1 BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Bahwa konsep Korporasi sebagai subyek tindak pidana telah
dirumuskan
oleh
perumus
undang-undang
terutama yang berkaitan dengan undang-undang tindak pidana khusus, diantaranya : Selain didalam undangundang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, pengaturan korporasi sebagai subyek Tindak Pidana juga dapat ditemukan antara lain dalam undang-undang No 11 PNPS tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi, Pasal 49 undang-undang No. 9 Tahun 1976 tentang Penyimpanan Narkotika, Undangundang No 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kemudian disusul dengan undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-undang No. 11 Tahun 1995
2 tentang Cukai, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 20 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
No.
20
Tahun
2001
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
Dari berbagai bunyi beberapa undang-undang diatas saya
berpendapat, bahwa sanksi pidana yang diancamkan
kepada korporasi belum memberikan efek pencegahan yang efektif, hal
ini menurut hemat saya secara umum bentuk
pidanya berupa denda, dan besaran dendanya juga terlalu rendah karena ditetapkan hanya sebesar pidana denda yang diperberat maksimumnya dengan sepertiganya seperti dapat dilihat didalam Pasal 45 Undang-Undang Pengelolaan
3 Lingkungan Hidup, Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana pencucian Uang. Denda tersebut hampir tidak ada artinya bagi perusahaan-perusahaan
besar
sebagai
pencegah
bagi
perusahaan untuk mengulangi perbuatannya atau untuk mencegah perusahaan-perusahaan lain melakukan tindak pidana serupa.
2.
Mencermati ketentuan Pasal 61 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi : “ Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya”.
Dan
apabila kita lihat bunyi Pasal 1 angka 3 Undang-undang ini, yang dimaksudkan dengan “pelaku usaha” adalah : “ setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam
wilayah
hukum
negara
republic
Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. “
4 Setelah mempelajari ketentuan Pasal 61 jo Pasal 1 angka 3 Undang-Undang dimaksud, dapat disimpulkan, bahwa Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah mengatur korporasi sebagai subyek tindak pidana. Namun sama halnya dengan undangundang Tindak Pidana Khusus yang lain ternyata undang-undang ini juga belum memberikan ketentuan mengenai persyaratan bahwa suatu tindak pidana dapat ditentukan sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Dalam undang-undang ini belum secara tegas terlihat ajaran apa yang digunakan dalam memberikan pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi.
B.
Saran Mengingat bahwa korban kejahatan korporasi sudah sedemikian parah dan banyaknya, lebih lebih korporasi selaku pelaku kejahatan belum tersentuh secara maksimal hingga efek jera belum terasa efektif, pada kesempatan ini saya selaku penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut : 1.
Didalam undang-undang Tindak Pidana Khusus seperti yang kami kemukakan diatas, seyogyanya pidana denda
5 disamping
harus
diperberat
hendaknya
jangan
diseragamkan, harus lebih berat dibanding apabila pelaku kejahatannya adalah manusia, dan untuk pidana minimumnya juga ditentukan dengan jelas sedang maksimumnya
sebesar
asset
perusahaan
yang
berbentuk perampasan harta kekayaan perusahan dan disita untuk negara. 2.
Agar Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga berlaku lebih efektif dan mengena,
seyogyanya
dipertegas
lagi
mengenai
persyaratan bahwa suatu tindak pidana dapat ditentukan sebagai yang dilakukan oleh suatu korporasi. Dan Hakim, Jaksa maupun Polisi selaku aparat penegak hukum lebih bisa mengelaborasi hukum untuk bisa menerapkan undang undang ini secara efektif.