BAB IV LSM Haburas dan Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas di Tutuala
“Timor Leste adalah negara yang kecil dan memiliki luas wilayah yang kecil pula, sehingga setelah Timor Leste memperoleh kemerdekaannya, pemerintah dapat melakukan pembangunan di sektor apa saja akan tetapi siapapun tidak dapat memperluas panjang dan lebarnya wilayah Timor Leste, namun apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat Timor Leste supaya negara menjadi lebih besar dan terkenal adalah bahwa semua orang harus bisa melindunggi keaslian dan keindahan alam Timor Leste. Tiap-tiap individu diwajibkan untuk melakukan konservasi terhadap alam agar Timor Leste menjadi surga ekologi di dunia”. (Panglima FALINTIL63, Komandan Nino Conis Santana)
Pengantar Proses pengembangan pariwisata berbasis masyarakat tidak selalu dapat dilakukan tanpa proses pemberdayaan. Wilayah-wilayah yang berkembang sebagai daerah tujuan wisata pada umumnya adalah wilayah-wilayah terpencil karena wilayah-wilayah inilah banyak terdapat daya tarik alam, budaya dan flora fauna lokal (Ashley, Boyd & Goodwin, 2000). Selain pemerintah, LSM juga sering melakukan pelatihan dalam rangka pemberdayaan. Berbagai pelatihan tersebut biasanya di biayai lembaga internasional dan LSM menjadi penyelengara (Wowor, 2011). Wilayah Tutuala merupakan salah satu wilayah terpencil yang terletak di ujung pulau Timor namun memiliki daya tarik alam, budaya dan flora fauna. LSM Haburas adalah salah satu LSM FALINTIL : Forcas Armadas da Libertação de Timor Leste (Angkatan Bersenjata Pembebasan Timor Leste)
63
57
Lokal dalam melakukan kerjasama dengan masyarakat lokal Tutuala untuk mengembangkan usaha pariwisata di pantai Valusere, desa Tutuala yang dibiayai oleh lembaga internasional yakni Uni Eropa. Meskipun Tutuala memiliki daya tarik alam yang menarik bagi wisatawan untuk berkunjung, akan tetapi sampai pada saat ini pemerintah belum melakukan upaya pengembangan pariwisata di wilayah tersebut. Setelah anggota LSM Haburas dan LSM CIDAC melakukan kunjungan ke Tutuala, mereka melihat bahwa masyarakat yang hidup di wilayah tersebut tidak memperoleh keuntungan dari kunjungan wisatawan. Dengan demikian, kedua LSM tersebut melakukan kerjasama untuk mencari dana agar dapat membantu masyarakat lokal di Tutuala untuk mengembangkan usaha pariwisata sehingga masyarakat yang hidup di wilayah tersebut dapat memperoleh pendapatan. Upaya kerjasama yang dilakukan oleh LSM Haburas dan LSM CIDAC akhirnya membuahkan hasil berupa pembiayaan yang diperoleh dari Uni Eropa sehingga LSM Haburas sebagai penyelengara. Untuk menyelengarakan program kegiatan usaha pariwisata berbasis masyarakat oleh LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala membutuhkan beberapa tahapan. Berbagai tahapan keterlibatan LSM Haburas dengan masyarakat lokal akan diuraikan lebih lanjut di bagian ini. Sehingga Pada pembahasan bab empat akan diuraikan tentang kehadiran LSM Haburas di Tutuala dan proses penjajakan awal untuk melaksanakan program kerja, beserta permasalahan yang dihadapi ketika menjalankan program pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Uraian berikut tentang dinamika LSM dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas di Tutuala.
Membangun Pemahaman Tentang Community Based
Tourism LSM Haburas mengawali karya mereka di Tutuala pada tahun 2003. Kegiatan pemberdayaan yang mereka lakukan di Tutuala berawal 58
dari keprihatinan mereka tentang situasi kehidupan masyarakat di Tutuala. Setelah wilayah Tutuala ditetapkan sebagai hutan lindung dalam regulasi UNTAET No. 19 tahun 2000, akses masyarakat lokal terhadap hutan menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu, LSM Haburas terdorong untuk membantu masyarakat di Tutuala, mencari solusi berupa mata pencaharian alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Kehidupan masyarakat di Tutuala sangat tergantung pada hutan atau alam yang mereka miliki. Masyarakat Tutuala memanfaatkan alam untuk aktivitas pertanian berupa penanaman jagung, ubi, singkong dan sayur-mayur. Disamping itu, mereka juga melepaskan binatang peliharaan berupa sapi dan kerbau hidup bebas di lingkungan hutan. Masyarakat lokal Tutuala juga memanfaatkan alamnya untuk kebutuhan rumah tangga yakni memanfaatkan kayu yang digunakan sebagai kayu bakar ketika memasak, dan bambu untuk membangun rumah. Sehingga, dengan adanya regulasi UNTAET tersebut maka membuat kehidupan masyarakat lokal di Tutuala menjadi terbatas. Dari hasil kunjungan awal dan berdasarkan kerjasama yang dibangun dengan LSM CIDAC dan LSM Haburas mengawali karyanya di Tutuala. Program kerja LSM Haburas di Tutuala dapat dibagi dalam beberapa tahapan. Tahap pertama adalah tahap di mana mereka mencoba mendalami terlebih dahulu persoalan yang dihadapi masyarakat. Pada tahap pertama ini juga LSM Haburas melakukan penelitian untuk mengidentifikasi objek wisata dan kehidupan sosial masyarakat lokal di Tutuala. disamping itu LSM Haburas mengidentifikasi konsep-konsep pariwisata bagi masyarakat lokal dan membagi informasi mengenai konsep-konsep tersebut kepada masyarakat lokal di desa Tutuala. pada tahap pertama ini juga LSM Haburas membantu masyarakat lokal untuk membentuk kelompok koperasi dan pelatihan-pelatihan dasar. Tahap kedua adalah tahap di mana LSM Haburas memfasilitasi masyarakat lokal dan melakukan pendampingan untuk membangun atau melakukan konstruksi fisik 59
berupa penginapan, restoran kios dan toilet. Pada tahap ini juga LSM Haburas tetap melakukan capacity building melalui pelatihan dan studi banding. Tahap ke tiga adalah implementasi program usaha pariwisata dan melakukan evalusi. Pada tahap ini juga LSM Haburas masih mengadakan capacity building bagi anggota koperasi Valusere di bidang keuangan, manajemen koperasi. Untuk mulai mendalami persoalan yang dihadapi masyarakat, LSM Haburas mengadakan pendekatan-pendekatan awal kepada masyarakat. Dalam hal ini LSM Haburas mengutus salah satu anggota LSM Haburas bernama Pedrito untuk melakukan observasi di Tutuala. Sebagai orang yang berasal dari Lospalos, Pedrito memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat yang hidup di Tutuala di samping itu, beliau juga menguasai bahasa Fataluku yang merupakan bahasa daerah setempat. Dalam menjalankan misinya, pertama saudara Pedrito menemui bapak Victor, mantan kepala desa dan juga tokoh adat di Tutuala. Pertemuan pertama ini dilakukan pada bulan November tahun 2003. Pada pertemuan ini, saudara Pedrito dari LSM Haburas menjelaskan rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh LSM Haburas di Tutuala. Karena rencana kegiatan ini akan melibatkan masyarakat secara aktif, maka saudara Pedrito meminta bantuan kepada bapak Victor selaku tokoh adat di Tutuala membantu dalam sosialisasi program kerja LSM Haburas kepada masyarakat lokal di Tutuala. Pada waktu itu, bapak Victor berjanji untuk mendukung program LSM Haburas yang akan dilakukan di Tutuala sehingga dapat membantu masyarakat lokal meningkatkan pendapatan. Pada bulan Desember tahun 2003, LSM Haburas kembali mengutus saudara Pedrito melakukan observasi kedua di Tutuala. Dalam kunjungan ini, selain menemui pak Victor untuk melakukan diskusi tahap kedua, saudara Pedrito juga memilih untuk bertemu dengan ibu Angelina. Beliau memilih untuk bertemu dengan ibu Angelina, karena pada saat itu ibu Angelina adalah seorang guru SD yang pintar berbahasa Portugis dan memiliki pengalaman 60
berorganisasi. Disamping itu, ibu Angelina juga sudah memiliki penginapan sederhana serta mempersiapkan akomodasi bagi para tamu yang membutuhkan penginapan dan akomodasi di Tutuala sebelum melanjutkan perjalanan ke pantai Valu dan pulau Jaco. Pada pertemuan tersebut, ibu Angelina mengusulkan agar LSM Haburas membantu masyarakat mengembangkan pariwisata di Tutuala. Pada kesempatan ini juga, saudara Pedrito meminta bantuan kepada ibu Angelina membantu LSM Haburas melakukan sosialisasi mengenai program pariwisata yang akan dikembangkan di Tutuala. Pada awalnya LSM Haburas menghadapi kendala dalam membangun pariwisata berbasis komunitas di Tutuala. Hambatan utama bagi LSM Haburas adalah cara untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat lokal dan mengubah cara pemikiran masyarakat agar mereka benar-benar mengerti bahwa kegiatan yang akan dilakukan oleh LSM Haburas di wilayah Tutuala akan memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Persoalan pertama adalah rendahnya respons masyarakat pada saat akan diselenggarakannya dialog. Upaya awal LSM Haburas untuk mengumpulkan masyarakat untuk berdialog mengenai usulan pembangunan pariwisata berbasis komunitas di Tutuala kurang mendapat respons dari masyarakat. Masyarakat lebih memilih mengerjakan pekerjaan mereka sehari-hari daripada meluangkan waktu untuk menghadiri pertemuan. Persoalan lain yang harus dihadapi LSM Haburas terkait dengan sikap masyarakat mengenai rencana program kerja. Pada waktu itu masyarakat di Tutuala berasumsi bahwa LSM Haburas datang memberikan bantuan materi untuk mereka. Dalam pengalamanpengalaman mereka sebelumnya, mereka terbiasa untuk mendapatkan berbagai bantuan dari pemerintah pusat maupun LSM dalam bentuk penyediaan fasilitas air bersih, pendidikan, kesehatan, jalan raya dan kebutuhan listrik. Ketika mereka terlibat dalam pembangunan fasilitasfasilitas tersebut maka mereka akan memperoleh upah. 61
