BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN RESPONDEN
4.1. Letak Georgrafis dan Keadaan Alam Kabupaten Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah Propinsi Papua Barat yang secara resmi berdiri pada tahun 2002. sebelumnya kabupaten ini merupakan salah satu distrik dari wilayah pemerintah Kabupaten Manokwari. Kabupaten Teluk Bintuni dibagi menjadi 24 Distrik, 115 Kampung dan 2 Kelurahan dengan luas wilayah 18.637 Km2. Kabupaten Teluk Bintuni terletak antara 1057’50” - 3011’26” Lintang Selatan dan antara 132044’59”-134014’49” Bujur Timur. (BPPS, Teluk Bintuni dalam Angka, 2008). Secara rinci, letak geografis kabupaten Teluk Bintuni adalah sebagai berikut: 1) Di Bagian Utara
: 1057’50” Lintang Selatan
2) Di Bagian Selatan
: 3011’26” Lintang Selatan
3) Di Bagian Barat
: 132044’59” Bujur Timur
4) Di Bagian Timur
: 134014’49” Bujur Timur
Kabupaten ini hampir seluruhnya tertutup wilayah payau dan hutan bakau dengan batasan wilayah berbatasan langsung dengan 5 Kabupaten dan 1 Propinsi. Wilayah-wilayah tersebut antara lain Kabupaten Sorong Selatan, Manokwari, Fak fak, Kaimana, Teluk Wondama, dan Kabupaten Nabire propinsi Papua. Hal ini merupakan suatu keuntungan bagi Kabupaten Teluk Bintuni yang memiliki letak strategis. Batasan - batasan wilayah tersebut adalah sebagai berikut :
1) Sebelah Utara
:
Distrik Aifat Timur Kabupaten Maybrat, Distrik Kebar, Testega, Menyambouw dan Sururey Kabupaten Manokwari
2) Sebelah Selatan
:
Distrik Kaimana dan Distrik Teluk Arguni Kabupaten
Kaimana
dan
Distrik
Kokas
Kabupaten Fak-fak. 3) Sebelah Barat
:
Distrik Kokoda Kabupaten Sorong Selatan dan Distrik Aifat Timur Kabupaten Maybrat.
4) Sebelah Timur
:
Distrik Ransiki Kabupaten Manokwari, Distrik Wamesa, Distrik windesi, serta Distrik Wasior Kabupaten Teluk
Wondama dan Distrik Yaur
Kabupaten Nabire Secara keseluruhan kawasan Teluk Bintuni berada pada ketinggian 0 – 2000 meter dpl. Sepertiga wilayahnya adalah daerah rawa-rawa yang ditumbuhi hutan sagu dan bakau. Sepertiga wilayahnya juga ditutupi oleh hutan rimba dan sisanya merupakan lereng terjal. Kemiringan lahan di kawasan ini bervariasi mulai kemiringan 0 – 2 persen hingga 14 – 40 persen. Iklim di wilayah Teluk Bintuni merupakan iklim tropis monsoon yang dicirikan oleh kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun atau tropik basah dan memiliki suhu udara berkisar dari 20° - 38°C. Kampung Weriagar dan Kampung Mogotira merupakan unit administrasi dari distrik Arandai, manun sekarang telah dimekarkan menjadi distrik Weriagar. Kampung Weriagar dan Kampung Mogotora terletak di pantai bagian utara dari
Teluk Bintuni dalam lahan yang menjadi hak ulayat tujuh klen; Kutanggas, Patiran, Srowat, Hindom, Frabun, Yare dan Bauw. Tujuh klien ini memiliki hak adat atas tanah pada kedua kampung tersebut. Kampung Weriagar dan Kampung Mogotira hampir seratus persen dititupi oleh daerah rawa. Keadaan ini membuat masyarakat pada kedua kampung ini hanya memiliki rumah panggung dan berjalan diatas panggung jembatan kayu atau papan yang dibangun oleh masyarakat untuk menghubungkan rumah-rumah warga. Kedua kampung ini, diapit oleh satu sungai yaitu sungai Weriagar. Pada umumnya sungai-sungai yang bermuara di Teluk Bintuni, pada waktu surut hanya perahu-perahu kecil yang dapat melewati jalur masuk muara sungai yang kedalamannya kurang dari satu meter dan memiliki warna air sungai keruh atau kuning kecoklatan. Hal ini mengakibatkan tranportasi di wilayah ini sangat tergantung pada pasang surutnya air.
