SUBBUDAYA DALAM BUDAYA PERKOTAAN: POLA HIDUP KOMUNITAS SOPIR ANGKOT DI KOTA MAKASSAR SUBCULTURE IN URBAN CULTURE: LIVING PATTERN OF DRIVER COMMUNITY IN MAKASSAR CITY Muhammad Basir FISIPOL, Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan Km 10, Tamalanrea - Makassar, 90245 Telepon (0411) 585024, Faksimile (0411) 585024 Pos-el:
[email protected] Handphone: 081287149955 Diterima: 12 Maret 2015; Direvisi: 20 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT City with its own cultural pattern has many subcultures which are understood solely by the actors of subcultures. City is a container of cultural and ideological domination played by the government and have own interpretation by the subcultures. Therefore, the purpose of this writing is to see, to understand, and to describe the living pattern of driver community, one of the subcultures in Makassar City. To understand and to describe the subculture of driver community in urban culture in Makassar City, the writer used the data collection techniques of observation and interviews. The result of this research found that the subculture of driver community in Makassar City has own living and action pattern that understood itself, then becomes a strategy for their life as a form of urban cultural resistance dominately in Makassar City. The living patten that they done shows that their action is correct according to their own interpretation among the driver community and is formed as a subculture in urban culture as a whole in Makassar City. Keywords: city, culture, subculture, drivers, government.
ABSTRAK Kota dengan pola budayanya memiliki banyak subbudaya yang dipahami oleh pelaku subbudaya masingmasing. Kota merupakan wadah pendominasian budaya dan ideologi yang diperankan oleh pemerintah dan mempunyai penafsiran tersendiri terhadap subbudaya yang ada. Oleh karena itu, tujuan dari tulisan ini adalah melihat, memahami, dan menggambarkan subbudaya pada komunitas sopir angkot, salah satu subbudaya yang ada di Kota Makassar. Untuk memahami dan menggambarkan subbudaya sopir angkot dalam budaya perkotaan di Kota Makassar, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subbudaya pada komunitas sopir angkot di Kota Makassar mempunyai pola hidup dan pola tindakan yang dipahami tersendiri, sehingga menjadi strategi bagi kelangsungan hidup mereka sebagai bentuk resistensi budaya perkotaan yang dominan di Kota Makassar. Pola hidup yang mereka lakukan menunjukkan bahwa acuan pola tindakannya benar menurut penafsiran mereka di kalangan sopir angkot dan terpola sebagai subbudaya yang hidup di dalam budaya perkotaan secara keseluruhan di Kota Makassar. Kata kunci: kota, budaya, subbudaya, sopir angkot, pemerintah.
PENDAHULUAN Tulisan ini membahas tentang budaya perkotaan dan subbudaya perkotaan yang dikaitan dengan keberadaan sopir angkot sebagai satu komunitas sosial tersendiri di Kota Makassar. Selain itu, dibahas pula tentang adanya suatu pendominasian budaya perkotaan yang diperankan oleh suatu kesatuan sosial
tertentu yakni pemerintah. Budaya perkotaan yang banyak direkonstruksi oleh suatu kesatuan sosial yang mendominasi budaya perkotaan tersebut, selanjutnya memunculkan penafsiran-penafsiran dari sub-sub kebudayaan perkotaan lainnya. Salah satu sub kebudayaan adalah apa yang dipolakan oleh para sopir angkot sebagai suatu komunitas sosial tersendiri di Kota Makassar, mempunyai 87
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 penafsiran sesuai pola budaya yang dimilikinya terhadap budaya perkotaan. Pola penafsiran yang dimilikinya inilah mewujudkan strategi bagi kelangsungan hidupnya sehingga mereka dapat bertahan hidup dalam budaya perkotaan. Disisi lain, prilaku yang diwujudkan oleh para sopir angkot menjadi suatu bentuk resistensi bagi suatu kesatuan sosial lainnya, yakni kesatuan sosial yang mendominasi budaya perkotaan. Hal ini dikarenakan ketidak sesuaian penafsiran terhadap budaya perkotaan yang direkostruksi oleh kelompok yang mendominasi budaya Kota tersebut. Mereka menggunakan pola budayanya masing-masing sesuai kepentingannya untuk bertahan hidup. Untuk menganalisa hubungan-hubungan tersebut di atas, dalam tulisan ini menggunakan konsep kebudayaan sebagai alat untuk memahami setiap pola tindakan pada setiap komunitas yang ada di Kota Makassar, khususnya pola tindakan para sopir angkot. Memahami apa itu kebudayaan, maka berikut ini dikemukakan konsep kebudayaan dari Suparlan (2004a:158) yakni keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan sebagai pedoman untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan yang diperlukan (Lihat Keesing, 1989:68-69; Geertz, 1992:55; Spradley,1980:6). Berdasar pengertian kebudayaan di atas, maka kebudayaan di sini dipahami sebagai sistem pengetahuan yang ada dalam sistem kognisi setiap manusia, menjadi pola bagi kelakuan setiap orang. Pola tindakan atau perilaku yang diwujudkan dari setiap orang atau sekelompok orang adalah merupakan konsekwensi logis dari pola budaya mereka, sehingga pola tindakan tersebut adalah sesuatu hal yang wajar bagi mereka. Keberadaan para sopir angkot di Kota Makassar oleh kebanyakan pengguna jalan atau komunitas lainnya, menganggapnya sebagai komunitas yang banyak mewarnai kemacetan, kesemrautan, kepadatan, bahkan dianggap sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Di sisi lain keberadaan sopir angkot dengan angkotnya justru mempunyai fungsi yang sangat vital dalam sistem angkutan kota di Kota Makassar. Apabila 88
