BAB IV PERAN KH. MUNTAHA AL HAFIDZ DALAM PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ASY’ARIYAH A. Organisasi Pondok Pesantren Pondok
Pesantren
Al-Asy’ariyyah
Kalibeber
mempunyai
beberapa sub organisasi dalam kepengurusannya, yaitu: Pengasuh, Mustasyar (Wakil Pengasuh), Pengurus Harian, dan DepartemenDepartemen. Keberadaan struktur tersebut di atas, dimaksudkan agar sektor-sektor vital dalam lingkup pondok pesantren dapat terkontrol serta mendapatkan perhatian, pemikiran dan pelaksanaan yang serius. Pondok
Pesantren
Al-Asy’ariyyah
Kalibeber
mempunyai
beberapa Pengasuh, yang merupakan pilar utama dalam keberadaan pesantren ini. Keberadaan para Pengasuh sangat mempengaruhi proses pembentukan pola pikir dan kepribadian santri. Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al- Asy’ariyyah Kalibeber antara lain: KH. Muntaha Al-Hafidz, KH. Faqih Muntaha, dan KH. Mustahal Asy’ari. Dewan Pengasuh dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh dewan pengurus pondok pesantren. Dewan Pengurus Yayasan Al-Asy'ariyyah dijelaskan sebagai berikut. Dewan Pendiri/Pembina : KH. Muntaha, Alh KH. Mustahal Asy’ari KH. Ibnu Jauzi KH. Faqih Muntaha
74
75
Dewan Pengawas : KH. Habibullah Idris K. Chozin Chams, BA. Drs. H. Ihwan Qomari, M.Ag. H. Sukardi H. Mustangin, S.Pd. H. Abdurrohman, S.Ag. Alh. Nur Kholis Badan Pengurus : Ketua Umum Ketua I Ketua II Ketua III Ketua IV Sekretaris Wakil Sekretaris Bendahara Wakil Bendahara
: Drs. H. Mukhotob Hamzah, MM. : KH. Miftah Idris, SH : Drs. H. Muhammad Hafidz : H. As’ad Alh : K. Abdul Aziz : Wajihudin Al-Antaqi, Alh, S.Ag : H. Hafidz Ahmad : Muhammad Maftuh : M. Syaifuddin
Tujuan Pendirian Yayasan Al-Asy'ariyyah dijelaskan sebagai berikut. 1. Terciptanya individu mukmin yang bertaqwa kepada Allah SWT. (QS. 3 : 102). 2. Terciptanya ‘ailah yang thayyibah jauh dari adzab neraka (QS. 66 : 6). 3. Terciptanya baldatun thayyibatun warabbun ghofur (QS. 34 : 15). 4. Terlaksananya ajaran Al-Qur'an yang disertai dengan penghayatan dan pengamalan dari seluruh ummat Islam Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
76
5. Membina kesadaran dan tanggung jawab dalam beragama sebagai salah satu aspek pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. 6. Mengusahakan terwujudnya sikap wasathiyah kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an (QS. 2 : 134). 7. Menciptakan Ukhuwah Islamiyah dan Wahdatul Ummah serta menggalang kerjasama dan kejujuran watak dalam berbakti kepada agama Islam, nusa dan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945.
B. Perkembangan Fisik Pesantren dan Sarana Pendidikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qu’an Al-Asy’ariyyah ( PPTQ Al- Asy’ariyyah ) Kalibeber Wonosobo, didirikan oleh KH. Muntaha bin Nida’ Muhammad, pada tahun 1832 M. Pada mulanya beliau mendirikan pondok pesantren dengan membangun sebuah masjid dan padepokan santri. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Alqur’an, Tauhid, dan Fiqih. Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran,
secara
berangsur-angsur
masyarakat
Kalibeber
dan
sekitarnya memeluk agama islam dan meninggalkan kebiasaan buruk mereka seperti berjudi, menyabung ayam, minum khomer dan lainlain.1 Lama kelamaan padepokan santri tidak mampu menampung arus santri, maka kegiatan pesantren dipindahkan ke tempat yang sekarang 1
Profil PPTQ Al Asy’ariyyah, (Wonosobo : PPTQ Al Asy’ariyah, 2005), hlm.17.
