BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah pengolahan data complete bouguer anomaly (CBA) yang didapat dari data lapangan. Tahapan berikutnya dilakukan pengkonturan nilai CBA sehingga dapat dilakukan analisa secara regional. Tahapan terakhir adalah pemodelan kedepan lintasan tertentu dan interpretasi model yang didapat.
Gambar 4.1 Diagram alir pengolahan data
27
Seperti terlihat pada diagram alir untuk membantu interpretasi pemodelan anomali Bouguer dilakukan analisa second horizontal derivative dan analisa spektrum. 4.1
ANOMALI BOUGUER
Tujuan utama dari pengolahan data gaya berat adalah mendapatkan nilai complete bouguer anomaly (CBA). Data yang didapatkan sudah berupa nilai CBA yang artinya faktor-faktor yang mempengaruhi pembacaan nilai gaya berat pada alat telah dikoreksi. Faktor tersebut antara lain faktor elevasi, faktor apungan (drift) dan faktor koreksi spheroid-geoid. Setelah tahapan pengkoreksian dilakukan, tahapan selanjutnya adalah penentuan rapat massa yang akan digunakan. Metoda estimasi rapat massa yang digunakan adalah metoda Nettleton. Lintasan yang digunakan dalam penentuan rapat massa dengan metoda Nettleton adalah lintasan B-B’ seperti dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada metoda Nettleton penentuan rapat massa ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penentuan secara kualitatif diberikan pada Gambar 4.4 dan dilakukan dengan cara melihat secara visual perbandingan grafik stasiun terhadap elevasi, stasiun terhadap gobs dan melihat perbandingan antara nilai-nilai CBA yang dihasilkan dari beberapa nilai rapat massa dari satu stasiun yang sama. Stasiun yang dipilih dalam estimasi rapat massa ini adalah lintasan B-B’ yang mempunyai perbedaan elevasi yang besar atau di dalam satu lintasan topografinya bervariasi. Selain itu, secara kuantitatif estimasi rapat massa permukaan dapat ditentukan dengan menerapkan korelasi silang antara perubahan elevasi terhadap suatu referensi tertentu dengan anomali gaya beratnya. Rapat massa terbaik diberikan oleh harga korelasi silang terkecil. Dengan melihat grafik antara elevasi terhadap stasiun pengukuran (Gambar 4.2), grafik antara gobs terhadap stasiun pengukuran (Gambar 4.3), grafik perbandingan beberapa rapat massa (Gambar 4.4) kita tidak dapat menentukan secara kualitatif rapat massa yang akan digunakan. Sehingga digunakan grafik nilai korelasi dan tabel 28
korelasi dari masing-masing rapat massa untuk menentukan secara kuantitatif nilai rapat massa rata-rata yang digunakan.
Gobs vs STASIUN
(mGal) 978030.000 978025.000 978020.000 978015.000 978010.000 978005.000 978000.000 977995.000 977990.000 977985.000 977980.000
(stasiun)
977975.000 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 4.2 Grafik antara Gobs dan stasiun pengukuran
ELEVASI vs STASIUN
(meter) 250
200
150
100
50
(stasiun)
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 4.3 Grafik antara Elevasi dan stasiun pengukuran
29
CBA vs STASIUN
(mGal) 4 2
(stasiun) 2,4
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2,3 2,2
-2
2,1 2
-4
1,9
-6 -8 -10
Gambar 4.4 Grafik perbandingan beberapa rapat massa
Hubungan Nilai Korelasi dan Densitas
(korelasi) 0.015 1.9
0.01
2 0.005 2.1
(ρ)
0 1.7
1.8
1.9
2
2.1
2.22.2
-0.005
2.3
2.4
2.5
2.3 2.4
-0.01
-0.015
Gambar 4.5 Grafik nilai Korelasi Tabel 1 Korelasi dan Densitas Densitas
Korelasi
1.9
0.011092
2.0
0.006904
2.1
0.002716
2.2
-0.00147
