Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian. Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama Daerah Swapraja. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat 1
berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya adalah :
1.Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia. 2.Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah). 3.Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
2
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai, melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta. Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan peranan yang sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta. Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati. Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hakhak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.
3
Sebagai
Daerah Otonom
setingkat
Propinsi,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda,
jaman
penjajahan
Jepang,
maupun
pada
jaman
perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan
Mataram
(Islam),
Kesultanan
Yogyakarta
maupun
Kadipaten
Pakualaman. Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan Mataram. Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua 4
setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, bahkan, yang terbaru, wisata malam. Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintahan SBY mengeluarkan suatu pernyataan bahwa tidak mungkin ada sistem Monarki (Kerajaan) dalam negara yang berdasarkan Demokrasi, yang merupakan sistem resmi negara ini. Pernyataan tersebut terlontar saat membuka sidang kabinet terbatas yang membahas tentang rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta (RUUK DIY). Dengan adanya pernyataan ini pihak Keraton Yogyakarta merasa tersindir, lalu Sri Sultan HB X merasa perlu mericek ulang statusnya sebagai gubernur di Yogya, yang terpilih tanpa proses demokrasi apapun. Tidak hanya itu, protes keras oleh banyak warga Yogyakarta juga bermunculan terhadap pernyataan SBY yang terkesan mencari perkara itu.Pro dan kontra Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta mengerucut pada satu tema, gubernur dipiliha langsung oleh rakyat atau ditetapkan. Keistimewaan DIY itu sendiri berkaitan dengan sejarah dari aspekaspek lain yang harus diperlakukan secara khusus sebagaimana pula yang diatur dalam undang-undang dasar.
5
1.2 Hasil Penelitian. Sebagaimana disebutkan dalam tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui Citra Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Pasca Rancangan Undang-Undng Keistimewaan Yogyakarta (Yang Berstudi kasus Di di Daerah Istimewa Yogyakarta Utara, Kecamatan Pakem, Kelurahan Purwobinangun, Desa Purwobinangun, Dusun Sembung). Maka penelitian ini di fokuskan pada Citra Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono
Pasca
Rancangan
Undang-Undng
Keistimewaan Yogyakarta dengan cara menganalisa data-data dan hasil wawancara yang mendalam dari narasumber yang menyangkut Citra Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Pasca Rancangan Undang-Undng Keistimewaan Yogyakarta, didasarkan pada satu sumber utama dan sumber sumber lain yang dijadika sebagai data pelengkap atas sumber utama. Dalam penelitian ini mempunyai jenis citra yaitu, Citra yang berlaku (curren image) adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi. Dalam penelitian ini yang menjadi narasumber utama adalah Hartato Prayugo yang berprofesi sebagai Dosen, Sedangkan narasumbr lainnya tokoh masyarakat dusun sembung yakni Darsono dan Sari Wulandari Sebagai Karyawan Swasta.
