30
BAB IV
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Studi Pendahuluan dan Penentuan Jumlah Sampel Penelitian Terdapat 5 satelit farmasi di RS Immanuel yaitu satelit spesialis Diagnostik Center (DC) II, satelit Pusat Medik (PM), satelit poliklinik spesialis DC III, satelit poliklinik askes, dan satelit Rawat Inap. Penelitian ini dilakukan di satelit DC II dan satelit PM, karena kedua satelit tersebut merupakan satelit yang terbesar dan melayani sebagian besar poliklinik yang ada di rumah sakit. Data populasi penderita rawat jalan di satelit DC II dan satelit PM dapat dilihat pada Lampiran B, Tabel 4.1. Populasi penderita rawat jalan selama periode Oktober-Desember 2006 di satelit DC II sebanyak 11197 penderita dan dari satelit PM sebanyak 16493 penderita, total jumlah penderita kedua satelit tersebut adalah 27690 penderita. Untuk menetapkan jumlah sampel yang akan diteliti, digunakan tabel kreijcie dengan tingkat kepercayaan 95% (Sugiyono, 2005) dan diperoleh untuk populasi 27690 penderita diperlukan jumlah sampel minimal 379 orang. Kemudian jumlah sampel untuk satelit DC II dan PM ditentukan sesuai proporsi masingmasing, dan diperoleh untuk satelit DC II adalah 153 orang dan satelit PM 226 orang.
4.2 Hasil Angket Hasil angket terbagi dalam beberapa kelompok data yaitu demografi penderita, pengalaman penderita menggunakan obat, pengalaman penderita terhadap pelayanan konseling obat, kebutuhan penderita terhadap pelayanan konseling obat, serta kepuasan penderita terhadap pelayanan instalasi farmasi RS Immanuel.
4.2.1 Data Demografi Penderita Data demografi penderita menunjukkan bahwa sebagian besar penderita rawat jalan yang diteliti adalah penderita usia 21-30 tahun, berjenis kelamin perempuan, sudah menikah,
31 berpendidikan SMA, dan bekerja sebagai pegawai swasta. Data selengkapnya tertera pada Lampiran C, Tabel 4.2. Tingkat pendidikan penderita yang beragam dari SD sampai dengan S2, menjadi perhatian dalam penyusunan materi untuk konseling.
4.2.2 Pengalaman Penderita dalam Menggunakan Obat Pada data mengenai pengalaman penderita dalam menggunakan obat dapat diketahui terdapat 41,43% penderita pernah melakukan ketidaktepatan penggunaan obat. Dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.3. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan penderita terhadap obat dan penyakitnya, disebabkan kurangnya informasi dari profesional kesehatan. Jenis ketidaktepatan obat yang dilakukan penderita meliputi: 70,99% penderita melakukan ketidaktepatan penggunaan obat dalam hal jadwal pemakaian. Ketidaktepatan alergi terjadi pada 10,49% penderita. Ketidaktepatan cara pemakaian terjadi pada 6,79% penderita, yaitu penderita tidak memakai obat sesuai dengan petunjuk cara pemakaian. Ketidaktepatan dosis terjadi pada 4,32% penderita, yaitu ketika obat digunakan tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya. Ketidaktepatan efek samping terjadi pada 3,70% penderita, yaitu timbulnya efek samping setelah penggunaan obat. Ketidaktepatan salah obat pada 3,09% penderita, berhubungan dengan salah swamedikasi penderita, menimbulkan penggunaan obat yang salah. Obat tidak cocok dialami 1,23% penderita, karena obat tersebut tidak menimbulkan efek terapi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.4. Data tersebut sebagai dasar apoteker untuk menekankan hal-hal yang perlu diperhatikan penderita selama konseling obat, sehingga penderita menggunakan obat secara tepat, termasuk untuk penderita yang sering melakukan swamedikasi. Terdapat 30,43% penderita memilih keluarga sebagai sumber informasi obat, diikuti dengan 28,39% penderita memilih dokter, dan 18,93% memilih petugas apotek. Sedangkan apoteker hanya dipilih oleh 2,81% penderita. Data selengkapnya tertera pada Lampiran D, Tabel 4.5. Fakta tersebut dapat menjadi bukti bahwa peran apoteker sebagai sumber informasi obat belum dikenal penderita. Hal ini dapat disebabkan kurangnya sosialisasi dan keaktifan apoteker untuk memberikan informasi obat kepada penderita. Kenyataan penderita bertanya tentang obat bukan kepada apoteker mengharuskan apoteker lebih aktif memberikan pendidikan atau informasi obat kepada profesional pelayanan kesehatan lain dan masyarakat.