77
dinamai Kauman, Kalibeber. KH. Muntaha bin Nida’ Muhammad wafat pada tahun 1860, setelah 26 tahun memimpin pesantren, beliau digantikan oleh putranya yaitu KH. Abdurrochim bin KH. Muntaha. Mulai tahun 1860, KH. Abdurrochim memimpin pesantren peninggalan ayahnya. Beliau adalah seorang kiai yang ahli dalam bidang pertanian dan tidak suka berpolitik praktis. Beliau juga ahli tasawuf. Sejak mudanya beliau telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan menyiarkan agama islam dan memimpin pesantren. Di bawah asuhan KH. Abdurrochim pesantren semakin maju, karena dalam memimpin pesantren beliau masih melestarikan sistem dan materi pendidikan peninggalan ayahandanya. Satu hal yang sangat menarik dari Al-Maghfurllah KH. Abdurrochim adalah keahliannya dalam menulis Al-qur’an, sehingga ketika beliau pergi berhaji, selama dalam perjalanan beliau menulis ayatayat Al-qur’an dengan tangan beliau sendiri, sampai ketika beliau tiba di kampung halaman penulisan Al-qur’an tersebut dapat selesai sempurna 30 juz. Pada tanggal 3 Syawal 1337 H atau 1916 M, KH. Abdurrochim dipanggil Yang Maha Kuasa. Sepeninggal KH. Abdurrochim kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya KH. Asy’ari. Beliau adalah seoarang kiai yang sangat tekun dan ulet dalam menuntut ilmu. Selain belajar pada ayahnya KH. Asy’ari juga nyantri di Krapyak Yogyakarta bahkan
78
ketika itu beliau diajak oleh KH. Munawir (gurunya), untuk mengikuti menuntut ilmu di Mekkah selama hampir 17 tahun, selain itu beliau juga pernah nyantri di Somalangu, Kebumen dan Termas Pacitan. Pada tahun-tahun terakhir kehidupan beliau, Indonesia sedang gigih-gigihnya untuk menentang penjajahan Belanda, oleh karena itu pesantren mengalami masa surut, hal ini disebabkan karena sebagian santri ikut dalam gerilya melawan penjajah. Pada aksi polisionil kedua (Agresi Militer Belanda II ) pondok pesantren tak luput dari amukan Belanda, bahkan Al-qur’an tulisan tangan KH. Abdurrochim ikut dibakar.2 Sementara itu KH. Asy’ari yang sudah lanjut usia terpaksa mengungsi. Dalam pengungsian itulah beliau sakit keras dan akhirnya wafat pada tanggal 13 Dzulhijjah 1371 M / 1949 H. Setelah KH. Asy’ari wafat kemudian digantikan oleh putranya KH. Muntaha. KH. Muntaha Alh atau biasa dipanggil Mbah Munt adalah seorang ulama’ legendaris dan kharismstik.3 Dibawah kepemimpinan beliau inilah Al-Asy’ariyyah mengalami kemajuan yang sangat pesat, dengan pertambahan santri yang menjadi ribuan dan juga penambahan lembagalembaga
pendidikan
dibawah
naungan
Yayasan
Al-
Asy’ariyyah. Dan dengan satu karya yang sangat fenomenal sekaligus sebagai salah satu setrategi dakwah beliau yaitu pembuatan Al-qur’an 2 3
Ibid., hlm.19 Ibid., hlm. 20.