Karena hambatan-hambatan di atas, maka LSM Haburas mengubah strategi mereka dengan terjun langsung melakukan pendampingan yakni kegiatan yang dilakukan oleh anggota koperasi Valusere tetap melibatkan anggota LSM agar bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat. Staff LSM Haburas melakukan kunjungan rutin ke Tutuala selama dua minggu sekali, ada anggota LSM Haburas yang menetap di Tutuala sampai dengan satu atau dua bulan. Akhirnya masyarakat lokal memberikan sebuah rumah di Tutuala kepada LSM Haburas untuk dipakai sebagai penginapan selama melakukan kunjungan di Tutuala. Dalam melakukan pendampingan, staf dari LSM Haburas menggunakan metode pendekatan partisipatis di mana mereka terlibat dalam aktivitas warga lokal. Melalui keterlibatan langsung dengan masyarakat, mereka dapat melakukan kajian awal mengenai situasi kehidupan masyarakat lokal serta aktivitas wisatawan di lokasi. Namun demikian proses ini tidak mudah bagi anggota LSM Haburas, karena proses pertemuan yang dilakukan oleh anggota LSM Haburas sering berbenturan dengan berbagai aktivitas kehidupan sosial masyarakat di Tutuala. Dengan demikian anggota LSM Haburas memilih waktu luang untuk melakukan dialog dan diskusi dengan masyarakat lokal. Melalui proses diskusi bersama antara LSM Haburas dengan masyarakat lokal di wilayah Tutuala terdapat perbedaan ide. Perbedaan ide di antara masyarakat lokal, perbedaan ide antara anggota LSM Haburas dengan masyarakat lokal. Pada tahap ini LSM Haburas membutuhkan satu tahun untuk mencapai kesepahaman mengenai bentuk pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang akan dikembangkan di wilayah ini. Masyarakat lokal di Tutuala juga menginginkan agar benarbenar mengerti karakteristik pembangunan pariwisata berbasis masyarakat sebelum program ini diimplementasikan di wilayah Tutuala. Dengan demikian anggota LSM Haburas melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk menganalisis perbedaan ide yang muncul di masyarakat. Melalui metode diskusi fokus group yang 62
dilakukan pada akhir tahun 2004 dengan tujuan untuk menyatukan ide bersama serta membantu masyarakat lokal dalam menyampaikan pendapat di tempat umum. Akhirnya, melalui Focus Group Discussion (FGD) ini masyarakat lokal sudah mulai mengembangkan pemikiran mereka, anggota masyarakat mulai memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat di depan umum, sebagian masyarakat sudah mulai mengungkapkan kemauan untuk bergabung dan melakukan kolaborasi dengan LSM Haburas dalam melaksanakan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Tutuala. Dalam pelaksanaan diskusi antara LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala, anggota LSM Haburas berusaha untuk menjawab semua pertanyaan dan keluhan secara teliti. Anggota LSM Haburas juga tidak menjanjikan hal-hal yang berada di luar tanggung jawab LSM Haburas, untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat juga perlu ketelitian agar tetap menjaga keharmonisan antara LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala. Kadang-kadang pertanyaan yang muncul dari masyarakat terdapat kecurigaan dari masyarakat terhadap LSM Haburas. Terdapat juga pemikiran yang negatif dari masyarakat lokal terhadap LSM Haburas bahwa LSM datang ke Tutuala memiliki tujuan untuk memanfaatkan sumberdaya alam untuk kepentingan LSM bukan kepentingan masyarakat. Dari berbagai pertanyaan yang muncul dan menyudutkan LSM Haburas, namun demikian anggota LSM Haburas menganggap bahwa tantangan tersebut adalah sesuatu yang normal dan harus dihadapi dengan dialog yang dilakukan antara LSM Haburas dengan masyarakat lokal. Anggota LSM Haburas tetap pada prinsipnya bahwa kegiatan yang akan dilakukan di Tutuala adalah sebuah kegiatan pembangunan yang melibatkan masyarakat demi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan di masyarakat lokal Tutuala. Dari berbagai dialog dan upaya pendampingan anggota LSM Haburas dengan masyarakat lokal Tutuala dapat membangun kesadaran masyarakat lokal. membangun kesadaran masyarakat mengenai hutan lindung agar timbul rasa memiliki dalam diri 63
masyarakat terhadap hutan lindung. Membangun kesadaran masyarakat bahwa lingkungan mereka sangat berharga bagi mereka sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Membangun kesadaran masyarakat bahwa mereka bisa berbuat sesuatu untuk meningkatkan kehidupan ekonomi bagi generasi mereka sekarang ini maupun bagi generasi mereka yang akan datang. Dari dialog ini pula dapat menghasilkan titik terang bagi LSM Haburas mengenai situasi riil yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah Tutuala. Sehingga LSM Haburas dapat menetapkan jenis prioritas yang akan dilakukan bagi masyarakat di Tutuala.
Keterlibatan LSM Haburas dalam Pembentukan Koperasi Pada pertemuan lain, setelah adanya kesepakatan dari masyarakat lokal untuk memulai kegiatan pariwisata dilakukan oleh LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala pada awal tahun 2005. Dalam pertemuan ini, LSM Haburas mulai memfasilitasi masyarakat lokal yang memiliki kemauan sendiri dan telah memiliki gambaran untuk menjalankan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat. Hal ini dilakukan oleh LSM Haburas berdasarkan pendampingan awal yang dilakukan oleh anggota LSM Haburas bagi masyarakat lokal di Tutuala. Setelah anggota LSM Haburas melakukan studi di Tutuala sebagai sebuah referensi untuk menganalisis situasi sebagai modal dasar bagi proses pembangunan dengan metode partisipatif untuk mengimplementasikan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di wilayah Tutuala. LSM Haburas juga membagi informasi kegiatan pariwisata di Tutuala kepada pemerintahan yang berwenang di Dili. Dalam hal ini, LSM Haburas membagi informasi kepada pemerintah yang memiliki hubungan dengan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Tutuala. Departemen yang memiliki kaitan dengan pariwisata berbasis masyarakat di Tutuala antara lain: Departemen Pariwisata, Departemen Kehutanan, Departemen Perikanan, Departemen Sumber Daya Alam 64
serta Departemen Ekonomi. Pada dasarnya kegiatan pariwisata berbasis masyarakat yang dilakukan oleh LSM Haburas bersama masyarakat lokal di Tutuala mendapatkan dukungan moral dari pemerintah melalui departemen tersebut diatas. Pemerintah mendukung kegiatan pariwisata ini karena dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil. Puncak pertemuan antara LSM Haburas dengan masyarakat lokal di Tutuala diadakan pada tanggal 29-30 Maret 2005 di Tutuala. Pada pertemuan ini, anggota LSM Haburas yang hadir adalah Direktur dan anggota LSM Haburas yang telah melakukan berbagai observasi dan diskusi dengan masyarakat lokal. Tokoh-tokoh masyarakat di Tutuala yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah kepala desa, tokoh adat, kaum perempuan, kaum muda yang tergabung dalam struktur kaum muda di desa Tutuala. Pertemuan puncak ini diadakan untuk mendengar pendapat dari masyarakat lokal dan memutuskan tujuan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang akan dikembangkan di Tutuala. Karakteristik daripada pertemuan komunal ini menggunakan metode dialog. LSM Haburas memperkenalkan organisasi LSM Haburas kepada masyarakat yang hadir dalam pertemuan tersebut. Dialog mengenai tujuan dari pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menjadi topik utama dalam pertemuan tersebut. Anggota LSM Haburas yang memfasilitasi pertemuan tersebut menjelaskan secara detail program kerja yang akan diadakan di Tutuala dalam waktu dekat. Pada pertemuan ini juga masyarakat lokal menyampaikan pendapatnya secara kritis. Namun demikian, pada akhir pertemuan tersebut, kepala desa dan tokoh adat di Tutuala serta mayoritas penduduk yang ikut dalam pertemuan tersebut mendukung agar program pariwisata berbasis masyarakat yang akan dikembangkan di Tutuala dapat direalisasikan dalam waktu dekat. LSM Haburas merasa bahwa perlu dibentuknya sebuah wadah bagi masyarakat yang akan terlibat dalam kegiatan pariwisata dalam bentuk koperasi yang diberi nama Koperasi Valusere. Anggota koperasi sebanyak 67 orang dengan komposisi 44 orang anggota laki-laki dan 23 65
orang anggota perempuan. Mereka merupakan perwakilan keluarga dari 12 marga (Klan) yang ada di Tutuala. Proses dalam persetujuan untuk memilih perwakilan dari masing-masing marga (Klan) untuk menjadi anggota koperasi Valusere ditetapkan melalui pertemuan dalam masing-masing marga (klan). Koperasi Valusere dimaksudkan untuk menjadi wadah bagi aspirasi masyarakat lokal dan mempermudah anggota LSM Haburas untuk melakukan diskusi mengenai program kerja mereka. Dalam menjalankan tugasnya, para anggota koperasi dibagi dalam 7 kelompok kerja. Masing-masing kelompok beranggotakan antara 10 sampai dengan 15 orang. Setelah terbentuknya kelompok, masing – masing memilih seseorang yang akan menjadi koordinator kelompok. Dan selanjutnya, mereka secara demokratis memilih seorang koordinator umum untuk memimpin koperasi.