6
4.2.1 Hasil wawancara dengan narasumber Narasumber Hartanto Prayugomengenai persetujuan tentang RUUK Yogyakarta, menjelaskan bahwa : “melihat dari sejarah kota Yogyakarta yang dulunya adalah sebuah kerajaan aayau kesultanan dimana keberadaannya sudah ada sebelumnegara Republik Indonesia berdiri yang dipimpin oleh seorang Sultan yang sudah turun temurun dan menjadi panutan bagi masyarakat Yogyakarta sampai sekarangpun masyarakat Yogyakarta masih menganggap bahwa Sultan Yogyakarta ini adalah raja mereka, sehingga masyarakat Yogyakarta beranggapan sangat tidak etis apabila Yogyakarta dipimpin oleh seseorang yang bukan merupakan keturunan sah dari Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu dengan diberlakukannya Rencana Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta merupakan pengakuan resmi dari pemerintah Republik Indonesia.”1 Narasumber
Darsono
tentang
pandangan
mereka
dengan
diberlakukannya RUUK Yogyakarta, menjelaskan bahwa : “Keistimewaan Yogyakarta yang ada selama ini adalah suatu identitas diri yang di miliki oleh Yogyakarta, bukan hanya itu, keistimewaan yang ada pada Yogyakarta selama ini juga menjadi suatu nilai historis yang sampai pada saat ini melekat pada kehidupan masyarakat di Yogyakarta. Keistimewaan itu juga yang menjadi ciri khas kota Yogyakarta selama ini, apabila ciri khas dari suatu 1
Hasil wawancara dengan Hartanto Prayugo, Dosen, Tanggal 28 Desember 2012 jam 14.15
7
daerah dihilangkan maka daerah tersebut akan tidak mempunyai identitas
atau
akan
kehilangan
masyarakat Yogyakarta berusaha
identitasnya,
oleh karena itu
untuk tetap mempertahankan
identitas daerahnya.”2 Narasumber
Hartanto
Prayugotentang
bagaimana
jika
RUUK
Yogyakarta ditiadakan, menjelaskan, “Kota Yogyakarta di kenal sebagai salah satu kota yang mempunyai system pemerintahan yang berbentuk kerajaan yang lebih di kenal luas dengan nama Kesultanan Yogyakarta, dimana kota tersebut dipimpin oleh seseorang Sultan yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono XI,
system
pemerintahan
ini
sudah
lama
diterapkan di Yogyakarta, sejak awal kota Yogyakarta berdiri dan masih berlangsung sampai pada saat ini. Dengan adanya RUUK Yogyakarta ini masyarakat Yogyakarta merasa bahwa pemerintah telah merubah kebudayaan yang selama ini telah ditrapkan, apabila RUUK Yogyakarta ini berlaku maka akan menghilangkan kebudayaan yang selama ini telah diterapkan di Yogyakarta, bukan hanya itu saja, apabila RUUK Yogyakarta itu berlaku akan berdampak pada hilangnya identitas Kota Yogyakarta yang ini dikenal dengan kota yang memiliki system pemerintahan yang
2
Hasil wawancara dengan darsono, Tokoh Masyarakat, Tanggal 29 Desember 2012 Jam 10.15
8
berbentuk kerajaan yang menjadi ciri khas atau identitas kota Yogyakarta selama ini.”3 Narasumber Sari Wulandari mengenai peran keistimewaan Yogyakarta dalam kehidupan bermasyarakat, menjelaskan, “Rakyat Jogyakarta mau nya tidak ada pilkada karena Jogja itu kerajaanyang sudah ada bahkan sebelum Indonesia ada dan dinyatakan merdeka. Nah, sekarang kenapa dilupakan mengenai hal tersebut? Wajar aja warga jogja kecewa, selain itu rakyat jogja juga sayang dan loyalitas terhadap rajanya, ya pasti kecewa kalau rajanya dizolimi. Rakyat Yogya tetap tidak menyetujui diberlakukannya RUUK Yogyakarta, karena selama ini Yogyakarta telah mempunyai system pemerintahannya
sendiri,
apabila
diberlakukannya
RUUK
Yogyakarta, maka akan merubah system pemerintahan yang selama ini telah ada dan berlaku di Yogyakarta, tidak ada yang ingin apabila sesuatu yang sudah lama diterapka dan menjadi sebuah tradisi bersama dirubah begitu saja, hal ini jelas membuat masyarakar Yogyakarta merasa sangat kecewa, karena masyarakat Yogyakarta telah menerapkan tradisi bersama ini dan mempertahankannya sejak Yogyakarta didirikan sampai pada saat ini. Masyarakat Yogyakarta tidak ingin melupakan dan menghilangkan tradisi atau system pemerintahan yang sudah ada ini, karena dengan adanya system
3
Hasil wawancara dengan Hartanto Praygo, Dosen, Tanggal 28 Desember 2012 jam 14.15
9
pemerintahan yang sudah ada dan berlaku saat ini dapat melestarikan budaya atau tradisi yang sudah ada.”4 Narasumber Darsono tentang jika status provinsi Yogyakarta disamakan dengan provisni lain di Indonesia, menjelaskan bahwa : “Pada dasarnya masyarakat Yogyakarta masih menganggap Sultan dalah raja mereka sehingga tidak mungkin Yogyakarta akan dipimpin oleh seseorang yang bukan merupakan keturunan Kesultanan Yogyakarta yang mempunyai hak menjadi raja Kesultanan Yogyakarta karena adanya keterikatan budaya yang masih sangat dipegang oleh masyarakat
Yogyakarta.
