 0,8. Pengemudi yang memilih tetap melintas tanpa memperdulikan kemacetan memiliki kinerja finansial rata sebesar 1,59. Kinerja finansial tertinggi adalah 2,0 dan terendah 1,2. Selisih kinerja finansial tertinggi dan terendah adalah 0,8. Gambaran ini sekilas menunjukkan bahwa terhadap kondisi kemacetan respon pengemudi yang lebih menguntungkan adalah dengan melakukan pemotongan rute, namun responden yang memilih respon ini hanya 15% dibanding yang
77
memilih respon berupaya mencari jalur alternatif sebesar 21%. Mayoritas pengemudi, 64%, justru memilih tetap melintas pada ruas-ruas jalan yang mengalami kemacetan. Tabel IV.6 Pengelompokan kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon pengemudi terhadap kondisi kemacetan Jumlah Respon Rasio 1,0 - 1.49 1.5 - 1.59 1.6 - 1.69 1.7 - 1.9 2.0 - 2.5 N
Memotong rute 1 2 3 2 2
Tetap melintas 5 14 18 6
Lintasan alternatif 1 7 4 1 1
Tidak beroperasi
10 14,93%
43 64,18%
14 20,90%
0 0,00%
Tabel di atas menunjukkan bahwa kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi kemacetan lalu lintas mayoritas berada pada interval 1,5 sampai 1,7 yaitu sebanyak 48 orang dari 67 pengemudi (71,6%) yang mencakup pola perilaku pengemudi yang melakukan pemotongan rute, mencari lintasan alternatif maupun yang tetap melintas tanpa memperdulikan adanya kemacetan lalu lintas. Namun dari jumlah ini mayoritas adalah yang memilih tidak memperdulikan kemacetan dengan tetap melintas.
78
Tabel IV.7 Respon pengemudi terhadap kemacetan dan kinerja finansialnya Tetap melintas Rasio No. pendapatanRespnd biaya 1 2 3 5 6 7 8 9 11 12 14 20 21 22 23 26 27 28 29 30 31 32 33 36 38 41 45 46 47 48 49 50 56 57 58 59 61 62 63 64 65 66 67 Rata-rata
1.40 1.20 1.60 1.50 1.50 1.60 1.60 1.50 1.67 1.50 1.50 1.80 1.50 1.67 1.60 1.67 1.46 1.67 1.67 1.50 1.57 1.56 1.50 1.60 2.00 1.60 1.60 1.50 1.67 1.50 1.60 1.25 1.83 1.67 1.80 1.80 1.60 1.50 1.67 1.50 1.39 1.67 1.73 1,59
Memotong rute Rasio No. pendapatanRespnd biaya 4 16 25 34 39 40 42 44 51 53
1.60 1.50 1.67 1.40 2.50 2.25 2.40 1.67 1.56 1.60
1,81
79
Cari jalan alternatif Rasio No. pendapatanRespnd biaya 10 13 15 17 18 19 24 35 37 43 52 54 55 60
1.50 1.67 1.63 1.80 1.50 1.67 1.50 1.20 2.00 1.50 1.50 1.60 1.56 1.56
1,58
Gambar IV.4 Sebaran kinerja finansial pengemudi berdasarkan respon terhadap kondisi kemacetan lalu lintas
Kecenderungan pengemudi untuk tidak memperdulikan kondisi kemacetan lalu lintas ini dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa daerah-daerah dalam kota yang mengalami kemacetan justru merupakan daerah pusat-pusat kegiatan sehingga merupakan tujuan maupun asal perjalanan penduduk dalam kota. Ini berarti bahwa daerah yang mengalami kemacetan adalah daerah dengan potensi penumpang yang dianggap memadai oleh pengemudi angkot. Tidak adanya pengemudi yang memilih tidak beroperasi karena alasan adanya kemacetan mempertegas alasan ini. Apabila dibandingkan antara respon terhadap potensi penumpang dengan respon terhadap
kemacetan,
maka
terlihat
bahwa
pengemudi
angkot
lebih
mempertimbangkan potensi jumlah penumpang dibanding kondisi kemacetan. Terhadap kondisi kemacetan, respon pengemudi relatif seragam yaitu mayoritas pengemudi angkot (64,2%) tidak perduli dengan tetap melintas sementara terhadap potensi jumlah penumpang respon pengemudi bervariasi mulai dari yang melakukan ngetem (pergerakan kendaraan dilakukan dengan memperhitungkan
80
keterisian kendaraan), melakukan pemotongan rute (angkot tidak melintasi ruas jalan yang dipandang kurang potensial jumlah penumpangnya) maupun yang tetap melintas tanpa memperdulikan potensi penumpang. Kecenderungan pengemudi untuk melakukan pemotongan rute tergambar dari survey on board yang dilakukan. Survey yang dilakukan pada hari Senin, Jum’at dan Minggu ini, terutama, mencatat naik-turun penumpang pada setiap ruas jalan yang dilintasi sepanjang perjalanan angkot baik dari arah Cicaheum menuju Ciroyom maupun sebaliknya dari Ciroyom menuju Cicaheum.