79
Akbar (Al-quran terbesar di dunia). Beliau selalu mengajarkan kepada para santrinya untuk memiliki sifat ikhlas, ikhlas dalam beramal, ikhlas dalam mengajar, bahkan harus ikhlas dalam membantu orang lain, baik berupa materi maupun tidak materi4. Dalam
perjuangan
memasyarakatkan
Al-qur’an,
beliau
mendirikan Yayasan Penghafal Al-qur’an dan pengajian Al-qur’an yang menghimpun para Hafidz- Hafidzah se-Kabupaten Wonosobo. Beliau sering menasehati murid muridnya untuk mengkhatamkan Al-qur’an minimal seminggu sekali.5 Sejak pondok pesantren dipimpin oleh AlMaghfurllah KH. Muntaha Alh, maka berbagai langkah inofatif dan pengembangan mulai dilakukan di berbagai aspek. Langkah pengembangan tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Pengembangan itu antara lain dalam masamasa awalnya, pesantren yang lebih mengkhususkan pada pengkajian kitab kuning dan hafalan Al-qur’an masih tetap dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi. Sehingga dalam waktu tidak lama jumlah santripun bertambah banyak. KH. Muntaha Al Hafidz sebagaimana juga para ulama pada umumnya- masuk ke dalam madzhab/manhaj
4
Elis Suyono, Samsul Munir Amin, Biografi KH Muntaha Al Hafidz Ulama Muntidimensi,Cet I Diterbitkan Kerja sama UNSIQ dengan PPTQ Al Asy’ariyyah, Wonosobo, 2004, hlm. 14. 5
Ibid., hlm. 21.
80
tertentu yang diambil dalam rangka memperjelas dan mempertegas pencapaian cita-cita perjuangan agamnua di pesantren6. Dalam mengelola pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan Salafiyah ( tradisional ) beliau menambah dan mendampingi dengan mendirikan sekolah-sekolah formal. Pada tahun 1960 beliau mendirikan TK atau Roudlotul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyyah Ma’arif Kalibeber. Kemudian tahun 1962 didirikan pula Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah Ma’arif yang menempati komplek pondok pesantren, yang pada tahun 1967 Madrasah Tsanawiyyah tersebut dinegerikan. Sedangkan Aliyahnya pada tahun 1968. Setelah 10 tahun menempati komplek pesantren ke-dua lembaga itu dipindahkan. MTs. dipindahkan di dusun Ngebrak dan Aliyahnya di desa Krasak. Pada tanggal 30 Maret 1968 KH. Muntaha Alh mendirikan Ljnah Pengkajian Al-qur’an ( LPQ ) untuk mempersiapkan berdirinya pesantren luhur Al-qur’an di Kalibebetr. Pada tanggal 7 Agustus 1987 Menteri Agama RI H. Munawwir Sadzali, MA. Merestui berdirinya IIQ (Institut Ilmu Al-qur’an ) dihadapan notaris Budiadi Gunawan, SH, dengan akta notaris nomor 10 tahun 1987. Selanjutnya untuk
meningkatkan
6
pelayanan
pendidikan
masyarakat
beliau
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomok: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, dalam Jurnal Penelitian Walisongo, Edisi 17 tahun 2001, ISSN 0852-7172, Pusat Penelitian Walisongo Semarang, hlm. 92.
