BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1 Spasialisasi Data Curah Hujan dan Data Evaporasi
4.1.1 Data Curah Hujan
Pola curah hujan musiman di Jawa timur pada periode Desember – Januari – Februari mendapatkan intensitas yang tinggi (Gambar 23). Pola ini masih bertahan pada periode Maret – April – Mei (Gambar 24) walaupun intensitasnya sudah mulai berkurang pada beberapa stasiun. Sedangkan pada periode JJA – SON (Gambar 25) intensitas curah hujan sangat minimal terutama pada periode JJA dan pada periode SON curah hujan curah mulai bertambah di beberapa stasiun. Pola curah hujan bulanan mulai mengalami pengurangan intensitas pada bulan Maret (Gambar 13), dan bulan April seluruh stasiun mengalami intensitas curah hujan dibawah 140 mm per bulan (Gambar 14). bulan Agustus dan September seluruh stasiun mengalami intensitas dibawah 40 mm per bulan (Gambar 18). Pola umum data curah hujan di Jawa timur memiliki dua kali maksimum curah hujan pada bulan Oktober-November-Desember meningkat hingga akhir tahun dan Januari-Februari-Maret menurun polanya di bulan Maret dan satu kali minimum pada setiap stasiunnya dengan pola minimum terlihat pada bulan AprilMei-Juni-Juli-Agustus-September (Gambar 14). Sedangkan spasialisasi bulanan yang patut mendapat perhatian adalah saat dimana perubahan dari musim hujan November-Desember-Januari-Februari-Maret (Gambar 20) dengan intensitas curah hujan tertinggi saat bulan Januari dengan nilai diatas 209 mm per bulan, dan musim
kemarau
April-Mei-Juni-Juli-Agustus-September-Oktober
dengan
intensitas curah hujan terendah saat bulan September dengan nilai dibawah 49
IV-1
mm per bulan. Peralihan pada bulan Mei (Gambar 15) dan November (Gambar 21).
4.1.2 Data Evapotranspirasi Potensial
Karakteristik sebaran data evaporasi, didominasi dengan pola meningkat di Bulan Agustus – November (Gambar 35) yang diikuti pola menurun pada bulan Desember (Gambar 38) dan cenderung datar pada bulan Januari – Juli (Gambar 27). Pola evaporasi cenderung untuk selalu berada di bagian selatan Jawa timur, dengan setiap perubahan di awali pada bagian barat – tengah – timur dengan pola evaporasi kecil – besar – kecil, yang diikuti dengan perubahan pola pada bagian utara. Pola evaporasi seperti itu diduga disebabkan oleh posisi stasiun yang berada di pegunungan. Pola musiman evapotranspirasi potensial diperoleh dari nilai evaporasi, dan memiliki nilai yang tinggi setiap musimnya / sepanjang tahun pada stasiun Pasuruan, Wringin Anom, Olean, K.P.Asembagus, Padangan, Bulung Panggang, Di Jawa timur, dan satu stasiun yaitu Jrenk di Madura (Gambar 27). Nilai tertinggi pada musim September-Oktober-November berada pada nilai ETP yang tinggi antara 103 mm per bulan hingga 203 mm per bulan pada hampir sebagian besar Jawa timur (Gambar 42), terendah pada musim Desember-Januari-Februari pada nilai antara 88 mm hingga 132 mm per bulan dengan 5 stasiun memiliki tingkat ETP yang tinggi memiliki nilai lebih dari 100-132 mm per bulan dan 14 stasiun berada pada tingkat ETP kurang dari 132mm per bulan (Gambar 39), menengah tinggi pada musim Juni-Juli-Agustus pada nilai antara 88 mm hingga 132 mm per bulan dengan 7 stasiun berada dibawah nilai ETP kurang dari 132 mm dan 12 stasiun memiliki nilai ETP lebih dari 100-132 mm per bulan (Gambar 41), dan menengah rendah antara 88 mm hingga 132 mm per bulan untuk seluruh stasiun pada musim Maret-April-Mei (Gambar 40)
IV-2
4.2 Spasialisasi Ketersediaan Air Untuk Tanaman Pertanian
4.2.1 Nilai Evapotranspirasi Potensial
Analisa nilai evapotranspirasi potensial sama dengan analisa terhadap evaporasi, hanya saja nilainya mendapatkan perbesaran nilai sebesar perkalian dari jumlah hari dalam satu bulan pengamatan dari data evaporasi (ETPi = 0,75 x (Ji)Eoi). Asumsi yang digunakan saat pengolahan ini adalah jumlah hari (Ji) saat bulan Februari dianggap 28 hari untuk tiap stasiunnya, untuk tiap pengamatan rata-rata 14 tahun. Data 0,5ETP, dan 0,1ETP diolah lebih lanjut dari ETP, yang dapat dilihat pada tabel 19, tabel 20, dan tabel 18 secara berurutan.