Tabel IV.8.a Jumlah penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Senin Pagi
Jalan
T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom
Siang
Penumpang
Ratarata
Penumpang
63 12 12 18 1 10 12 5 6 7 0
12.6 2.4 2.4 3.6 0.2 2 2.4 1 1.2 1.4 0
37 8 13 17 6 9 9 10 8 6 2
Sore Ratarata 7.4 1.6 2.6 3.4 1.2 1.8 1.8 2 1.6 1.2 0.4
Penumpang 38 16 20 15 10 9 2 7 2 3 0
Ratarata 7.6 3.2 4 3 2 1.8 0.4 1.4 0.4 0.6 0
Rata-rata
9.2 2.4 3.0 3.3 1.1 1.9 1.5 1.5 1.1 1.1 0.1
N=5
Tabel IV.8.a di atas menunjukkan bahwa potensi penumpang pada sepanjang rute tidak sama. Kecenderungan jumlah penumpang adalah semakin ke arah barat, mendekati Terminal Ciroyom, jumlah penumpang semakin sedikit. Dibanding jumlah penumpang yang naik di Terminal Cicaheum, dan sekitarnya, jumlah penumpang yang naik di Terminal Ciroyom, dan sekitarnya, jauh lebih sedikit (0,1 berbanding 9,2). Dengan gambaran ini maka dapat difahami bahwa angkot cenderung tidak menyelesaikan lintasan trayeknya dari Terminal Cicaheum sampai ke Terminal Ciroyom. 81
Wilayah Jl. Cihampelas sampai Jl. Eyckman yang termasuk daerah yang sering terjadi kemacetan tapi juga merupakan daerah dengan potensi penumpang yang cukup tinggi sehingga angkot yang lebih mementingkan potensi penumpang tetap melintasinya. Pada arah sebaliknya dari Ciroyom-Cicaheum tergambar bahwa potensi penumpang yang tinggi terdapat di wilayah Jl. Pajajaran, Pasirkaliki, Cipaganti, Siliwangi, Dipati Ukur dan Surapati. Dibanding arah Cicaheum-Ciroyom dimana terdapat angkot yang melakukan pemotongan rute, maka angkot yang bergerak dari arah Ciroyom menuju Cicaheum tidak melakukan pemotongan rute. Hal ini karena potensi penumpang di Terminal Cicaheum, dan sekitarnya, termasuk tinggi sehingga pengemudi lebih memilih untuk meneruskan sampai ke Cicaheum dengan harapan saat memulai trip berikutnya dari Terminal Cicaheum akan mendapatkan penumpang. Sebaliknya angkot yang bergerak dari Cicaheum menuju Ciroyom, sebagian melakukan pemotongan rute dengan tidak meneruskan sampai ke Terminal Ciroyom karena potensi penumpang dari Terminal Ciroyom, dan sekitarnya, termasuk rendah. Tabel IV.8.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Senin Jalan
Pagi Penumpang
T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum
8 6 19 14 18 8 9 3 11 14 10 8 1
Siang Ratarata
Penumpang
1.6 1.2 3.8 2.8 3.6 1.6 1.8 0.6 2.2 2.8 2 1.6 0.2
16 10 11 3 7 13 7 11 13 0 18 11 0
N=5
82
Sore Ratarata 3.2 2 2.2 0.6 1.4 2.6 1.4 2.2 2.6 0 3.6 2.2 0
Penumpang 10 5 23 7 29 6 9 2 11 1 10 5 0
Ratarata 2 1 4.6 1.4 5.8 1.2 1.8 0.4 2.2 0.2 2 1 0
Ratarata 2.3 1.4 3.5 1.6 3.6 1.8 1.7 1.1 2.3 1.0 2.5 1.6 0.1
Dari kedua gambaran di atas, tergambar bahwa wilayah dengan potensi penumpang yang tinggi adalah Terminal Cicaheum, Jl. Surapati, Jl. Dipati Ukur, Jl Cihampelas dan Jl Eyckman sehingga ruas-ruas jalan tersebut selalu dilintasi oleh semua angkot trayek ini. Masuknya daerah Jl Cihampelas sebagai ruas jalan yang selalu dilintasi oleh angkot sekalipun merupakan daerah dengan kemacetan lalu lintas menunjukkan bahwa angkot lebih mementingkan potensi penumpang sebagai sumber pendapatan dibanding kondisi kemacetan lalu lintas yang sebenarnya memberi tambahan biaya, secara finansial dalam bentuk konsumsi BBM maupun waktu tempuh. Gambaran respon pengemudi yang berbeda terhadap potensi penumpang dan kondisi kemacetan sebagaimana telah diuraikan di atas menegsakan bahwa perilaku operasional angkot sehari-hari merupakan suatu bentuk maksimalisasi pendapatan. Pola di atas juga berlaku pada hari Jum’at maupun Minggu dengan variasi pada Jum’at siang.