Selain
itu
sejarah
panjang
tentang
Kesultanan Yogyakarta yang ada sejak berabad-abad yang lalu dan juga perjuangan Kesultan Yogyakarta dalam mendukung berdirinya Republik
Indonesia
sehingga
hampir
keseluruhan
masyarakat
Yogyakarta akan menolak penyamaan status provinsi Yogyakarta ini disamakan dengan provinsi lainnya yang ada di Indonesia saat ini.”5 Narasumber Hartanto Prayugo tentang bagaimana sistem yang ada dalam RUUK Yogyakarta, menjelaskan, “Melihat fakta sejarah tentang Kesultanan Yogyakarta yang menganut sistem kerajaan dan sampai saat ini Kesultanan Yogyakarta ini belum pernah menyatakan bubar walaupun Kesultanan Yogyakarta menyatakan masuk kedalam wilayah Republik Indonesia tetapi tidak 4
Hasil wawancara dengan Sari Wulandari, Karyawa Swasta, Tanggal 30 September 2012 jam 11.31 5 Hasil wawancara dengan Darsono, Tooh Masyarakat, Tanggal 29 Desember 2012 Jam 10.15
10
menghilangkan sistem yang dianut oleh Kesultanan Yogyakarta itu sendiri. Oleh karena itu masyarakat Yogyakarta akan menerima RUUK Yogyakarta dengan tidak merubah sistem pemerintah daerah Yogyakarta terutama dalam menentukan gubernurDaerah Istimewa Yogyakarta.”6 Narasumber Sari Wulandari tentang keadaan kota Yogyakarta pasca RUUK Yogyakarta, menjelaskan, “Sampai saat ini masyarakat Yogyakarta dapat menerima RUUK Yogyakarta dengan baik dikarenakan pada RUUK Yogyakarta telah mengakomodir
permintaan
masyarakat
Yogyakarta
dalam
menjalankan pemerintahan daerah Yogyakarta terutama dalam menentukan gubernur yang akan memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta nantinya.”7 Narasumber Sari Wulandari tentang dampak penetapan RUUK Yogyakarta terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta, menjelaskan, “Masyarakat Yogyakarta tidak bereaksi secara berlebihan dalam menerima RUUK Yogyakarta sehingga kehidupan masyarakat Yogyakarta berjalan secara normal dan tidak gejolak dari dampak ditetapkannya RUUK Yogyakarta ini.”8 Narasumber Hartanto Prayugo tentang bagimana pemerintah pusat merespon aspirasi masyarakat Yogyakarta dalam RUUK Yogyakarta, menjelaskan, 6
Hasil wawacara engan Hartanto Prayugo, Dosen, Tanggal 28 Desember 2012 jam 14.15 Hasil wawancara dengan Sari Wulandari, Karyawan Swasta, Tanggal 30 Deseber 2012 jam 11.31 8 Hasil wawancara dengan Sari Wulandari, Karyawan Swasta, Tanggal 30 Deseber 2012 jam11.31 7
11
“Masyarakat Yogyakarta dapat menerima hasil kompromi pemerintah pusat menjawab keinginan dan kemauan masyarakat Yogyakarta dalam menentukan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga tertuang dalam RUUK Yogyakarta dan merupakan jalan terbaik bagi pemerintah pusat dan masyarakat Yogyakarta sendiri.”9 Narasumber Darsono tentang keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjelaskan, “Setelah masyarakat Yogyakarta menunggu cukup lama akhirnya pemerintah pusat dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya dapat mengambil keputusan yang dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta dan juga dengan telah disahkannya RUUK Yogyakarta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia semakin memperkuat keberadaan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu wilayah yang memiliki keisitimewaan dan patut untuk dipertahankan keisitimewaannya.”10 Narasumber Sari Wulandari tentang citra pemerintah Susilo Bambang Yudhono pasca RUUK Yogykarta, menjelaskan, “Citra pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sempat menurun. Hal tersebut bukan karena orang lain ataupun siapapun, tapi karena diri Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang membuat citra dirinya menurun. Contohnya saja, mengenai pidato presiden yang bilang tidak mungkin Indonesia menganut sistem monarki karena berbenturan 9
Hasil wawancara dengan Hartanto Prayugo, Dosen, Tanggal 28 Desember 2012 jam 14.15 Hasil wawancara dengan Darsono, Tokoh Masyarakat, Tanggal 29 Desember 2012 jam 11.15
10
12