2.3
-0.00566
2.4
-0.00985
30
Dari grafik dan tabel perhitungan diatas, nilai korelasi terkecil terdapat pada nilai rapat massa 2,2 gr/cm3. Nilai tersebut adalah nilai rapat massa yang mewakili rapat massa pada daerah penelitian. Nilai tersebut cocok dengan nilai rapat massa yang telah digunakan untuk menghitung nilai CBA. 4.1.1
Analisa Anomali Bouguer
Harga anomali Bouguer pada peta kontur anomali Bouguer (Gambar 4.7) bervariasi antara -25 mGal s.d. 82 mGal dengan skala biru tua s.d. merah tua. Dengan kontur anomali yang bernilai rendah berada di daerah Selatan Kabupaten Luwuk dan kontur anomali yang bernilai tinggi berada di daerah Utara. Dari peta kontur anomali Bouguer kita dapat melihat dua jalur anomali gaya berat. Utara Nilai anomali Bouguer di daerah ini berkisar antara +20 mGal s.d. +80 mGal. Dengan topografi daerah sekitar berupa perbukitan Selatan Nilai anomali Bouguer di daerah Selatan berkisar antara -10 mGal s.d. +20 mGal. Dengan topografi daerah sekitar perbukitan diselingi pegunungan dan dataran rendah. Dari peta kontur anomali Bouguer (Gambar 4.7) dapat kita lihat pola kontur anomali yang bersifat rapat di daerah Utara dengan nilai anomali yang lebih tinggi daripada daerah Selatan. Bagian Selatan daerah penelitian mempunyai nilai anomali yang relatif rendah dan mempunyai kontur yang cenderung renggang, pola kontur anomali ini menunjukkan pola batuan dasar yang semakin mendangkal ke arah Utara daerah penelitian. Pola kemiringan batuan dasar berarah Selatan jika melihat pola kontur anomali Bouguer pada daerah penelitian. Selain itu jika peta anomali Bouguer dikompilasikan dengan peta geologi daerah penelitian terhadap titik-titik penelitian (Gambar 4.6) maka daerah-daerah dengan 31
nilai anomali tinggi dan rendah dipisahkan oleh suatu garis horisontal di daerah tengah, yang kemungkinan menunjukkan sesar Poh yang membelah daerah Luwuk. Peta Anomali Bouguer juga menunjukkan adanya daerah yang mempunyai anomali negatif berarah Barat-Timur. Daerah anomali negatif ini kemungkinan menunjukkan melengkungnya pola batuan dasar sehingga berbentuk ”U”. Kemungkinan kelengkungan ini disebabkan oleh aktifitas tektonik daerah kompresi. Selain itu, perubahan anomali dari Selatan ke Utara yang bernilai rendah ke tinggi juga disebabkan karena berubahnya mendala geologi. Pada daerah Selatan batuan penyusunnya didominasi oleh batuan sedimen, sehingga anomalinya relatif lebih rendah terhadap daerah Utara penelitian yang didominasi oleh mendala Sulawesi Timur.
U 0 2 4 6 8 10 kilometer
Gambar 4.6 Peta Geologi dan titik-titik pengamatan
32
mGal (mGal)
U
0 2 4 6 8 10 kilometer
Gambar 4.7 Peta Anomali Bouguer
33
4.2
ANALISA SPEKTRUM
Analisa spektrum dilakukan untuk mendapatkan estimasi kedalaman anomali gaya berat. Analisa spektrum ini dilakukan dengan metoda transformasi Fourier pada lintasan A-A’, C-C’ dan D-D’ (Gambar 4.6). Dari grafik antara Ln A (Amplitudo) dengan k (bilangan gelombang) dan persamaan (3.4-5) didapatkan estimasi kedalaman anomali dari gradien masing-masing spektrum. Dari hasil analisa spektrum dapat kita lihat bahwa penyebab anomali residual berada pada kedalaman sekitar 100 meter pada lintasan A-A’, sedangkan anomali regionalnya berkisar pada kedalaman 700 meter (Gambar 4.8). Lintasan C-C’ estimasi kedalaman penyebab anomali residual terdapat pada kedalaman kurang lebih 450 meter dan kedalaman anomali regionalnya 2500 meter (Gambar 4.9). Lintasan D-D’ penyebab anomali residual diperkirakan pada kedalaman 500 meter dengan anomali regionalnya berkisar pada kedalaman 2700 meter (Gambar 4.10). 4.2.1