81
mendirikan Yayasan Aswaja Baiturrochim dengan akta notaris nomor 27 tahun 1980, yang kemudian diubah menjadi Yayasan AlAsy’ariyyah dengan akta notaris nomor 78 tanggal 27 Februari 1989.7 Perjalanan waktu telah membuktikan bahwa Mbah Munt telah menjadi sosok sentral ulama’ panutan masyarakat. Mbah Muntaha meninggal dunia pada hari Rabu, tanggal 29 Desember 2004. Pernyataan yang beliau selalu pesankan “buatlah sejarah dalam hidup” telah dibuktikannya. PPTQ Al-Asy’ariyyah adalah salah satu bukti sejarah beliau. Beliau memang sudah tiada namun wujud perjuangan beliau akan terus berjalan. Apabila kita membicarakan KH. Muntaha Alh, maka tidak akan berpisah dari tokoh pendampingnya yaitu KH. Mustahal Asy’ari (adik beliau). Beliau dilahirkan pada tahun 1926 atau 14 tahun lebih muda dari KH. Muntaha Alh. Beliau mengawali menuntut ilmu dibawah bimbingan langsung dari ke-dua orangtuanya sendiri. Kemudian mesantren pertama kali kepada Syech KH. Muntaha Parakan Temanggung pada tahun 1946 selama 1 tahun. Kemudian beliau meneruskan nyantri di Lasem dari tahun 1947 sampai 1951. Setelah itu beliau memperdalam ilmu di Pondok Pesantren Al-Munawwir Alh selama 3 tahun. Selama menyantren beliau “tirakat” dengan tidak pernah makan nasi selama 13 tahun. Ide cemerlang yang menarik dari pemikiran Kiai Haji Muntaha 7
PPTQ Al Asy’ariyyah, Buku Panduan Santri PPTQ Al Asy’ariyyah,(Wonosobo, 2001), hlm. 24.
82
Al Hafidz adalah perpaduan mengenai pendidikan pesantren dengan pendidikan formal8 yang saat itu belum sepenuhnya diterapkan di beberapa pesantren. Setelah dirasa cukup beliau pulang ke rumah untuk membantu dakwah memperjuangkan syari’at islam di kampung halamannya, dengan mengawali mendirikan TK dan MI Ma’arif.9 Selanjutnya kepemimpinan PPTQ Al-Asy’ariyyah dibebankan kepada KH. Achmad Faqih Muntaha. Beliau adalah putra sulung KH. Muntaha Alh. Beliau akrab dipanggil dengan Abah Faqih. Disamping mengajar, beliau juga ikut aktif dalam mendirikan lembaga-lembaga formal antara lain : SMP, SMA, SMK, Takhasus Al-qur’an dan IIQ (sekarang UNSIQ ). Beliau juga meneruskan cita-cita ayahandanya yang belum terealisir diantaranya : SD Takhasus Al-qur’an dan Darul Aitam, Menara Masjid Baiturrochim, dan gedung baru pondok pesantren Al-Asy’ariyyah. Beliau juga mendirikan kelas jauh yaitu SMA Takhasus Alqur’an di Kepil, SMP dan SMA Takhasus Al-qur’an di Nderoduwur dan pondok pesantren tanpa pemungutan biaya, pondok pesantren dan SMP serta SMA Takhasus Al-qur’an di Kalimantan Barat, SMP Takhasus di Majalengka, di Tumiyang Purwokerto, di Buntu Banyumas, serta di Baran Gunung Ambarawa. Satu cita-cita beliau yang belum terealisasi adalah menjadikan Kalibeber sebagai 8
Yun’am Arif, Profil SMU Takhassus Al Qur’an Kalibeber Wonosobo, (Yayasan Al Asy’ariyyah:Wonosobo, 2004), hlm. 9. 9
Ibid, hlm. 28.
83
pusat fatwa islam di Indonesia. Dimana setiap fatwa dari Kalibeber akan dipatuhi oleh semua pemeluk islam di seantero Nusantara.10 Adapun tujuan didirikannya Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah adalah sebagai berikut : 1. Membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul
karimah,
bertanggungjawab
dalam
menjalankan
amanah, serta berjiwa Qur’ani dalam mengamalkannya. 2. Mewujudkan pengembangan idealisme ilmiah yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, usaha-usaha yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Mendirikan Madrasah Diniyah Salafiyah, Darul Aitam (Panti Asuhan), SD Takhasus Al-qur’an, SMP Takhasus Al-qur’an, SMA Takhasus Al-qur’an, SMK Takhasus Al-qur’an, dan Kopontren (koperasai pondok pesantren) 2. Mengadakan pengajian-pengajian rutin, baik harian, bulanan maupun tahunan. 3. Mengadakan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. 4. Sebagai sarana dan prasarana tersebut di atas maka telah dibangun gedung-gedung sekolah atau madrasah, pondok pesantren, tempat
10
PPTQ Al Asy’ariyyah, op. cit, hlm. 29.