32
Penderita menganggap informasi yang diberikan oleh sumber informasi pada Tabel 4.5 cukup membantu mereka dalam menggunakan obat. Data ini dapat dilihat pada Lampiran D, Tabel 4.6.
4.2.3 Pengalaman Penderita terhadap Pelayanan Konseling Obat Tabel mengenai pengalaman penderita terhadap pelayanan konseling obat menunjukkan sebagian besar penderita tidak mengetahui istilah konseling dan sebagian besar dari mereka belum pernah mendapat pelayanan ini. Data selengkapnya tertera pada Lampiran E, Tabel 4.7. Ketidaktahuan tersebut menjadi bukti bahwa sosialisasi pelaksanaan konseling obat dan keaktifan apoteker untuk menyelenggarakan pelayanan ini belum optimum. Penderita rawat jalan yang pernah menjalani konseling obat di RS Immanuel berjumlah 56,80%, sedangkan di tempat lain 42,00%. Yang dimaksud dengan tempat lain adalah rumah sakit lain, puskesmas, dokter praktek, apotek, program penyuluhan dari instansi kesehatan, atau diskusi nonformal dengan teman yang merupakan profesional kesehatan. Sebanyak 85,19% mengatakan bahwa dokter yang memberikan pelayanan konseling obat dengan durasi umumnya 5-10 menit. Dari tabel juga diketahui, apoteker belum melaksanakan konseling dengan baik ditandai kecilnya prosentase penderita yang pernah mendapat konseling dari apoteker yaitu 6,17%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Lampiran E, Tabel 4.8. Salah satu penyebabnya jumlah apoteker tidak mencukupi sehingga konseling belum menjadi pelayanan yang utama. Jenis materi yang diperoleh penderita pada saat konseling sesuai dengan standar materi yang ada dalam pustaka, mengenai hal-hal yang perlu diinformasikan dalam konseling (Siregar dan Kumolosasi, 2004, Hasan, 1986, Hicks, 1994). Informasi lain-lain yang diperoleh penderita adalah komposisi zat aktif, alergi, informasi penyakit, dan pola makan. Terdapat materi lain yang kurang cukup diberikan ditandai dengan prosentase yang kecil, misalnya kontra indikasi, reaksi obat merugikan, cara simpan, interaksi obat dengan obat, atau interaksi obat dengan makanan. Pemberian konseling untuk materi tersebut perlu ditingkatkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran E, Tabel 4.9.