fungsi angkot dengan sopirnya dihilangkan akan menimbulkan masalah sosial yang besar, khususnya pada masa sekarang ini. Sebagai contoh bila terjadi pemogokan para sopir angkot, banyak masyarakat yang terkendala dalam EHSHUJLDQ EDKNDQ VDPSDL SURGXNWL¿WDV NHUMD menjadi terhalang, karena tidak ada alat angkut. Keberadaan sopir angkot dalam kaitannya dengan teori struktur fungsional dari R. Brown, untuk saat ini berada dalam struktur budaya perkotaan yang sangat fungsional kedudukannya. Apabila berhenti berfungsi atau berhenti menjalankan peranannya akan berdampak besar dan sangat berpengaruh terhadap kedudukan struktur lainnya di Kota Makassar. Sehingga bisa menyebabkan masalah sosial atau bisa melumpuhkan dinamika dan pertumbuhan Kota Makassar. Oleh karena itu, untuk saat ini keberadaan sopir angkot beserta angkotnya masih sangat dibutuhkan untuk kelancaran dinamika pertumbuhan Kota Makassar. Keberadaan sopir angkot beserta angkotnya dianalisa berdasarkan sifat kebudayaan yakni kebudayaan itu dinamis, maka suatu saat dan pasti keberadaan sopir angkot dan angkotnya akan terganti peranannya oleh sistem transportasi lainnya yang mungkin lebih bagus dan lebih berguna dan nyaman bagi penggunanya. Hal ini sangat mungkin bisa terjadi apalagi Kota Makassar sebagai kota yang punya banyak akses keluar, sehingga dalam hal perubahan sosial budaya, tidak hanya banyak dimungkinkan oleh faktor dari dalam, tatapi lebih banyak karena faktor dari luar. Gampangnya hubungan keluar, menyebabkan pengetahuan budaya lebih mudah diketahui, dan kemungkinan suatu saat menjadi budaya warga masyarakat Kota Makassar. Begitu pula dengan angkot yang biasa disebut pete-pete dan menjadi andalan alat transportasi perkotaan di Kota Makassar, suatu saat akan terganti dengan alat transportasi lainnya yang lebih bagus, sebagai akibat dari pengalaman atau pengetahuan budaya dari warga Kota yang mempunyai banyak akses dengan dunia luar yang lebih maju. Apalagi dilakukan atau diintervensi oleh komunitas yang mendominasi budaya perkotaan yakni pemerintah.
Subbudaya dalam Budaya ... Muhammad Basir
METODE Lokasi penelitian adalah di Kota Makassar dengan fokus pada aktivitas para sopir angkutan kota di Kota Makassar yang dalam istilah lokal disebut pete-pete. Informan diambil berdasarkan pemahaman peneliti bahwa pada prinsipnya peneliti menghendaki seorang informan itu harus paham terhadap budaya dan data yang dibutuhkan peneliti. Penelitian ini murni menggunakan pendekatan kualitatif, maka data diperoleh hanya melalui informan. Oleh karena itu jumlah informan yang diambil adalah sebanyak 16 orang untuk mendapatkan data yang diperlukan dan disesuaikan dengan kejenuhan data. Jadi pada prinsipnya penelitian kualitatif adalah biar sedikit informan yang penting bisa diungkap data secara mendalam. Pengumpulan data menggunakan teknik participant observation dan indepth interview. Penelitian ini bersifat penelitian antropologis dengan data kualitatif, yang dikategorikan sebagai penelitian antropologi deskriptif interpretatif. PEMBAHASAN Budaya Perkotaan dan Sub Kebudayaan Kota sebagai dunia tersendiri, atau dunia perkotaan dengan dinamikanya sendiri dan perwujudannya yang khusus yang berbeda dari dunia pedesaan, keanekaragaman komunitas, etnis dan kebudayaan dari warga masyarakatnya, serta corak arsitekturnya yang khusus telah memungkinkan bagi kita untuk melihat Kota sebagai sebuah kebudayaan yang tersendiri (Suparlan, 2004b:7) Kota Makassar dengan coraknya tersendiri, tentu bisa disebut dengan kebudayaan kotanya. Karena dengan perwujudannya yang khusus, keanekaragaman komunitas, etnis atau suku bangsa dan kebudayaan pada warga masyarakatnya, memungkinkan kita untuk melihat bagaimana dinamikanya sendiri yang beda dengan dunia pedesaan yang ada di luar wilayahnya. Ada tiga wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 1974:26), yakni pertama wujud kebudayaan sebagai pengetehuan, kepercayaan,