4.2. Kependudukan
Data jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga hanya bisa didapat dari Sensus Penduduk (SP) dan Survei Penduduk antar Sensus (SUPAS), dimana Sensus Penduduk dilaksanakan pada tahun-tahun yang berakhiran nol, sedangkan SUPAS dilaksanakan pada tahun yang berakhiran lima. Dengan demikian, untuk tahun-tahun yang berakhiran selain nol dan lima, jumlah penduduk diperoleh dari hasil proyeksi dan pendekatan hasil-hasil survei terkait. Berdasarkan proyeksi tersebut, jumlah penduduk Kabupaten Teluk Bintuni pada Tahun 2008 diperkirakan mencapai 55.049 jiwa yang terdiri dari 31.281 laki-laki dan 23.768 perempuan. Jumlah ini meningkat sebesar 2,58 persen dari tahun sebelumnya
(53.665 Jiwa), peningkatan atau pertumbuhan penduduk ini merupakan pertumbuhan penduduk tertinggi dibandingkan dengan kabupaten
atau kota
lainnya di Papua Barat. Peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan dan terus bertambah setiap tahun belum diimbangi dengan penyebaran penduduk. Sebagian besar penduduk Kabupaten Teluk Bintuni masih terpusat di Distrik Bintuni sekitar 30,82 persen. Hal ini dikarenakan Distrik Bintuni merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Banyaknya rumah tangga pada tahun 2008 tercatat sebesar 13.551 rumah tangga dengan rata-rata besarnya anggota rumah tangga 4,06. Jumlah ini mengalami peningkatan 5,41 persen dari tahun sebelumnya (12.855 rumah tangga). (BPPS, Teluk Bintuni dalam Angka, 2008) 4.2.1. Jumlah Kepala Keluarga (KK) dan Jiwa di Daerah Penelitian
Jumlah penduduk pada daerah penelitian di kampung Weriagar adalah 715 jiwa dengan jumlah kepala keluarga atau rumah tangga adalah 129 KK sedangkan kampung Mogotira berjumlah 530 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 84 KK. 4.2.2.
Komposisi Penduduk Menurut Agama
Komposisi penduduk menurut Agama di kampung Weriagar dan Mogotira dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
No. 1. 2. 3.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005.
Agama Islam Katolik Protestan Total
Weriagar Jumlah Persentase Jiwa (%) 355 49,65 343 47,97 17 2,28 715 100,00
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005
Mogotira Jumlah Persentase Jiwa (%) 6 1,13 511 96,42 13 2,45 530 100,00
Komposisi penduduk berdasarkan agama di kedua tempat penelitian relatif berbeda. Di kampung Weriagar terlihat bahwa penduduk terbanyak adalah yang beragama Islam, namun jumlahnya hampir seimbang dengan penduduk yang beragama Katolik, sedangkan di kampung Mogotira mayoritas penduduknya beragama Katolik. Letak kedua kampung ini saling berdekatan bahkan hanya dibatasi oleh jalan yang memiliki lebar kurang lebih 1,5 M namun masyarakat pada kedua kampung ini memiliki toleransi beragama sangat tinggi. Hal ini dikarenakan mereka masih seketurunan atau memiliki hubungan darah bahkan semarga. 4.2.3. Komposisi Penduduk Menurut Umur
Komposisi penduduk menurut umur di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3.
No. 1. 2. 3.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005.
Kelompok Umur (tahun) < 15 15 – 54 > 54 Total
Weriagar Jumlah Persentase Jiwa (%) 251 35,10 443 61,96 21 2,94 715 100,00
Mogotira Jumlah Persentase Jiwa (%) 248 46,79 267 50,38 15 2,83 530 100,00
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005 Tabel 3 menunjukan bahwa sebagian besar penduduk di kedua kampung penelitian tergolong dalam usia produktif.
Mereka ini merupakan tenaga
potensial untuk dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan pembangunan termasuk direkrut menjadi karyawan perusahaan BP LNG Tangguh yang sedang beroperasi mengambil hasil sumber daya alam gas bumi di wilayah adat mereka.
4.2.4. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin pada kedua daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
No.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005. Jenis Kelamin
1. 2.
Laki-laki Perempuan Total
Weriagar Jumlah Persentase Jiwa (%) 454 63,50 261 36,50 715 100,00
Mogotira Jumlah Persentase Jiwa (%) 278 52,45 252 48,65 530 100,00
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005 Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar penduduk di kedua kampung adalah laki-laki. Rasio laki-laki terhadap perempuan
di kampung Weriagar
adalah 1 : 1,74. artinya untuk setiap 174 laki-laki terdapat 100 perempuan. Dengan demikian kampung Weriagar didominasi oleh kaum laki-laki. Berbeda dengan rasio laki-laki terhadap perempuan di kampung Mogotira yang cenderung seimbang walaupun jumlah laki-laki masih melebihi jumlah kaum perempuan yaitu 1 : 1,10. atinya untuk setiap 110 laki-laki terdapat 100 perempuan. 4.2.5. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Komposis penduduk menurut tingkat pendidikan di kedua kampung penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5.