33 4.2.4 Kebutuhan Penderita terhadap Konseling Obat Berdasarkan kebutuhan penderita terhadap konseling obat, terdapat 96,93% penderita mengatakan bahwa konseling obat penting untuk dilaksanakan. Hal ini dapat menjadi landasan bagi RS Immanuel untuk melaksanakan pelayanan konseling secara konsisten. Terdapat beberapa penderita yang memberikan alasan mengenai tidak pentingnya konseling obat, dan mereka berpendapat bahwa pemberian informasi obat yang biasa dilakukan pada saat penyerahan obat sudah cukup membantu. Informasi selengkapnya tertera pada Lampiran F, Tabel 4.10. Anggapan penderita mengenai tidak pentingnya konseling dapat disebabkan karena kelelahan, akibatnya penderita ingin cepat pulang, dan segera beristirahat. Alasan tidak pentingnya konseling dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam penyusunan materi konseling obat dengan durasi waktu tertentu sehingga tidak terlalu lama dan disampaikan dengan cara yang baik dan menarik, agar penderita memiliki motivasi untuk menjalani konseling obat. Durasi efektif yang dipilih penderita untuk proses konseling adalah 5-10 menit (49,87%), seperti yang tertera pada Lampiran F, Tabel 4.11. Data ini dapat dijadikan dasar untuk pemilihan durasi konseling, dan pemilihan materi yang penting untuk disampaikan sehingga dalam durasi 5-10 menit dapat dilakukan pelayanan konseling yang efektif. Informasi obat yang diinginkan penderita dalam pelayanan konseling obat meliputi, efek samping, khasiat, dosis, cara pemakaian, jadwal pemakaian, nama obat, cara penyimpanan, kontra indikasi, interaksi obat-obat atau obat-makanan, reaksi obat merugikan, dan lain-lain. Materi lain-lain dapat berupa waktu berhenti minum dan pemakaian ulang obat, komposisi obat, tanggal kadaluarsa, alergi obat, dan hal-hal lain yang dapat membantu pengobatan. Informasi selengkapnya ada pada Lampiran F, Tabel 4.12. Informasi tersebut perlu ditekankan pada penderita karena ketidaktahuan penderita terhadap informasi ini menyebabkan ketidaktepatan penggunaan obat. Data tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam penyediaan buku acuan dan materi pendidikan kepada profesional kesehatan lain maupun penderita dan keluarganya. Jumlah penderita yang memilih ruang khusus sebagai tempat pelaksanaan konseling sebanyak 65,73%, sesuai dengan data pada lampiran F, Tabel 4.13. Penyediaan ruang khusus
34 memberikan keleluasaan, menjamin kerahasiaan, serta meminimalkan resiko gangguan selama proses konseling (Siregar dan Kumolosasi, 2004). Dokter merupakan profesi yang paling diharapkan (66,50%) untuk memberikan konseling, disusul dengan apoteker (13,81%), seperti yang tertera pada Lampiran F, Tabel 4.14. Data ini menunjukkan bahwa kurangnya sosialisasi aktif apoteker dalam memberikan konseling obat, sehingga penderita masih belum mengetahui peran apoteker sebagai pemberi konseling obat. Kurangnya keaktifan apoteker dapat disebabkan jumlah sumber daya apoteker kurang memadai, sehingga tugas untuk memberikan konseling terabaikan. Atau kurangnya kompetensi apoteker untuk memberikan konseling sehingga apoteker tidak percaya diri. Hal ini sejalan dengan data pada Lampiran F, Tabel 4.15 yang menyatakan bahwa 78,77% penderita tidak mengetahui apoteker sebagai pemberi konseling obat Sebagian besar penderita membutuhkan informasi tertulis yang dapat dibawa pulang, seperti yang ditunjukkan Lampiran F, Tabel 4.16. Pemberian Informasi tertulis merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam konseling. Metode ini efektif dalam penyampaian materi, karena memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah membantu penderita untuk mengingat kembali dan lebih memahami materi yang telah disampaikan; membantu penderita yang memiliki keterbatasan untuk melakukan komunikasi verbal, seperti: keterbatasan pendengaran. Jika yang mengambil obat bukan penderita yang bersangkutan, informasi tertulis dapat memberikan informasi yang tepat kepada penderita sesuai yang disampaikan apoteker. Informasi tertulis dapat mencakup informasi obat yang lebih luas, dibandingkan dengan yang dilisankan. Jika penderita terburu-buru, informasi tertulis dapat menghemat waktu konseling, dan penderita tetap mendapatkan materi yang memadai (Remington, 2006). Materi yang perlu dicantumkan dalam informasi tertulis sesuai dengan keinginan penderita, selengkapnya tercantum pada Lampiran F, Tabel 4.17.
