BAB IV KONDISI GEOLOGI
4.1 Geologi Regional Geologi Irian Jaya sangatlah kompleks, merupakan hasil dari pertemuan dua lempeng yaitu lempeng Australia dan Pasifik ( gambar 4.1 ). Kebanyakan evolusi tektonik pada masa cenozoic berasal dari pertemuan dua lempeng ini ( Darman & Sidi, 2000 ). Secara umum dari utara ke selatan maka geologi dari Irian Jaya dapat dibagi menjadi tiga wilayah: Continental, Oceanic, dan Transitional.
Gambar 4.1 Geologi regional Papua ( Darman & Sidi, 2000 ).
4.1.1 Kerangka Tektonik
Hanya sedikit bukti struktur geologi
yang ditemukan sebelum peristiwa
tektonik pada Miosen Akhir yang terjadi di Irian Jaya. Bukti struktur tertua yang diketahui tercatat pada masa Paleozoikum, tapi kemunculannya di permukaan sangatlah terbatas. Sebagian besar bukti tektonik yang ada di Papua merupakan hasil dari kolisi busur kepulauan pada Miosen Akhir, peristiwa tektonik selanjutnya (< 4
48
Ma) mengaktifkan kembali sebagian struktur-struktur yang lebih tua menjadi dominan sesar geser mengiri lateral ( Darman & Sidi, 2000). Secara keseluruhan, pola struktur di Irian Jaya terbagi menjadi tiga wilayah struktur utama, yaitu kepala, leher dan tubuh burung. Pada tubuh burung, struktur berarah barat-barat laut dominan sepanjang wilayah tengah. Sabuk berarah barat-barat laut ini dikenal dengan nama New Guinea Mobile Belt, yang merupakan zona sabuk selebar 300 kilometer menerus dari Papua Nugini sampai Irian Jaya ( Darman & Sidi, 2000 ). Sabuk ini diakhiri oleh sesar geser kontinental berarah barat-timur yang dikenal dengan nama Zona Sesar Tarera-Aiduna pada bagian leher burung. Struktur pada wilayah leher burung didominasi oleh lipatan berarah utara sampai barat laut yang dikenal dengan nama Lengguru Fold Belt. Pada sabuk lipatan ini, sebagian besar struktur di dominasi oleh sistem sesar yang berarah barat-timur. Di cekungan Salawati berkembang gejala struktur dan stratigrafi dengan baik, yang terjadi pada batas utara dari lempeng Australia selama miosen. Perkembangan terjadi selama miosen awal dengan penurunan lokal dan berasosiasi dengan pergerakan sepanjang zona sesar Sorong, yang membatasi cekungan kearah utara. Saat ini cekungan Salawati dibatasi oleh Misool-Onin geantiklin di bagian selatan, dataran tinggi Ayamaru di bagian timur serta sesar Sorong di bagian utara dan barat. Pola tektonik lokal di dominasi oleh lipatan dan sistem sesar kompleks berarah barat-timur yang sebagian besar dari sesar tersebut merupakan sesar normal ekstensional. Pada area blok Arar, ditemukan sesar dengan bukti pergerakan strikeslip yang diasumsikan sebagai conjugate shears yang berhubungan dengan sesar Sorong lateral mengiri Cekungan Salawati pertama kali menarik perhatian para pencari minyak dan gas bumi pada awal 1906 ketika H. Hirshi, seorang ahli geologi asal Swiss, mengenali kehadiran minyak untuk pertama kali di cekungan ini. Rembesan minyak ditemukan kemudian oleh Loth (1924) di antiklin ”X”, dan sumur pertama dibor pada 1936, yang mengacu pada penemuan lapangan ”X”. Sejak itu dilakukan kegiatan eksplorasi
49
secara intensif di seluruh lapangan, dan mengacu pada penemuan beberapa lapangan produktif juga daerah yang dikenali sebagai cekungan yang telah matang.
Gambar 4.2 Peta struktur Papua, garis merah adalah penampang Misool – Klamumuk. MTFB = Memberamo Thrust & Fault Belt, WO = Weyland Overthrust, WT = Waipoma Trough, TAFZ = Tarera Aiduna Fault Zone, RFZ = Ransiki Fault Zone, LFB = Lengguru Fault Belt, SFZ = Sorong Fault Zone, YFZ = Yapen Fault Zone, MO = Misool – Onin High. Panah menunjukkan arah pergerakan relatif dari lempeng Pasifik dan Australia ( Darman & Sidi, 2000 ).