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005. Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SMA/SMK Perguruan Tinggi Total
Weriagar Jumlah Persentase (%) Jiwa 247 348 87 28 5 715
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005
34,5 48,7 12,1 4,0 0,7 100,00
Mogotira Jumlah Persentase (%) Jiwa 162 260 67 37 4 530
30,5 49,0 12,7 7.0 0,8 100,00
Tabel 5. menunjukan bahwa sebagian besar penduduk di kampung Weriagar dan Mogotira berpendidikan rendah. Sebagian besar penduduknya hanya memiliki pendidikan tertinggi adalah SD. Hal ini disebabkan fasilitas sekolah yang tersedia hanya SD dan letak kedua kampung yang jaraknya sangat jauh dari ibu kota kabupaten yang memiliki fasilitas sekolah lengkap serta harus menempuh perjalanan laut kurang lebih 60 mil. Kondisi ini membuat banyak anak-anak usia sekolah tamat SD sudah tidak melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. 4.2.6. Komposisi Penduduk Menurut Matapencaharian
Komposisi penduduk menurut matapencaharian pada ke dua kampung penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6.
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencaharian di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005. Matapencaharian Petani Nelayan Pegawai Wiraswata Meramu Total
Weriagar Jumlah Persentase (%) Jiwa 13 1,68 323 45,17 21 2,94 93 13,01 265 37,20 715 100,00
Mogotira Jumlah Persentase (%) Jiwa 12 2,26 297 56,04 31 5,85 4 0,75 186 35,10 530 100,00
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005 Tabel 6 menunjukan sebagian besar masyarakat di kampung Weriagar dan Mogotira bermatapencaharian sebagai nelayan meyusul sebagai peramu. Yang termasuk nelayan adalah mereka yang berusaha memperoleh hasil laut seperti ikan dan udang. Biasanya hasil tangkapan mereka terutama udang di jual Rp. 25.000 – Rp. 35.000,- per kilo kepada pedagang-pedagang pengumpul yang datang dengan kapal mereka langsung ke kampung atau tempat pencaharian
mereka.
Sedangkan mereka yang sebagai peramu adalah yang mengambil
langsung dari alam untuk kebutuhan sehari-hari saja, seperti menokok sagu dan juga menangkap ikan dengan peralatan sederhana untuk keperluan konsumsi saja. Hal ini disebabkan tidak ada fasilitas pasar dan kedudukan kampung yang sangat jauh dari kota atau tempat perekonomian. Sebagian lagi adalah mereka yang bermatapencaharian sebagai pegawai, wiraswasta dan petani.
Yang termasuk
pegawai adalah pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan PNS, aparat desa, tenaga kesehatan seperti medis dan petugas KB. Mereka yang wiraswasta adalah adalah mereka yang berusaha mandiri dalam bidang penjualan barang, konstruksi bangunan, dll. Sedangkan yang sebagai petani adalah mereka yang berusaha dibidang tanaman pangan. Namun karena kondisi daerah yang berawa maka pada umumnya mereka tidak berusaha tani dalam skala besar. 4.2.7. Komposisi Penduduk Menurut Suku atau Keaslian Penduduk
Komposisi penduduk menurut suku atau keaslian penduduk di kedua kampung penelitian terbagi atas penduduk asli, penduduk Papua dan penduduk non Papua.
Penduduk asli adalah masyarakat adat yang berasal dari daerah
penelitian dan memiliki hak adat di daerah tersebut. Penduduk Papua adalah penduduk orang Papua yang berasal dari luar darah penelitian atau tidak berasal dari darah penelitian serta tidak memiliki hak adat di daerah tersebut. Sedangkan penduduk non Papua adalah penduduk yang bukan orang asli Papua atau penduduk pendatang dari luar daerah Papua. Komposisi penduduk menurut suku atau keaslian penduduk di kedua kampung penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7.
No. 1. 2. 3.
Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku atau Keaslian Penduduk di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005. Matapencaharian Penduduk Asli Papua Non Papua Total
Weriagar Jumlah Persentase Jiwa (%) 633 88,53 13 1,82 69 9,65 715 100,00
Mogotira Jumlah Persentase Jiwa (%) 463 87,36 29 5,47 38 7,17 530 100,00
Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005 Tabel 7 menujukan bahwa sebagian besar penduduk di kedua kampung penelitian adalah penduduk setempat atau penduduk asli, menyusul penduduk pendatang non Papua dan penduduk pendatang asal Papua. Penduduk pendatang non papua pada umumnya berasal dari suku Bugis, Makasar, Seram, Buton, Sunda dan Tanimbar. Mereka ini tinggal dan menempati kedua kampung ini karena bermatapencaharian sebagai pedagang dengan pekerjaan sampingan sebagai nelayan. Sedangkan suku asal Papua adalah suku Maybrat, Kokoda, Raja Ampat. Mereka umumnya datang sebagai tukang buruh bangunan bahkan tinggal dan menetap karena ada perkawinan campur dengan penduduk asli setempat. 4.3. Keadaan Sosial Ekonomi.
Keadaan sosial ekonomi meliputi keadaan pendidikan, kesehatan, keagamaan, perumahan, perekonomian. 4.3.1. Keadaan Pendidikan
Kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal serta informal yang diperoleh semasa hidupnya.