84
ibadah serta melengkapinya dengan sarana dan prasarana penunjang yang dibutuhkan.
C. Model Pendidikan di Pesantren Al-Asy’ariyah Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber mempunyai sejarah panjang yang tidak dapat dielakkan keberadaannya. Dari periode Kyai Muntaha bin Nida Muhammad (1832-1859), dilanjutkan oleh KH. Abdurrochim (1860-1916), kemudian KH. Asy’ari (1917-1949), hingga KH. Muntaha Al-Hafidz (1950-1994). Sesuatu yang menjadi jiwa dan semangat perjalanan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber ini adalah membentuk generasi yang berakhlak qur’ani. Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah pada masa awalnya merupakan pesantren sederhana yang menampung beberapa santri saja, yang ingin belajar tentang baca tulis Al-Qur’an, ilmu fiqh, dan tauhid. Sejak pesantren dipimpin oleh KH. Muntaha Al-Hafidz, tahun 1950, berbagai langkah inovatif dan pengembangan mulai dilakukan. KH. Muntaha AlHafidz memiliki pedoman “Melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. KH. Muntaha Al-Hafidz masih mempertahankan sistem pendidikan yang mengkaji Al-Qur’an dan kajian Kitab Kuning11. Pada tahun 1962, KH. Muntaha Al-Hafidz mulai mengembangkan konsep modernisasi. Pendidikan pesantren, 11
Mukhottob Hamzah, Perkembangan Pesantren Al Asy’ariyyah dan IIQ Jawa Tengah, op cit, hlm. 19.
85
yaitu dengan mendirikan sekolah-sekolah formal dengan sistem gabungan antara sistem Diknas dengan sistem Ketakhassusan. 1. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber dalam mendidik santrinya, mengkolaborasikan antara sistem modern dengan sistem Salafiyyah (tradisional).96 Pada sistem pembelajarannya, Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah menitik-beratkan pada tiga komponen sebagai ciri khasnya yaitu: kajian Al-Qur’an (dengan Tahfidzul Qur’an), kajian Kitab Kuning, dan penguasaan bahasa asing (Inggris dan Arab). Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan Pondok Pesantren Al- Asy’ariyyah Kalibeber adalah sebagai berikut: a. Wetonan Sistem pengajaran dengan jalan wetonan dilaksanakan dengan jalan kyai membaca kitab dalam waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama, mendengarkan serta menyimak bacaan kyai. Dalam sistem pengajaran ini tidak ada absensi, santri boleh datang atau tidak dan juga tidak ada ujian12. Kelebihan sistem ini adalah para santri dapat memahami maksud ajaran yang terkandung di dalam kitab yang sedang
12
Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH. Muntaha AlHafidz Ulama Multidimensi, (Wonosobo: Yayasan Al-Asy’ariyyah), hlm. 61-62.
86
dipelajarinya, karena sudah dijelaskan oleh kyainya. Namun, sistem ini memiliki kekurangan yaitu timbul kesan bahwa santri hanya menerima ilmu yang diajarkan kyai-nya saja, sehingga keberhasilan santri tergantung dari kyai yang memberikan materi. Sistem ini juga tidak ada absensi dan ujian, sehingga santri menjadi kurang termotivasi untuk belajar. Pelaksanaan pengajaran dengan metode wetonan di Ponpes Al- Asy’ariyyah dilaksanakan setiap Selasa Wage, setelah selesai sholat fardhu. Kitab yang dikaji dalam sistem wetonan, antara lain: Kitab Ushul ad-dien, Bulughul Maram, dan Kitab Bidayat AlMujtahid. b. Sorogan Istilah sorogan berasal dari kata sorog, yang berarti menyerahkan kitab. Sistem pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri menghadap kyai satu persatu dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sistem ini biasanya berlaku bagi para santri salafiyah, yang dilaksanakan setelah selesai sholat Subuh13. Kelebihan dari sistem ini adalah santri dapat lebih fokus menerima materi kitab yang akan dipelajarinya, karena santri menghadap kyai satu per satu. Namun sistem ini juga memiliki kekurangan, yaitu lebih banyak
13
PPTQ Al Asy’ariyyah, op.cit, hlm. 66.