Program Kerja LSM Haburas di Tutuala Setelah terbentuk kesepakatan untuk membangun koperasi, bersamasama dengan LSM Haburas, masyarakat Tutuala melalui koperasi Valusere merumuskan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi. Salah satu kesepakatan penting yang mereka rumuskan adalah bahwa Koperasi Valusere mendasarkan pembangunan pariwisatanya pada tiga pilar agar pariwisata yang berkembang di wilayah Tutuala adalah pariwisata berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Ketiga pilar tersebut antara lain: mempertahankan nilainilai ekologi, mempertahankan nilai-nilai sosial dan budaya, meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. Dengan demikian, berikut ini akan dibahas pembangunan pariwisata berkelanjutan berdasarkan tiga pilar yang terdapat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi Valusere. Mempertahankan Nilai-nilai Ekologi Dalam praktek sehari-hari, masyarakat Tutuala menjalani kehidupan yang harmonis dengan alam. Masyarakat lokal Tutuala memiliki etika 66
yang menghargai tempat sakral dengan nilai ekologi yang tinggi. Misalnya upacara Lupurasa merupakan salah satu jenis upacara larangan yang dilakukan masyarakat lokal Tutuala untuk melarang masyarakat menggunakan beberapa sumber daya alam. Apabila upacara Lupurasa telah diadakan, masyarakat tidak boleh mengambil sumber daya alam yang telah dilarang tersebut. Jika terdapat anggota masyarakat yang melanggar maka akan dikenakan sanksi berupa pemotongan kerbau atau sapi maupun babi. Setelah larangan tersebut berakhir maka akan diadakan lagi upacara yang diberi nama upacara Masule dimana upacara tersebut diadakan untuk mengizinkan masyarakat agar dapat memanfaatkan kembali sumber daya alam tersebut. Contoh lainnya adalah Pulau Jaco, Pulau ini terdapat satwasatwa liar sepert Rusa, berbagai jenis burung, ular, di pingir pantai para wisatawan dapat melihat berbagai jenis penyu serta memiliki hamparan hutan yang indah dan sejuk. Para wisatawan yang berkunjung ke pulau Jaco tidak diperbolehkan untuk menginap disitu. Sudah menjadi turun temurun bagi masyarakat lokal Tutuala bahwa pulau tersebut dianggap sakral dan tidak ada orang yang boleh tinggal maupun menginap di pulau Jaco, wisatawan maupun masyarakat setempat secara adat telah dilarang untuk melakukan kegiatan berburu di pulau tersebut serta tidak ada kegiatan lain yang merusak alam di pualu tersebut. Dengan demikian maka nilai-nilai keasliannya akan tetap melekat di pulau tersebut. Masyarakat keturunan Chailoro menggunakan batu datar di pingir pantai Jon untuk melakukan upacara ritual dan memanggil nenek moyang mereka sebagai salah satu simbol untuk menarik ikan. Ketika tokoh adat melakukan ritual pemangilan, ikan-ikan akan berenan ke dekat pantai. Setelah tokoh adat melihat bahwa ikan-ikan sudah berada di dekat pantai maka beliau akan mengizinkan nelayan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Para nelayan hanya boleh menangkap ikan untuk konsumsi sendiri dan konsumsi untuk keluarga, hasil tangkapan ikan tersebut tidak untuk dijual. Upacara pemangilan ikan dilakukan pada saat keadaan laut dan cuaca tidak memungkinkan bagi para nelayan menggunakan perahu untuk melaut. Ketika masyarakat dari keturunan lain maupun dari 67
daerah lain ingin melakukan penangkapan ikan di pantai Jon maka terlebih dahulu mereka harus meminta izin kepada para nelayan dari keturunan Chailoro (Chailoro klan). Jika nelayan dari keturunan lain maupun daerah lain tidak meminta izin kepada nelayan dari keturunan Chailuro klan maka mereka akan menanggung resiko berupa nasib buruk atau bahkan kematian. Dengan demikian, keindahan dan keaslian alam Tutuala tetap bertahan. Namun demikian, mengingat pengalaman serta pengetahuan mengenai kegiatan pariwisata serta dampaknya terhadap lingkungan masih minim, LSM Haburas merasa perlu untuk melakukan pendampingan intensif terhadap para pengelola koperasi Valusere. Beberapa hal yang dilakukan oleh LSM Haburas antara lain, pertama, membangun kesadaran para anggota koperasi mengenai implikasi dan manfaat dari keberadaan Tutuala sebagai taman nasional dan daya tarik wisata. Kedua, mengembangkan rasa tanggung jawab dalam kegiatan pariwisata yang dikembangkan oleh koperasi Valusere di lingkungan taman nasional di Tutuala. Langkah awal yang dilakukan bersama dengan para anggota Koperasi Valusere adalah memasukkan unsur pemeliharaan ekologi dalam anggaran dasar koperasi. Dalam anggaran dasar pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa salah satu misi koperasi Valusere adalah meningkatkan kapasitas sumber daya masyarakat Tutuala tanpa mengabaikan keberlanjutan lingkungan. Dalam rangka mencapai apa yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar Koperasi Valusere, LSM Haburas melakukan pendampingan dalam pengelolaan Tutuala sebagai daya tarik wisata. Pertama, penerapan manajemen sampah. Manajemen sampah sebagai salah satu bagian penting untuk mempertahankan nilai ekologi. Manajemen ini dilakukan melalui pengolahan air limbah dari toilet. Air kotor yang berasal dari toilet tidak secara langsung dibuang melalui saluran pembuangan dan mengalir ke laut. Akan tetapi air limbah tersebut diproses melalui bak yang telah terisi dengan batu kapur. Dari bak penampungan tersebut, air limbah akan masuk kembali kebawah 68
tanah melalui proses alami. Sampah organik yang berasal dari kaleng bekas minuman ringan maupun beer dan aluminum dikumpulkan dan dijual kembali. Botol plastik dari minuman dikumpulkan pada tempat tersendiri dan sebagian digunakan oleh masyarakat lokal untuk menimpan tuak putih dan air madu untuk dijual kepada konsumen. Sampah – sampah organik dikumpulkan tersendiri untuk dijadikan sebagai pupuk kompos. Mempertahankan Nilai-nilai Budaya LSM Haburas dalam kerjasama dengan koperasi Valusere tetap melindungi dan mempertahankan nilai socio-kultural masyarakat lokal Tutuala. Masyarakat lokal Tutuala masih berpegang pada prinsip sosial. Selalu ada interaksi dan kerjasama dalam bidang-bidang sosial, saling membantu dan terdapat interaksi antara budaya adat lokal. Salah satu contohnya adalah upacara Lipale. Upacara ini adalah upacara pertemuan keluarga pengantin perempuan dan laki-laki. Sebelum upacara ini dimulai, keluarga dari pengantin laki-laki berkumpul bersama di rumah untuk mengumpulkan ternak berupa sapi, kerbau, kambing serta uang untuk diantarkan ke upacara Lipale. Sedangkan keluarga pengantin perempuan berkumpul di rumah perempuan untuk menyiapkan barang-barang berupa beras, pakaian tradisional serta ternak babi. Setelah barang-barang terkumpul maka upacara Lipale diadakan. Selesai upacara maka barang-barang yang telah dikumpulkan tersebut sebagian dipakai untuk makan bersama sebagian lagi akan diberikan kepada keluarga pengantin pria maupun keluarga pengantin wanita. Namun demikian, LSM Haburas melihat bahwa kerja sama dan saling membantu antara masyarakat lokal hanya digunakan dalam halhal sosial berupa acara adat, acara pernikahan maupun anggota masyarakat yang meninggal. Sehingga LSM Haburas memanfaatkan kekayaan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarak lokal menjadi kerjasama untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. LSM Haburas mengidentifikasi nilai-nilai budaya masyarakat lokal Tutuala. Relasi antara masyarakat lokal dengan alam. Hubungan antara masyarakat lokal di Tutuala dengan alam adalah sesuatu yang 69