Lintasan A-A’
Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan A-A’ (Gambar 4.8). Ln A vs k 6.0000 5.0000
regional Z = 700 meter
Ln A
4.0000
residual
noise
Z = 100 meter
Z = 20 meter
3.0000 2.0000 1.0000 0.0000 0.0000
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
k
Gambar 4.8 Pembagian zona anomali lintasan A-A’
34
Dari hasil analisa spektrum dapat kita lihat bahwa penyebab anomali residual berada pada kedalaman sekitar 100 meter dan anomal regionalnya pada kedalaman 700 meter. Nilai kedalaman ini diturunkan dari Persamaan 3.4-5. penentuan zona ini didasarkan kriteria grafik perbandingan antara Ln A dengan K (Gambar 3.7). 4.2.2
Lintasan C-C’
Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan B-B’ (Gambar 4.9). Ln A vs K 8.0 7.0
regional
6.0
Z = 2500 meter
Ln A
5.0 4.0
residual
3.0
Z = 500 meter
noise Z = 50 meter
2.0 1.0 0.0 0.0000 -1.0
0.0050
0.0100
0.0150
0.0200
0.0250
0.0300
0.0350
-2.0 -3.0 k
Gambar 4.9 Pembagian zona anomali lintasan C-C’
Hasil analisa spektrum juga menunjukkan hasil yang relatif sama dengan lintasan AA’ yaitu dapat kita perkirakan kedalaman penyebab anomali residual terdapat pada kedalaman kurang lebih 450 meter, sedangkan perkiraan kedalaman penyebab anomali regionalnya 2500 meter. 4.2.3
Lintasan D-D’
Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum yang menunjukkan grafik antara Ln A dan K pada lintasan D-D’ (Gambar 4.10).
35
Ln A vs K 7
regional
6
Z = 2600 meter
5
residual
Ln A
4
noise
Z = 500 meter
3
Z = 20 meter
2 1 0 -10.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
0.035
k Gambar 4.10 Pembagian zona anomali lintasan D-D’
Gambar 4.10 menunjukkan zona anomali regional, residual dan noise pada lintasan D-D’ dengan penyebab anomali residual diperkirakan pada kedalaman 500 meter dan anomali regionalnya berada pada kedalaman 2600 meter. 4.3
KRITERIA ANOMALI NEGATIF
Untuk penentuan kriteria anomali negatif dilakukan dengan analisa metoda second horizontal derivative, analisa dilakukan pada stasiun yang sama (A-A’, C-C’, D-D’). Hasil dari nilai SHD pada lintasan yang ditentukan kemudian dianalisa melalui kriteria
sederhana
anomali
negatif.
Kriteria
tersebut
didapatkan
dengan
memperbandingkan antara nilai SHD maksimum dan minimum pada masing-masing lintasan. Dari analisa tersebut dapat ditentukan penyebab dari anomali negatif pada lintasan tersebut. Seperti yang telah disebutkan pada Bab III, nilai SHD ditentukan dengan Persamaan 3.5-2. Dan penentuan struktur penyebab anomali didasarkan atas kriteria yang telah dituliskan pada Persamaan 3.5-3 dan 3.5-4.
36
4.3.1
Analisa Second Horizontal Derivative
Pada lintasan A-A’, C-C’ dan D-D’ dilakukan analisa second horizontal derivative (SHD) untuk menentukan struktur yang menyebabkan anomali negatif. Analisa SHD dilakukan dengan menggunakan Persamaan 3.5-2 pada spasi yang sama dengan spasi pengukuran data yaitu 100 meter. Analisa turunan kedua ini hanya dilakukan pada anomali yang bernilai negatif pada masing-masing lintasan (Gambar 4.11, Gambar 4.12 dan Gambar 4.13). Turunan kedua yang didapatkan kemudian diperbandingkan nilai maksimum dan nilai minimumnya untuk mendapatkan struktur yang menyebabkan munculnya anomali negatif sesuai dengan Persamaan 3.5-3 dan Persamaan 3.5-4.