Keadaan pendidikan di kedua kampung cukup memperihatinkan. Fasilitas pendidikan pada kedua kampung ini sangat minim karena hanya tersedia gedung sekolah SD.
Fasilitas SD hanya berada di kampung Mogotira sedangkan
kampung Weriagar tidak memiliki fasilitas gedung sekolah SD. Karena jarak kedua kampung yang berdekatan maka sebagian besar murid kampung Weriagar bersekolah pada fasilitas SD yang berada di kampung Mogotira. SD di kampung Mogotira memiliki enam ruangan kelas dan tiga guru tetap yang menangani 195 siswa dan siswi, yang artinya perbandingan guru terhadap murid adalah 1 : 65 dan masing-masing guru harus mengajar pada dua kelas. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa beban mengajar guru cukup besar yang dapat menyebabkan proses belajar mengajar kurang efektif dan efisien. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan yang cenderung rendah dan memperihatinkan di ke dua daerah tersebut. Keadaan ini lebih didukung lagi oleh rendahnya kesadaran anak untuk bersekolah. Demikian juga kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya juga rendah. 4.3.2. Keadaan Kesehatan
Produktivitas kerja seseorang turut ditentukan oleh tingkat kesehatannya. Karena pentingnya faktor kesehatan ini, perlu diperhitungkan secara baik dalam setiap program pembangunan. Fasilitas kesehatan pada kedua daerah penelitian ini sangat terbatas. Kampung Mogotira dan Kampung Weriagar masing-masing memiliki satu puskesmas pembantu (Pustu) dan satu posyandu di kampung Weriagar. Fasilitas tenaga medis di kedua kampung ini sangat minim, dimana tidak memiliki dokter tetapi hanya memiliki satu mantri yang bertugas pada puskesmas pembantu di
kedua kampung tersebut. Mantri ini dibantu oleh lima dukun beranak yang berada di kampung Weriagar. Penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat di kedua kampung ini adalah Malaria dan Diare. Hal ini didukung oleh kondisi sanitasi yang kurang baik sehingga mempermudah hidupnya larva nyamuk malaria dan bakteri diare. 4.3.3. Keadaan Keagamaan.
Ketersediaan fasilitas keagamaan yang tersedia untuk agama masingmasing kampung cukup memenuhi kebutuhan minimal umat beragama. Fasilitas agama yang tersedia di kampung Weriagar adalah satu buah mesjid yaitu mesjid Al Gasar bagi umat Muslim. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah perkumpulan remaja mesjid dan juga pengajian. Sedangkan bagi umat katolik di kampung Weriagar, biasanya melakukan ibadah pada sebuah gereja di kampung Mogotira. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan mudika dan sekolah minggu. Walaupun masyarakat di kedua kampung ini berbeda agama, tetapi rasa toleransi antara umat beragama sangat tinggi. Hal ini ditunjukan dengan adanya kerjasama antara umat Muslim dan Katolik atau Kristen pada saat merayakan hari raya Idul Fitri maupun Natal. 4.3.4. Keadaan Perumahan
Keadaan perumahan yang meliputi bentuk rumah, luas rumah, fasilitas air, kamar mandi/WC dan penerangan merupakan indikator tingkat kesehatan masyarakat sekaligus menggambarkan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan. Keadaan perumahan di kedua kampung penelitian hampir sama atau tidak ada perbedaan yang menyolok. Semua rumah di kedua kampung berbentuk non permanen, yaitu rumah panggung yang berlantai kayu, berdinding kayu atau
papan dan beratap seng atau beratap daun sagu. Luas rumah relatif sama dengan rata-rata ukuran 6 x 7 m, semua rumah dibuat panggung karena kondisi tanah yang berawa bahkan bisa digenangi air setinggi 0,5 m – 1 m jika berair pasang. Air yang digunakan masyarakat di daerah penelitian atau kawasan utara teluk Bintuni
umumnya berwarna coklat kekuning-kuningan. Sumber air
diperoleh dari sungai Weriagar atau biasanya mereka mengambil dari pinggiran rumah mereka jika terjadi air pasang. Air ini digunakan untuk berbagai keperluan MCK (mandi, cuci, kakus), sedangkan air minum masyarakat menggunakan air tadah hujan yang ditampung pada tong-tong penampungan air minum. Kondisi ini membuat masyarakat di kedua kampung sangat memerlukan air bersih untuk kesehatan. Sedangkan fasilitas penerangan untuk menerangi rumah mereka umumnya menggunakan lampu listrik yang bersumber dari mesin genset, lampu petromaks dan pelita. 4.3.5. Keadaan Perkonomian
Aktivitas sehari-hari turut ditentukan oleh tersedianya kebutuhan fisiologis penduduk, terutama sandang, pangan dan papan. Kebutuhan sandang penduduk di kedua kampung dipenuhi dari luar kampung mereka. Kebutuhan papan apa adanya, juga disediakan mereka sendiri dengan bahan atau alat dari luar dan bahan lokal.