4.2.2 Spasialisasi Data Ketersediaan Air
Ketersediaan air dalam pengolahan ini didapatkan dari data curah hujan di kurangi dengan data evapotranspirasi potensial, sehingga berdasarkan perhitungan tersebut, dapat dilihat pola : Pola ketersediaan air bulanan mengikuti pola curah hujan dan evapotranspirasi potensial dan pada bulan april – November (Gambar 47) daerah Jawa timur mengalami defisit. Untuk periode musiman, pola defisit air sangat terlihat pada periode Juni – Juli – Agustus (Gambar 57), dan mulai kembali mendapat suplai air dari curah hujan pada bulan september – oktober – November (Gambar 58). Bagian Timur Laut Jawa timur mengalami keterlambatan pengisian ulang air pada bulan september – oktober – november. Pada periode Desember-Januari-Februari (Gambar 55) Jawa timur mengalami kondisi surplus ketersediaan air dengan nilai diatas 135 mm per bulan (Gambar 43, 44, 45) semua daerah di Jawa timur mendapatkan surplus ketersediaan air yang paling banyak dan merata di seluruh daerah.
IV-3
Pada periode Maret-April-Mei jawa timur mengalami kondisi surplus hanya pada bulan Maret sebesar 135-180 mm per bulan (Gambar 46) sedangkan kondisi peralihan dimulai pada bulan April dengan ketersediaan air sebesar 45 mm - 180 mm per bulan, namun sebagian besar daerah Jawa timur mendapatkan ketersediaan air sebesar 45 mm - 135 mm per bulan (Gambar 47), dan kondisi kekurangan air mulai terasa di seluruh daerah jawa timur pada bulan Mei dengan ketersediaan air sebesar 45 mm – 135 mm per bulan, hanya satu stasiun yang mencatat surplus air di Madura sebesar 135 mm – 180 mm per bulan (Gambar 48). Pada periode Juni-Juli-Agustus seluruh daerah jawa-madura mengalami defisit air yaitu pada nilai antara 0-90 mm per bulan di sebelah utara dan timur jawa timur serta di bagian tengah dan timur madura pada bulan Juni (gambar 49), pola ini mengecil pada bulan Juli (gambar 50) dengan daerah yang sama, dan puncaknya dengan seluruh daerah mengalami kekeringan berada pada bulan agustus dengan nilai 0-45 mm per bulan (Gambar 51). Pada periode September-Oktober-November, daerah kering masih dapat terlihat pada bulan September dengan nilai ketersediaan air sebesar 0-45 mm per bulan (Gambar 52), perubahan ke kondisi basah mulai terlihat pada bulan Oktober (gambar 53) dengan nilai ketersediaan air sebesar 45-90 mm per bulan pada beberapa daerah, yang terbesar berada di tenggara jawa timur, 3 stasiun di timur madura dan di timur laut Jawa timur. Bulan November cenderung mengalami peningkatan ketersediaan air sebesar 45-180 per bulan mm (Gambar 54), namun sebagian daerah timur-laut jawa timur masih mendapatkan defisit ketersediaan air pada nilai 45-90 mm per bulan, dan satu stasiun Olean masih mengalami defisit sebesar 0-45 mm per bulan, dibandingkan dengan daerah lainnya yang memiliki ketersediaan air 90-180 mm per bulan.