15.00
1 1 1 3 . 1 0 .3 5 1 1 .2 3 1 1 .01 1 0.6 1 1 0.3 2 1 0.1 2 1 0.01 3 0.03
10.00 9 .039 .03 8 .4 8
6 .9 0
6 .1 3
5.00
4 .8 0 4 .6 9 4 .4 7 4 .5 0
4 .2 7 3 .9 3 9 .9 0
mGal
3 .4 3
4 .2 0 2 .1 2 0 .1 2 1 .8 2 1 .4 0 1 .4 8 1 .3 8
0.00
0.03
0.2 9
-03 . 7 -05 . 0 -05 . 3 -08 . 4
0
-1 .5 6 -1 .9 9 -2 .2 2 -2 .9 5-2 .9 0
3000
3 .1 1
2 .9 6 2 .6 6 2 .6 0 2 .2 5 2 .2 0 1 .9 6
2 .6 1 2 .2 7 2 .2 0 1 .5 1 5 .6 0
1 .1 91 .1 0 1 .05 0.8 8 0.8 00.7 50.7 00.6 5
1 .1 0 1 .1 6 0.3 5
0.1 6 -02 . 0-02 . 5 0 - .3 1 -03 . 5-04 . 0 -05 . 2
6000
-05 . 4
-1 .2 1 -1 .4 5 -1 .4 7 -1 .4 -1 5 .4 -1 4 .4 3 -1 .5 0
9000
12000
-2 .-2 8 .5 8 0
-4 .2 5
-5.00
-4 .7 5 -5 .05 -5 .1 1 -5 .8 6 -6 .07 -6 .6 8
-8 .03-7 .9 7 -8 .2 1 -8 .4 3 -8 .8 1
-10.00
-9 .5 2
-1 0.2 9
-15.00
meter
Gambar 4.11 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan A-A’
37
15.00
10.00
5.00 8
E
-1
6
4 x
-3
E
-1
mGal
= y
3 x
1
R
+ 3
2
=
E
0 .9
-0 7
6
2 x
-0 0 . 0 2
1
x +1
1
5 .
4
4
2
0.00 0
5000
10000
15000
20000
25000
-5.00
-10.00 m eter
Gambar 4.12 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan C-C’
15 10
mGal
5 0 0
5000
10000
15000
20000
-5 -10 -15 meter
Gambar 4.13 Lokasi anomali negatif yang dianalisa pada lintasan D-D’
38
Hasil dari analisa SHD ditunjukkan dalam tabel berikut : Tabel 3 Nilai turunan kedua tiap lintasan
Lintasan
d2g/dx2 maksimum
d2g/dx2 minimum
A-A’
0.000909
-0.001607
C-C’
0.000169
-0.000178
D-D’
0.003968
-0.006470
Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa lintasan yang dipilih (A-A’, C-C’ dan D-D’) mempunyai respon yang sama. Dengan nilai perbandingan second horizontal derivative-nya sebagai berikut : d 2g < dx 2 max
d 2g dx 2 min
Hasil tersebut menunjukkan bahwa anomali negatif pada ketiga lintasan tersebut adalah sedimentary basin atau cekungan sedimen. Hasil analisa second horizontal derivative ini dikolaborasikan dengan peta kontur anomali Bouguer, maka akan dapat dilihat bahwa nilai-nilai anomali yang negatif membentuk pola tertentu (Gambar 4.14). Pola tersebut dimungkinkan adalah suatu cekungan sedimen besar yang terdapat pada daerah penelitian. Nilai-nilai anomali negatif tersebut berada pada satu cekungan sedimen yang sama. Selain itu, analisa turunan kedua juga dilakukan untuk membantu proses pemodelan, yaitu dengan menunjukkan struktur-struktur sesar dan tepi cekungan pada masing-masing lintasan.
39
Pada lintasan A-A’, turunan kedua horizontal menunjukkan dua sesar naik (Lampiran A-D) dan satu batas lapisan yang dapat menunjukkan struktur cekungan (Lampiran E-F). Pembuktian struktur sesuai dengan persamaan (3.5-3)
dan (3.5-4) yang
menganalisa struktur dengan membandingkan nilai maksimum dan minimum turunan kedua horisontal dari anomali gayaberat. Lintasan C-C’ struktur sesar naik ditunjukkan turunan kedua minimumnya lebih kecil dari turunan kedua maksimum (Lampiran G-L). Batas lapisan yang dapat menunjukkan
struktur
cekungan
dapat
dibuktikan
dengan
turunan
kedua
maksimumnya lebih kecil dari turunan kedua minimumnya (Lampiran M-N). Lintasan D-D’ juga menunjukkan struktur-struktur sesar naik yang dibuktikan dengan perbandingan antara turunan kedua maksimum dan minimum dari anomali gaya berat (Lampiran O-T). Selain itu, satu batas kontak antara dua formasi yang diidentifikasi sebagai struktur cekungan juga dapat dibuktikan dengan analisa turunan kedua (Lampiran U-V).