dengan konstitusi dan demokrasi, Lah emangnya tata administrasi pemerintahan DIY itu menganut monarki? Secara tidak langsung hal inilah yang membuat pencitraan Susilo Bambang Yudhoyono menurun dan juga pernyataan beliau yang menyalahkan media dan masyarakat yang terlalu berlebihan menanggapi kata monarki dan minta agar jangan terprovokasi. Padahal SBY sendiri yang menciptakan pemikiran itu, bukan media dan masyarakat. Jangan menyalahkan media dan masyarakat sebab media dan masyarakat hannya mencerna apa yang telah dikatakan oleh SBY pada pidatonya. Tetapi semua itu akhirnya dapat ditebus dengan disahkannya RUUK Yogyakarta yang menjawab semua kebimbangan masyarakat Yogyakarta.”11 Narasumber Darsono tentang identitas Daerah Istimewa Yogyakarta setelah RUUK Yogyakarta ditetapkan, menjelaskan, “Dengan diberlakukannya RUUK Yogyakarta menjadi UUK Yogyakarta maka identitas Yogyakarta sebagai daerah istimewa semakin jelas dan mempunyai kekuatan hukum karena dalam UUK Yogyakarta ini juga jelas menerangkan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta harus tetap dilestarikan sebagai suatu warisan budaya yang mempunyai nilai historis yang tinggi yang akan sangat disayangkan apabila disia-siakan..”12
11
Hasil wawancara dengan Sari wulandari, Karyawan Swasta, Tanggal 30 Desember 2102 jam 11.31 12 Hasil wawancara dengan Darsono, Tokoh Masyarakat, Tanggal 29 Desember 2012 jam 11.15
13
4.3 Pembahasan 4.3.1 Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta Ditinjau Dari Perspektif sejarah Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan pernyataan mengenai status keistimewaan Yogyakarta yaitu bahwa tidak boleh adanya suatu sistem monarki yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi, beragam reaksi muncul dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia ada pandangan yang membenarkan pernyataan Presiden tersebut dan bahkan tidak sedikit pula yang menentang pernyataan itu serta menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Telah melupakan sejarah masa lalu.13 Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pernyataan Presiden tersebut diungkapkan pada saat sidang kabinet terbatas untuk membahas rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta pada tanggal 26 November 2010. Tanggapan yang menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambanmg Yudhoyono telah melupakan “sejarah masa lalu” sangat penting bagi setiap orang untuk melihat kembali sejarah masa lalu itu untuk menjernihkan dan mengingatkan kita kembali tentang sejarah asal mula terjadinya dan terbentuknya status keistimewaan Yogyakarta. Dengan demikian, maka kritikan serta masukan terhadap Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta dapat diberikan secara proporsional dan profesional. Sejarah keistimewaan Yogyakarta berawal dari zaman sebelum kemerdekaan, dimana wilayah kesultanan Yogyakarta merupakan wilayah negara tersendiri yang dikendalikan dan bertanggung jawab secara langsung kepada 13
http://www.jpnn.com/read/2010/11/3078438
14
pemerintah Hindia Belanda.14 Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 maka pada tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas Kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Widiodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersukur kepada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Yuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.15 Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah di jamin oleh UUD, namun belum di atur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan pemerintah pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang telah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan
14
Saafroedin Bahar et al, Loc, Cit PJ. Swarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 19421947: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius, hlm 7
15
15