IV-4
4.3 Spasialisasi Metode Oldeman
Metode Oldeman, membagi daerah iklim berdasarkan urutan bulan basah dan urutan bulan kering, urutan itu diambil dengan membagi 2 batas kelompok curah hujan, yaitu curah hujan kurang dari 200 mm per bulan dan curah hujan lebih dari 200 mm per bulan (Oldeman dalam P. Budi. 1995), berdasarkan pembagian itu, seluruh daerah Jawa Timur termasuk kedalam daerah beriklim kering dengan urutan bulan kering lebih dari 6 bulan kering berurutan yaitu tipe E4 (setiap stasiun curah hujan mengalami 8 bulan kering berurutan) (Gambar 59), lebih lanjut untuk melihat daerah mana saja di Jawa timur yang memiliki variasi kekeringan lebih dari 8 bulan kering berurutan, terlihat pada Gambar 61 dengan variasi terbesar paling terlihat pada bagian timur laut, utara tengah dan barat laut jawa timur dan hampir sebagian besar stasiun di pulau Madura. Sedangkan untuk urutan bulan basah, Jawa Timur tergolong menjadi tipe E4 dan D4 yaitu kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 3-4 bulan basah berurutan (Gambar 60), lebih lanjut untuk melihat daerah yang mengalami urutan dibawah 4 bulan basah berurutan dapat dilihat pada gambar 62. dengan yang paling terlihat pada sebagian kecil di bagian selatan tengah dan timur jawa timur, dimulai dengan daerah yang sama sekali tidak memiliki bulan basah (E4), hingga daerah yang memiliki 1-4 urutan bulan basah (D4) (Gambar 60). Tabel 6. Jumlah Urutan Bulan Kering Oldeman Pada Tiap Stasiun BK
Stasiun
BK
Stasiun
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
kencong Gunung_Sari Grendeng_Kapura gunung_Sabrang Gn_Sabrang_IV Sumber_Beras D.Praadjekan Kendit Dander Pasongsongan Kamal
9 9 9 9 9 9 9 9 10 10 10
Tamberu Gapura Batung_batung Dungkek Kwanyar Pokaan Tenggo Situbondo Kalipuro Badjulmati P.G_Asembagus
IV-5
8 9 9 9 9 9 9 9 9
Pembuten_Timur Puger Bungatan Mlandingan Wonolangan Keraton Karangbinangan Tuban Tanjungbumi
10 11 11 11 11 12 12 12
Sepulun Banyuwangi Djenu Dasok Pademawu Sumur_(Buluh) Sumber_waru Asembagus
Lanjutan Tabel 6 4.4 Analisa dari Overlay Hasil Metode Cluster
4.4.1 Terhadap Data Curah Hujan
Hasil cluster terhadap data curah hujan, menghasilkan 4 daerah cluster, daerah ini ditetapkan karena menghasilkan intepretasi yang mudah dilakukan dari pengolahan menggunakan arcGIS, stasiun yang termasuk kedalam 4 kelompok cluster tersebut antara lain : Tabel 7. Hasil Cluster Data Stasiun Curah Hujan Bulanan Cluster 1 (6 St) 2 (5 St) 3 (10 St) 4 (18 St)
Stasiun (Curah Hujan Bulanan) Puger, Gn Sabrang IV, Gn Sabrang, Kencong, Grendeng kapura, Gn Sari Dander, Djenu, Tuban, Dasok, Pademawu Kendit, Kamal, Kwanyar, Sepulun, Tanjungbumi, Karang Binangan, Tamberu, Pasongsongan, Pembuten timur, Gapura Sumber Beras, Banyuwangi, Kalipuro, Badjulmati, PG Asembagus, Asembagus, D.Praadjekan, Situbondo, Pokaan, Bungatan, Mlandingan, Sumur(Buluh), Keraton, wonolangan, Tenggo, Batungbatung, Dungkek, Sumber Waru
IV-6
4.4.2 Terhadap data Evapotranspirasi Potensial (PET)
Hasil cluster terhadap data evapotranspirasi potensial (PET), menghasilkan 4 daerah cluster untuk data bulanan dan musiman. 4 daerah cluster PET adalah sebagai berikut : Tabel 8. Hasil Cluster Data PET Bulanan Cluster 1 (1 St) 2 (4 St) 3 (8 St) 4 (6 St)
PET Pasuruan Padangan, Mojosari, Surabaya, Kalianget Jatiroto, Ploso, Mojoagung, Sukowati, Jember, Genteng, Taman Arum, Banyuwangi BulungPanggang, Wringinanom, Jrenk, Olean, Sampean Baru, KP Asembagus
Dengan analisis Kluster diperoleh empat kelompok stasiun yang memiliki sifat curah hujan dan evaporasi yang homogen. Analisis selanjutnya dilakukan pada masing-masing kelompok/zona yang diperoleh untuk mengetahui lebih jauh mengenai karakteristik iklim khususnya curah hujan dan evaporasi di masingmasing kelompok / zona terhadap pertanian.