40
4.3.2
Pola Anomali Negatif
Anomali negatif seperti terlihat pada Gambar 4.14 terdapat pada bagian Selatan daerah penelitian. Anomali negatif tersebut mempunyai nilai antara 0 s.d. -11mGal dengan pola penyebarannya berbentuk menyerupai cekungan atau lembah. Sehingga anomali negatif disebabkan oleh adanya suatu sedimentary basin pada daerah tersebut. Sehingga dapat diperkirakan suatu pola cekungan yang terdapat di daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Gambar 4.14.
(mGal)
U
0 2 4 6 8 10
Gambar 4.14 Perkiraan Pola Cekungan
Hasil yang menunjukkan bahwa nilai-nilai anomali negatif tersebut terletak pada suatu cekungan sedimen yang sama berarah Barat-Timur didukung juga oleh hasil analisa second horizontal derivative. Analisa SHD memberikan informasi tentang keberadaan cekungan sedimen pada lintasan-lintasan yang dianalisa.
41
4.4
PEMODELAN
Untuk melakukan interpretasi struktur bawah permukaan pada daerah penelitian, dilakukan pemodelan kedepan. Pemodelan dilakukan dengan memodelkan nilai anomali Bouguer dari tiga penampang yang mewakili daerah penelitian. Penggunaan anomali Bouguer didasarkan bahwa anomali Bouguer mencakup semua anomali yang terakumulasi di permukaan bumi, baik yang bersifat dangkal maupun dalam. Dari
masing-masing
penampang
dilakukan
pemodelan
kedepan
dengan
menggunakan software Grav2DC. Informasi ketebalan batuan didapatkan dari perkiraan yang dilakukan oleh (Rusmana, 1993). Sedangkan kisaran densitas yang dapat digunakan dan diperkirakan dalam pemodelan menggunakan Tabel 2 (Telford, 2000). Untuk mendapatkan struktur bawah permukaan yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya, maka dilakukan juga analisa second horizontal derivative dan analisa spektrum. Tabel 2 Kontras densitas yang digunakan dalam pemodelan (data dari Telford, 1990)
Formasi
Estimasi Densitas (gr/cm3)
Kontras Densitas
Terumbu Koral Kuarter
1.9
-0.3
Kintom
2.0
-0.2
Salodik
2.1
-0.1
Nanaka
2.35
0.15
Nambo
2.5
0.3
Meluhu
2.75
0.55
Basement
2.8
0.6
Pemodelan dua dimensi daerah penelitian dilakukan pada lintasan (A-A’, C-C’ dan D-D’) seperti terlihat pada Gambar 4.6. Pemodelan dilakukan dengan software Grav2DC. Lintasan A-A’ melintasi daerah Bunga Timur dengan arah lintasan dari Selatan ke Utara. Lintasan C-C’ melintasi daerah Mantok dengan lintasan yang juga berarah dari Selatan ke Utara. Lintasan D-D’ melintasi daerah Watee-Kalibanang 42
juga dengan arah lintasan dari Selatan ke Utara. Berikut adalah penampang dua dimensi dari masing-masing lintasan yang telah dimodelkan : 4.4.1
Lintasan A-A’
mGal 12
Utara
Selatan
0
0
Sesar 2
ρ = 1,9 gr . cm-3 ρ = 2,0 gr . cm-3
Sesar 1
ρ = 2,1 gr . cm-3 2
ρ = 2,35 gr . cm-3 ρ = 2,5 gr . cm-3 ρ = 2,75 gr . cm-3
4 Km
ρ = 2,8 gr . cm-3 0
9,3 Terumbu Koral
Formasi
Basement
Formasi
Formasi
Gcalculated
Formasi
Formasi
Gobs
sesar
Gambar 4.15 Model dua dimensi lintasan A-A'
Lintasan A-A’ mempunyai panjang lintasan 9300 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 4000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25o. Anomali negatif dari lintasan AA’ dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Sedangkan pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi dan tataan stratigrafi mendala Banggai-Sula maka 43
pemodelan memperlihatkan ada tujuh lapisan batuan atau formasi. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan kedua berwarna hijau muda merupakan formasi Kintom dengan ketebalan mencapai 1500 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklat muda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. Analisa spektrum menunjukkan estimasi kedalaman regionalnya sangat dangkal yaitu 700 meter. Kemungkinan ini disebabkan karena pola basement yang mendangkal ke arah Utara. Pada bagian Utara menunjukkan basement yang mendekati kedalaman 1000 meter, sehingga kurang lebih sama dengan estimasi kedalaman regional yang dihasilkan oleh analisa spektrum. Sedangkan anomali residual yang menunjukkan kedalaman 100 meter bisa dikatakan noise, karena jarak spasi pengukuran juga berjarak 100 meter, sehingga anomali di kedalaman 100 meter tidak dapat ditangkap sinyalnya.