Tabel IV.9.a Jumlah Penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Jum'at Jalan
T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom
Pagi
Siang
Penumpang
Ratarata
52 12 13 15 3 12 13 6 6 7 0
10.4 2.4 2.6 3.0 0.6 2.4 2.6 1.2 1.2 1.4 0.0
Sore
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
12 6 6 6 4 9 2 7 10 7 0
2.4 1.2 1.2 1.2 0.8 1.8 0.4 1.4 2 1.4 0
30 23 19 17 10 9 2 7 2 3 0
6 4.6 3.8 3.4 2 1.8 0.4 1.4 0.4 0.6 0
N=5
83
Ratarata 6.3 2.7 2.5 2.5 1.1 2.0 1.1 1.3 1.2 1.1 0.0
Tabel IV.9.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Jum'at Jalan
T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum
Pagi
Siang
Sore
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
8 6 14 13 18 8 11 5 11 12 11 8 1
1.6 1.2 2.8 2.6 3.6 1.6 2.2 1 2.2 2.4 2.2 1.6 0.2
8 4 11 1 7 13 8 5 5 9 7 8 0
1.6 0.8 2.2 0.2 1.4 2.6 1.6 1 1 1.8 1.4 1.6 0
7 2 25 8 24 6 17 2 11 6 9 5 0
1.4 0.4 5 1.6 4.8 1.2 3.4 0.4 2.2 1.2 1.8 1 0
Ratarata 1.5 0.8 3.3 1.5 3.3 1.8 2.4 0.8 1.8 1.8 1.8 1.4 0.1
N=5 Tabel IV.10.a Jumlah Penumpang pada lintasan Cicaheum-Ciroyom Minggu Jalan
T. Cicaheum PHH Mustafa Surapati Dipati Ukur Siliwangi Cihampelas Eyckman Pasirkaliki A R Saleh Garuda T. Ciroyom
Pagi
Siang
Sore
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
38 12 15 16 1 10 12 9 10 6 0
7.6 2.4 3.0 3.2 0.2 2.0 2.4 1.8 2.0 1.2 0.0
19 16 15 14 12 10 10 13 3 7 0
3.8 3.2 3.0 2.8 2.4 2.0 2.0 2.6 0.6 1.4 0.0
30 23 19 17 10 9 2 7 2 3 0
6.0 4.6 3.8 3.4 2.0 1.8 0.4 1.4 0.4 0.6 0.0
N=5
84
Ratarata 5.8 3.4 3.3 3.1 1.5 1.9 1.6 1.9 1.0 1.1 0.0
Tabel IV.10.b Jumlah Penumpang pada lintasan Ciroyom-Cicaheum Minggu Pagi
Jalan
Siang
Penumpang
Ratarata
5 6 14 15 18 9 12 8 13 10 16 14 1
1 1.20 2.80 3.00 3.60 1.80 2.40 1.60 2.60 2.00 3.20 2.80 0.20
T. Ciroyom Arjuna Pajajaran Pasirkaliki Eyckman Cipaganti Setiabudi Cihampelas Siliwangi Dipati Ukur Surapati PHH Mustafa T. Cicaheum
Sore
Penumpang
Ratarata
Penumpang
Ratarata
5 13 19 5 14 13 11 11 7 14 17 8 0
1.0 2.6 3.8 1.0 2.8 2.6 2.2 2.2 1.4 2.8 3.4 1.6 0.0
0 6 10 13 24 8 15 7 11 17 9 3 0
0.0 1.2 2.0 2.6 4.8 1.6 3.0 1.4 2.2 3.4 1.8 0.6 0.0
Ratarata 0.7 1.7 2.9 2.2 3.7 2.0 2.5 1.7 2.1 2.7 2.8 1.7 0.1
N=5
Gambaran
perilaku
pengemudi
angkot
sebagaimana
diuraikan
di
atas
menunjukkan bahwa penyediaan jasa layanan angkutan umum yang dikelola oleh swasta, angkot dalam penelitian ini, lebih merupakan suatu bentuk usaha masyarakat dengan orientasi utama adalah mengejar keuntungan dibanding orientasi sebagai layanan publik. Dalam operasional sehari-hari, pengemudi angkot merupakan penyewa dari pemilik kendaraan. Bentuk ikatan kerja sama ini kemudian membagi hak dan tanggung-jawab operasional angkot antara porsi yang menjadi bagian pemilik dan bagian pengemudi. Kewajiban penyewa kendaraan, yang kemudian menjadi pengemudi angkot, adalah membayar setoran dalam jumlah tertentu sebagai realisasi dari perjanjian sewa-menyewa. Pada trayek Cicaheum-Ciroyom, rata-rata setoran ini adalah Rp. 150.000 perhari (12 jam). Pemilik kendaraan bertanggung jawab atas perijinan operasional angkot sehingga kendaraan yang akan dioperasikan adalah kendaraan yang siap dioperasikan sesuai dengan ketentuan
85
