BAB IV LATAR BELAKANG
Bab ini akan membahas proses pembentukan Komunitas Sapu yang dimulai dari komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK).
Tanam Untuk Kehidupan, Awal Mula Komunitas Sapu Latar Belakang Komunitas Sapu
tidak bisa dilepaskan dari
komunitas TUK. TUK (baca tuk) yang dalam Bahasa Jawa berarti ‘mata air’ merupakan komunitas noprofit yang terdiri dari para pencinta lingkungan yang berpusat di Salatiga. Pada awalnya dimaksudkan untuk pemeliharaan sumber air di lereng Gunung Merbabu, gunung setinggi 3.145 mdpl yang terletak di Kabupaten Semarang,
Kabupaten
Boyolali,
dan
Kabupaten
Magelang.
Sekretariat TUK bertempat di Jalan Argaboga 48A Pendem Salatiga Jawa Tengah. Komunitas ini dipengaruhi oleh seniman pencinta lingkungan yang ada di Jogjakarta, Bali, dan Australia. Program kampanye TUK sangat aktif, baik melalui kultural, pendidikan, maupun kesenian, di antaranya proyek Workshop Kesenian dan Pendidikan Lingkungan, Aksi Lingkungan seperti bersih sungai. . Langkah nyata yang ditempuh saat itu antara lain bersih sungai, reboisasi, cabut paku dari pohon, mural dengan tema lingkungan, serta acara rutin tahunan Festival Mata Air dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Festival tersebut dimulai pada tahun 2007 sampai tahun 2009 dengan peserta kurang lebih 10 ribu orang. Festival tersebut berupa bazaar, informasi lingkungan, penanaman hutan kembali, teater, dan permainan air. Kegiatan masyarakat
tersebut
akan
bertujuan
permasalahan
membangkitkan
lingkungan
lokal,
kesadaran khususnya
sumber daya air yang mulai mengalami krisis. Kegiatan yang dilakukan komunitas tersebut ternyata mendapat respon positif dari pemerintah, yang kemudian mendukung secara finansial.
Tahun 2006 juga Komunitas TUK mulai melakukan kerja sama dengan komunitas maupun lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, antara lain dengan komunitas-komunitas seni dan organisasi pemeduli lingkungan lokal maupun Australia, GEF SGP Indonesia, AUSTRALIAN
VOLUNTER
INTERNASIONAL,
Taring
Padi,
anakseribupulau, PUSDAKOTA, PLAN Indonesia Grobogan, Dewan Kesenian Kota Salatiga, Dewan Kesenian Surabaya, Truka Jaya, LSKAR, Gang Festival (Sydney), Alpha House (Sydney) dan SLAF (Sydney). Sejak saat itulah jaringan pencinta lingkungan terbentuk sampai kini. Bulan Agustus tahun 2008, Sindhu
mendapat kesempatan
tukar budaya dengan Australia selama 2 bulan yang diselenggarakan oleh SLAF. Di Sydney, Sindhu
belajar tentang pengolahan barang
yang tidak terpakai menjadi barang yang bernilai ekonomi tinggi, misalnya logam, plastik, dan karet. Pada Oktober pada tahun 2008, Sindhu kembali ke Salatiga, bertemu lagi dengan komunitas pencinta lingkungan di Salatiga dan Kabupaten
Semarang.
Pelajaran
penting
yang
dia
petik
dari
pertukaran budaya tersebut adalah adanya potensi dari semua barang yang semula dianggap sampah tak berguna berubah menjadi barang seni maupun barang kebutuhan sehari-hari dan bernilai tinggi atau yang disebut dengan konsep upcycle.
Komunitas Sapu Komunitas Komunitas ini
Sapu
merupakan
anak
cabang
dari
TUK.
berfokus pada bisnis kreatif (creative business).
Komunitas kreatif ini juga menempati markas yang sama dengan Komunitas TUK, yaitu di Tetep, Gambir, Kelurahan Randuacir, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Dengan kata lain, Komunitas TUK pada divisi kampanye dan gerakan, sedangkan Komunitas Sapu pada divisi karya nyata.
Komunitas ini beranggotakan para pencinta lingkungan yang terdiri dari desainer, seniman, dan perajin dari barang bekas yang berasal dari Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Semarang. Komunitas tersebut terbentuk karena adanya kecintaan kepada
lingkungan
dan
alam.