nilai dan norma yang disebut sistem budaya; kedua wujud kebudayaan sebagai tingkah laku, tindakan, dan interaksi yang disebut sistem sosial; dan ketiga wujud kebudayaan sebagai hasil ciptaan manusia yang disebut bendabenda budaya. Dari ketiga wujud tersebut ada pendominasian terhadap wujud lainnya, yakni wujud pertama mendominasi atau mengarahkan wujud kedua, begitu pula berikutnya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan budaya Kota Makassar, maka hal itu bisa dijabarkan sebagai berikut yakni wujud kebudayaan pertama adalah pengetahuan, apa yang menjadi pengetahuan atau yang diketahui oleh warga masyarakat Kota Makassar tentang Kota Makassar, kemudian apa yang menjadi kepercayaan atau dipercayai warga masyarakat Kota Makassar secara universal, serta apa yang paling bernilai yang dianggap baik atau benar, tidak baik atau salah, dan apa norma-norma atau aturan-aturan yang mengikat secara keseluruhan warga masyarakat Kota Makassar. Dari wujud yang pertama inilah yang mengarahkan wujud yang kedua yakni segala apa yang menjadi prilaku, tindakan, dan interaksi warga masyarakat Kota Makassar, yang selanjutnya melahirkan wujud ketiga yakni benda-benda budaya ciptaan warga masyarakat Kota Makassar. Lebih jelasnya, menjabarkan wujud budaya perkotaan di Kota Makassar, maka seharusnya dikaitkan dengan pranata-pranata sosial. Sekurang-kurangnya ada 8 pranata sosial pada setiap masyarakat yakni pranata ekonomi, pranata agama, pranata kesehatan, pranata politik, pranata ilmiah, pranata kekerabatan, pranata pendidikan, dan pranata seni. Pranata tersebut, bisa bertambah sesuai dinamika dan perkembangan masyarakat tersebut. Karena dinamika dan perkembangan Kota Makassar yang semakin luas, maka memunculkan pranata-pranata sosial baru yang butuh aturan-aturan atau norma-norma khusus yang semua warga masyarakat Kota Makassar harus mematuhinya salah satu di antaranya adalah pranata transportasi. Secara umum dikatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem norma dan aturanaturan tertentu yang menata tindakan guna 89
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 memenuhi keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan berdasar pada pengertian pranata sosial tersebut, maka pranata transportasi dapat diartikan sebagai suatu sistem norma dan aturan yang menyangkut sistem transportasi yang menata tindakan guna memenuhi keperluan bertransportasi yang baik dari manusia dalam kehidupan bermasyarakat di Kota Makassar. Bertolak dari uraian di atas, pranata transportasi di Kota Makassar yang di dalamnya terdapat aturan-aturan dan norma-norma yang peruntukan dan berlakunya bagi seluruh warga Kota Makassar adalah secara umum merupakan budaya Kota Makassar atau disebut budaya kota. Misalnya, aturan yang tidak boleh sembarang berhenti harus sesuai dengan rambu-rambu yang dikeluarkan oleh Polisi Lalulintas atau Dinas Perhubungan. Akan tetapi, aturan-aturan tersebut diinterpretasikan oleh setiap komunitas sesuai kepentingannya masing-masing. Oleh karena itu, sopir angkot sebagai suatu komunitas tersendiri dengan kepentingan tersendiri, mempunyai penafsiran terhadap aturan-aturan dari pranata transportasi tersebut. Yang mungkin beda dalam wujud prilaku, tindakan dan interaksi dengan komunitas lainnya yang kepentingannya beda dengan para sopir angkot, apalagi terhadap komunitas yang mendominasi budaya Kota dan sekaligus sebagai penentu ideologi dan yang merekontruksi budaya perkotaan yakni komunitas pemerintah. Wujud-wujud prilaku, tindakan, dan interaksi yang berbeda karena beda interpretrasi terhadap setiap aturan-aturan dan norma pada setiap komunitas yang ada di Kota Makassar, sehingga memperlihatkan pola budaya yang beda dengan komunitas lainnya, dipahami oleh komunitasnya sendiri dan menjadi strategi dalam kelangsungan hidupnya, inilah yang saya sebut sebagai sub budaya perkotaan. Hal ini terlihat dalam pola tindakan yang diwujudkan oleh para sopir angkot di Kota Makassar. Sehingga penulis memahaminya sebagai salah satu sub budaya Kota Makassar. Berbagai pola tindakan sebagai penerapan dari pola budaya yang dimiliki oleh para sopir angkot di Kota Makassar, semua itu hanya 90
dipahami sendiri oleh mereka, dapat kita jabarkan sebagai berikut, yakni adanya sistem pola hubungan yang dibentuk dan dipahami sendiri oleh komunitas mereka tentang pola hubungan usaha dan pola hubungan kerja. Pola hubungan usaha adalah hubungan antara sopir inti dengan pemilik kendaraan dengan berbagai kesepakatan yang dibuatnya. Sedangkan pola hubungan kerja adalah hubungan antara sopir inti, sopir passere (sopir passere adalah sopir pengganti yang ditunjuk oleh sopir inti dengan sistem bagi hasil serta diakui keberadaannya) dan sopir palimbang (sopir palimbang adalah sopir yang tidak terdaftar atau tidak diakui keberadaannya, mereka hanya orang yang dikasihani oleh soipir inti atau sopir passere agar mereka juga bisa dapat uang untuk biaya makan dan tidak terikat) yang di dalamnya terdapat juga aturan dan kesepakatan. Selain itu terdapat pula strategi-strategi yang dibuat sendiri oleh para sopir angkot dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, yang sumua itu dipolakan dan dipahami sendiri oleh mereka. Misalnya strategi dalam bidang sosial dan strategi dalam bidang ekonomi. Berbagai tindakan yang dipolakan oleh para sopir angkot di Kota Makassar, merupakan tindakan yang diinterpretasikan sendiri oleh komunitas mereka. Bagi komuinitasnya suatu hal yang biasa, namun pada komunitas lainnya mungkin sesuatu yang menyimpang dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum, sehingga penulis menyebutnya sebagai bentuk resistensi para sopir angkot. Misalnya ketidak patuhan terhadap rambu lalulintas, perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, perlawanan terhadap kebijakan tarif, dan pelanggaran terhadap rute trayek. Semua bentuk tindakan yang dipolakan oleh para sopir angkot, penulis menyebutnya sebagai pola budaya sopir angkot yang dipahami sendiri oleh mereka. Pola budaya tersebut penulis menyebutnya sebagai sub budaya perkotaan. Dominasi Budaya, Kelangsungan Hidup dan Resistensi Dominasi budaya yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah adanya suatu komunitas