khusus dan unik sehingga berbeda dengan distrik lain di Timor Leste. Terdapat dimensi religius bagi masyarakat lokal dalam praktek ritual budaya. Salah satu ritual budaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat lokal Tutuala adalah ritual Tei Fai atau biasa disebut dengan thanksgiving. Upacara ini diadakan pada saat panen jagung maupun panen padi. Masyarakat percaya bahwa sebelum melakukan ritual Tei Fai maka mereka tidak akan makan jagung muda maupun beras yang baru panen. Setelah mereka melakukan ritual Tei Fai untuk mengucapkan syukur dan berterimakasih kepada nenek moyang mereka baru bisa mengkonsumsi jagung muda maupun beras. Kata Uru-Vacu merupakan salah satu bentuk pangilan yang digunakan dalam doa-doa mereka untuk mengungkapkan keyakinan masyarakat dalam kekuatan alam. Masyarakat Tutuala percaya bahwa alam yang merupakan sumber dari segala cahaya dan energi di dunia. Mereka percaya bahwa kehidupan manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam yang dapat diubah melalui elemen biotik dan abiotik dari dalam alam. Ini digambarkan oleh masyarakat lokal Tutuala mengacu pada buaya yang merupakan nenek moyang mereka, atau dalam bahasa tetum mereka memanggil buaya sebagai abo. Hal ini dilakukan untuk mengungkapkan hubungan yang unik antara manusia dengan alam. Hubungan masyarakat lokal dengan rumah adat. Struktur dan rumah adat di Lautem dan Tutuala telah menjadi simbol dari rumah adat tradisional Timor Leste. Rumah adat tersebut memiliki nilai seni, nilai sejarah dan nilai spiritual. Pada atap rumah adat tradisional tersebut tersimpan benda yang dianggap suci. Benda tersebut merupakan warisan dari nenek moyang secara turun temurun. Masyarakat lokal Tutuala menggunakan lingkungan di sekitar rumah adat sebagai tempat doa dan melakukan komunikasi dengan para leluhur mereka. Rumah adat dan lingkungan sekitarnya dianggap sebagai tempat suci dan sakral. Upacara ritual yang dilakukan di sekitar rumah adat dilakukan menurut keturunan (clan) masing-masing. Masyarakat Tutuala dan Lospalos menyebut rumah adat ini dengan istilah Acakaka (dalam bahasa Fataluku/Lospalos). 70
Nilai-nilai budaya masyarakat lokal tersebut adalah kekayan tersendiri. Pada berbagai pertemuan dengan masyarakat lokal Tutuala, LSM Haburas tetap memberikan rekomendasi kepada pemerintah lokal Tutuala, tokoh-tokoh adat di Tutuala serta anggota koperasi Valusere untuk tetap mempertahankan nilai-nilai socio cultural. Nilai-nilai ekologi dan socio cultural dipertahankan dan ditingkatkan, maka Tutuala masih menunjukkan keaslian alam dan budayanya, sehingga para wisatawan akan tetap melakukan kunjungan di Tutuala. Dengan demikian, maka masyarakat Tutuala akan memperoleh keuntungan secara ekonomi melalui kegiatan pariwisata yang dikelola oleh anggota koperasi Valusere. Meningkatkan Ekonomi Masyarakat lokal LSM Haburas bekerjasama dengan koperasi Valusere untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. LSM Haburas melihat bahwa masyarakat lokal Tutuala memiliki sumberdaya alam yang indah, kaya akan sosial budaya. Wilayah mereka sering dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun wisatawan internasional. Namun demikian, masyarakat lokal Tutuala hanya sebagai penonton di daerah sendiri. Wisatawan datang ke wilayah Tutuala untuk menikmati keindahan alam dan keindahan laut Tutuala tetapi masyarakat lokal tidak memperoleh manfaat ekonomi dari kunjungan wisatawa. Dengan demikian, maka LSM Haburas merasa terdorong untuk bekerjasama dengan masyarakat lokal Tutuala untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui kegiatan pariwisata. Koperasi Valusere dalam anggaran dasar pasal 4 ayat 1 berbicara mengenai misi koperasi Valusere untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal melalui kegiatan pariwisata. Berdasarkan misi tersebut, koperasi Valusere bekerjasama dengan LSM Haburas melakukan bangunan fisik. Program kerja yang dilakukan pada tahap ini antara lain : memperbaiki jalan raya sepanjang 8 km dari Tutuala ke pantai Valu, membangun penginapan tradisional dan restoran, membangun kamar mandi atau toilet, menyediakan fasilitas air bersih. 71
Perbaikan jalan raya sepanjang 8 km dari Tutuala ke Pantai Valu. Untuk mencapai pada lokasi wisata di pantai Valu dan menuju ke pulau Jaco menempuh jarak 8 km dari wilayah Tutuala. Jalan raya menuju pantai Valu telah mengalami kerusakan. Pada tahap ini LSM Haburas bekerjasama dengan masyarkat lokal Tutuala untuk melakukan rehabilitasi jalan raya. LSM Haburas menyediakan bahan bangunan berupa semen, pasir dan batu. Masyarakat lokal yang melakukan pekerjaan fisik. Upah yang didapat oleh masyarakat lokal untuk perbaikan jalan raya sebesar US$ 3,00 per orang per hari atau setara dengan Rp. 39.000,-. Dana untuk rehabilitasi jalan raya berasal dari Uni Eropa dan dikelola oleh LSM Haburas bagi kepentingan masyarakat lokal Tutuala. LSM Haburas kerjasama dengan Koperasi Valusere dalam menyediakan fasilitas pariwisata di pantai Valu. Fasilitas pariwisata yang dibangun mempertimbangkan pemandangan pantai yang menarik. Lokasi fasilitas yang dibangun terletak pada posisi yang strategis, diantara gunung dan laut sehingga memiliki daya tarik tersendiri. Pada saat itu dibangun 5 bungalow tradisional dengan kapasitas 7 kamar tidur bagi 14 orang tamu. Dibangun pula dapur, pondok untuk pengelolaan restoran dan sebuah ruangan untuk kios. Untuk memfasilitasi anggota koperasi Valusere dalam pengelolaan pariwisata, maka dibangun pula sebuah penginapan khusus bagi anggota koperasi Valusere. LSM Haburas dalam pembangunan fisik hanya memberikan pendampingan bagi anggota koperasi Valusere. Semua pembangunan fisik yang dilakukan merupakan hasil kerja keras dari semua anggota koperasi Valusere. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembangunan fisik ini adalah bahan lokal yang terdapat di Wilayah Tutuala. Masingmasing anggota kelompok memiliki tanggung jawab untuk mengumpulkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk memfasilitasi pembangunan fisik. Pendampingan LSM Haburas dalam pembangunan kamar mandi dan WC. Pada pembangunan kamar mandi dan WC, LSM 72
Haburas melakukan pendampingang khusus bagi anggota koperasi Valusere. Hal ini disebabkan kamar mandi dan WC menghasilkan limbah dan air kotor. Pembangunan ini disamping menggunakan bahan lokal, membutuhkan juga bahan-bahan impor lainnya berupa semen, kloset duduk dan kloset jongkok, pasir serta batako. Bahanbahan bangunan tersebut didatangkan oleh LSM Haburas, anggota koperasi Valusere yang melakukan pembangunan fisik. Setelah pembangunan fisik selesai, hambatan utamanya adalah air bersih. LSM Haburas dan anggota masyarakat lokal mencari solusi untuk menyelesaikan masalah air bersih. Untuk menyediakan air bersih, LSM Haburas mendatangkan teknisi dari Dili ke Tutuala untuk menyediakan air bersih. Dalam proses penyediaan air bersih, teknisi yang didatangkan dari Dili melakukan pengeboran air di kaki gunung yang berjarak satu kilometer dari lokasi pariwisata koperasi Valusere. Dengan demikian, setelah melakukan pengeboran dengan kedalam 60 meter, mendapatkan air bersih. Namun demikian air bersih yang ada tersebut hanya bisa digunakan untuk mandi, cuci dan kebersihan. Air tersebut tidak dapat digunakan untuk memasak dan minum karena masih ada rasa asin. LSM Haburas berusaha untuk mencari solusi agar mendatangkan air dari Pitileti yang berjarak 6 km dari pantai Valu. Namun demikian LSM Haburas melihat bahwa masyarakat yang mayoritas hidup di wilayah Tutuala belum memperoleh air bersih dan membutuhkan jarak 2 km untuk memperoleh air bersih. Dengan demikian LSM Haburas melakukan diskusi dengan anggota kelompok Valusere supaya mereka bisa menyediakan air bersih untuk kebutuhan makan dan memasak, sedangkan air yang telah dibor tersebut digunakan untuk mandi, cuci dan kebersihan. Akhirnya terjadilah kesepakatan antara LSM Haburas dengan anggota koperasi valusere, sehingga sampai saat ini, anggota koperasi valusere dengang giat dan rajin mengambil air untuk kebutuhan memasak dengan jarak 6 km dari lokasi kegiatan pariwisata.