Visi
komunitas
tadi
adalah
menularkan kesadaran lingkungan melalui praktik yang kreatif. Langkah praktis kreatif tersebut dilakukan dengan cara upcycle, atau mengubah barang yang tidak bernilai, barang sisa, barang bekas, maupun sampah, menjadi barang yang bernilai dan berfungsi. Adapun tujuan dibentuknya komunitas tersebut adalah untuk menginspirasi orang-orang mempunyai pandangan hidup yang lebih mencintai lingkungan dan memerhatikan kelestarian lingkungan, dan berharap agar orang-orang tersebut mengubah perilaku dan kebiasaannya agar selaras dengan lingkungan. Kantor atau tempatnya tempat berkumpul bagi para anggota Komunitas Sapu terletak di Jl. Tidore Nomor 88, RT 2 RW 07 Magersari, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Sedangkan bengkel produksi dan showroom terletak di Tetep Gambir, RT 05 RW 04, Randuacir, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Alasan
filosofis
pemberian
nama
SAPU
adalah
tentang
keterikatan, kerja sama, dan fungsi sapu lidi. Sapu lidi terdiri dari banyak lidi yang disusun dan diikat sedemikian rupa sehingga bisa kuat dan berfungsi membersihkan lingkungan dari kotoran-kotoran. Fungsi itu tidak bisa dilakukan oleh sebatang lidi. Demikian pula dengan komunitas yang terdiri dari berbagai macam individu dalam menunaikan tugas membersihkan sampah yang ada di bumi. Ketika tidak ada kebersamaan dan ikatan
yang kuat, niscaya tidak bisa
membersihkan sampah yang ada di bumi. Lain cerita jika individuindividu tadi bersama-sama terjalin erat menjadi satu komunitas. Tugas
mulia
‘menyapu’
bumi
bisa
lebih
mudah
dan
cepat
diselesaikan. Menyapu dalam arti mengolah kembali barang-barang
yang menjadi limbah lingkungan menjadi barang yang bernilai seni dan ekonomi tinggi.
Mulai Membuat Kerajinan dari Bahan Plastik Dua tahun sepulang ke tanah air, di tahun 2009, berbekal pemikiran
tentang
kelestarian
lingkungan
serta
pengalaman
pengolahan barang tidak terpakai menjadi bernilai ekonomi, Sindhu tergerak untuk mereproduksi sampah. Ide tersebut merupakan replikasi produksi kerajinan yang ada di Australia. Pemicu lainnya adalah pemikiran bahwa sudah terlalu banyak sampah dan limbah terbuang
yang
membahayakan kelestarian
lingkungan. Limbah tersebut berasal dari limbah perusahaan, pasar, maupun rumah tanggal. Ada banyak sampah yang dihasilkan, namun sampah paling banyak adalah sampah jenis plastik
yang
berasal dari sampah rumah tangga. Plastik dianggap sampah yang cukup mengganggu kelestarian lingkungan, karena plastik berasal dari bahan sintetis yang tidak dapat diurai oleh mikroorganisme tanah dalam waktu yang cepat. Proses penguraian atau pembusukan plastik tersebut menelan waktu ratusan tahun. Dimisalkan jika seorang anak berumur 10 tahun membuang sampah plastik, sampah tersebut akan terurai setelah anak itu mempunyai cucu berumur 10 tahun juga. Berangkat dari hal tersebut, Sindhu kemudian tergerak untuk bisa ‘memberdayakan’ sampah plastik tersebut, dari sampah menjadi barang yang bernilai. memakai
rumah
Langkah awal yang ditempuh yaitu dengan
kakaknya,
Rudy
Ardianto
di
daerah
Tetep,
Randuacir, Kecamatan Argomulyo yang dijadikan sebagai bengkel produksi. Bahan yang dipakai pada awalnya adalah sampah plastik dengan pertimbangan mudah didapat, bahan melimpah, dan mudah diolah. Selain itu, bahan plastik merupakan bahan yang tahan ari. Sedangkan alat yang digunakan adalah mesin jahit.
Sampah plastic berasal dari bungkus minyak goreng, sabun curi bubuk, sabun pencuci piring, makanan ringan, dan lainnyadidapat dengan cara mengumpulkan sampah rumah sendiri dan beberapa anggota komunitas. Plastik pembungkus dipotong-potong, kemudian dicuci dengan sabun pencuci piring, selanjutnya dijadikan satu dengan plastik yang sama sehingga diperoleh bahan dasar berasal dari plastik dengan pola dan bahan yang seragam. Dengan bahan itu diperoleh produk rumah tangga misalnya tas belanja, tas komputer jinjing, maupun asesoris rumah tangga lain, misalnya bunga sintetis. Namun ternyata didapati kenyatan bahan plastik tersebut tidak kuat dan tidak awet. Untuk produk pembungkus komputer jinjing misalnya, tas plastik tersebut cepat sobek pada bagian jahitan. Selain itu, pada proses penjualan juga mengalami kesulitan. Maka sejak saat itu, eksperimen dengan bahan plastik diakhiri.