4.2.5 Kepuasan Penderita terhadap Pelayanan Instalasi Farmasi Sejumlah 85,84% penderita puas terhadap pelayanan Instalasi Farmasi RS Immanuel, salah satunya adalah karena petugas ramah (36,59%). Walaupun demikian masih ada penderita yang merasa tidak puas terhadap pelayanan (14,16%). Beberapa komentar ketidakpuasan yang dikemukaan penderita satelit DC II adalah pelayanan lama dan petugas kurang ramah,
35 sedangkan pada satelit PM adalah lamanya pelayanan; prosedur pelayanan kurang efektif; tempat tertutup sehingga membatasi interaksi antara petugas dengan penderita, dan lain-lain. Data selengkapnya tertera pada Lampiran G, Tabel 4.18. Lamanya pelayanan dapat disebabkan kurangnya sumber daya manusia di satelit farmasi, atau kurangnya kinerja petugas. Kurangnya sumber daya menyebabkan besarnya beban petugas, dan dapat berakibat buruk pada ketelitian dan etika petugas. Komentar-komentar tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi dan meningkatkan pelayanan kefarmasian di RS Immanuel. Jumlah saran mengenai pelayanan konseling obat di satelit DC II 30,34%, diperlihatkan dalam Lampiran G, Tabel 4.19. Data ini dapat menjadi pertimbangan bagi Instalasi Farmasi untuk mengadakan pelayanan konseling obat di satelit DC II. Sejumlah 11,54% penderita menyarankan pelaksanaan konseling obat di satelit PM, seperti yang tertera pada Lampiran G, Tabel 4.20. Saran ini dapat mendasari instalasi farmasi untuk segera melaksanakan konseling di satelit PM.
4.3 Pengkajian Resep Analisis pengkajian resep yang dilakukan adalah analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri dari analisis kelengkapan informasi dalam resep dan daftar frekuensi peresepan, sedangakan analisis kualitatif mencakup duplikasi dan interaksi obat. 4.3.1 Analisis Kuantitatif Pengkajian Resep Diteliti mengenai ketidaklengkapan penulisan informasi dalam resep
mengenai ada atau
tidaknya nama penderita, umur atau bobot badan, nama dokter, jumlah obat, dan signa. Prosentase setiap ketidaklengkapan dihitung berdasarkan jumlah lembar resep, selengkapnya tertera pada Lampiran H, Tabel 4.21. Ditemukan 1,54% tanpa nama penderita. Tingkat ketidaklengkapan tertinggi terdapat pada poliklinik jantung (6,90%). Adanya nama penderita dalam resep sangat penting untuk menghindari salah penderita. Keberadaan umur atau berat badan pada resep untuk anak-anak dan onkologi sangat diperlukan, agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian dosis obat. Terdapat 7,81% resep
36 poliklinik anak dan onkologi yang tidak disertai dengan penulisan umur atau berat badan. Tingkat ketidaktepatan lebih tinggi pada poliklinik anak yaitu 7,85%. Pada penulisan nama dokter terdapat 0,56% resep tidak dilengkapi oleh nama dokter. Poliklinik jantung berada pada tingkat ketidaklengkapan tertinggi (3,45%). Penulisan nama dokter mempermudah melakukan konfirmasi permasalahan yang dijumpai, sehingga membantu dalam ketepatan pelayanan obat di satelit. Resep yang tidak disertai dengan penulisan jumlah obat sebanyak 0,33%, tingkat ketidaklengkapan tertinggi terdapat pada poliklinik onkologi (1,14%). Penulisan jumlah obat berguna dalam penentuan lama terapi. Keadaan ini sangat berbahaya pada obat psikotropika, penderita dapat menulis jumlah obatnya sendiri, sehingga terjadi penyalah gunaan obat. Resep ini baru dapat dilayani setelah dilakukan konfirmasi terlebih dahulu, akibatnya mengganggu kinerja petugas instalasi farmasi dan dokter. Ketidaktepatan dalam penulisan signa berjumlah 1,44%. Tingkat Ketidaklengkapan tertinggi terjadi pada poliklinik onkologi (17,05%). Tidak adanya signa dapat menyebabkan tidak berfungsinya fungsi kontrol dari farmasi, sehingga terjadi salah pemberian, dan proses konseling dapat terhambat, karena apoteker tidak bisa memberikan informasi dengan jelas. Pemberian signa membantu penderita untuk menggunakan obat dengan benar secara mandiri. Terkumpul 1034 jenis obat dari resep bulan oktober-desember 2006, dengan frekuensi masing masig obat dapat dilihat pada Lampiran H, tabel 4.22. Frekuensi obat yang diresepkan membantu dalam penyusunan data base informasi obat untuk pelayanan konseling obat.