44
4.4.2
Lintasan C-C’
mGal 11 Utara
Selatan
0
0
ρ = 1,9 gr . cm-3 Sesar 1
ρ = 2,1 gr . cm-3 Sesar 2
Sesar 3 ρ = 2,35 gr . cm-3
2
ρ = 2,5 gr . cm-3 ρ = 2,75 gr . cm-3 ρ = 2,8 gr . cm-3 4
0 Km
Terumbu Koral
Formasi Nanaka
Basement
Formasi Kintom
Formasi Nambo
Gcalculated
Formasi Salodik
Formasi Meluhu
Gobs
sesar
18,9
Gambar 4.16 Model dua dimensi lintasan C-C’
45
Lintasan C-C’ mempunyai panjang lintasan 18900 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 5000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25o. selain itu, terdapat sesar yang diinterpretasikan sebagai sesar naik berumur Jura. Anomali negatif dari lintasan C-C’ dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi
dan
tataan
stratigrafi
mendala
Banggai-Sula
maka
pemodelan
memperlihatkan ada enam lapisan batuan atau formasi. Dibandingkan dengan lintasan sebelumnya di lintasan ini tidak ditemukan formasi Kintom. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklatmuda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. Analisa spektrum menunjukkan estimasi kedalaman 2500 meter untuk anomali regional. Pada pemodelan dapat kita lihat anomali regional ini disebabkan oleh struktur-struktur sesar. Selain itu, pada daerah Selatan lintasan kedalaman basement juga berada pada kedalaman sekitar 2500 meter, sehingga analisa spektrum mampu menunjukkan estimasi kedalaman regional dengan cukup baik. Estimasi kedalaman anomali residual berada pada kedalaman 500 meter. Pada kedalaman tersebut, pemodelan menunjukkan dominasi Formasi Salodik, sehingga sumber anomali residual disebabkan oleh Formasi Salodik dan strukturnya yaitu antiklin dan sinklin bersudut lemah.
46
4.4.3
Lintasan D-D’ mGal
11
Utara
Selatan
0
-7
ρ = 1,9 gr . cm-3
0
ρ = 2,0 gr . cm-3 ρ = 2,1 gr . cm-3
Sesar 1
Sesar 2
2
Sesar 3 -3
ρ = 2,35 gr . cm ρ = 2,5 gr . cm-3 ρ = 2,75 gr . cm-3 ρ = 2,8 gr . cm-3
4 Km
0
Terumbu Koral
Formasi
Basement
Formasi
Formasi
Gcalculated
Formasi
Formasi
Gobs
sesar
22,5
Gambar 4.17 Model dua dimensi lintasan D-D’
47
Lintasan C-C’ mempunyai panjang lintasan 22500 meter dengan kedalaman pemodelan mencapai kedalaman 4000 meter. Hasil pemodelan menunjukkan terjadinya lipatan lemah bersudut kurang dari 25o. Anomali negatif dari lintasan DD’ dimodelkan sebagai akibat adanya penebalan lapisan sedimen. Sedangkan pola kemiringan batuan disesuaikan dengan arah dip pada peta geologi (Gambar 4.6). Didasarkan peta geologi dan tataan stratigrafi mendala Banggai-Sula maka pemodelan memperlihatkan ada tujuh lapisan batuan atau formasi. Lapisan pertama berwarna biru muda merupakan Terumbu Koral Kuarter dengan tebal lapisan mencapai 400 meter. Lapisan kedua berwarna hijau muda merupakan formasi Kintom dengan ketebalan