Ketersediaan kebutuhan ekonomi ini sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan program pembangunan kampung, karena itu, pelaksana pembangunan kampung senantiasa memperhatikan ketersediaan kebutuhan pokok ini, dengan harga yang wajar dan dapat dijangkau oleh masyarakat setempat.
Rata-rata pendapatan masyarakat per bulan di kedua kampung terutama yang bermata pencaharian sebagai karyawan perusahaan BP atau nelayan udang cukup besar lebih dari Rp. 2.000.000,- per bulan, tatapi jumlah ini tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok mereka setiap bulannya. Hal ini disebabkan oleh harga barang kebutuhan pokok yang meningkat dua kali lipat dari harga biasanya di kota kabupaten Teluk Bintuni atau Manokwari. Pedagang beralasan bahwa harga barang meningkat disebabkan biaya transportasi yang cukup besar karena barang-barang dagangan tersebut di beli dari kota kabupaten yang jaraknya kurang lebih 60 mil dengan menggunakan kapal kayu atau motor jonson dengan resiko kerugian yang cukup berat jika pengiriman barangnya pada saat musim ombak atau angin selatan. Fasilitas ekonomi di kedua kampungpun masih minim. Belum adanya fasilitas pasar untuk masyarakat setempat melakukan transaksi jual beli. Yang tersedia hanya kios-kios berukuran kecil atau sedang. Di kampung Weriagar hanya tersedia satu kios, sedangkan di kampung Mogotira terdapat tiga kios. Kios-kios ini umumnya dimiliki oleh masyakat pendatang non Papua. 4.4. Keadaan Kelembagaan Kampung.
Kelembagaan di kedua kampung penelitian terdapat kelembagaan pemerintah dan kelembagaan adat. Pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat di kampung merupakan tanggung jawab kepala kampung dan aparatnya. Hasil-hasil pembangunan yang dicapai kepala kampung dan aparatnya merupakan kekuatan dan landasan kokoh bagi pembangunan tahap berikutnya. Selain dari pada itu, kepala kampung memegang kendali penting dalam berbagai upaya pelaksanaan pembangunan di kampung tersebut. Struktur
pemerintahan kampung atau desa cukup berfungsi pada kedua kampung tersebut. Terdapat kepala kampung, sekertaris kampung, kepala urusan dan lembagalembaga sosial kampung, Baperkam dan Keamanan kampung. Kampung Weriagar dan Mogotira memiliki fasilitas kantor desa dan balai pertemuan. Namun fasilitas seperti alat tulis kantor, mesin ketik dan lain-lain masih sangat terbatas. Administrasi desa seperti registrasi desa, papan data desa dan lain-lain tidak dibuat. Dalam keadaan ini, sangat sulit diharapkan mereka memberikan pelayanan yang optimal kepada berbagai pihak yang membutuhkan. Kelembagaan adat menjadi penting di Papua setelah diberlakukannya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Setiap kampung memiliki tokoh-tokoh yang terdiri dari kepala suku, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, tokoh agama, tokoh pendidikan dsb. Kelembagaan adat hadir dengan sebutan LMA (Lembaga Masyarakat Adat). Lembaga ini banyak terlibat bersama-sama kepala suku dan kepala kampung dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan peristiwa pidana dan perdata adat. Pada kedua daerah penelitian, belum terdapat kantor LMA yang permanen. Pembentukan kelembagaan adat juga belum dilakukan secara lengkap, sementara ini baru ada ketua dan sekertaris LMA. 4.5. Profil Proyek Tangguh BP LNG Tangguh dan Program CSR
Proyek Tangguh adalah proyek eksplorasi gas alam di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, yang dioeprasikan oleh BP, sebuah perusahaan minggas internasional asal Inggris. Sebenarnya eksplorasi sumber daya alam di Teluk Bintuni telah dimulai sejak lebih dari 60 tahun yang lalu, tapi baru pada pertengahan tahun1990an ditemukan beberapa sumur gas alam di sana, termasuk
dua sumur raksasa yaitu Weriagar (ditemukan tahun 1994) dan Vorwata (ditemukan tahun 1997). Setelah mengakuisisi ARCO (perusahaan yang melakukan eksplorasi sebelumnya) pada tahun 2000, dan mendapat persetujuan sebagai kontraktor bagi hasil dari Pemerintah Indonesia pada tahun 2005, BP telah mulai membangun proyek eksplorasi gas alam Tangguh di Teluk Bintuni, termasuk pembangunan unit pemprosesan gas alam menjadi LNG di pantai selatan teluk tesebut. Proyek Tangguh menelan biaya tidak kurang dari US$ 5 milyar, dan rencananya akan mulai memasuki fase produksi di tahun 2008. Tangguh diperkirakan mampu memproduksi 7,6 juta metric ton LNG per tahun, yang akan dikirim untuk memenuhi pesanan dari empat pelanggan: Proyek Fujian LNG di China, K-Power di Korea, POSCO di Korea, dan Sempra Energy di Meksiko. Dalam kontrak bagihasil Proyek Tangguh, Pemerintah Indonesia mendapat bagian 62 persen sedangkan BP mendapat 38 persen. Proyek Tangguh menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan yang besar bagi BP. Ketersediaan gas alam di Teluk Bintuni sangat besar, diperkirakan mencapai 14,4 trilyun cubic feet secara keseluruhan, namun untuk mengambil dan mengolahnya diperlukan banyak perhatian terhadap isu-isu sosial dan lingkungan.