IV-7
4.5 Pola Tanam Pada Masing-Masing Kluster
Gambar 7. Hasil pola tanam pada wilayah cluster satu Pola tanam pada wilayah cluster 1, membutuhkan dua kali persiapan lahan, persiapan lahan pertama (PL I) dimulai saat bulan September hingga bulan Oktober, masa persiapan lahan yang ke-1 ini masih mengalami defisit air karena nilai potensial evapotranspirasi (PET) yang masih tinggi pada bulan selanjutnya mengalami masa transisi pertama (PPT I) yaitu pada bulan Oktober hingga November, saat periode ini curah hujan sudah mengimbangi jumlah evapotranspirasi dan cocok digunakan untuk penyemaian bibit, Setelah PPT I keadaan pola tanam di Jawa timur mengalami Periode Lembab (PLb) dari bulan November hingga bulan Maret Akhir (Awal April), periode ini tanaman diharapkan tumbuh dan berproduksi, kemudian mengalami periode transisi kedua (PPT II) dari bulan Maret akhir hingga Pertengahan Mei, cadangan air berdasarkan ketersediaan curah hujan mulai berkurang dan memasuki periode cadangan (PCd), periode cadangan ini berakhir hingga masa penyiapan lahan kedua (PL II), saat dimulainya PCd di pertengahan bulan Mei hingga bulan
IV-8
Agustus adalah periode penyiapan lahan kedua (PL II), masa tanam pada PPT II ini sangat bergantung dari cadangan air pada PPT II. Periode Basah (PB) merupakan perpotongan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial merupakan periode yang mendapatkan paling banyak air di daerah tersebut sehingga sangat cocok digunakan untuk kebutuhan tanaman. Periode masa tumbuh tersedia merupakan periode yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah evapotranspirasi potensial yang dimulai dari PPT I hingga dimulainya PCd Pada pertengahan bulan Mei.
Gambar 8. Hasil pola tanam pada wilayah cluster dua Pola tanam pada wilayah cluster 2, mengalami satu kali persiapan lahan, persiapan lahan (PL) dimulai saat bulan September hingga pertengahan bulan Oktober, masa persiapan lahan ini mengalami defisit air karena harus mengimbangi nilai potensial evapotranspirasi (PET) yang tinggi hingga periode selanjutnya yang mengalami masa transisi pertama (PPT I) pada awal pertengahan
IV-9
bulan Oktober hingga awal bulan November, saat periode ini curah hujan sudah mengimbangi jumlah evapotranspirasi dan cocok digunakan untuk penyemaian bibit, Setelah PPT I keadaan pola tanam di Jawa timur mengalami Periode Lembab (PLb) dari awal bulan November hingga bulan Mei, periode ini tanaman diharapkan tumbuh dan berproduksi, kemudian mengalami periode transisi kedua (PPT II) dari bulan Mei hingga bulan Juni, cadangan air berdasarkan ketersediaan curah hujan mulai berkurang dan memasuki periode cadangan (PCd), periode cadangan ini berakhir hingga masa penyiapan lahan di bulan September tahun selanjutnya. Periode Basah (PB) merupakan perpotongan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial merupakan periode yang mendapatkan paling banyak air di daerah tersebut sehingga sangat cocok digunakan untuk kebutuhan tanaman. Periode masa tumbuh tersedia merupakan periode yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah evapotranspirasi potensial yang dimulai dari PPT I hingga dimulainya PCd Pada bulan Juni.