sudanh diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali akan menimbulkan keguncangan.16 Ketua panitia kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementrian Negara, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menaggapi bahwa soal Kootimemang sangat sulit dipecahkan maka Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Muhammad Hatta, Suryohadimijoyo,dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarano mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari penguasa monarki dikeluarkan yang dikenal dengan amanat 5 September 1945.17 Ituah sejarah singkat perjalanan Keistimewaan Yogyakarta yang sampai saat ini masih dalam polemik terutama setelah meninggalnya Sri Paduka Paku Alam VIII pada tahun 1998. Polemik yang sangat krusial adalah terkait denganm masalah jabatan Gubernur. Ada yang menghendaki bahwa jabatan Gubernur DIY hendaknya dipisahkan dengan Kesultanan dan Kadipaten Paku Alaman. Kesultanan dan Kadipaten Paku Alaman dijadikan sebagai sebuah lembaga budaya untuk mempertahankan tradisi dan budaya di Yogyakarta. Perdebatan mengenai hal tersebut dapat dilihat dari draf RUU Keistimewaan Yogyakarta, dimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) yakni 16
Saafrodin Bahar et. Al, Loc, Cit Lihat juga Huda, Ni’matul, Op. Cit, hlm 286
17
Saafrodin Bahar et.al, Loc Cit
16
mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis sebagaimana yang dimaksud pada pasal 3 ayat (1) huruf a. Adapun bunyi ketentuan pasal 3 ayat (2) draf RUU Keistimewaan Yogyakarta yakni : Tata pemerintahanyang demokratis sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (1) huruf a, diwujudkan melalui : a. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langung. b. Pengisian
anggota
DPRD
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
melalui pemilihan umum. c. Pemisahan
kekuasaan
antara
lembaga
penyelenggara
politik
dan
pemerintah dengan Kesultanan dan Paku Alaman. d. Mekanisme checks and balances antara pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan e. Pembukaan ruang parisipasi dan kontrol warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan media kultural. Dari ketentuan pasal 3 ayat (2) huruf a draf RUUK di atas dapat diketahui bahwa pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta dipilih secara langsung oleh rakyat. Begitu pula halnya dengan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut juga dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam nantinya dapat dipilih dan mencalonkan diri sebagai calon gubernur rumusan Bab IV draf RUUK tentang bentuk dan susunan pemerintahan DIY pada pasal 11 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Pemerintah Provinsi Istimewa Yogyakarta terdiri atas Parardhya, Pemerintah Daerah 17
Provinsi, dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Yang dimaksud Parardhaya dapat dilihat dari rumusan pasal 1 angka 8 draf RUUK yaitu : Parardhya Keistimewaan Yogyakarta, selanjutnya disebut Parardhya, adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi, sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya, serta pengayon dan pemersatu masyarakat daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu kewenangan parardhya adalah memberikan rekonendasi untuk penindakan Gubernur atau Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan.18 Kewenanan lainnya adalah mengusulkan pemberhentian gubernur atau wakil Gubernur setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, tidak lagi memenuhi syarat, atau melanggar larangan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.19 Kemudian yang menjadi kewenangan prardhya dalam keterkaitannya dengan pengisian jabatan DIY. Parardhya memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak peroranganbakal calon atau bakal-bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur.20 Selain kewenangan tersebut parardhya juga dilarang untuk mengurus dan anggota partai politik.21 Walaupun secara implisit tidak ditemukan bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur maka dengan adanya kewenangan tersebut di atas 18
Pasal 13 huruf c draf RUUK DIY Pasal 17 ayat (1) huruf d draf RUUK DIY 20 Pasal 29 ayat (2) huruf d draf RUUK DIY 21 Pasal 19 a draf RUUK DIY 19
18
dapat dipahami bahwa jabatan Gubernur dan Parardhya merupakan suatu lembaga yang terpisah atau dengan kata lain bahwa Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam nantinya tidak boleh mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Terkait dengan pembahasa tentang tinjauan RUUK DIY dari sudut pandang sejarah, maka kembali melihat terhadap konsep naskah Amanat 5 september 1945 yang menjadi landasan awal berintregrasinya Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman ke dalam wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia.