Salah
satunya,
daerah
Teluk
Bintuni
sangat
kaya
akan
keanekaragaman hayati (sehingga harus di jaga), namun juga meruapakan salah satu daerah yang paling terbelakang di Indonesia (sehingga menimbulkan potensi konflik/kecemburuan sosial yang besar). Bila tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan baik, maka BP berharap proyek Tangguh dapat memperoleh kepercayaan untuk mengembangkan usaha LNG-nya di seluruh dunia.
Mengatasi tantangan ini bukan hal yang mudah. WALHI ( Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang) dalam siaran pers bersama bulan Desember 2005 mengkritik Tangguh sebagai ”proyek yang dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan dan menyimpan permasalahan besar. Sejumlah permasalahan mulai dari Pelaksanaan dan Perlindugan HAM, kerusakan sosial ekologis hingga tidak terselesaikannya urusan jual beli tanah masih terus membayangi proyek tersebut.” Unit pengolahan LNG Tangguh memang membutuhkan lahan dalam jumlah besar (mencapai 3.200 hektar) yang mengharuskan terjadinya pembebasan lahan dari masyarakat/kelompok adat dengan kompensasi ganti-rugi. Jumlah kompensasi inilah yang dianggap tidak adil oleh WALHI, misalnya tanah yang dibeli dari tiga marga di Tanah Merah pada tahun 1999 hanya dihargai Rp. 15,per meter persegi. Selain itu, urusan dengan kelompok-kelompok masyarakat adat yang ingin mendapat pengakuan dan penghargaan yang memadai dari proyek Tangguh juga tidak sederhana. Salah satunya, sebagaimana dikutip Satu Dunia, sebagaian masyarakat sekitar menuntut pemerintah untuk mengakui bahwa sumur-sumur gas yang dikelola Tangguh adalah milik suku besar sebyar (suku yang berdomisili di daerah utara teluk Bintuni). Akibatnya, selain menuntut bahwa BP Tangguh harus membayar ”uang adat Rp 60 milyar untuk 6 sumur, masyarakat juga menuntut mendapat 30% dari bagi hasil yang diterima pemerintah digunakan untuk pembangunan dan pengembangan masyarakat suku besar Sebyar.
Berbagai tantangan ini, sebagaimana di sampaikan oleh Manager Papua Affair (Manajer Urusan Papua) BP Indonesia, Erwin Maryoto, menunjukkan bahwa ”BP masuk dan beroperasi di Papua dengan risiko besar, mempertaruhkan nama besar dan reputasinya sebagai perusahaan minyak gas dunia. Dengan demikian kehadirannya harus diikuti keberhasilan dalam program-program sosial yang menyentuh langsung masyarakat. Memang diakui masih ada pihak yang merasa belum diperhatikan, namun pihak perusahaan akan terus berupaya melakukan sesuatu bermanfaat” Untuk menunjukkan komitmennya membangun kawasan yang terkena dampak langsung dari Proyek Tangguh, BP Indonesia mengembangkan Program Sosial Terpadu (Integrated Social Program atau ISP) sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. ISP terdiri dari sembilan komponen program, yaitu Relokasi Permukiman, Pengembangan Livelihoods (sarana penghidupan), Pengembangan Usaha, Penguatan Usaha, Manajemen Tenaga Kerja, Pendidikan, Pelatihan Kejuruan, Urusan Migrasi/Pendatang, dan Unit Kesehatan Komunikasi. Program ISP yang terlihat nampak dilakukan pada dua daerah penelitian yaitu kampung Weriagar dan Mogotira adalah Pengembangan Livelihoods (sarana penghidupan) yaitu berusaha meningkatkan sarana penghidupan masyarakat di sekitar Proyek Tangguh dengan cara pengembangan Rencana Kerja Komunitas (Community Action Plan atau CAP). Program ini dilaksanakan di sembilan desa yang terkena dampak langsung dari proyek Tangguh, yaitu Weriagar, Mogotira, Tomu, Ekam, Taroi, Tomage-Otoweri, Saengga, Tanah Merah dan Tofoi. CAP dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat desa untuk merencanakan dan mengelola pembangunan di desanya sendiri.