trayek. Biaya operasional angkot kemudian menjadi tanggungan penyewa (pengemudi). Dari gambaran ini dapat difahami bahwa pengemudi kemudian akan berupaya meminimalkan biaya operasional dan memperbesar pendapatan sehingga marjin keuntungan yang menjadi hak pengemudi membesar. Perjanjian sewa-menyewa yang bersifat jumlah tetap (fixed rate) merupakan peluang bagi pengemudi untuk memaksimalkan pendapatan yang dibawa pulang (take home pay) tanpa ada batasan maksimal. Perilaku sehari-hari pengemudi angkot sebagaimana diuraikan di atas sejalan dengan Gwilliam (2005), yang mengkategorikan penyediaan jasa angkutan umum di Indonesia ke dalam bentuk net cost route based dimana perhitungan efisiensi didasarkan pada biaya netto pada tiap rute dan ijin trayek sebagai lisensi melekat langsung pada setiap unit kendaraan. Berbeda dengan net cost route based yang disediakan oleh pemerintah, pada kasus jasa angkutan umum yang dikelola oleh swasta, masih terdapat lagi pembagian hak dan tanggung jawab antara pemilik kendaraan dan penyewa (pengemudi). Pada kasus ini, kemungkinan kerugian lebih banyak merupakan risiko bagi pengemudi sementara pemilik kendaraan sudah terlindungi dari bentuk sewa menyewa yang menjamin tingkat pendapatan bagi pemilik kendaraan. Pada sisi inilah upaya perbaikan daya tarik angkutan umum agar dapat tetap menjadi
pilihan
utama
dalam
pergerakan
penduduk
kota
harus
mempertimbangkan kenyataan bahwa layanan angkutan umum (angkot) yang sekalipun dianggap dikelola secara formal, dalam pengertian terdaftar dan memiliki ijin resmi, tapi dioperasikan di jalan raya secara informal8.
8
ILO (1972) mendefinisikan sektor informal berdasarkan ciri-ciri, salah satunya, ease of entry (kemudahan bagi siapa saja untuk masuk). Dalam konteks operasional angkot sehari-hari ciri ini terlihat dari sistem perikatan/penyewaan antara pemilik dan pengemudi angkot. Praktis tidak terdapat ketentuan dan syarat formal yang mengatur siapa saja yang berhak menjadi pengemudi angkot selain ketentuan memiliki SIM dan tingkat kepercayaan pemilik kendaraan terhadap calon pengemudi
86
Ijin trayek yang lebih bersifat sebagai lisensi diperbolehkannya angkutan umum untuk beroperasi bukan merupakan suatu bentuk kewajiban bagi operator untuk selalu menyediakan jasa angkutan dalam jumlah maupun kualitas layanan tertentu. Pendekatan quantity licensing yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan jasa angkutan umum perkotaan lebih bersifat menggambarkan potensi ketersediaan jasa angkutan dalam jumlah tertentu sebagaimana tercermin dalam jumlah angkot yang terdaftar untuk melayani masing-masing trayek, namun dalam parakteknya tidak ada jaminan bahwa semua angkot yang terdaftar tersebut akan beroperasi setiap saat dan mengikuti sepenuhnya ketentuan lintasan trayek. Pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi keputusan operasi sehari-hari pengemudi angkutan umum demikian pula dalam pengaturan perilaku pengemudi agar mematuhi ketentuan trayek dengan melintasi sepenuhnya semua ruas yang menjadi bagian lintasan trayek. Definisi angkutan umum sebagai layanan angkutan yang beroperasi pada rute dan jadwal tetap, sebagaimana Vuchic (1981), tidak sejalan dengan praktek yang terjadi dan tergambar pada hasil penelitian ini.
IV.4. Kualitas Layanan Angkot Cicaheum-Ciroyom
IV.4.1 Frekuensi layanan Salah satu ukuran untuk menilai keandalan angkutan umum adalah frekuensi layanan angkutan. Frekuensi layanan merupakan jumlah kendaraan yang melintas pada satu titik dan dalam waktu tertentu. Keandalan berhubungan dengan kepastian tersedianya layanan angkutan umum pada waktu dan tempat pengguna jasa membutuhkannya. Frekuensi dan ketersediaan angkutan penting karena merupakan informasi awal bagi calon pengguna untuk memutuskan dan kemudian memilih moda angkutan yang akan digunakan. Semakin tinggi kepastian ketersediaan moda maka akan semakin memudahkan bagi calon penumpang dalam memutuskan pilihan moda. Frekuensi layanan yang tinggi memperbesar jaminan bagi penumpang untuk dapat mengkonsumsi layanan angkutan umum.