Sein
itu
pula,
sejarah
pemerintahan
Yogyakarta
setelah
berintregrasinya Yoggyakarta ke dalam NKRI juga telah menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Gubernur hingga tahun 1998 dan kemudian digantikan oleh Sri Paduka Paku Laman VIII hingga tahun 1998.baru setelah wafatnya Sri Paduka Paku Alaman VIII pada tahun 1998 itulah muncul polemik mengenai pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 5 Sptember 1945 diktum 2 berbunyi sebagai berikut : Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubungan dengan keadaan pada dewasa ini segara urusan pemerintah dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Begitu pula halnya bunyi diktum 2 Mnat Sri Paduka Paku Alam VIII yakni
19
Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman dan oleh karena itu berhubungan dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Dari bunyi diktum 2 amanat 5 September 1945 tersebut maka penulis berpendapat bahwa sudah memang seharusnya yang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Sultan Kesultana Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku alaman. Hal inilah yang menjadi ciri khas keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta. Sehingga maalah yang membenturkan antara prinsip demokrasi dan sejarah Keistimewaan Yogyakarta sangat lah tidak tepat. Apalagi yang mengungkapkan statemen tersebut adalah seorang Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan di Indonesi. Hal ini akan mengancam intregrasi bangsa, apalagi dengan adanya hembusan referendum oleh masyarakat Yogyakarta. Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalimat “kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan” dalam diktum 2 amanat 5 September 1945 tersebut harus dipahami sebagai bentuk kerelaan Sultan dan Adipati untuk bergabung dengan NKRI akan tetapi tetap memegang jabatan sebagai kepala daerah dan bertnggungjawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia sebagaimana yang terdapat pada diktum 3 amanat 5 September 1945 yang penggalannya berbunyi “Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.” 20
Dengan demikian, penulis sangat tidak sependapat dengan Draft RUUK DIY yang hendak memisahkan institusi keraton dan kepatian menjadi sebuah lembaga yang disebut parardhya dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Penulis beranggapan hal ini bertentangan dengan sejarah ketatanegaraan Indonesia dan sejarah pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta. 4.3.2 Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta Ditinjau Dari Persfektif Konstitusi (UUD 1945) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Sebagai sebuah Provinsi dalm wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, pelaksanaan pemerintahan daerah di Daerah Istimewa Yoyakarta juga harus tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat juga daerah lainnya yang diakui secara khusus dalam konsep otonomi khusus yaitu Provinsi Daerah Khusu Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta Provinsi Papua Barat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berlaku bagi semua daerah tersebut selamatidak diatur tersendiri dalam Undang-Undang lain.22 Ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Daerah l Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini disebabkan karena hingga saat ini undang-undang keistimewaan Yogyakarta belum ditetapkan. Padahal daerah 22
Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
21
lainnya sebagimana yang disebutkan pada Pasal 225 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang tersendiri. DKI Jakarta diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744), kekhususan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No.62; TLN 4633). Sementara itu, kekhususan Provinsi Papua diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). Dengan demikian, maka praktis hanya DIY saja yang tidak diatur dalam Undang-undang tersendiri, sehingga pada tahun 2007 terjadi tuntutan untuk segera dibentuknya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta agar memiliki kejelasan dalam tata pemerintahannya sebagaimana yang terjadi pada daerah otonomi khusus lainnya.23 Hingga saat ini RUUK DIY tersebut belum dibahasdi DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Puncaknya polemik terjadi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statemen tentang keistimewaan Yogyakarta yang tidak boleh bertentangan dengan demokrasi mendapat kecaman dari berbagai pihak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpandangan bahwa Gubernur DIY harus dipilih secara demokratis sesuai dengan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal
23
http://dyanuardy.wordpress.com
22