IV-10
Gambar 9. Hasil pola tanam pada wilayah cluster tiga Pola tanam pada wilayah cluster 3, sulit ditentukan kapan periode persiapan lahan (yang didapatkan dari perpotongan kurva curah hujan dengan kurva 0,1PET). Periode transisi pertama (PPT I) dimulai pada pertengahan pertama pada bulan Oktober hingga bulan November, saat periode ini curah hujan sudah mengimbangi jumlah evapotranspirasi dan cocok digunakan untuk penyemaian bibit, Setelah PPT I keadaan pola tanam di Jawa timur mengalami Periode Lembab (PLb) dari bulan November hingga awal bulan Mei, periode ini tanaman diharapkan tumbuh dan berproduksi, kemudian mengalami periode transisi kedua (PPT II) dari awal pertengahan bulan Mei hingga awal Pertengahan bulan Juli, cadangan air berdasarkan ketersediaan curah hujan mulai berkurang dan memasuki periode cadangan (PCd), periode cadangan ini berakhir hingga awal masa PPT I di awal pertengahan bulan Oktober, saat dimulainya PCd di awal pertengahan bulan Juli hingga awal pertengahan bulan Oktober.
IV-11
Periode Basah (PB) merupakan perpotongan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial merupakan periode yang mendapatkan paling banyak air di daerah tersebut sehingga sangat cocok digunakan untuk kebutuhan tanaman. Periode masa tumbuh tersedia merupakan periode yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah evapotranspirasi potensial yang dimulai dari PPT I hingga dimulainya PCd Pada awal pertengahan bulan Juli.
Gambar 10. Hasil pola tanam pada wilayah cluster empat Pola tanam pada wilayah cluster 4, memiliki dua kali persiapan lahan, persiapan lahan pertama (PL I) dimulai saat pertengahan bulan September hingga bulan November, masa persiapan lahan yang pertama ini masih mengalami defisit air karena nilai potensial evapotranspirasi (PET) yang masih tinggi pada bulan selanjutnya mengalami masa transisi pertama (PPT I) yaitu pada bulan November hingga Akhir bulan November, saat periode ini curah hujan sudah mengimbangi
IV-12
jumlah evapotranspirasi dan cocok digunakan untuk penyemaian bibit, Setelah PPT I keadaan pola tanam di Jawa timur mengalami Periode Lembab (PLb) dari akhir bulan November hingga bulan pertengahan bulan Maret, periode ini tanaman diharapkan tumbuh dan berproduksi, kemudian selanjutnya mengalami periode transisi kedua (PPT II) dari pertengahan bulan Maret hingga awal pertengahan bulan Mei, cadangan air berdasarkan ketersediaan curah hujan mulai berkurang dan memasuki periode cadangan (PCd), periode cadangan ini berakhir hingga masa penyiapan lahan kedua (PL II), saat dimulainya PCd di awal pertengahan bulan Mei hingga bulan Agustus adalah periode penyiapan lahan kedua (PL II), masa tanam pada PPT II ini sangat bergantung dari cadangan air pada PPT II. Periode Basah (PB) merupakan perpotongan antara curah hujan dan evapotranspirasi potensial merupakan periode yang mendapatkan paling banyak air di daerah tersebut sehingga sangat cocok digunakan untuk kebutuhan tanaman. Periode masa tumbuh tersedia merupakan periode yang dibutuhkan untuk mengevapotranspirasikan 100 mm air yang masih tersimpan dalam tanah pada akhir musim hujan setelah curah hujan sama dengan atau mendekati setengah evapotranspirasi potensial yang dimulai dari PPT I hingga dimulainya PCd Pada pertengahan awal bulan Mei.
IV-13