73
Program Kerja LSM Haburas Melalui Pelatihan Untuk mendukung kegiatan pariwisata bagi anggota koperasi Valusere maka LSM Haburas mengadakan pelatihan dan studi banding. Prinsip yang digunakan oleh LSM Haburas dalam pelatihan adalah menggunakan metode partisipatif aktif. Dengan demikian maka terciptanya pemikiran kritis dari anggota koperasi sehingga terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan anggota koperasi. Metode partisipatif yang digunakan dalam pelatihan melalui sebuah prinsip bahwa tidak ada pelatih maupun tidak ada peserta. Anggota koperasi Valusere yang merupakan peserta dan anggota LSM Haburas yang merupakan pelatih dalam pelatihan semuanya memiliki posisi yang sama yakni semua peserta adalah guru dan murid. Hal penting yang dilakukan dalam pelatihan adalah saling membagi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pelatih maupun peserta. Jenis pelatihan yang dilakukan berdasarkan kebutuhan dari anggota koperasi Valusere. Pelatihan yang diadakan bisa melibatkan seluruh anggota koperasi dan ada pelatihan yang hanya diikuti oleh utusan dari anggota koperasi. Untuk memilih utusan dari anggota koperasi dalam menggikuti pelatihan maka diadakan rapat bersama supaya memilih anggota secara demokrasi dan melihat anggota mana yang pantas untuk menggikuti pelatihan tersebut. LSM Haburas hanya melakukan koordinasi dengan kooperasi Valusere, semua keputusan diambil oleh anggota koperasi melalui rapat anggota. LSM Haburas yang akan mengorganisir setiap anggota yang akan mengikuti pelatihan. Dana untuk menggikuti pelatihan berasal dari LSM Haburas. Mulai dari pemberangkatan ke tempat pelatihan, proses menggikuti pelatihan dan kembali lagi ke tempat semuanya diorganisir oleh LSM Haburas. Berikut akan dibahas jenis – jenis pelatihan yang di fasilitasi oleh LSM Haburas kepada anggota koperasi Valusere:
74
Pelatihan kerajinan bambu Pelatihan kerajinan bambu adalah untuk meningkatkan kreativitas anggota koperasi dalam menghasilkan berbagai jenis forniture dari bambu. Untuk memilih anggota yang akan menggikuti pelatihan tersebut ditentukan oleh anggota kelompok melalui suatu rapat, LSM Haburas hanya melakukan koordinasi dengan kelompok Valusere, untuk memilih anggota yang ikut pelatihan sepenuhnya diserahkan kepada kelompok Valusere untuk menentukan anggota mana yang cocok dan rajin serta mempunyai kemauan untuk mengikuti pelatihan agar setelah selesai pelatihan diharapkan dapat mengimplementasikan dalam kelompok Valusere. Pada pelatihan kerajinan bamboo ini, kelompok Valusere melalui LSM Haburas mendapat jatah untuk 2 orang anggota yang akan mengikuti pelatihan tersebut. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pelatihan yang terbatas sebab pelatihan ini dibuka bagi semua kelompok yang berada di Timor Leste. Disamping itu karena diperhitungkan pula biaya akomodasi, tempat penginapan serta biaya transportasi untuk semua peserta pelatihan yang mengikuti pelatihan tersebut. Oleh karena itu, setelah melalui sebuah rapat di pantai Valu yang dihadiri oleh staf LSM Haburas yakni saudara Pedrito, maka forum memilih saudara Juviano dan saudara Nus karena melihat bahwa mereka masih mudah dan rajin dalam berbagai kegiatan yang diadakan didalam kelompok Valusere sehingga merekalah yang memiliki hak untuk mengikuti pelatihan bambu. Pelatihan ini difasilitasi oleh LSM Sahe dan mendapat bantuan dana dari sebuah LSM Internasional yakni USAID. Kedua LSM tersebut mendatangkan 2 orang teknik atau pelatih dari luar negeri, yakni : 1 orang dari Indonesia dan 1 orang dari Nicaragua. Mereka berdua adalah ahli di bidang kerajinan bambu yang didatangkan untuk memberikan pelatihan bagi masyarakat Timor Leste. pelatihan ini dilakukan di Bucoli, sub distrik Baucau, distrik Baucau dengan durasi waktu dalam pelatihan selama satu bulan. Pelatihan ini dilakukan secara rutin mulai dari jam 8 pagi sampai dengan jam 6 sore dan 75
dilakukan 6 hari dalam seminggu, khusus hari minggu baru istirahat. Pelatihan ini diadakan pada tahun 2005 dan pada saat itu penginapan dan restoran di pantai Valu belum dibangun. Berbagai kegiatan yang diajarkan dalam pelatihan ini adalah cara menggunakan bambu untuk meningkatkan kreatifitas dalam memproduksi mejas, kursi, lemari serta diajarkan pula berbagai macam teknik menganyam bambu untuk membuat dinding rumah serta atap rumah. Setelah mengikuti pelatihan ini, kedua orang anggota tersebut kembali ke Tutuala dan mengimplementasikan kerajinan yang telah mereka peroleh untuk membangun penginapan atau pondok kecil di pingir pantai Valusere. Dua orang anggota ini juga dapat memproduksi beberapa jenis forniture berupa meja, kursi dan lemari yang mereka jual kembali kepada masyarakat lokal di Tutuala. Pelatihan manajemen dan akuntansi Bidang manajemen dan akuntansi keuangan merupakan faktor yang sanggat penting untuk dapat menghasilkan proses pembangunan berkelanjutan di dalam organisasi koperasi Valusere. Dengan demikian, maka 10 orang anggota koperasi Valusere diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan tersebut. Mereka diberi pelatihan mengenai book keeping, manajemen pemasukan dan pengeluaran (aliran uang masuk dan uang keluar) untuk kebutuhan koperasi sehari hari. Mereka juga diajarkan bagaimana cara mengisi formulir keuangan untuk keperluan pelaporan harian, minguan, bulanan serta triwulan. Para anggota yang menggikuti pelatihan juga belajar prinsip dasar akuntansi serta pentingnya keberlanjutan koperasi tersebut bagi penduduk lokal. Pelatihan manajemen dan akuntansi ini dilakukan di pantai Valu, yang memberikan pelatihan ini adalah saudara Demetrio (Ex. Direktur LSM Haburas) dibantu oleh saudara Pedrito, karena saudara Pedrito yang merupakan putra daerah Lospalos dan bisa berbahasa daerah. Didalam pelatihan ini, pelatih menggunakan pendekatan partisipatif yakni saudara Demetrio dan saudara Pedrito tinggal dengan anggota kelompok di pantai Valusere, menggikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok. Mereka tidak mengangap diri 76
sebagai pelatih atau trainer akan tetapi menjadikan diri sebagai teman bagi anggota kelomppok Valusere sehingga lebih mudah untuk mengajarkannya. Pada waktu ita tidak ada materi yang dipersiapkan secara formal untuk diajarkan namun menggikuti kegiatan yang dilakukan oleh anggota kelompok Valusere, membimbing masyarakat mengenai dasar-dasar manajemen dan dasar-dasar akuntansi. Kegiatan yang dapat dibimbing berupa pencatatan semua pengeluaran untuk belanja, memperhitungkan harga yang dikenakan untuk setiap konsumen yang datang berkunjung agar jangan mengalami kerugian, mencatat semua pemasukan yang diperoleh tiap hari agar lebih gampang dalam membuat laporan mingguan, bulanan maupun triwulan. Pelatihan ini dilakukan secara rutin yakni tiap bulan Saudara Demetrio dan saudara Pedrito harus berkunjung ke Tutuala 1 sampai 2 kali. Selama kunjungan mereka harus hidup dan mengikuti setiap kegiatan sehingga membutuhkan 2 sampai 3 hari berada di pantai Valu. Dengan demikian maka sanggat menyta waktu bagi saudara Demetrio karena beliau adalah seorang Direktur maka mencari mekanisme lain untuk melakukan pelatihan ini. Pada akhirnya LSM Haburas memutuskan untuk membuka lowongan kerja bagi mereka yang sedang belajar di Universitas dengan syarat bahwa orang tersebut sudah bebas teori di kampus, adalah orang Lospalos yang pintar berbahasa daerah (bahasa Fataluku) dan siap untuk tinggal di Tutuala selama satu sampai tiga bulan untuk membantu masyarakat di pantai Valu. Akhirnya LSM Haburas dapat merekrut saudara Cancio sebagai staff LSM Haburas dari tahun 2008 sampai sekarang. Dengan demikian, maka saudara Cancio yang mengambil alih pelatihan manajemen dan akuntansi bagi kelompok Valusere Tutuala. Sistim pelatihan yang digunakan masih tetap sama yakni partisipatif. Saudara Cancio pada tahun 2008 selama tiga bulan yakni dari bulan Mei sampai dengan bulan Aggustus hidup dengan kelompok Valusere di Tutuala untuk mengikuti dan membimbing semua aktivitas kelompok tersebut. 77