ini juga seperti yang dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam wawancara dengan JPNN berikut ini: “Keistimewaan jogja ini, kalau definisi monarki yang sederhanaitu kan, goverment by the one, jadi dari raja secara turun temurun, kan seperti itu. Di satu pihak ada demokrasi, ada tuntutan dari UUD pasal 18, mengatakan gubernur dipilih secara demokratis. Itu bukan kata presiden, tapi UUD. Jadi presiden mempertimbangkan kondisi monarki dengan amanat UUD itu, itu yang akan dibahas dan belum disimpulkan.”24 Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan dipilih secara demokratis”. Rumusan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut memang memerintahkan agar kepala daerah dipilih secara demokratis. Hal inilah yang kemudian dianut dalam draft RUUK DIY Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa Gubernur DIY dipilih secara langsung oleh rakyat, sebagaimana Gubernur Provinsi lainnya yang juga dipilih secaralangsung oleh rakyat bedasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Argumentasi yang menyatakan bahwa Gubernur harus dipilih secara demokratis beradasarkan amanat konstitusi pasal 18 ayat (4) juga tidak salah. Akan tetapi penulis juga berpendapat bahwa penyimpangan dari ketentuan ini juga dapat terjadi jika kita juga memperhatikan ketentuan pasal 18B ayat (1)
24
http//www.jpnn.com/read/2010/12/01/78528
23
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Pemerintahan daerah yang bersifat khusus juga didasarkan pada ketentuan Pasal 18B ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 ini, misalnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang menurut ketentuan Pasal 227 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa DKI Jakarta berstatus sebagai daerah otonom dan dibagi kedalam wilayah administrasi setingkat kota yang dipimpin oleh Walikota yang tidak dipilih langsung oleh rakyat dan tidak bersifat otonom. Ketentuan Pasal 227 ayat (2) tersebut berbunyi :”Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai daerah otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah yang berstatus otonom.” Jika kita mengacu pada pola yang diterapkan di DKI Jakarta yang tidak menganut konsep pembagian wilayah Provinsi ke dalam wilayah kabupaten/kota yang otonom sebagaimana yang disebutkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Berikut ini bunyi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
24
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Penulis berpendapat bahwa tidak dibentuknya daerah otonom dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada DKI Jakarta sebagai ibukota negara. Kekhususan tersebut tentunya juga berdasarkan pengakuan oleh Pasal 18B ayat (1) undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kekhususan DKI Jakarta juga dapat dilihat dari pengisian jabatan Walikota wilayah administratif yang tidak dipilih langsung sebagaimana yang berlaku pada Walikota-Walikota lainnya di Indonesia. Jika kita membandingkan konsep kekhususan DKI Jakarta dengan konsep keistimewaan Yogyakarta pada masa sebelumnya merupakan suatu hal yang juga sama-sama konstitusional. Hal ini dikarenakan kekhususan yang dimiliki oleh DKI Jakarta selaku Ibukota Negara dan Keistimewaan Yogyakarta berdasarkan aspek historis. Kedua-duanya merupakan sistem pemerintahan daerah yang konstitusional, yaitu sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1). Penulis berpendapat bahwa Pasal 18B ayat (1) tersebut merupakan pengeculian terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mana satu samalain berdiri sendiri. Dengan demikian, penulis tidak sependapat terhadap draf RUUK DIY yang hendak memisahkan institusi Keraton Jogja dan Kadipaten Paku Alaman dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dengan mempertahankan argumentasi Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Padahal 25
ketentuan Pasal 18B ayat (1) dapat dijadikan landasan konstitusioanl bagi pemerintah untuk menetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dalam draft RUUK DIY tersebut dari Sultan Kasultanan Yogyakarta dan dari Adipati Kadipaten Paku Alaman sebagaimana yang telah berlaku selama ini. Terkait dengan nilai-nilai demokrasi, Yogyakarta juga bukan merupakan suatu bentuk pemerintahan yang monarki absolut yang tidak dapat dikontrol oleh rakyat. Gubernur juga tetap dapat dikontrol oleh rakyat melalui DPRD DIY dan tetap bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden sebagaimana yang terdapat dalam Amanat 5 September 1945. Hal yang berbeda hanyalah mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang menjadi ciri keistimewaan yang dimiliki oleh Yogyakarta, yaitu berasal dari Sultan Kasultanan Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman.
26