4.1.2 Stratigrafi Regional
Cekungan Salawati terbentuk pada kala miosen – pliosen. Basement pratersier dari cekungan Salawati terdiri atas batuan beku, batuan metamorf, serpih, batu pasir dan batu bara. Secara tidak selaras di atasnya diendapkan formasi Faumai yang terdiri dari endapan karbonat laut dangkal yang setempat berasosiasi dengan endapan evaporit. Secara selaras di atas formasi Faumai diendapkan formasi Sirga yang berumur oligosen. Formasi ini merupakan satu-satunya formasi dengan endapan silisiklastik di wilayah Irian Jaya pada kala eosen hingga miosen tengah. Ciri litologi berupa batupasir dan lanau dengan sedikit batu gamping yang menunjukan siklus regresif.
50
Pada miosen awal, terjadi penurunan dasar cekungan atau pendalaman laut. Batu gamping marin berwarna abu-abu gelap sampai kecoklatan yang dikenal sebagai formasi Klamogun, diendapkan pada bagian tengah cekungan. Vincelette dan Soepardjadi (1976) meyakini bahwa formasi ini merupakan sumber minyak dan gas untuk cekungan Salawati. Tapi menurut penelitian terakhir, tingkat kematangan termal dari batu gamping ini tidak mendukung dihasilkannya minyak dan gas. Formasi Klamogun bergradasi secara lateral ke arah pinggir cekungan menuju karbonat dengan energi tinggi yang merupakan fasa awal dari formasi Kais. Pengangkatan pada Miosen Awal – Pliosen sepanjang zona sesar Sorong di utara dan dataran tinggi Ayamaru di timur, membagi cekungan menjadi cekungan Salawati di barat dan cekungan Bintuni di timur. Peristiwa pengangkatan ini mengakibatkan pengendapan sikuen klastik yang tebal dari formasi Klasaman dan mengakhiri perkembangan terumbu di cekungan Salawati. Fosil yang umumnya ditemukan pada formasi Klasaman ini adalah foraminifera pelagik dan bentonik, moluska serta bryozoa. Lalu pada kala pliosen – pleistosen setelah pengangkatan secara regional cekungan, sedimen fluvial formasi Sele berupa batu pasir dan konglomerat diendapkan secara tidak selaras di atas formasi-formasi yang lebih tua.
51
Gambar 4.3 Penampang stratigrafi barat – timur dari kepala burung, Papua. Garis merah adalah stratigrafi daerah penelitian ( Pilgram & Sukanta, 1989).
4.1.3 Reservoir
Lapangan “X” dan sekitarnya termasuk dalam Lagoonal Deeper Carbonates Facies, secara umum terdiri dari lime-mudstone berwarna abu-abu kecoklatan yang berbutir halus dan wackestone pada beberapa tempat terdapat argillaceous dengan material skeletal berkisar 8-25% yang terdiri dari foraminifera plankton dan sedikit foraminifera benthonik. Berdasarkan peta facies, batugamping terumbu di Lapangan X diperkirakan sebagai suatu atoll atau finger reef yang berkembang pada suatu lagonal. Analisis paleontologi dan komposisi litologi menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dalam pada open marine dengan kondisi low energy. Di Lapangan “X”, dari 114 sumur yang telah dibor, formasi Kais ini memiliki
52
porositas berkisar 20-28% dengan permeabilitas berkisar 248-1722 md (data core). Pada plot antara harga porositas dan permebilitas dapat ditarik suatu trend (garis). Hasil evaluasi petrofisika menunjukkan bahwa harga saturasi air berkisar 17-26% dengan gross column 13-143 m, dan perbandingan net-to-gross ratio rata-rata 0,78. Di sekitar lapangan “X” diperkirakan tidak berkembang Intra-Kais reef, hal ini disebabkan pada saat pengendapan batugamping Kais relatif lebih dalam. Blok X terletak di onshore cekungan Salawati Irian Jaya, di mana terdapat lapangan “X” yang telah diproduksi sejak tahun 1939-an. Pada penampang yang ditarik dari pulau Misool hingga Klamumuk dapat dilihat bahwa reservoir “X” merupakan sebuah self margin dengan pinneacle reef ( Gambar 4.4 ). Penampang Misool - Klamumuk
X
Gambar 4.4 Penampang melintang antara pulau Misool dan Klamumuk melewati lapangan “X” yang berupa self margin dengan pinnacle reef ( Darman & Sidi, 2000 ).
53