mencapai 1500 meter. Lapisan ketiga berwarna biru tua adalah formasi Salodik dengan ketebalan mencapai 1200 meter. Lapisan keempat berwarna kuning adalah formasi Nanaka, ketebalannya mencapai 800 meter. Lapisan kelima berwarna coklat muda merupakan formasi Nambo dengan ketebalan formasi mencapai 300 meter. Lapisan keenam berwarna coklat tua adalah formasi Meluhu dengan ketebalan 750 meter. Lapisan paling bawah adalah basement yang berwarna merah. Hasil analisa spektrum untuk memperkirakan kedalaman sumber anomali regional menunjukkan sumber anomali berada pada kedalaman 2600 meter, ini menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan lintasan C-C’, dimana sumber anomalinya adalah Formasi Nambo, Nanaka dan Meluhu beserta struktur sesarnya. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada kedalaman sumber anomali residual 500 meter, yang disebabkan oleh Formasi Salodik. 4.5
ANALISA PETROLEUM SYSTEM
Pada daerah penelitian Luwuk ini tidak terdapat petunjuk minyak bumi, tetapi di bagian barat daerah penelitian tepatnya terletak di daerah lembar Batui terdapat petunjuk adanya oil seep atau rembesan minyak bumi. Tepatnya terletak di daerah Dolang, rembesan tersebut terdapat pada pinggiran sesar, yang terhubung oleh sesar
48
Poh. Kemungkinan adanya sumber hidrokarbon didasarkan atas adanya persamaan mendala geologi daerah Batui dengan daerah Luwuk. Syarat terdapatnya cadangan hidrokarbon adalah adanya petroleum system yang terdiri dari batuan induk, batuan reservoir dan batuan tudung. Selain itu, juga adanya perangkap hidrokarbon baik yang bersifat perangkap struktur maupun perangkap stratigrafi. 4.5.1
Batuan Induk
Batuan induk adalah batuan yang menghasilkan hidrokarbon. Batuan ini harus mempunyai kadar organik yang tinggi.Napal dan napal pasiran yang merupakan bagian dari Formasi Nambo yang berumur Jura dimungkinkan sebagai batuan induk. Karena formasi Nambo mengandung banyak fosil Belemnit dan Innoceramus dengan lingkungan pengendapannya yaitu laut dangkal. 4.5.2
Batuan Reservoir
Batuan reservoir mempunyai syarat memiliki porositas dan permeabilitas yang tinggi. Batuan reservoir diperkirakan batuan sedimen berumur Mesozoikum (Rusmana, 1993). Formasi Salodik merupakan batuan sedimen yang memenuhi syarat sebagai batuan reservoir. Bagian dari formasi Salodik yang mempunyai porositas tinggi dan menjadi batuan reservoir adalah Minahaki (Upper Platform Limestone Unit) dan Tomori (Lower Platform Limestone Unit) (Pane, 1996). Minahaki tersusun dari batu gamping poros sehingga sangat bagus menjadi batuan reservoir, porositas rata-ratanya 14%. Sedangkan Tomori tersusun dari batu gamping bioklastik dengan porositas 12% dan permeabilitas sampai dengan 8 milidarcies.