Program CAP menyediakan dana sebanyak US$ 30.000 per tahun selama sepuluh tahun bagi desa-desa yang terkena dampak langsung. Dana ini dapat digunakan sebagaimana ditentukan sendiri oleh komunitas melalui proses perencanaan yang partisipatif (melibatkan semua warga) untuk mengidentifikasi kebutuhan, memprioritaskannya, merencanakan, dan melaksanakan programprogram pembangunan komunitas. Proyek Tangguh menyediakan fasilitator CAP untuk menstimulasi dan membantu proses perencanaan dan penulisan proposal yang dilakukan setiap tahun. Sejauh ini, dana dari program CAP telah digunakan secara beraneka ragam, tergantung kebutuhan komunitas. Kebanyakan telah digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa, misalnya jalan desa, jembatan, pelabuhan kecil, dan beberapa fasilitas seperti klinik, gereja, dan masjid. Di tingkat rumah tangga, dana telah digunakan untuk membangun WC dan teknologi pengairan yang menampung air hujan. Dana CAP juga digunakan untuk memperbaiki berbagai sarana/cara
penghidupan,
misalnya
untuk
membeli
peralatan
pertanian,
perlengkapan perikanan, dan peralatan yang menunjang usaha kecil seperti mesin jahit dan peralatan memasak. 4.6. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari karekteristik responden berdasarkan umur, agama, tingkat pendidikan terakhir, pekerjaan dan jumlah anggota keluarga.
4.6.1. Komposisi Responden Berdasarkan Umur
Umur adalah lama waktu hidup dari sejak dilahirkan. Umur dalam penelitian ini terbagi atas umur produktif dan umur non produktif. Komposisi responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Komposisi Responden Berdasarkan Umur Umur (Thn) 15 – 55 > 55 Jumlah
Jumlah (KK) 53 7 60
Nisbah (%) 88,33 11,67 100,00
Dari tabel 8 diatas, diketahui sebagian besar responden berusia produktif. Sedangkan hanya sebagian kecil berusia non produktif. Sekalipun mereka digolongkan dalam usia non produktif, tetapi pada umumnya mereka masih bekerja secara produktif untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sebagai nelayan tangkap tradisional. 4.6.2. Komposisi Responden Berdasarkan Agama.
Komposisi responden berdasarkan agama disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Responden Berdasarkan Agama Agama Islam Katolik Kristen Protestan Budha Hindu Jumlah
Jumlah (KK) 16 44 60
Nisbah (%) 26,67 73,33 100,00
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden beragama Katolik. Hal ini disebabkan ajaran agama Katolik lebih dulu masuk di kampung Weriagar dan Mogotira pada tahun 1938. Sedangkan hanya sebagian kecil responden yang beragama Islam. Di kedua kampung ini, toleransi beragama di antara penduduk
sangat tinggi terutama karena mereka seketurunan bahkan semarga. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa konflik yang terjadi di daerah penelitian bukan berupakan konflik Agama. 4.6.3. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal.
Tingkat pendidikan formal adalah pendidikan yang ditempuh melalui jalur formal seperti SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan formal disajikan pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Tingkat Pendidikan Formal SD SMP SMA/SMU D3/S1 Jumlah
Jumlah (KK) 37 15 5 3 60
Nisbah (%) 61,67 25,00 8,33 5,00 100,00
Tabel 10 menunjukkan semua responden pernah mengenyam pendidikan, tetapi sebagian besar responden hanya berpendidikan SD. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pendidikan yang tersedia pada saat itu hanya SD dan tingkat perekonomian orang tua yang tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, disertai transportasi laut yang sangat susah pada saat itu untuk melajutkan pendidikan ke SMP di ibu kota distrik Bintuni yang berjarak tempuh sekitar ± 60 mil. Selain itu, kurang adanya kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga mereka lebih memilih anaknya tinggal dan menetap di kampung untuk membantu mereka dalam mencari nafkah dari pada merelakan anaknya merantau bersekolah di negeri orang.
Tabel 10 juga menunjukkan hanya sebagian kecil responden mengenyam pendidikan pada tingkat SLTP, SLTA dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi D3 atau S1. Hal ini disebabkan oleh kesadaran orang tua tentang arti pentingnya pendidikan dan disertai kemauan yang timbul dalam diri pribadi atau responden untuk berani mengambil resiko untuk merantau dan menempuh pendidikan di luar kampung halaman. Selain itu, bagi responden yang berpendidikan sampai pada tingkat perguruan tinggi, ini disebabkan oleh prestasi belajar yang sangat baik pada saat menempuh pendidikan di SD, sehingga mereka dibiayai oleh yayasan Misi Katolik sampai pada tingkat perguruan tinggi. 4.6.4. Komposisi Responden Berdasarkan Matapencaharian.
Matapencaharian merupakan sumber utama pencaharian nafkah seseorang untuk memenuhi kebutuhan seseorang.