4.3.2 Analisis Kualitatif Pengkajian Resep Terdapat 1,43 % interaksi farmakokinetik obat dan 0,79% interaksi farmakodinamik obat, berdasarkan pengkajian resep, seperti yang tertera pada lampiran I, Tabel 4.23. Interaksi Farmakokinetik terdiri dari: 0,12% interaksi diazepam dan amitriptilin. Mekanisme yang terjadi belum pasti, namun diduga diazepam menghambat metabolisme amitriptilin menyebabkan peningkatan kadar serum amitriptilin, dan keduanya sama-sama mempunyai efek depresi sistem saraf pusat. Kemudian 0,13% interaksi obat metil prednisolon dan fenitoin,
37 terjadi induksi enzim hati oleh fenitoin, menyebabkan peningkatan metabolisme metilprednisolon, dan mempercepat ekskresinya. Terdapat 0,16% interaksi farmakokinetik obat antara teofilin dan metilprednisolon, dimana metilprednisolon dapat meningkatkan ekskresi teofilin. Selanjutnya 0,19% interaksi obat parasetamol dan fenobarbital, terjadi induksi enzim hati oleh fenobarbital yang menyebabkan peningkatkan metabolit hepatotoksik parasetamol, dan ekskresi parasetamol meningkat. Untuk interaksi obat teofilin dan salbutamol ditemukan sebanyak 0,34%, terjadi peningkatan ekskresi teofilin, sehingga menurunkan kadar teofilin dalam darah. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran I, Tabel 4.23.
Sedangkan beberapa interaksi farmakodinamik yang ditemukan adalah 0,11% interaksi antara captopril dan metformin, menyebabkan peningkatan hipersensitivitas dan infark miokardial. Interaksi antara etambutol dan isoniazid ditemukan sebanyak 0,23%, isoniazid dapat memperparah optik neuropati yang disebabkan etambutol. Selanjutnya adalah interaksi antara rifampisin dan isoniazid ditemukan sebanyak 0,34%, dimana rifampisin dapat meningkatkan efek hepatotoksik isoniazid. Adanya interaksi obat dapat mengurangi ketepatan terapi penderita. Untuk Interaksi yang dapat diatasi, penderita dapat diinformasikan cara menggunakan obat yang tepat melalui konseling obat, sehingga interaksi obat dapat dihindari. Selain interaksi obat, pada pengkajian resep ditemukan pula duplikasi obat. Duplikasi obat terjadi ketika obat-obat tersebut diresepkan secara bersamaan pada seorang penderita, yang berbeda dalam hal nama dagangnya atau bentuk sediaannya. Ditemukan 0,02% kasus duplikasi obat diazepam; 0,04% duplikasi salbutamol; dan 0,02% duplikasi ambroksol, dapat dilihat pada Lampiran I, Tabel 4.24. Adanya duplikasi dapat mempengaruhi ketepatan terapi penderita, karena dosis terapi menjadi berlebihan, dan dapat terjadi toksisitas. Selain itu duplikasi juga merugikan penderita dari segi efektifitas biaya pengobatan.