Subbudaya dalam Budaya ... Muhammad Basir
tertentu yang mempunyai kedudukan dan peran dalam menentukan dan merekontruksi budaya di perkotaan yakni Kota Makassar. Sehingga sistem budaya dalam budaya perkotaan banyak direkontruksi oleh mereka, karena kedudukannya sebagai penentu ideologi, punya kekuatan dan kekuasaan, monopoli, dan mengkonstruksi serta melegitimasi budaya. Kelompok atau komunitas yang dimasud adalah pemerintah Kota Makassar. Kedudukannya sebagai komunitas yang mendominasi budaya perkotaan, pemerintah (dalam hal ini Dinas Perhubungan, Lalu lintas, dan lainnya yang mempunyai keterhubungan dengan keberadaan sopir angkot) mempunyai peranan yang bisa menentukan ideologi Kota Makassar, khususnya dalam hal sistem transportasi kota, punya kekuatan dengan menggunakan kekuasaan untuk memaksa para sopir angkot mengikuti aturan atau norma yang dibuatnya, dan mempunyai kekuasaan memonopoli merekontruksi serta melegitimasi budaya yang akan diberlakukan di kota Makassar. Berbagai aturan telah dikeluarkan oleh pemerintah sekaitan dengan sistem penstransportasian di Kota Makassar, misalnya aturan-aturan berkenaan izin trayek dan jalur trayek, tempat pemberhentian dan dilarang singgah, aturan tentang tarif angkot, dan lainlain aturan lalu lintas yang menyangkut sistem transportasi. Semuanya itu menjadi aturan umum dan menjadi budaya Kota dalam hal sistem transportasi. Menjadi legitimet karena dikeluarkan oleh penguasa yang mempunyai hak monopoli, mementukan ideologi, dan punya kekuasaan, sehingga semua sistem budaya kota bisa direkonstruksi oleh mereka. Pemerintah Kota Makassar sebagai kelompok elit di tingkat kota menggunakan instrument dominasi (menentukan ideologi, menggunakan kekuasaan, dan monopoli pengkonstruksian dan legitimasi budaya) untuk membentuk dominasinya. Ini adalah cara kelompok-kelompok dominan untuk mempermudah kontrol terhadap kelompokkelompok lain. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan konstruksi budaya marginalitas dan cara kelompok dominan dalam memarginalkan kelompok-kelompok lain, khususnya komunitas
sopir angkot. Dalam mengkonstruksi penampilan kota, ideologi seperti ketertiban, keamanan, dan kestabilan cenderung menjadi sesuatu yang sangat penting dalam persfektif sekolompok warga kota atau kalangan elit kekuasaan di Kota Makassar, sehingga siapapun yang ada di dalam Kota Makassar atau kelompok, komunitas, etnis yang menjadi warga Kota Makassar harus tunduk dan patuh terhadap ideologi tersebut, termasuk komunitas sopir angkot. Sopir angkot dapat dikatakan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan utama sebagai sopir untuk mendukung kehidupannya sehari-hari. Kehidupan atau tindakan para sopir angkot di Kota Makassar, kenyataannya banyak dipandang sebagai tindakan yang banyak berlawanan (resisten) dengan terminologi penerimaan sosial yang menganggap bahwa sopir angkot yang baik adalah sopir angkot yang selalu taat pada aturan-aturan atau ideologi, seperti selalu mengutamakan ketertiban, keamanan, dan kestabilan dalam menjalankan pekerjaannya di Kota Makassar. Oleh karena itu, keadaan seperti tersebut di atas membawa implikasi bahwa komunitas sopir angkot hidup di bawah dominasi budaya Kota yang dianjurkan atau direkomendasikan oleh pemerintah. Pada kesempatan lain, komunitas sopir angkot sebagai salah satu kelompok tidak dominan menghindari tekanan-tekanan dari instrumen dominasi pemerintah dengan menginterpretasikan kembali ideologi, protes melawan kekuasaan, dan menghiasi pengucilan mereka. Terkait dengan studi sebelumnya tentang perlawanan atau resistensi terhadap dominasi bahwa kelompok-kelompok tidak dominan yang berada dibawah dominasi kelompok dominan bukan merupakan pelaku-pelaku yang pasif (Scott, 2000:55). Para sopir angkot yang bukan kelompok dominan hidup dibawah dominasi budaya Kota yang didominasi oleh pemerintah. Mereka menemukan ruang untuk menghasilkan bentuk-bentuk strategi dalam melawan dominasi, mereka menghasilkan strategi-strategi tersebut, berdasarkan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan mereka. Para Sopir angkot menerapkan perlawanan sehari-hari seperti 91