87
Kedua kategori ini kurang berpengaruh terhadap mereka yang termasuk paksawan (captive rider) karena pilihan menggunakan angkutan umum merupakan alternatif satu-satunya sehingga apapun kualitas layanan yang tersedia tidak akan menjadi faktor penentu dalam keputusan untuk menggunakan angkutan umum. Berdasarkan pengamatan lapangan (traffic counting) diperoleh gambaran bahwa frekuensi rata-rata layanan angkot Cicaheum – Ciroyom bervariasi menurut waktu dan ruas jalan. Gambar IV.5.a Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Senin)
Gambar IV.5.b Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Jum’at)
88
Gambar IV.5.c Jumlah angkot pada beberapa ruas jalan (Minggu)
Dari gambar di atas terlihat bahwa rata-rata jumlah angkot Cicaheum-Ciroyom yang bergerak di jalan raya pada setiap jamnya adalah kurang dari jumlah yang terdaftar sebanyak 206. Pada hari Jum’at, jumlah angkot yang berada di jalan mengikuti pola sebagaimana pada hari Senin tapi perbedaan adalah pada interval tengah hari yaitu terjadi penurunan drastis menjadi di bawah 100. Keadaan ini dapat difahami karena berhubungan dengan aktifitas sholat Jum’at pada tengah hari tersebut. Pola yang berbeda terjadi pada hari Minggu. Pada interval pagi sampai tengah hari, jumlah angkot yang beroperasi di bawah 100 dan meningkat setelah lewat tengah hari, namun jumlah di atas 100 tersebut hanya sampai Jl Pajajaran. Jumlah kendaraan tertinggi yang melintas adalah 183 buah. Namun apabila dipertimbangkan waktu tempuh rata-rata untuk setiap trip adalah 70 menit, maka jumlah angkot yang beroperasi adalah sekitar 206 buah yang berarti semua angkot yang terdaftar tetap beroperasi. IV.4.2 Luas Layanan (Coverage) Salah satu dimensi dalam penilaian kualitas layanan sistem angkutan umum adalah luas wilayah layanan. Sesuai dengan ketentuan trayek yang dikeluarkan 89
oleh pemerintah kota, dengan menggunakan kriteria luas wilayah layanan (coverage service area) dengan radius 400 m sebagaimana Pushkarev dan Zupan (1977) yang dikutip oleh Jumsan (2005), maka luas wilayah yang seharusnya terlayani oleh trayek angkot pada arah Cicaheum – Ciroyom adalah sepanjang 12,665 km atau seluas 1.013,2 ha (12,665 x 0,8 = 10,132 km2) sementara pada arah sebaliknya dari Ciroyom – Cicaheum sepanjang 14,775 km atau seluas 1.182 ha (14,775 x 0,8 = 11,82 km2). Luas tersebut di atas merupakan ketentuan yang tergambar melalui lisensi trayek. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa angkot trayek Cicaheum-Ciroyom tidak selalu sepenuhnya melayani seluas tersebut di atas. Keadaan ini tergambar pada Tabel IV.11.a dan Tabel IV.11.b di bawah. Pada pagi hari arah dari Cicaheum menuju Ciroyom rata-rata angkot menempuh perjalanan sejauh 11,71 km atau 92,42% dari panjang total trayek, pada siang hari meningkat menjadi 12,285 km (97%) dan pada sore hari turun kembali menjadi 11,95 km (94,36%). Angkot dari arah Cicaheum yang tidak meneruskan perjalanan sampai ke Terminal Ciroyom ini biasanya hanya sampai di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin.
Tabel IV.11.a Jarak Tempuh Rata-rata Angkot Arah Cicaheum - Ciroyom No
Pagi Jarak
Siang %
Jarak
Sore %
Jarak
%
1 2 3 4 5
10,765 12,665 9,765 12,665 12,665
85.00% 100.00% 77.10% 100.00% 100.00%
12,665 12,665 12,665 12,665 10,765
100.00% 100.00% 100.00% 100.00% 85.00%
9,095 12,665 12,665 12,665 12,665
71.81% 100.00% 100.00% 100.00% 100.00%
Rata-rata
11,705
92.42%
12,285
97.00%
11,951
94.36%
N=5 Pada arah sebaliknya, dari arah Ciroyom menuju Cicaheum, jarak yang ditempuh angkot juga rata-rata di bawah 100% yaitu pada pagi hari rata-rata 13,5 km (91,23%), siang hari 13,5 km (91,53%) dan pada sore hari turun menjadi 12,88 km (87,18%). Sebagaimana pada arah dari Cicaheum – Ciroyom, pada arah dari 90
Ciroyom menuju Cicaheum, rata-rata angkot memulai perjalanan dari RS Hasan Sadikin dan pada saat pengemudi membutuhkan istirahat, misalnya untuk makan siang, lebih memilih untuk beristirahat di Terminal Cicaheum. Pola ini menjelaskan perbedaan antara jumlah angkot pada ruas jalan yang mendekati Terminal Ciroyom dan dengan jumlah angkot pada ruas jalan yang mendekati wilayah Terminal Cicaheum.