Mata pencaharian dalam penelitian ini
terbagi atas nelayan, swasta/karyawan BP LNG Tangguh, dan PNS. Berikut ini Komposisi responden berdasarkan mata pencaharian disajikan pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Komposisi Responden Berdasarkan Matapencaharian Mata Pencaharian Nelayan Swasta. PNS Jumlah
Jumlah (KK) 45 12 3 60
Nisbah (%) 75,00 20,00 5,00 100,00
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden bermatapencaharian sebagai nelayan. Hal ini disebabkan oleh kampung Mogotira dan kampung Weriagar letaknya dipinggiran garis pantai dan sudah secara turuntemurun memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Sedangkan hanya sebagian kecil responden yang bermatapencaharian di sektor swasta dan sebagai PNS.
Mereka umumnya bekerja sebagai karyawan BP LNG Tangguh serta bekerja di kantor DIstrik Weriagar. 4.6.5.
Komposisi Responden Berdasarkan Pendapatan.
Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan tunai yang diperoleh setiap bulan dari hasil pekerjaannya. Berikut ini Komposisi responden berdasarkan pendapatan disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12. Komposisi Responden Berdasarkan Pendapatan Pendapatan (Rp/bulan) < Rp. 2.000.000. 2.000.000. - 5.000.000. > 5.000.000. Jumlah
Tabel 12. menunjukkan bahwa
Jumlah (KK) 26 22 12 60
Nisbah (%) 43,33 36,67 20,00 100,00
sebagian responden memiliki kisaran
pendapatan kurang dari Rp. 2.000.000,- hal ini disebabkan oleh faktor usia sehingga membuat banyak nelayan yang sudah mulai jarang mencari ikan, selain itu disebabkan terbatasnya alat tangkap, seperti hanya menggunakan jaring ikan dan perahu tradisional. Kisaran Rata-rata pendapatan dari hasil tanggkapan jika dijual berkisar antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,-/hari. Tabel 13 juga menunjukkan terdapat responden memiliki kisaran pendapatan antara Rp.2.000.000.- sampai Rp.5.000.000,-. Meraka ini pada umumnya bekerja sebagai karyawan Perusahaan BP LNG Tangguh. dan sebagian lagi sebagai nelayan yang sudah memiliki alat tangkap yang memadai. Disisi lain, terdapat juga sebagian kecil responden yang memiliki pendapatan di atas Rp.5.000.000,-.
Hal ini disebabkan mereka bekerja sebagai nelayan yang
berorientasi komersil. Pada umumnya mereka memilki alat tangkap yang lebih
lengkap sebagai nelayan udang. Seperti jaring udang dan perahu mesin katinting. Kisaran Rata-rata pendapatan dari hasil tanggkapan udang berkisar antara Rp. 200.000-
sampai 400.000,-/ hari.
Nelayan ini pada umumnya mampu
mendapatkan udang per hari bisa mencapai 5 – 10 kilo, serta dijual langsung kepada pedagang-pedagang pengumpul yang datang langsung ke areal penangkapan mereka dengan harga Rp.35.000,-/Kg. Oleh pedagang pengumpul, udang-udang tersebut di jual lagi pada sebuah perusahaan udang di kabupaten Sorong untuk di ekspor ke Korea, Cina dan Jepang dengan harga per kilo adalah USD 10. Jika dilihat pada tabel diatas, secara jumlah pendapatan, masyarakat di daerah penelitian tergolong memiliki pendapatan diatas pendapatan rata-rata perkapita di Indonesia tahun 2010 (USD3000) namun hasil tersebut belum bisa mencukupi kebutuhan fisiologisnya, hal ini disebabkan oleh harga kebutuhan pokok dan harga alat-alat produksi yang tinggi seperti jaring udang atau ikan, dan BBM. 4.6.6. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Keluarga
Jumlah keluarga yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah jumlah
keluarga inti yang terdiri dari bapak, ibu dan anak kandung. Berikut ini Komposisi responden berdasarkan jumlah keluarga inti disajikan pada tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Keluarga Jumlah Anggota Keluarga <5 6 – 10 > 10 Jumlah
Jumlah (Jiwa) 12 36 12 60
Nisbah (%) 20 60 20 100
Tabel 13 menunjukkankan bahwa sebagian besar responden memiliki jumlah keluarga inti berkisar antara enam sampai sepuluh jiwa. Terlihat pula bahwa sebagian kecil responden memiliki keluarga inti yang sangat besar yaitu lebih dari sepuluh jiwa. Hal ini disebabkan oleh kurang
adanya
kesadaran tentang program keluarga berencana (KB), disisi lain adanya beberapa pandangan
dari
masyarakat
yang
menyatakan
bahwa
“Tanah
mereka masih luas sehingga tidak perlu membatasi jumlah anak dan banyak anak banyak rejeki”. Sedangkan sebagian kecil responden lagi yang memiliki jumlah keluarga inti kurang dari lima jiwa, hal ini disebabkan mereka sudah mulai mengerti tentang program Keluarga Berencana (KB) tetapi ada juga disebabkan karena mereka baru menikah.