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 berhenti sembarangan, melanggar trayek, menaikkan tarif sendiri, menggunakan mobil dengan isin palsu atau tampa izin dengan cara main kucing-kucingan dengan petugas atau polisi adalah bertujuan untuk mengurangi atau menghindari dominasi pemerintah maupun masyarakat Kota pada umumnya. Ini adalah cara atau strategi-strategi para sopir angkot di Kota Makassar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berbagai strategi-strategi tersebut diwujudkannya dalam tindakannya sehari-hari misalnya mebentuk strategi dalam kerja yakni pola hubungan dengan pemilik kendaraan, pola hubungan dengan sesama sopir, pola hubungan dengan petugas atau pemerintah, dan pola hubungan dengan penumpang. Dismping itu, strategi-strategi lainnya adalah dengan mengelola kelangsungan hidupnya sehari-hari bersama keluarga dengan strategi dalam bidang ekonomi, yakni mengelola pendapatan atau pemasukan dan pengeluaran mereka bersama istrinya. Budaya dominan yang diperankan oleh pemerintah menggunakan instrumeninstrumen dominasi dalam memarginalkan budaya tidak dominan yang diperankan oleh komunitas sopir angkot untuk melanggengkan dominasinya. Sedangkan budaya tidak dominan (komunitas sopir angkot) melawan posisinya melalui penginterpretasian kemabli, protes, dan penghiasan terhadap keberadaannya. Kondisi ini menentukan strategi-strategi komunitas sopir angkot di Kota Makassar dalam membentuk hubungan-hubungan baru melalui perlawanan dan negosiasi budaya. Dalam proses pemarginalan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para sopir angkot, budaya tidak dominan yang diperankan oleh para sopir angkot akan memberikan tanggapan secara dinamis terhadap konstruksi budaya yang ada, di mana hal ini memaksa suatu pendefenisian kembali identitas-identitas mereka. Selain itu, budaya tidak dominan dalam hal ini para sopir angkot juga memproduksi suatu strategi-strategi bertahan hidup secara dinamis berdasarkan pengalaman-pengalaman, pengetahuan, dan interpretasi mereka terhadap lingkungan sekitar. 92
Setiap peristiwa mempunyai suatu alternatif interpretasi, sehingga budaya tidak dominan yang diperankan oleh para sopir angkot secara terus-menerus akan membentuk budayanya dalam hubungannya dengan budaya dominan yang diperankan oleh pemerintah. Suatu budaya dapat mempersatuakan dengan media komunikasinya, dan budaya pula yang dapat memisahkan dengan instrumen pembedanya dan sekaligus melegitimasi perbedaan dengan memaksa semua budaya lain, yang kemudian dipolakan sebagai sub-budaya untuk mendefenisikan diri mereka sendiri dengan jarak mereka dari budaya dominan. Artinya, suatu budaya yang direkonstruksi, dimonopoli dan dilegitimasi oleh budaya dominan yang diperankan oleh pemerintah, dapat mempersatukan setiap komunitas yang ada sekaligus dapat memisahkannya, kemudian menghasilkan sub-sub budaya. Ini adalah cara budaya dominan yang diperankan oleh pemerintah untuk menjadi pusat dan menciptakan konstruksi budaya dari perspektif mereka. Konstruksi budaya yang diciptakan oleh budaya dominan dianggap layak, sementara itu semua budaya lain dianggap kacau atau tidaka layak. Kondisi semacam ini merupakan konstruksi budaya yang dibentuk oleh budaya dominan (pemerintah Kota Makassar) untuk menghasilkan produksi budaya dan legitimasi. Ini adalah strategi-strategi budaya dominan dalam memarginalkan dan tetap menjadi penentu dalam budaya perkotaan. Bentuk-bentuk strategi tersebut ditentukan oleh interaksi antara budaya dominan yakni budaya kota yang dianjurkan oleh pemerintah Kota Makassar dengan budaya tidak dominan yakni komunitas sopir angkot di Kota Makassar. Kekuatan-kekuatan instrumen dominasi budaya dominan (pemerintah) berhadapan dengan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman budaya tidak dominan (para sopir angkot), dan secara konsekwen mengahasilkan bentuk-bentuk strategi dalam membentuk hubungan-hubungan baru. Dalam membuat hubungan baru dengan budaya dominan (pemerintah), budaya tidak dominan yang diperankan oleh komunitas sopir
Subbudaya dalam Budaya ... Muhammad Basir
angkot di Kota Makassar melakukan perlawanan sehari-hari dengan gaya yang dapat ditemukan misalnya gosip-gosip, desas-desus, diskusidiskusi, argumen-argumen, interogasi, dan intrikintrik. Ini semua melalui percakapan, sedangkan bentuk perlawanan lainnya dapat melalui tindakan atau tingkah laku misalnya berdemo, seenaknya berhenti disembarang tempat, sengaja menaikkan sendiri tarif angkutan, membentuk terminal sendiri, melanggar trayek, dan bahkan membawa angkot tanpa izin trayek dengan hanya meminjam izin trayek dari angkot lainnya. Kemudian apabila ada razia, para sopir angkot saling kerja sama dalam memberitahu temannya tentang daerah-daerah razia atau sweping. Strategi Kelangsungan Hidup Strategi atau yang diartikan sebagai siasat dalam hidup secara umum dapat dipahami dari kehidupan sosial suatu masyarakat atau seseorang. Kehidupan sosial yang dimaksud yaitu kehidupan bermasyarakat di mana interaksi terbentuk guna terciptanya ikatan antara satu dan lainnya. Interaksi ini penting artinya untuk seseorang. Dari itu manusia dapat memberikan bantuan, mencurahkan isi hatinya, dan juga bekerja untuk hidup yang lebih baik. Untuk