Tabel IV.11.b Jarak Tempuh Rata-rata Angkot Arah Ciroyom - Cicaheum No
Pagi Jarak
Siang %
Sore
Jarak
%
Jarak
%
1 2 3 4 5
12,855 14,775 12,495 14,775 12,495
87.01% 100.00% 84.57% 100.00% 84.57%
14,775 13,745 14,775 11,825 12,495
100.00% 93.03% 100.00% 80.03% 84.57%
9,865 14,775 14,775 12,495 12,495
66.77% 100.00% 100.00% 84.57% 84.57%
Rata-rata
13,479
91.23%
13,523
91.53%
12,881
87.18%
N=5 Kedua gambaran di atas menunjukkan kualitas layanan angkot CicaheumCiroyom berdasarkan indikator luas layanan yaitu dengan membandingkan luas layanan yang sebenarnya terjadi terhadap luas layanan yang diharapkan menurut ketentuan trayek. Dengan luas cakupan layanan rata-rata 90% maka apabila diadopsi kategori pemeringkatan dari TRB (2000), kualitas layanan tersebut termasuk kategori A (cakupan 90% - 100%) untuk pagi dan siang sementara untuk sore hari menjadi kategori B (cakupan 80% - 89,9%)9. Variasi luas layanan angkot ini merupakan konsekuensi dari bebasnya pengemudi memilih titik-titik perhentian, dan pada kondisi tertentu bahkan tidak mencapai titik transit akhir yang semestinya menjadi tanggung jawab layanannya. Hal ini membuat kategori layanan angkot yang berlaku dewasa ini yang didasarkan pada sifat fixed route tidak terpenuhi dalam prakteknya. 9
TRB (2000) menggunakan kategori pemeringkatan berdasarkan prosentase titik-titik OD yang terlayani dalam perencanaan trayek yang masing-masing merupakan Transit Supportive Area (TSA). Kategori tersebut mencakup untuk keseluruhan sistem angkutan umum wilayah yang dapat saja melibatkan banyak rute/trayek maupun beragam moda
91
Keputusan pengemudi angkot dalam memilih waktu, pilihan lintasan dan juga titik perhentian merupakan faktor yang dominan dalam pembentukan pola di atas. Ijin trayek yang melekat langsung pada kendaraan tidak memberikan standar kualitas layanan yang harus dipenuhi sebagai acuan bagi pengemudi dalam mengoperasikan angkot sehari-harinya misalnya dalam bentuk jarak minimal yang harus ditempuh dan kewajiban harus masuk ke masing-masing terminal Cicaheum dan Ciroyom. Ijin trayek yang berlaku lebih bersifat sebagai lisensi bagi kendaraan untuk mengangkut penumpang pada rute tertentu yang dapat digunakan atau tidak digunakan oleh pemilik kendaraan ataupun oleh pengemudi. IV.4.3 Kualitas Layanan Menurut Persepsi Penumpang IV.4.3.1. Karakteristik Penumpang Angkutan Umum Untuk mendapatkan persepsi masyarakat terhadap layanan angkot
maka
dilakukan survey berupa wawancara di lapangan baik langsung di atas kendaraan maupun di terminal/titik perhentian. Responden yang disasar adalah mereka yang menggunakan atau yang akan melakukan perjalanan pada rute Cicaheum – Ciroyom sesuai dengan lingkup penelitian ini. Dari 100 orang responden penumpang yang semuanya berdomisili di Kota Bandung, berdasarkan jenis kelamin 64 orang (64%) adalah pria dan sisanya 36 orang (36%) wanita. Berdasarkan usia, 52 orang (52%) berusia di antara 25 – 55 tahun, 47 orang (47%) berusia antara 17 – 24 tahun. Satu orang sisanya (1%) berusia kurang dari 17 tahun. Apabila dilihat dari jenis pekerjaan, maka mayoritas pengguna angkutan umum merupakan pelajar/mahasiswa (45 orang, 45%) dan karyawan/wiraswasta (53, 53%). Dari gambaran usia dan jenis pekerjaan terlihat bahwa pengguna angkutan umum merupakan usia produktif dan dengan aktifitas yang juga tinggi yaitu pada pendidikan dan sebagai karyawan. Hal ini tercermin dari tujuan perjalanan yaitu 42 orang (42%) tujuan ke sekolah, 35 orang (35%) tujuan bekerja, 10 orang (10%)
92
tujuan berusaha dan sisanya 13 orang (13%) tujuan berlibur ataupun tujuan lainlain yang sifatnya insidentil. Gambar IV.6 Tujuan perjalanan responden
Alasan penumpang menggunakan angkutan umum (mayoritas angkot) mayoritas sebagai captive rider (tidak punya pilihan lain) sebanyak 47 orang (47%), sementara yang beralasan biayanya murah sebanyak 37 orang (37%). Hanya 9 orang (9%) yang memberi alasan karena jangkauan angkutan umum yang luas. Apabila dibanding antara penumpang yang merupakan captive rider dengan yang merupakan choice rider maka terlihat bahwa jumlahnya relatif berimbang (47 % dan 53%). Gambar IV.7 Alasan responden memilih angkutan umum
93
Keseimbangan jumlah ini menunjukkan bahwa angkutan umum dengan kondisi yang ada dewasa ini masih memberikan alternatif yang menarik bagi choice rider dibanding moda lainnya sementara terhadap captive rider tidak terdapat jaminan bahwa apabila kondisi yang ada sekarang tidak diperbaiki dan apabila kondisi memungkinkan untuk tidak beralih ke moda lain, misalnya kendaraan pribadi terutama sepeda motor yang harganya relatif makin terjangkau. IV.4.3.2 Kualitas Layanan Menurut Persepsi Penumpang Persepsi penumpang terhadap kualitas layanan merupakan hal yang penting karena penumpang merupakan pengguna langsung dari layanan yang disediakan oleh sistem angkutan. Sebagai pelaku kegiatan dalam wilayah kota, penumpang adalah sasaran dari perumusan dan penerapan kebijakan angkutan umum. Warpani (2002) membedakan penumpang menjadi 2 (dua) kategori yaitu pilihwan (choice rider) yaitu mereka yang memiliki sejumlah alternatif dalam melakukan pergerakan dan paksawan (captive riders) yaitu mereka yang memiliki keterbatasan pilihan, atau hanya ada satu pilihan. Dengan memandang penyediaan layanan angkutan sebagai suatu proses supply dalam transportasi maka penilaian kualitas layanan angkutan umum didasarkan pada ukuran persepsi atau skala kepuasan pengguna yang akan menentukan kesesuaian kualitas kebutuhan (demand) dengan penyediaan. Kualitas layanan sistem angkutan umum menurut definisi yang digunakan oleh FDOT (2002) adalah kenyamanan yang diterima oleh penumpang terhadap layanan atau fasilitas yang disediakan Layanan angkot berdasarkan ketersediaan (availability) dengan melihat menurut jumlah dan waktu ketika responden membutuhkan layanan dan jarak untuk mengaksesnya hanya 1 orang (1%) yang menilainya sangat memuaskan, 9 orang (9%) menilainya memuaskan, mayoritas responden (75 orang, 75%) menilainya cukup sementara 15 responden sisanya (15%) menganggapnya tidak memuaskan dan sangat tidak memuaskan.