49
4.5.3
Batuan Tudung
Batuan Tudung syarat utamanya adalah mempunyai permeabilitas rendah. Dalam tataan Stratigrafi Banggai –Sula formasi yang memenuhi persyaratan ini adalah formasi Kintom dan bagian dari formasi Salodik yaitu Matindok (Middle Platform Limestone Unit). Formasi Kintom mempunyai lapisan napal di bagian bawahnya, yang merupakan batuan tudung yang baik untuk batuan reservoir Minahaki (Upper Platform Limestone Unit). Sedangkan Matindok (Middle Platform Limestone Unit) yang tersusun dari batu lempung menjadi batuan tudung untuk reservoir Tomori (Lower Platform Limestone Unit). 4.5.4
Perangkap Hidrokarbon
Perangkap hidrokarbon adalah hambatan bawah permukaan yang menghalangi proses migrasi hidrokarbon ke permukaan, terdapat dua kemungkinan perangkap di dalam daerah penelitian, yaitu : ¾ Perangkap Struktur : Perangkap ini terdapat pada antiklin bersudut lemah yang terdapat di daerah penelitian. Perangkap ini akan tersusun dengan formasi Kintom sebagai batuan tudung dan Minahaki (Upper Platform Limestone Unit) sebagai batuan reservoir-nya. ¾ Perangkap Stratigrafi : Perangkap ini terdapat karena perubahan fasies dalam satu formasi. Formasi Salodik yang terdiri dari tiga fasies dapat membentuk perangkap stratigrafi. Perangkap stratigrafi ini terdiri dari batuan tudung dari bagian Matindok (Middle Platform Limestone Unit) dan batuan reservoir dari bagian Tomori (Lower Platform Limestone Unit).
50
4.5.5
Petroleum System
4.5.5.1 Lintasan A-A’ Lintasan A-A’ yang melalui daerah Bunga Timur mempunyai potensi terdapatnya kandungan hidrokarbon, karena terpenuhinya petroleum system seperti terlihat pada pemodelan lintasan A-A’ (Gambar 4.15). Batuan induk diperkirakan adalah formasi Nambo yang mempunyai banyak kandungan fosil. Sedangkan yang bertindak sebagai batuan reservoir adalah formasi Salodik baik bagian bawah (Tomori/Lower Platform Limestone Unit) atau bagian atasnya (Minahaki/Upper Platform Limestone Unit) yang keduanya merupakan batuan gamping dengan porositas yang baik. Sedangkan
seal
(batuan
tudung)
adalah
bagian
tengah
formasi
Salodik
(Matindok/Middle Platform Limestone Unit) dan formasi Kintom yang keduanya berupa lapisan napal. Pemodelan lintasan A-A’ (Gambar 4.15) menunjukkan perangkap hidrokarbon dimungkinkan adalah perangkap struktur untuk reservoir Minahaki dan kombinasi dari perangkap struktur dan perangkap stratigrafi untuk reservoir Tomori. 4.5.5.2 Lintasan C-C’ dan D-D’ Lintasan C-C’ dan D-D’ mempunyai kemiripan hasil, dapat kita lihat pada perbandingannya pada model masing-masing lintasan (Gambar 4.16 dan Gambar 4.17). Pada kedua lintasan kita dapat temukan lapisan yang berfungsi sebagai batuan induk (formasi Nambo) dan lapisan yang berfungsi sebagai batuan reservoir yaitu formasi Salodik baik yang berada pada bagian atas (Minahaki/Upper Platform Limestone Unit) atau bagian bawah (Tomori/Lower Platform Limestone Unit). Pada lintasan C-C’ kita tidak dapat menemukan lapisan yang berfungsi sebagai batuan tudung (seal) dari formasi Kintom, batuan tudung yang dimungkinkan muncul adalah bagian tengah dari formasi Salodik (Matindok). Tetapi, perangkap hidrokarbon yang juga menjadi syarat terdapatnya hidrokarbon tidak dapat
51
teridentifikasi pada model lintasan C-C’ (Gambar 4.16). Sehingga potensi kandungan hidrokarbon
pada
lintasan
yang
melintasi
daerah
Mantok
cukup
kecil
kemungkinannya. Selain itu, formasi Salodik yang berfungsi sebagai reservoir keberadaannya tersingkap secara luas di permukaan, ini tentu menyebabkan hidrokarbon tidak dapat terakumulasi. Pada lintasan D-D’ dapat kita identifikasi lapisan yang muncul sebagai batuan tudung (seal) baik yang berupa formasi Kintom dan bagian tengah dari formasi Salodik (Matindok). Pada lintasan yang melintasi daerah Watee-Kalibanang ini juga tidak dapat diidentifikasi adanya perangkap hidrokarbon terutama perangkap struktur (Gambar 4.17). Sehingga potensi kandungan hidrokarbon pada daerah ini cukup kecil kemungkinannya. Pada lintasan ini formasi Salodik juga tersingkap secara luas pada permukaan, sehingga akumulasi hidrokarbon yang seharusnya terjadi pada lapisan ini tidak dapat terjadi.
52