itu perlu adanya strategi berupa siasat yang dibuat dan diterapkan dalam keseharian agar dapat merasakan kehidupan. Pola hubungan sosial dalam kehidupan sopir angkot dapat dilihat dalam dua bentuk; sebagai hubungan langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung diartikan sebagai hubungan yang terbentuk pada saat mereka (para sopir) menjalin kontrak dengan pemilik kendaraan, pada saat berhubungan dengan sesama rekan/ sopir, hubungan dengan para penumpang, dan hubungan dengan aparat. Sedangkan hubungan tidak langsung adalah hubungan yang terjadi disaat mereka menjalankan aktivitas mereka berupa hubungan antara para sopir dengan pemerintah melalui peraturan yang ada. Pola Hubungan Sosial Sebelum menjadi sopir, para calon sopir mengandalkan hubungan kekeluargaan dan hubungan pertemanan antar sesama sopir (Basir, 2012:146). Dengan demikian
pembentukan struktur di dalam kehidupan sopir angkot dapat difahami sebagai bentuk adaptif sekaligus normatif yang dijadikan acuan di dalam beraktivitas. Adaptif dalam pengertian diperlukan guna melakukan pembedaan peranan, sekaligus mengatur wilayah kerja; waktu dan jumlah setoran, yang kesemuanya bertujuan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa mengganggu atau mendapatkan bahaya bagi para sopir. Sedangkan normatif dalam pengertian, di dalamnya terdiri dari aturan-aturan yang digunakan mengatur agar mendapatkan stabilitas. Struktur yang dimaksud adalah aturan-aturan yang mengikat guna mengatur hubungan antara pemilik kendaraan dengan sopir inti, hubungan sopir inti dengan pasere’ (sopir pengganti) dan juga palimbang (sopir ‘bayangan’). Struktur yang terbentuk didalam usaha angkutan kota ini pada dasarnya terbentuk dari ketidak-sadaran pemilik dan sopir, yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang dialami dan diketahuinya. Melainkan struktur tersebut terbentuk dari pengalaman keseharian yang pada akhirnya membentuk sebuah ide atau gagasan mengenai ‘bagaimana seharusnya menjalankan usaha angkutan kota yang baik’. Maksudnya, perbedaan status dan peran di dalam usaha sebenarnya terbentuk dengan sendirinya saat sebuah pekerjaan dimulai dan peraturan yang muncul dari kesadaran untuk mengatur. Disebabkan peraturan ini terbentuk secara tidak sadar, akhirnya pemahaman struktur tersebut tertulis di dalam kognitif masing-masing pemegangnya, tidak tertulis, dan tidak terlalu diketahui oleh khalayak umum. Peranan di dalam usaha angkutan kota sebagaimana tersebut atas terdiri dari pemilik kendaraan, sopir inti, sopir pengganti atau pasere’, dan sopir ‘bayangan’ atau palimbang. Pemilik kendaraan jelas adalah orang yang bertindak selaku pemilik kendaraan atau angkot, dan bertanggung jawab atas kendaraan tersebut sebagai kendaraan. Sopir inti adalah sopir yang bertanggung jawab penuh dan menjalin kontrak antara dia dan pemilik kendaraan. Di dalam aktivitasnya, sopir inti kemudian menjalin hubungan kontrak dengan sopir pengganti (pasere’) dan juga sopir ‘bayangan’ (palimbang). 93
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam struktur usaha angkutan kota di Makassar, untuk tujuan analisis, diperlukan pembedaan antara unit usaha sebagai unit yang bertanggung jawab dalam hal manajemen usaha dan unit kerja sebagai unit yang bertanggung jawab didalam menjalankan usaha angkot (Basir, 2012:147), lihat gambar:
“palimbang tidak diketahui sama pemilik kendaraan ... karena dia (palimbang) sebenarnya tidak punya apa-apa di mobil”.
Jelasnya palimbang bukanlah peran yang masuk di dalam struktur sopir angkutan kota (unit usaha), melainkan masuk dalam struktur sopir kendaraan angkutan kota atau unit kerja. Bagaimana hubungan-hubungan yang terdapat
Pemilik Kendaraan
Wilayah Usaha
Sopir Inti
Sopir Pengganti Pasere’ Sopir Bayangan Palimbang Penumpang Wilayah Kerja Bagan 1. Struktur Usaha Angkutan Kota (pete-pete) (Basir: 2012)
Gambar di atas, pada prinsipnya hanya terdiri dari empat unsur; pemilik kendaraan, sopir inti, sopir pengganti, dan penumpang. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ms; “Sebagai supir inti, saya membawa kendaraan bersama-sama dengan passere’ untuk menyetor hasil pendapatan kepada pemilik kendaraan...”
Data ini menunjukkan bahwa mereka hanya memahami keempat unsur di atas. Sedangkan sopir ‘bayangan’ atau palimbang, hanya diketahui oleh para sopir inti dan pasere’ tanpa diketahui oleh pemilik kendaraan. Hal yang sama dikemukakan oleh Mhs sebagai berikut: 94
di dalam setiap unit? selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut. Hubungan Langsung Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, pembahasan mengenai hubungan langsung adalah pembahasan yang berfokus pada pemahaman interaksi yang terbentuk di dalam (1) unit usaha; yang terdiri dari interaksi antara pemilik kendaraan dan sopir inti, (2) unit kerja; yang terdiri dari interaksi antara sopir inti, sopir pengganti atau pasere’, dan sopir ‘bayangan’ atau palimbang, (3) hubungan antar sopir, (4) sopir dan penumpang, (5) dan sopir dengan aparat.