87
membutuhkan waktu yang lama, sebagai konsekuensi dari sistem menghadap satu-persatu dalam penyampaian materi. Kajian kitab dalam sistem sorogan di Ponpes Al-Asy’ariyyah terdiri dari: kajian akidah, Syariah, dan bahasa Arab.. Koordinator dalam pelaksanaan sistem sorogan adalah Faqih Muntaha, dan dibantu oleh ustad pondok. c. Sistem Klasikal Sistem klasikal merupakan sistem yang menggabungkan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum (ilmu sosial, humaniora, dan ilmu kealaman). Penerapan dari sistem ini adalah dengan mendirikan sekolah yang menggabungkan ilmuilmu agama dan umum, berdasarkan kurikulum dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Secara lebih luas terjadi integrasi sistem pendidikan di atas, sehingga benar-benar terwujud pondok pesantren yang bersifat komprehensif. Kedudukan kyai dalam proses belajarmengajar bukan semata-mata sebagai pengajar, melainkan bertindak pula sebagai pembimbing yang mengasuh pondok pesantren tersebut dalam segala aktifitasnya. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum yang berasal dari kyai dan yang berasal dari kedua departemen tersebut di atas, dengan harapan
88
santri dapat mengikuti ujian yang dilaksanakan oleh sekolah negeri sebagai status persamaan14. Penerapan dari sistem klasikal di Pondok Pesantren AlAsy’ariyyah adalah para santri dibagi dalam suatu ruangan sesuai dengan kelasnya masing-masing. Metode ini diterapkan pada santri tingkat SMP, SMA, dan Mahasiswa. Proses belajarmengajar dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ada di sekolah umum lainnya, bedanya porsi pelajaran agama lebih banyak dari sekolah umum. Evaluasi dilakukan setiap setengah tahun sekali baik secara lisan maupun tertulis. Kelebihan sistem ini adalah santri dapat memperoleh keseimbangan antara ilmu agama dengan ilmu umum (ilmu sosial, humaniora, dan ilmu kealaman) dan juga ketrampilan berbahasa (Arab dan Inggris). Diharapkan para santri memiliki moral yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan mampu bersaing dalam lingkungan pekerjaan, sesuai dengan ilmu yang dikuasainya. Kekurangan dari sistem klasikal adalah apabila para santrinya tidak dapat membagi waktu belajar antara ilmu agama dengan ilmu umum, sehingga akibatnya para santri bisa tidak menguasai kedua ilmu tersebut dengan baik.
14
M. Bahri Ghazali, 2001, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: CV. Prasasti), hlm. 30-32.
89
2. Pelaksanaan Sistem Menghafal / Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber merupakan lembaga pendidikan Islam, yang salah satu tujuannya adalah mendidik santrinya menjadi hafidz dan hafidzah. Sistem menghafal yang digunakan di Pondok Pesantren Al- Asy’ariyyah Kalibeber adalah dengan sistem setor15. Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama16. Ada dua tingkatan atau kelas dalam pelaksanaan sistem menghafal Al-Qur’an, yaitu: a. Kelas Persiapan Santri yang akan belajar Al-Qur’an langsung menghadap KH. Muntaha Al-Hafidz atau para staf pengajar pesantren. Waktu pelaksanaan adalah setelah selesai salat Ashar dan Subuh. Kelas ini dikhususkan bagi santri baru yang belum pernah menghafal Al-Qur’an. Pada kelas ini para santri
15
Ibid, Sistem setor, maksudnya adalah setelah para santri hafal surat tertentu. 16
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press,1997), hlm. 37.