Saudara Cancio membagi pelatihan ini dalam empat kelompok, yakni: untuk kelompok pertama dengan anggota yang mengikuti pelatihan adalah bendahara umum, ketua kelompok I, bendahara kelompok I dan wakil bendahara kelompok I. Kelompok kedua juga terdiri dari bendahara umum, ketua kelompok II, bendahara kelompok II, wakil bendahara kelompok II. Kelompok ketiga terdiri dari bendahara umum, ketua kelompok III, bendahara kelompok III dan wakil bendahara kelompok III. Kelompok empat juga terdiri dari bendahara umum, ketua kelompok IV, bendahara kelompok IV, wakil bendahara kelompok IV. Dengan demikian bendahara umum yakni bapak Celestino juga rutin menggikuti pelatihan tersebut selama tiga bulan di pantai Valusere Tutuala. Materi yang dapat didampingi dan diajarkan kepada mereka adalah bagaimana bisa melakukan laporan mingguan supaya setiap pergantian kelompok dalam mengelola penginapan, restoran dan kios dapat berjalan dengan baik. Sehingga setiap pergantian kelompok di akhir minggu harus ada laporan pertanggungjawaban yang baik dan jelas dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Jadi pada tahap ini diharapkan supaya bendahara umum, ketua kelompok, bendahara kelompok dan wakil bendahara kelompok sudah bisa melakukan laporan dengan sendirinya. Pelatihan lain yang diberikan adalah laporan bulanan dan laporan triwulan, jenis laporan ini juga didampinggi supaya bendahara umum, ketua kelompok, bendahara kelompok dan wakil bendahara kelompok benar – benar mengerti dan mengimplementasikan pada akhir bulan dalam rapat anggota. Laporan triwulan diajarkan kepada bendahara umum supaya beliau bisa melakukan atau melaporkan hasil pendapatan bagi anggota koperasi dalam rapat triwulan. Disamping itu diajarkan pula manajemen pembagian hasil atau keuntungan. Berdasarkan kesepakatan dari seluruh anggota kelompok bahwa pembagian hasil dilakukan setiap tiga bulan sekali, diman pendapatan tersebut 25% disimpang di kas kelompok dan sisanya 75% dibagikan kepada anggota kelompok berdasarkan kehadirannya. Selain itu, saudara Cancio juga mengajarkan mengenai cara mengisi buku tamu, cara membuat nota. 78
Pelatihan dalam bidang manajemen dan akuntansi ini pula yang dapat memberikan kepercayaan diri serta kekuatan bagi para anggota koperasi sehingga mereka bisa mandiri serta memenuhi keberlanjutan keuangan dan transparansi manajemen keuangan didalam koperasi. Melalui pelatihan ini pula dapat menghasilkan budaya percaya diri, saling mempercayai antara sesama anggota supaya dapat bersama sama memajukan organisasi di bidang keuangan sehingga dapat mencapai pembangunan berkelanjutan dari organisasi Valusere. Setelah LSM Haburas melakukan sebuah evaluasi mengenai pendapatan yang diperoleh dari Koperasi Valusere, menunjukkan bahwa dari bulan Oktober 2007 samai dengan bulan September 2008 mereka sudah memperoleh pendapatan sebesar US$ 36,000. Berdasarkan kuantitas pendapatan yang diperoleh tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap anggota dapat memperoleh pendapatan antara US$ 300 sampai dengan US$ 600 pada tahun tersebut. Pendapatan tersebut diperoleh dari hasil kegiatan penginapan, restoran, kios dan sewa tenda. Pelatihan Tourism Services LSM Haburas memfasilitasi pula pelatihan mengenai usaha di bidang pariwisata yang dapat dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari di tempat usaha mereka di Valusere. LSM Haburas juga mengadakan pendampingan bagi anggota koperasi dalam kegiatan sehari-hari di Valusere dalam hal pelayanan tamu, supaya dapat memenuhi standar universal. Fokus pelatihan ini berbicara mengenai managemen akomodasi, sanitasi, manajemen restoran, manajemen dalam mengelola toilet. Pelatihan ini juga dapat meningkatkan etika komunikasi yang baik antara sesama anggota dan etika yang baik dengan wisatawan. Pada pelatihan ini juga menggunakan pendekatan partisipatis. Pelatihan ini didampinggi oleh ibu Santina yang merupakan staff LSM Haburas, beliau melakukan kunjungan rutin ke Valusere untuk mendampinggi mereka serta mengajarkan kebersihan, mulai dari 79
anggota yang menerima tamu, anggota yang memasak di dapur, kebersihan di tempat tidur, kebersihan di kamar mandi. Disamping itu juga mengidentifikasi makanan lokal yang dapat disajikan bagi para tamu yang ingin menikmati makanan lokal. Pelatihan ini hanya dilakukan di pantai Valu, ibu Santina didampingi oleh saudara pedrito yang melakukan kunjungan setiap bulan 2 sampai 3 hari hidup dengan masyarakat lokal di pantai Valusere. Pelatihan Kuliner Pada dasarnya para anggota koperasi sudah memiliki kapasitas yang cukup dalam hal memasak makanan sehari-hari. Namun demikian para anggota koperasi masih membutuhkan peningkatan kapasitas untuk mengetahui perbedaan menu makan yang diinginkan oleh wisatawan. Pada pelatihan ini didampinggi oleh Ibu Santina dan saudara Pedrito. Pelatihan selalu menggunakan pendekatan partisipatif dan berbaur dengan para anggota kelompok. Pada pelatihan ini, ibu Santina mengajarkan sedikit makanan modern untuk disajikan yakni: Beef, soup ikan, bumbu untuk ikan bakar, Kalderada. Bahan-bahan yang digunakan dalam pelatihan ini dipersiapkan oleh LSM Haburas dan dibawah dari Dili ke Tutuala. Sebenarnya anggota kelompok Valusere juga sudah pintar memasak, seperti ibu Angelina, karena mereka sering memasak pada acara-acara resmi di Tutuala. LSM Haburas memberikan pelatihan ini supaya para anggota kelompok lebih memperhatikan kebersihan daripada makanan yang disajikan kepada tamu. Pada pelatihan ini, dapat meningkatkan pengetahuan para anggota mengenai pentingnya memasak, baik masakan tradisional maupun menu yang lain dimana harus memperhatikan tingkat keberhasil, sanitasi dan kualitas nutrisi. Dalam pelatihan ini juga mereka dapat mengetahui bahwa kuliner yang baik merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk tetap menggunakan jasa restoran tersebut.
80
Studi Banding Dalam hal untuk meningkatkan pengetahuan dan visi pembangunan pariwisata, LSM Haburas mengutus 5 orang anggota koperasi Valusere yang didampinggi oleh 2 orang staf LSM Haburas melakukan observasi pada kegiatan pariwisata alternatif di Bali, Indonesia. Kegiatan observasi dan studi banding ini sangat penting bagi anggota koperasi, karena mereka dapat mengobservasi sendiri dan mendiskusikan aktivitas pariwisata yang dijalangkan atau dilakukan di wilayah Bali. Untuk menentukan 5 orang anggota yang akan mengikuti studi banding di Bali bukan dari LSM Haburas yang menentukan, akan tetapi mandat sepenuhnya diserahkan kepada anggota kelompok Valusere untuk memilih dan menentukan siapa saja yang akan menggikuti studi banding tersebut melalui sebuah rapat. LSM Haburas merekomendasikan bahwa Koordinator kelompok koperasi Valusere ibu Angelina harus ikut karena beliau yang menjadi lider dalam kelompok tersebut tetapi empat orang yang lain bisa ditentukan di dalam kelompok melalui rapat anggota. Melaui rapat anggota di pantai Valusere, akhirnya forum memutuskan untuk mengutus 5 orang antara lain : Ibu Angelina, ibu Rosalia, bapak Justino, saudara Delcio dan saudara Joao. Tempat studi banding di Bali merupakan kegiatan ekotourism yang dinamakan “jaringan eko wisata Bali” yang difasilitasi oleh Yayasan Wisnu. Kegiatan studi banding lebih banyak dilakukan di tempat masyarakat lokal (jaringan ekowisata desa) yang merupakan sebuah pariwisata alternatif di Bali. Faktor penyebab LSM Haburas memilih tempat tersebut sebagai tempat studi banding karena koperasi Valusere juga terdapat karakteristik pembangunan yang memiliki kesamaan dan persamaan prinsip pariwisata. Pariwisata berbasis masyarakat ini sebagai suatu alternatif lain yang dipraktekkan di Bali sebagai akibat dari lingkungan, kultur yang telah terkikis serta masyarakat lokal menjadi tersingkir akibat dari pariwisata massal yang terjadi di Bali. 81
Berbagai materi yang didapat dalam studi banding ini adalah mempraktekkan sistim pariwisata berbasis masyarakat, praktek guide lokal, managemen konservasi ekologi, konservasi rumput laut, observasi terhadap agrowisata serta observasi terhadap pariwisata budaya. Setelah menggikuti studi banding di Bali, maka kelima anggota koperasi bersama dengan 2 orang staff LSM Haburas yang menggikuti studi banding tersebut kembali lagi ke Tutuala dan mengadakan workshop bagi semua anggota koperasi yang tidak menggikuti studi banding. Workshop dilakukan selama sehari. Para anggota dan staf LSM Haburas menceritakan kembali kepada anggota lain menggenai penggalaman selama berada di Bali serta bagaimana jaringan ekowisata bisa berjalan dengan baik dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat lokal. mereka juga menceritakan mengenai observasi yang dilakukan di daerah masstourism, dimana masyarakat lokal telah disingkirkan, mereka hanya bertemu dengan orang-orang asing, masyarakat lokal tidak kelihatan. Dengan demikian berdasarkan pengalaman kunjungan ini maka ibu Anjelina juga memberikan masukan kepada sesama anggota kelompok supaya tetap mengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan menghindar dari
mass tourism. Pelatihan Manajemen Sampah Anggota koperasi juga diberi pelatihan mengenai bagaimana pengelolaan sampah yang baik. Pelatihan ini juga penting bagi anggota koperasi Valusere untuk melindungi ekologi yang ada. Dalam pelatihan ini diberikan 2 sistem manajemen sampah. Pertama pengelolaan air kotor dari kamar mandi dan toilet. Air kotor dari toilet tidak langsung di buang ke laut, tetapi melalui suatu proses sederhana yakni di tampung didalam bak yang telah diisi dengan batu kapur sehingga dari situ, air kotor tersebut diserap oleh batu kapur dan akan menghilang didalam tanah. Yang kedua adalah pengelolaan sampah melalui pemisahan jenis sampah. Sampah non-organik seperti kaleng – kaleng dari bir maupun minuman ringan serta botol – botol bir di 82
kumpulkan pada tempt tersendiri serta mereka bisa menjual kembali. Untuk sampah organik seperti sisa-sisa sayuran akan dikuburkan lagi supaya dijadikan sebagai pupuk kompos serta sisa makanan dapat digunakan untuk memberi makan kepada ternak. Pelatihan didampingi oleh saudara Virgilio Guterres (Direktur LSM Haburas sekarang), dengan seorang volunteer dari perancis yang sedang melakukan magang di LSM Haburas. Pelatihan juga dilakukan di pantai Valusere dengan menggunakan sistem partisipatif dari pelatih maupun peserta. Pelatihan ini diberikan kepada seluruh anggota koperasi yang terlibat dalam kelompok koperasi Valusere. Waktu pelatihan selama satu minggu, sehingga saudara Virgilio dan volunteer dari perancis tersebut harus berbaur dengan anggota kelompok Valusere. Pelatihan Manajemen Ekologi Pelatihan ini sangat penting bagi anggota koperasi dalam hal pembangunan berkelanjutan. Faktor penting dari pealatihan ini adalah bahwa bagaimana sumberdaya ekologi yang ada dapat mendatangkan keuntungan secara ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Mempertahankan perspektif yang benar mengenai prinsip pembangunan yang bersih, konsep kesehatan lingkungan bagi masyarakat lokal, keseimbangan antara ekologi dan keanekaragaman hayati, aspek politik ekologi pada pembangunan ekonomi serta politik konservasi. Masyarakat Tutuala memiliki budaya interaksi dengan alam sekitarnya yang menunjukkan kehidupan yang harmonis antara masyarakat dan alam. Mereka memiliki etika dan menghargai tempattempat sakral yang memiliki nilai ekologi. Pelatihan ini juga dilakukan di Tutuala, yang mendampinggi pelatihan ini adalah saudara Pedrito. Selama memberikan pelatihan ini, saudara Pedrito didampinggi oleh anggota koperasi yang masih muda, mereka keluar masuk hutan untuk melihat jenis-jenis pohon yang tidak boleh dipotong, mengajarkan kepada anggota kelompok supaya tetap harus melindungi hutan yang ada. Namun demikian masyarakat Tutuala juga memiliki kepercayaan dan budaya interaksi yang kuat 83
antara mereka dengan alam yang ada. Jadi sudah sejak jaman nenek moyang mereka sudah menghormati alam yang ada sehingga alam tersebut masih dapat dilindungi sampai sekarang. Pelatihan Pemandu Wisata Dari pengalaman yang didapat dari studi banding di Bali menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata berbasis masyarakat dapat memperoleh keuntungan jika ada pemandu wisata lokal yang memiliki pengetahuan yang memadai guna memberikan informasi bagi wisatawan. Dasar informasi mengenai salah satu wilayah seperti di Tutuala, telah melekat pada masyarakat Tutuala sendiri. Permasalahannya adalah bahwa perlu suatu metode yang baik untuk mengumpulkan semua cerita mengenai Tutuala dalam sebuah alur cerita sehingga dapat menarik wisatawan. Modal utama dari guide lokal adalah cerita atau sejarah dari wilayah mereka sendiri, cerita mengenai situs-situs sejarah, makanan tradisional, kepercayaan dari nenek moyang mereka, legenda, cerita mengenai kultur dan ritual tradisional. Modal lainnya adalah kemampuan berkomunikasi dengan wisatawan. Disini, tidak menuntut lebih mengenai kesempurnaan menggunakan bahasa inggris dan portugis dengan baik. Tetapi yang terpenting adalah memiliki sedikit pengetahuan berbahas inggris dan portugis untuk membantu guide lokal supaya dapat mengekspresikan pikiran mengenai sejarah dan cerita Tutuala. Bahasa merupakan salah satu hambatan, namun demikian bahasa dapat dibangun melalui kursus untuk membantu dalam komunikasi dengan wisatawan. LSM Haburas pada awalnya telah memberikan pelatihan bagi empat orang anggota mengenai pemandu wisata lokal dalam bahasa portugis, pemandu wisata lokal dalam bahasa ingris serta telah menerjemahkannya dalam bahasa tetum. Dari keempat orang yang menggikuti kursus atau training tersebut, tiga orang anggota telah keluar dari anggota koperasi dan memiliki 84
pekerjaan lain dimana mereka memperoleh pendapatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan penghasilan di koperasi Valusere.
Permasalahan yang di hadapi LSM Haburas dalam kerjasama dengan koperasi Valusere LSM Haburas dalam kerjasama dengan koperasi Valusere selain membawa keberhasilan bagi masyarakat lokal juga terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh LSM Haburas. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas dalam menjalangkan program kerja membutuhkan waktu pendampingan yang banyak. Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi LSM Haburas pada saat itu antara lain adalah masyarakat belum terbiasa dengan sistem bisnis, masyarakat lokal belum memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai konsep pembangunan pariwisata, terlalu banyak waktu yang dipakai oleh masyarakat dalam kegiatan sosial. Masyarakat Tutuala pada saat itu masih terbiasa dengan sistim ekonomi subsistensi. Produksi sebatas untuk kebutuhan konsumsi mereka, masyarakat tidak memproduksi lebih agar hasil produksi tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan yang lain. Masyarakat tidak terbiasa dengan sistim bisnis sehingga untuk meningkatkan pendapatan ekonomi tergolong rendah. Pada saat itu, masyarakat lokal hanya menunggu bantuan dari pemerintah pusat maupun LSM agar memenuhi kebutuhan dasar. Masyarakat lokal mengharapkan bahwa LSM Haburas datang ke tempat mereka agar kebutuhan dasar berupa akses terhadap air bersih, permasalahan listrik, jalan raya dan masalah komunikasi dapat diselesaikan oleh LSM Haburas. Pemikiran masyarakat bahwa permasalahan ini merupakan hambatan utama bagi mereka. Persoalan lain yang dihadapi oleh LSM Haburas pada pendampingan bagi masyarakat lokal adalah mereka belum memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai konsep pembangunan pariwisata. Belum ada seorang tokoh yang berpengaruh dan memiliki 85
inisiatif bagi pemanfaatan sumberdaya alam dan sosial budaya yang mereka miliki untuk dikelola serta mendatangkan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Sebagian masyarakat memiliki pemikiran yang negatif terhadap LSM Haburas. Mereka mengangap bahwa LSM Haburas datang ke Tutuala mengeksploitasi potensi sumberdaya alam bagi kepentingan LSM secara pribadi. Untuk memperoleh kepercayaan dan meyakinkan masyarakat bahwa merekalah yang merupakan pemilik daripada sumberdaya alam serta memiliki kekuatan dalam pembangunan di wilayahnya. Secara budaya masyarakat Tutuala memiliki tradisi tersendiri bagi kehidupan mereka sehari-hari. Terlalu banyak waktu yang dipakai oleh masyarakat lokal pada kegiatan sosial dan budaya. Anggota LSM Haburas dalam melakukan pendampingan harus disesuaikan dengan kegiatan masyarakat. Proses pendampingan sedang berlangsung terjadi acara adat yang tak terduga, maka pendampingan tersebut harus di tunda untuk beberapa hari. Setelah acara adat tersebut selesai kemudian dilanjutkan lagi dengan program kerja oleh anggota LSM Haburas. Anggota LSM Haburas dalam melakukan proses pendampingan, menghadapi juga permasalahan sosial di Tutuala. Masyarakat juga dituntut untuk melakukan kegiatan sehari-hari berupa kegiatan pertanian, nelayan, melakukan pekerjaan rumah tangga dan aktivitas sosial lainnya. Mereka berpikir supaya kegiatan pendampingan jangan dilakukan terus menerus karena dapat menghambat aktivitas masyarakat. Dengan demikian masyarakat menuntut supaya segera melakukan sebuah aksi konkrit dari pembangunan pariwisata tersebut. Dari permasalahan yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas di Tutuala, dengan sabar tetap melakukan pendekatan. Berpatok pada pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat lokal sehingga anggota LSM Haburas mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Proses pendampingan sering membuat masyarakat lokal jenuh akan tetapi anggota LSM Haburas tetap menggunakan berbagai strategi. Pembangunan berkelanjutan terealisir berdasarkan kesiapan 86
masyarakat lokal serta butuh proses yang panjang untuk merealisasikan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
Konflik yang Timbul Setelah Koperasi Valusere Mandiri Permasalahan koperasi Valusere menjadi semakin rumit pada proses penyerahan dan pengelolaan secara mandiri oleh anggota koperasi Valusere. Hal ini disebabkan oleh kurangnya manajemen pengelolaan hasil usaha, kecemburuan dari anggota masyarakat yang tidak terlibat didalam koperasi, kecurigaan antara sesama anggota koperasi. Sehingga LSM Haburas memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh anggota koperasi Valusere. Persoalan manajemen pengelolaan hasil usaha. Setelah koperasi Valusere memperoleh keuntungan dari usaha yang dikelola bersama, maka mereka masih kurang kapasitas dalam mengelola hasil yang diperoleh tersebut. Dalam hal ini para anggota koperasi binggung untuk membagikan hasil pendapatan yang mereka peroleh tersebut. Sebab pada awalnya baik LSM Haburas maupun masyarakat yang tergabung dalam anggota koperasi tidak membayangkan bahwa usaha yang mereka kelola tersebut bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Pada awal usaha tersebut pendapatan yang diperoleh masih minim, tetapi setelah berjalan beberapa bulan maka pendapatan yang diperoleh terus meningkat dan terjadi di luar dugaan. Berdasarkan laporan dari para anggota koperasi kepada LSM Haburas pada tahun 2009 bahwa terkadang pendapatan yang diperoleh dari koperasi Valusere bisa mencapai $ 40.000 per tahun atau dikonversikan ke kurs rupiah menjadi Rp. 520.000.000 per tahun. Dari hasil pendapatan yang mereka peroleh membawa juga permasalahan baru bagi anggota koperasi sendiri, karena sudah ada pendapatan dan keuntungan maka mulai terjadi kecurigaan antara sesama anggota. Dengan demikian, maka LSM Haburas harus kembali ke Tutuala untuk mencari solusi dan menyelesaikan permasalahan 87
yang mereka hadapi serta LSM Haburas dituntut untuk membantu masyarakat dalam hal memfasilitasi anggota koperasi untuk mendiskusikan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang dapat digunakan untuk menggikat seluruh anggota koperasi dalam menjalangkan usaha mereka. Setelah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibuat maka semua anggota mulai sadar dan mengerti untuk bekerjasama mengelola usaha yang dimiliki bersama tersebut. LSM Haburas melakukan pendampingan bagi masyarakat lokal melalui koperasi Valusere sejak tahun 2003 sampai dengan 2008. LSM Haburas merasa bahwa sudah saatnya untuk melepaskan anggota koperasi Valusere mengelola usaha secara mandiri. Dengan demikian pada tahun 2008 LSM Haburas berencana untuk melakukan serah terima kegiatan pariwisata kepada koperasi Valusere untuk mengelola usaha mereka tanpa ada campur tanggang dari pihak LSM Haburas. Akan tetapi pada saat mau melakukan serah terima, terjadi satu permasalahan lagi di kelompok Valusere, di mana terdapat beberapa orang Tutuala yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan oleh kecemburuan sosial yang terjadi dari masyarakat yang tidak terlibat dalam koperasi Valusere. Usaha yang telah berjalan tersebut mendatangkan keuntungan bagi anggota koperasi. Masyarakat yang tidak ikut dalam kelompok koperasi Valusere memiliki pemikiran bahwa usaha tersebut adalah milik LSM Haburas. Orang-orang Tutuala yang tidak terlibat didalam anggota koperasi menjadi tidak senang dengan penghasilan yang diperoleh dari hasil kegiatan pariwisata tersebut. Permasalahan menjadi rumit dan masyarakat lokal saling memberikan ancaman untuk saling serang antara kelompok yang tidak terlibat dalam koperasi Valusere dengan anggota kelompok koperasi Valusere. Namun demikian, masyarakat desa Tutuala masih memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat dan adat istiadat yang mengikat mereka masih tinggi sehingga semua permasalahan yang dihadapi tersebut akhirnya dapat diselesaikan secara adat atau disebut dalam istilah bahasa tetum adalah nahe biti boot. Melalui penyelesaian secara adat, 88
akhirnya kedua kelompok tersebut saling menerima satu sama lain. Setelah permasalahan tersebut diselesaikan secara adat, pada akhirnya tahun 2008 terjadilah serah terima dari LSM Haburas kepada anggota koperasi Valusere yang dihadiri oleh pihak pemerintah yakni Menteri Muda Urusan Kehutanan dan acara serah terima tersebut berjalan dengan lancar. Konflik lain yang terjadi di anggota koperasi Valusere setelah mereka mengelola sendiri kegiatan pariwisata di pantai Valu pada tahun 2011. Permasalahan ini terjadi akibat daripada saling mencurigai antara satu anggota dengan anggota yang lainnya serta ada anggota yang tidak masuk kerja juga meminta supaya mendapatkan juga penghasilan yang sama dengan anggota lainnya. Disamping itu, ada sebagian anggota koperasi yang mengusulkan supaya pendapatan yang diperoleh dari usaha penginapan maupun restoran harus dibagikan semuanya, tidak perlu ada simpanan koperasi lagi. Dengan demikian, maka mereka bersama sama memutuskan untuk membagi semua keuntungan yang ada secara merata dan menutup usaha tersebut. Hal ini akhirnya benar benar terjadi, semua anggota melakukan sebuah rapat dan memutuskan untuk membagi semua penghasilan dan modal usaha yang ada kepada para anggota kelompok serta memutuskan untuk menutup usaha tersebut. Dari hasil rapat tersebut mereka melaporkan kepada LSM Haburas bahwa kegiatan pariwisata tersebut telah dibubarkan. LSM Haburas pada saat itu tidak memiliki pilihan lain selain menggikuti tuntutan dari anggota koperasi. Setelah usaha tersebut tidak berjalan lagi maka semua anggota kembali seperti semula, yakni menjadi petani dan beternak serta ada yang menganggur. Namun demikian, menjelang satu atau dua bulan, beberapa anggota merasakan tidak memiliki pendapatan dari sektor lain, akhirnya mereka berkumpul kembali mengadakan diskusi untuk menjalangkan kembali usaha mereka. Orang - orang yang menginginkan untuk melanjutkan usaha tersebut berjumlah 43 orang. Mereka melakukan rapat bersama dan mengutus dua orang ke Dili untuk mengadakan konsultasi dengan LSM Haburas. Maka dengan 89
senang hati LSM Haburas menerima ide tersebut. LSM Haburas juga sadar bahwa sudah saatnya mereka merasakan bahwa usaha tersebut menjadi milik mereka dan bukan milik LSM atau pihak lain karena sebelumnya mereka tidak merasa memiliki dan hanya merasakan bahwa yang menjadi pemilik dari usaha ini adalah LSM bukan koperasi Valusere. Untuk melanjutkan kembali usaha tersebut, para anggota yang aktif mengumpulkan modal awal sendiri yakni setiap anggota dikenakan biaya sebesar $ 50 setara dengan Rp. 650.000, sebagai modal awal untuk melanjutkan kembali usaha penginapan, restoran dan kios. Anggota koperasi tidak meminta modal dari LSM Haburas untuk membantu usaha mereka, tetapi mereka memiliki inisiatif sendiri untuk mengelola usaha. Anggota koperasi Valusere hanya meminta support ide untuk memfasilitasi dalam rapat dan kesulitan lain yang tidak dapat diselesaikan oleh anggota koperasi Valusere. Dengan demikian para anggota yang awalnya adalah 67 KK akhirnya yang aktif kembali hanyalah 43 kk yang bertahan dengan usaha tersebut sampai sekarang. Semua permasalahan yang dihadapi oleh koperasi valusere akhirnya dapat diselesaikan sendiri oleh anggota koperasi tanpa melibatkan lagi LSM Haburas serta mereka sudah mengelola usaha mereka secara mandiri dan berkembang dengan baik sampai saat ini.
Kesimpulan LSM Haburas dalam mengembangkan Community Based Tourism bagi masyarakat lokal di Tutuala melalui tiga tahap. Tahapantahapan yang dikerjakan dengan masyarakat tersebut antara lain : pertama, tahap di mana mereka mencoba mendalami terlebih dahulu persoalan yang dihadapi masyarakat. Pada tahap pertama ini juga LSM Haburas melakukan penelitian untuk mengidentifikasi objek wisata dan kehidupan sosial masyarakat lokal di Tutuala. disamping itu LSM Haburas mengidentifikasi konsep-konsep pariwisata bagi masyarakat lokal dan membagi informasi mengenai konsep-konsep tersebut kepada masyarakat lokal di desa Tutuala. pada tahap pertama ini juga LSM Haburas membantu masyarakat lokal untuk membentuk kelompok 90
koperasi dan pelatihan-pelatihan dasar. Kedua, Tahap kedua adalah tahap di mana LSM Haburas memfasilitasi masyarakat lokal dan melakukan pendampingan untuk membangun atau melakukan konstruksi fisik berupa penginapan, restoran kios dan toilet. Pada tahap ini juga LSM Haburas tetap melakukan capacity building melalui pelatihan dan studi banding. Ketiga, Tahap ke tiga adalah implementasi program usaha pariwisata dan melakukan evalusi. Pada tahap ini juga LSM Haburas masih mengadakan capacity building bagi anggota koperasi Valusere di bidang keuangan, manajemen koperasi. Dalam kerjasama antara LSM Haburas dengan koperasi Valusere, selain membawa manfaat dan keberhasilan, terdapat juga berbagai masalah yang dihadapi di lapangan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh anggota LSM Haburas dalam menjalangkan program kerja membutuhkan waktu pendampingan yang banyak. Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi LSM Haburas pada saat itu antara lain adalah masyarakat belum terbiasa dengan sistem bisnis, masyarakat lokal belum memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai konsep pembangunan pariwisata, terlalu banyak waktu yang dipakai oleh masyarakat dalam kegiatan sosial. Akan tetapi melalui pengalaman dan kerjasama yang baik antara anggota LSM Haburas dengan masyarakat lokal, akhirnya berbagai permasalahan tersebut dapat teratasi dan koperasi tersebut dapat berjalan dengan baik sampai saat ini.
91