Subbudaya dalam Budaya ... Muhammad Basir
Hubungan tidak Langsung Hubungan tidak langsung yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hubungan antara peraturan pemerintah dengan kesepakatan umum para sopir. Dalam peraturan pemerintah telah diatur bagaimana seharusnya para pengendara bermotor bertindak di jalan raya, yang tidak lain dengan mentaati peraturan lalu lintas agar tidak timbul kemacetan, dapat menghindari kecelakaan, yang intinya kenyamanan dan keamanan saat berkendara. Dalam keseharian sopir, sebagai pengendara mau tidak mau peraturan tersebut harus dipatuhi. Mengatasi Masalah Sebagai sopir dengan jam kerja yang sangat tinggi, sejak pagi hingga malam hari dan kondisi lingkungan kerja yang benar-benar dapat melahirkan tingkat stress yang tinggi, sangat mudah melahirkan masalah. Permasalahan yang sering terjadi di dalam bekerja pada umumnya terdiri atas tiga; masalah sesama sopir, masalah bersangkutan dengan pekerjaan, dan masalah berupa musibah. Untuk itu, dalam ketiga masalah tersebut mereka membuat strategi di dalam mengatasi masalahmasalah yang dimiliki secara berkelompok dan juga secara pribadi.
Bentuk-Bentuk Resistensi Sopir Angkot Perlawanan yang dimaksud pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua: ketidak-patuhan terhadap rambu lalu lintas, dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang terbagi dalam dua; perlawanan terhadap kebijakan tarif dan pelanggaran rute trayek dan pembentukan terminal baru (Basir, 2012:150). 1. Ketidak-Patuhan terhadap Rambu Lalu Lintas Ketidakpatuhan sopir terhadap ramburambu lalu lintas atau peraturan pemerintah lainnya dapat dipahami sebagai perlawanan. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup; mendapatkan hasil dan memasukkan sejumlah setoran dan berdasarkan statusnya sebagai sopir mendorong terjadinya tindakan yang sering dianggap ‘ugal-ugalan’ atau pelanggaran lalu lintas lainnya, termasuk pelanggaran rambu lalu lintas. Pelanggaran yang paling banyak dilakukan berkenaan hal ini adalah berhenti di bawah atau disekitar rambu tanda larangan parkir atau tanda dilarang berhenti. Pelanggaran seperti ini biasa dilakukan pada saat mereka mencari penumpang. Mereka saling melambung dan juga parkir yang tidak beraturan. Ini kemudian menyebabkan kemacetan yang panjang (Basir, 2010:240)
Pemerintah
Sopir
:LOD\DK.RQÀLN9HUWLNDONRQÀLNVHEDJDL perlawanan (resistensi) terhadap peraturan atau kebijakan pemerintah
Hubungan Sesama Sopir Sesama Trayek
Hubungan Sopir dan Penumpang
Hubungan Sesama Sopir Berbeda Trayek
Sesama Pengendara
:LOD\DK.RQÀLN+RULVRQWDOPerseteruan akibat dorongan pemenuhan kebutuhan (mendapatkan setoran)
Bagan 2. Peta konflik / Perseteruan (Basir, 2012)
95
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 2. Perlawanan terhadap Kebijakan Pemerintah Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah dapat kita lihat dalam; perlawanan terhadap kebijakan penentuan tarif kendaraan dan pelanggaran rute trayek. Kedua perlawanan ini telah terjadi sebagai wujud ketidak-sepakatan para sopir terhadap kebijakan pemerintah. 2.1. Perlawanan terhadap Kebijakan Tarif Saat kami menanyakan hal apa harapan Anda di masa depan? Informan kami menjawab; “semoga anak-anak dapat hidup layak tidak seperti saya.”. Kemudian kami bertanya kembali mengenai bagaimana cara untuk mewujudkan hal tersebut, dengan ketus Ms menjawab; “jika pemerintah mau memperhatikan kami dengan menaikkan biaya tarif.” Mungkin Ms menjawab tidak dalam keadaan serius. Tetapi kenapa tarif? Jelas dengan naiknya tarif angkutan kota maka sopir akan mendapatkan pemasukan yang lebih, meski setoran akan bertambah dan juga biaya hidup (bahan-bahan makanan) juga akan tinggi. Tentunya para sopir senang dengan kenaikan tarif, tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Perasaan tidak rata dirasakan dan pada akhirnya menjadi perlawanan. Contoh nyata dari perlawanan ini adalah pada saat sopir Daya tidak sepakat mereka mendapatkan jatah tarif sebesar Rp 2.500,00. Mereka menganggap bahwa jarak yang mereka tempuh tidak sesuai dengan tarif yang dikenakkan kepada mereka. Mereka menganggap bahwa dengan jumlah tersebut mereka tidak akan mendapatkan BBM yang cukup dan memenuhi jumlah setoran mereka. Pada akhirnya mereka menaikkan sendiri tarif mereka menjadi Rp. 3.000,00 sebagaimana trayek pada kampus. Perlawanan tersebut kemudian diikuti oleh para sopir lainnya dengan rute umum sebagaimana Daya – Sentral. Pada akhirnya seluruh angkutan kota memiliki tarif yang seragam yakni Rp 3.000,00, sebagaimana tarif angkutan Kota khusus kampus, yang memang pada awalnya tarif tersebut diperuntukkan kepada mereka (Basir, 2012:150) Bentuk lain perlawanan sopir terhadap hal ini adalah pada saat mereka merasa tidak sepakat
96
atau sepaham dengan apa yang berkenaan dengan kenaikan BBM tidak dibarengi atau tidak sesuai dengan kenaikan tarif angkot. “... pernah kan pemerintah menaikkan BBM sedangkan tarif tidak dinaikkan? saat itu kami (supir IKIP – Sentral dan juga rute IKIP – Kampus Unhas) menurunkan seluruh penumpang di depan kantor DPRD Pettarani. Di sana kami ikut bergabung dengan para mahasiswa yang memperjuangkan kenaikan tarif”.