94
Pada indikator berdasarkan luas wilayah yang dapat terlayani angkutan umum sehingga memungkinkan penumpang bergerak dari setiap titik asal menuju ke setiap titik tujuan di Kota Bandung, mayoritas responden (62%) menjawab cukup, sementara yang menjawab memuaskan sebanyak 24%, 12% menjawab tidak memuaskan dan hanya 1% yang menjawab sangat tidak memuaskan. Terhadap pertanyaan mengenai kenyamanan selama menggunakan angkot, mayoritas responden, 75%, mengaku cukup, 5% mengaku memuaskan, 16% mengaku tidak memuaskan, dan sisanya 4% mengaku sangat tidak memuaskan. Secara keseluruhan, penilaian penumpang mengenai kualitas layanan angkutan umum di Kota Bandung, dalam hal ini trayek angkot Cicaheum-Ciroyom diberikan pada Gambar IV.8 berikut. Gambar IV.8 Persepsi penumpang mengenai kualitas layanan angkot di Kota Bandung
Dari radar di atas terlihat bahwa mayoritas penumpang memberi penilaian memuaskan terhadap kualitas layanan angkot di Kota Bandung untuk indikator luas layanan dan ketersediaan sementara untuk indikator kenyamanan prosentasi tertinggi hanya pada kisaran 40% dan 20% menilai tidak memuaskan. Dengan mayoritas pengguna merupakan paksawan, maka penilaian pengguna yang cenderung menganggap layanan angkot cukup memuaskan dapat membuat 95
penyedia jasa layanan angkutan umum, dalam hal ini angkot, sebenarnya berada pada posisi yang rawan karena tidak ada jaminan mereka tetap akan menggunakan angkot apabila kondisi ekonomi memungkinkan untuk membeli kendaraan pribadi.
IV.4.4 Respon Pengemudi Terhadap Usulan Perbaikan Kualitas Layanan Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, penggunaan sarana angkutan umum dalam pergerakan di wilayah perkotaan yang memiliki keterbatasan infrastruktur akan lebih efisien dan efektif sebab angkutan umumyang bersifat mssal memiliki kemampuan memindahkan sejumlah besar orang secara bersamaan sehingga biaya per satuannya akan lebih kecil dibandingkan apabila tiap orang menggunakan kendaraan pribadi. Angkutan massal juga menggunakan ruang di jalan ataupun lokasi parkir yang lebih efisien. Penggunaan definisi angkutan massal untuk kasus angkot memang tidak sepenuhnya tepat mengingat angkot yang beroperasi memiliki ukuran fisik dan kapasitas muat yang relatif sama dengan kendaraan pribadi. Dari sisi ukuran fisik, angkot tidak memberi pengurangan tingkat kebutuhan akan luas lahan yang besar sehingga penggunaan angkot secara masif bukan merupakan solusi terhadap upaya pengurangan tingkat kemacetan di perkotaan. Pada sisi lain dengan kapasitas muat yang relatif sama dengan kendaraan pribadi, angkot dapat mengurangi jumlah total kendaraan (angkutan umum dan kendaraan pribadi) yang beroperasi di jalanan apabila pengguna kendaraan pribadi memilih menggunakan angkot. Kendaraan pribadi sekalipun yang memiliki kapasitas muat yang besar, jenis Kijang, Panther misalnya, namun dalam keadaan sehari-hari hanya terisi minimal sehingga terdapat ruang dalam kendaraan pribadi yang tidak terpakai sementara ruang yang dibutuhkan di jalan raya sama dengan kendaraan lain yang berpenumpang lebih banyak. Bagi calon penumpang, keputusan pemilihan moda tertentu dalam pilihan pergerakan merupakan proses yang bersifat trade off antara biaya yang
96
dikeluarkan, baik biaya yang dikeluarkan langsung (out of pocket) selama mengkonsumsi layanan angkutan misalnya dalam bentuk ongkos maupun biaya tidak langsung seperti nilai waktu, dengan manfaat yang diperoleh. Proses pembandingan antar alternatif moda yang tersedia terutama berlaku pada mereka yang tergolong pilihwan (choice riders). Perbaikan kualitas layanan angkutan dapat dilakukan berdasarkan aspek yang menjadi fokus perhatian dari pihak-pihak yang terkait baik secara bersama maupun secara terpisah. Dari perspektif pengelolaan kota atau wilayah, perbaikan kualitas layanan ditujukan terutama untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi publik dalam pergerakan penduduk. Untuk mengetahui kecenderungan sikap pengemudi terhadap usulan perbaikan kualitas diuji dengan Chi Kuadrat sebagaimana diberikan pada Tabel IV.12 berikut. Tabel IV.12 Respon Pengemudi terhadap Usulan Perbaikan Layanan
Bersedia Netral Tidak bersedia N = 67 orang chi2 hitung chi2 tabel df
28 18 21
Spesifikasi dan jmlh kndrn diatur 36 14 17
2.358 3.605 2
12.746 3.605 2
9.164 3.605 2
Hasil pengujian
Ho diterima
Ho ditolak
Ho ditolak
Alternatif jawaban
Jadwal diatur
Titik perhentian diatur 16 17 34
Hipotesis dalam pengujian di atas adalah : Ho
:
tidak terdapat perbedaan pilihan jawaban pengemudi pada ketiga kategori alternatif jawaban
Ha
:
terdapat perbedaan pilihan jawaban pengemudi pada ketiga kategori alternatif jawaban
97
Pengaturan Jadwal Berdasarkan output SPSS sebagaimana dicantumkan pada Tabel IV.12 di atas dapat disimpulkan bahwa untuk opsi pengaturan jadwal keberangkatan angkot, yang berarti juga pengaturan headway, terhadap ketiga alternatif respon yaitu bersedia, netral dan tidak bersedia tidak terdapat perbedaan signifikan antara jumlah pengemudi yang memilih alternatif. Artinya tidak terdapat kecenderungan pengelompokan sikap pengemudi. Pengaturan Spesifikasi dan Jumlah Kendaraan Pada opsi pengaturan spesifikasi dan jumlah kendaraan, hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pilihan jawaban dengan mayoritas pengemudi menjawab bersedia. Dari Gambar IV.9 terlihat bahwa mayoritas responden (64%) menggunakan sistem sewa dalam pengoperasian kendaraan dengan bentuk perjanjian adalah sistem setoran untuk satu hari (12 jam) sementara 26,87% mengaku sebagai karyawan dari pengusaha angkutan.
Gambar IV.9 Status kepemilikan angkot
Dengan melihat latar belakang status kepemilikan kendaraan maka jawaban mayoritas pengemudi yang setuju terhadap usulan pengaturan spesifikasi kendaraan dapat dipahami karena pembatasan spesifikasi, yang bisa berarti
98
terdapat kendaraan yang tidak boleh beroperasi lagi, tidak berpengaruh langsung kepada mereka dan hanya akan menjadi beban pemilik kendaraan. Jawaban pengemudi yang setuju terhadap pembatasan jumlah kendaraan yang beroperasi merupakan gambaran dari potensi resistensi pengemudi terhadap kemungkinan penambahan armada yang baru. Peran koperasi angkutan yang merupakan jembatan komunikasi antara pemilik/pengemudi angkot dengan pemerintah kota merupakan faktor yang dapat menghambat upaya diterapkannya kompetisi kualitas antar operator dikarenakan koperasi angkutan bertujuan terutama untuk menjaga tingkat pendapatan dan kesejahteraan anggotanya masing-masing. Pengaturan titik-titik perhentian Pada usulan pengaturan titik-titik perhentian yang diperbolehkan bagi angkot dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya, terdapat perbedaan signifikan dalam pilihan jawaban pengemudi dengan mayoritas menjawab tidak bersedia. Pilihan jawaban mayoritas pengemudi tersebut menggambarkan potensi resistensi terhadap upaya perbaikan kualitas layanan terutama dalam aspek luas cakupan (service coverage). Kondisi ini mempertegas kesulitan dalam mengklasifikasikan praktek bentuk layanan angkutan umum yang berlaku dewasa ini dalam klasifikasi yang umum dalam literatur mengenai angkutan umum perkotaan yaitu antara fixed route pada satu sisi dan dial a ride/paratransit pada sisi lainnya. Bebasnya pengemudi memilih titik-titik perhentian, dan pada kondisi tertentu bahkan tidak mencapai titik transit akhir yang semestinya menjadi tanggung jawab layanannya, membuat kategori layanan angkot di Kota Bandung tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai fixed route and fixed schedule sebagaimana yang menjadi ciri dari angkutan umum.
99