90
diajarkan untuk menghafal surat-surat dalam Al-Qur’an terlebih dahulu setelah selesai salat Ashar dan Subuh. b. Kelas Lanjutan Kelas ini diperuntukkan bagi para santri yang telah mengikuti kelas persiapan. Pada kelas ini para santri tidak diberi batasan dalam menghafal, jadi para santri bisa menyelesaikan hafalannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Santri yang menghafal langsung diasuh oleh KH. Muntaha Al-Hafidz dan dibantu oleh para staf pengajar. Waktu menyetorkan hafalan yaitu setelah selesai salat Ashar dan Subuh. Menghafal Al-Qur’an merupakan suatu pekerjaan yang sangat mulia, karena orang-orang yang mampu menghafal AlQur’an ialah manusia yang terpilih oleh Allah. Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber memiliki beberapa kiat agar santrinya berhasil menghafal Al-Qur’an. c. Target hafalan Para penghafal Al-Qur’an disarankan menentukan target harian, agar dapat memperkirakan seberapa banyak waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan program menghafal Al-Qur’an. Target ini bukanlah merupakan ukuran yang
dipaksakan,
akan
tetapi
disesuaikan
dengan
91
kemampuan. Hal ini dimaksudkan supaya ghiroh (keinginan) untuk menghafal Al-Qur’an tetap terjaga. d. Meluruskan bacaan Upaya membenarkan bacaan merupakan langkah awal yang harus ditempuh oleh penghafal Al-Qur’an. Hal ini bisa dilakukan dengan mendengarkan orang lain yang sudah baik dan betul bacaannya atau pada orang yang hafal dan cermat bacaannya. e. Menggunakan mushhaf khusus hafalan Dengan menggunakan mushhaf khusus maka akan membantu proses penalaran dan akan mempermudah proses penghafalan. Hal ini juga dimaksudkan agar lebih menjaga dari ghosob. Al-Qur’an adalah kitab suci, maka apa yang dimakan dan yang digunakan penghafal harus dijaga, karena berpengaruh terhadap hasil hafalannya. f. Memperhatikan ayat yang serupa Dalam Al-Qur’an ada 6.666 ayat, 2.000 diantaranya adalah ayat-ayat yang serupa dari segi lafalnya. Dengan memperhatikan ayat-ayat yang serupa tersebut, maka akan membantu dalam mewujudkan hafalan yang baik. Dalam proses menghafal diperlukan tingkat kecermatan yang tinggi,
92
supaya hafalannya benar-benar terpatri pada pikiran dan tidak terjadi kekeliruan antara ayat yang satu dengan yang lain. g. Memahami isi Para penghafal hendaknya memahami kandungan isi Al-Qur’an dan aspek keterkaitannya antara ayat yang satu dengan yang lainnya atau setidaknya dibaca terjemahannya, agar mempermudah proses penghafalan. Dengan demikian, para penghafal dapat mencermati letak ayat dan diharapkan belajar untuk mengamalkan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. h. Melestarikan hafalan Al-Qur’an Semakin rajin seorang penghafal Al-Qur’an untuk di rosah (belajar) dan takrir (mengulang-ulang), maka semakin bagus lisannya, dan tentunya juga akan semakin baik hafalannya. i. Doa dan amalan khusus menjaga Al-Qur’an Kekuatan doa akan lebih mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan lindungan-Nya. Beberapa amalan khusus yang dimaksudkan untuk menjaga hafalan Al-Qur’an adalah dengan mengerjakan sholat tahajud dan sholat tahfidzul qur’an.