Pernyataan Rs ini jelas menunjukkan bentuk ketidaksependapat kenaikan BBM tanpa menaikkan tarif angkutan kota. Mereka bergabung dengan para mahasiswa salah satu perguruan tinggi yang ada di Makassar, untuk berdemo menuntut kenaikan tarif yang sesuai dengan harga kebutuhan pokok di pasar. Lantas apa hubungannya dengan menurunkan penumpang di depan kantor dewan? lebih lanjut Rs mengemukakan bahwa ; “.... untuk memperlihatkan bahwa kami sudah jengkel karena BBM dinaikkan sementara kami tidak diperhatikan. Penumpang yang naik dari ujung (Jl. Pettarani) kami biarkan naik kemudian diturunkan di depan kantor DPRD. Banyak dari mereka kemudian naik taxi dan ada juga yang jalan kaki. .... saat itu bergabung juga beberapa angkutan kota rute lainnya seperti angkutan kota rute Minasa Upa dan Veteran”.
Bentuk perlawanan bisa berupa demonstrasi sebagaimana yang terjadi di depan Gedung DPRD Sul-Sel, dan perseteruan di kalangan sopir tentang hak menaikkan atau menyamaratakan tarif setelah kenaikan BBM. Contoh dari penyamarataan tarif yang dilakukan oleh sopir angkutan kota adalah pada saat penyalahgunaan atau penetapan secara sepihak tarif angkutan kota oleh sopir seperti yang terjadi di dalam trayek Daya-Sudiang, Daya-Sentral, Daya-BTP, dan BTP-Sudiang, merupakan strategi di dalam memenuhi kebutuhan tadi yang dapat dilihat sebagai perlawanan terhadap keputusan pemerintah (sebagai sebuah ketidakmérataan tarif dalam
Subbudaya dalam Budaya ... Muhammad Basir
pandangan mereka), yang pada akhirnya melahirkan putusan pemerintah yang baru. Demikian pula yang terjadi pada kenaikan harga BBM terakhir, pada saat sopir jurusan Daya berseteru dengan sopir jurusan Kampus Unhas karena tidak menerima kebijakan tarif yang dikenakan pada jurusan mereka (Daya). Berawal dari saling mengejek, pada akhirnya terjadi perkelahian karena jengkel tidak rataan tarif angkutan kota yang ditetapkan pemerintah. Pada akhirnya, angkutan kota jurusan Daya menaikkan sendiri tarifnya, menyamai tarif kampus yang sebenarnya selisih Rp 500,00. Penyamaan tersebut ternyata rata saat ini di seluruh angkutan kota, tanpa ketetapan pemerintah, ketidakpatuhan ketetapan pemerintah.
Masyarakat perkotaan yang sifatnya heterogen, di dalamnya terdapat komunitaskomunitas dengan pola budayanya tersendiri yang dimengerti oleh kelompoknya sendiri. Komunitaskomunitas yang hidup di perkotaan dengan pola budayanya sendiri inilah yang disebut sub budaya perkotaan. Salah satunya adalah komunitas sopir angkot, yakni suatu komunitas yang mempunyai pola budaya sendiri sebagai sub budaya perkotaan. Mempunyai strategi kelangsungan hidup untuk bisa bertahan dan tetap ada dengan pola yang mereka pahami sendiri, sebagai bahagian dari masyarakat dan kebudayaan perkotaan secara umum.
2.2. Pelanggaran Rute Trayek Pelanggaran rute trayek dilakukan guna mencari penumpang lebih banyak. Rute yang memang saling-silang, menyebabkan hal ini terjadi dengan sendirinya. Kepadatan Kota Makassar yang berukuran kecil dengan banyaknya kendaraan termasuk angkutan kota, menjadikan sangat mudah terjadinya pelanggaran rute trayek ini. Antara angkutan IKIP – Sentral misalnya, mereka dapat mengambil penumpang di wilayah Hertasning. Di sana mereka akan bertemu dengan angkutan kota rute lainnya, yang pada akhirnya membentuk kesatuan terminal baru. Di lain sisi, para sopir IKIP biasanya masuk ke wilayah yang bukan rute mereka seperti wilayah Borong yang merupakan wilayah angkutan kota rute Antang.
Basir, Muhammad. 2010. SOPIR ANGKOT: Kelangsungan Hidup Dalam Budaya Perkotaan di Kota Makassar. (Disertasi tidak terbit). Makassar: Program Pascasarjana Unhas Makassar. Basir, Muhammad dan Pawennari Hijjang. 2012. Pengkajian Strategi Mempertahankan Kelangsungan Hidup Sopir Angkot di Kota Makassar, dalam Jurnal Perkotaan Vol. 4 hlm 135-155, Desember 2012. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya. Geertz. C. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Scott, James C. 1993. (Seri Terjemahan) Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ----------------- 2000. Senjata Orang-Orang yang Kalah: Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Petani (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Spradley, James, P. 1980. Paticipant Observation. USA: Halt, Rinehart and Winston. Suparlan, Parsudi. 2004a. Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: YPKIK.
PENUTUP Budaya perkotaan dapat dipahami sebagai model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial yakni seperangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh para pendukungnya atau pelakunya yakni masyarakat perkotaan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan perkotaan yang dihadapinya, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk bertindak sesuai dengan lingkungan perkotaan yang dihadapinya dan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
97
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 87—98 ---------------------. 2004b. Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi Perkotaan. Jakarta: YPKIK.
98
----------------------. 1986. Kebudayaan dan Pembangunan, dalam Dialog Badan Penelitian dan Pengembangan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI.