BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Subjek Penelitian Tabel 4.1 Tabel Perbandingan Latar Belakang Subjek
Nama Subjek
A
B
C
Usia
36 tahun
67 tahun
63 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
Status
Belum Menikah
Menikah
Menikah
Pendidikan Terakhir
SMK Listrik)
Pekerjaan
Tenaga Pesuruh di Pensiunan PNS Unit Radiologi RSK.Dr.Sitanala Tangerang
Ibu Tangga
Agama
Islam
Islam
Islam
Awal Terkena Kusta
Tahun 1990
Tahun 1987
Tahun 1990
(Teknik SD
SD Rumah
Secara umum ketiga subjek tinggal jauh dari keluarga, mereka tinggal di dalam lingkungan Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala Tangerang tepatnya di perkampungan para mantan pasien kusta yang telah selesai melakukan perawatan rawat inap di RSK.Dr.Sitanala Tangerang. Untuk selanjutnya mereka dirumahkan untuk mengikuti program rawat jalan lanjutan serta rehabilitasi sosial yang 47
disediakan oleh rumah sakit. Aktivitas keseharian antar subjek berbeda-beda, subjek A bekerja sebagai tenaga pesuruh pada unit Radiologi di RSK.Dr. Sitanala, sedangkan B lebih banyak menghabiskan masa pensiunnya untuk bekerja sosial membantu teman-teman sesama penderita kusta agar dapat berobat gratis di rumah sakit serta mencarikan dana beasiswa untuk para anak-anak penyandang kusta. Sedangkan aktivitas keseharian dari C lebih banyak dihabiskan untuk mengurus urusan rumah tangga dan merawat suami yang juga mengalami kusta.
4.1
Subjek A 4.2.1
Gambaran Umum A adalah seorang anak ketiga laki-laki pertama dari empat orang
bersaudara. Kehidupan awal sebelum A terkena kusta, A bekerja pada sebuah pabrik di daerah sekitar tempat tinggalnya di sekitar Bogor. Dengan latar belakang pendidikan A yaitu SKM Teknik Kelistrikan, A dipercayai untuk menjadi teknisi pada pabrik dimana ia bekerja. Sama seperti orang-orang lain pada umumnya, sebelum A terkena kusta A memiliki keinginan untuk hidup mapan dan berkecukupan. Hingga akhirnya pada sekitar tahun 1990 subjek A terkena kusta, pandangan hidup subjekpun berubah, untuk sekarang adalah paling tidak dia bisa makan dan bertahan hidup baginya itu sudah sangat cukup. Penampilan fisik dari A sendiri, wajah A agak tertarik kebawah dengan hidung yang agak mengecil, serta jari-jari tangan dan kaki yang 48
sudah tidak utuh karena telah dilakukan amputasi akibat reaksi kuman kusta. Namun untuk memenuhi serta melakukan aktivitas kesehariannya A tampak tidak terganggu dengan keadaan fisiknya tersebut,
bahkan ia
sanggup mengendarai motor sendiri walaupun jarinya tidak sempurna dapat memegang stang motor. Aktivitas
kesaharian
A,
A
bekerja
di
unit
Radiologi
RSK.Dr.Sitanala sebagai tenaga pesuruh. Dari ketekunan dan kerajinannya bekerja dokter di unit Radiologi tersebutpun tak enggan untuk mengajarkan A mengoperasikan komputer serta sedikit banyak dapat membantu dokter untuk membuat print out serta laporan hasil rekam radiologi. Dengan keseharian yang tampak bersahaja dan murah senyum, A lebih mudah bergaul dan cukup dikenal didalam lingkungan Rumah Sakit Kusta Dr.Sitanala Tangerang, baik itu oleh sesama para penyandang kusta maupun para pegawai rumah sakit yang tidak terkena kusta.
4.2.2
Tingkah Laku dan Hal-hal Khusus Saat Wawancara Saat proses wawancara berlangsung tampak terlihat beberapa kali
subjek melihat kebawah dengan ekspresi wajah sedih dan mata berkacakaca, serta sepanjang proses wawancara subjek memain-mainkan korek api yang dipegangnya. 49
4.2.3
Setting Tempat Wawancara dilakukan pada halaman belakang RSK.Dr.Sitanala
Tangerang, awalnya peneliti dan subjek A melakukan perjanjian untuk bertemu di unit Radiologi Sitanala, namun karena kondisi tempat yang agak ramai subjek meminta untuk pindah lokasi kehalaman belakang rumah sakit. Sebelum sampai kehalaman belakang akan terlihat lokasi budidaya anggrek, kemudian Instalasi Pengolahan Air limbah selanjutnya berjejer Poliklinik Kusta Terpadu dan Pusat Rehabilitasi Sosial. Wawancara dilakukan di Pos Satpam belakang rumah sakit dengan kondisi yang sepi dan sejuk, dibawah sebuah pohon mangga dan terdapat meja dan kursi panjang proses wawancara berlangsung selama 45 Menit 26 detik, dimulai pukul 10:15 dan selesai pada sekitar pukul 11 siang pada hari rabu tanggal 25 Desember 2013.
4.2.4
Gangguan Dari Luar Saat Wawancara Berlangsung Pada saat proses wawancara berlangsung ada seorang satpam dan
petugas rumah sakit yang sesekali lewat melintasi lokasi wawancara kami berdua sambil menyapa keberadaan kami. Bunyi bising knalpot motor yang digunakan oleh satpam dan petugas rumah sakit tersebut cukup menggangu proses wawancara berlangsung hingga sesekali proses 50
wawancara dihentikan untuk beberapa saat hingga dirasa suara bising tersebut tidak mengganggu lagi saat proses wawancara berlangsung.
4.2.5
Fase Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis Pada tahap ini, merupakan awal sebelum subjek A terkena kusta.
Subjek merupakan tulang punggung bagi keluarganya, karena meskipun subjek adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara, namun subjek merasa memiliki kewajiban untuk menjadi tulang punggung keluarga. Hal tersebut karena kedua orang tuanya telah meninggal sedangkan kedua kakaknya adalah perempuan. Merasa sebagai anak laki-laki pertama dan dengan prestasi akademik dibidang pendidikan teknik kelistrikan, subjek dipercayai untuk menjadi salah seorang teknisi di sebuah pabrik di sekitar tempat tinggalnya di wilayah bogor. Untuk keperluan sehari-hari keluarga serta untuk membantu biaya sekolah adik A semua itu diperoleh dari gaji selama subjek bekerja di pabrik. Namun kondisinya berbeda ketika pada sekitar tahun 1990 diketahui bahwa subjek terkena kusta, dan terpaksa harus berhenti dari pekerjaannya. Kini posisinya berubah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keperluan berobat subjek dibiayai oleh adiknya. “pertama-tama sih ditunjang sama ade, ade ngirimin, kita dirawat dirumah sakit selama berapaa.... selama penyembuhan... kita dirawatkan selama enam bulan, berobat jalan, ituh kebutuhan, ade ngirimin uang... ga banyak sihhh, sekedar buat makan, ama beli obat.... itu juga, hasil dia itu kita ga tau dah, mungkin dari mana? 51
Atau dari gaji dia? Kita ga tau, yang penting kita dikasih uang untuk makan daaann beli obat...”
Namun karena perasaan tidak enak kepada sang adik serta ingin hidup mandiri, subjek A berusaha meringankan beban sang adik dengan bekerja sebagai tukang kebun ataupun pesuruh di lingkungan sekitar RSK.Dr.Sitanala Tangerang. “Ade juga ngasih, yaaaa sekedarnya aja, setelah sekedarnya aja itu kita nerima, ya selebihnya kerja, bantubantu ngepeeel dirumah sakit... jadi klining service ... gaji sedikit juga ga apa-apa yang penting kita bisa makan.”
Dari penghasilannya bekerja sebagai sekedar pesuruh dan tukang potong rumput subjekpun kini tidak perlu bergantung pada adiknya lagi, bahkan kini ia sudah mampu untuk mengambil motor secara angsuran. “....ya alhamdulillah mendingan sedikit dah, karena kita rajin kerja, pokonya moto utamanya semangat kerja dan jangan putus asa, udah itu aja ... “
4.2.6
Fase Pemenuhan Kebutuhan Kemanan Pada tahap pemenuhan kebutuhan keamanan ini, sang adik
memiliki peran penting pada subjek A. Hal ini tergambarkan dari cerita subjek bagaimana sang adik berusaha untuk melindungi kakaknya dari pandangan sinis dan ejekan orang-orang ketika melihat kondisi fisik dari subjek A.
52
“katanya dirumah..... dirumah itu ada orang gila... iteeemmm katanya... gituu kata anak kecil... teruss kan ade marahh... datengin rumahnya... langsung gedorrrr.... berantem sama orang tuanya... apa-apaan ini-iniin abang gua? Abang gua asli orang sini ... gini-gini ginilaahh... ga terima ya namanya ade... sempet itu ribut besar sampe bawa senjata tajem... kalo lu berani, lawan gua... gitu... kalo perlu juga elu yang gua usir dari kampung gua... gua asli orang sini... mau macem-macem? Ya akhirnya dia nyadarin... lama-lama ga... sempet sih pas berobat pulang malem... ributtt....... sama kondektur... berantem disitu... abiss... sampe urusan kepolisi... masalah apa? Abang saya diliatin, emang abang saya copet? Abang saya kan naik mobil bayar.... kenapa diliatin sama kenek... ? apa salah abang saya? Disitu berantemm.... urusannya sama polisi... polisi bilang... ooohh.. udahh... akhirnya ya... kita jelasin, kita kena kusta gini gini gini... eemmmm akhirnya polisi nyadarin,... taudahh.. udahh... akhirnya kan keneknya kaann.. yaudah kita disuruh pulang... “
Subjek A merasakan betapa pentingnya peran sang adik dalam kehidupannya, dari mulai ia membantu membiayai berobatnya sampai membela subjek ketika ada orang lain yang mengejek dan mengolok-olok keadaan dari kondisi fisik subjek. Subjek merasa sangat bangga sekaligus sedih melihat perjuangan adiknya utnuk membela dirinya, dimana adik subjek rela untuk berkelahi demi melindungi kakaknya. “ ya kalo perasaan sedih mah pasti yahh... soalnya dia juga kan sebelumnya kita kena penyakit kusta juga kan, kita kerja bela dia dari SD kelas 3 sampe dia lulus STM , ya mungkin dia berbakti begitu atau apaa.... masalah apa ga taudah.... muuuuuungkiiiinnnn.... bales jasa ama yang uda.... membela keluarga mah kan emang udaahhh sewajarnyalah karena dia kan emang uda ga ada orang tua... kan yang dianggap orang tua dianggapnya kita... karena orang tua kan uda ga ada dua-duanya... kitakan orang lelaki yang paling tua... walapun kita anak nomer tiga... yang diatas kita kan perempuan dua-duanya.. “ 53
Namun demikian hal itu bukan hanya didapat dari sang adik saja, perhatian yang begitu besarnya juga diperoleh dari keluarga, dan kakaknya. Dimana subjek A merasa lebih berarti dan nyaman untuk menjalani hidup ketika ia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya, dan keluargannyapun dapat menerima keadaan A apa adanya. “ kita dirawat aja keponakan dateng... empoo dateng... abang ipar dateng.... ya gitu... walaupun dia cueek... ga jember gitu yah...”
Kemudian disisi lain diluar keluarganya, subjek A juga banyak ditolong oleh orang-orang dilingkungan disekitar A bekerja yaitu pada sebuah Unit Radiologi di Rumah Sakit Kusta Dr. Sitanala. A begitu merasa bersyukur karena ada orang-orang yang mau memberikannya kesempatan untuk bekerja walaupun dengan kondisi fisik yang tidak sempurna akibat penyakit kusta. “ya kalo dari awalnya gitu, dari awalnya... kita cleaning service dipecat.. kan diangkat, yaaaa kalo dari awal emang bu Ratih sih... kita kan, yang namanya orang kan, nyuruh orang kusta kerja kan jarang yang mau deket sama orang kusta... jaraaang ada orang yang mau deket sama orang ksta, kan mereka masih suka ragu, walaupun tempat disini rumah sakit kusta... tapi belum sepenuhnya mereka menerima, ada rasa jember atau apa dia takut... walaupun pegawai sendiri..”
54
Tidak hanya kesempatan untuk bekerja saja yang diperoleh oleh A, tapi dokter dan pegawai rumah sakit yang mempekerjakan A juga bersedia untuk menampung A tinggal dirumah mereka. “dirumah dokter... dokter pherena..” “iyaa.. kadang-kadang ya tinggal dirumah bu ratih...” “iyaa... heheheh.... tuhh udahh-udah dibikinin kamar dirumah dokter pherena..”
Dengan
diberikannya
kesempatan
untuk
A
bekerja
serta
mendapatkan tempat tinggal yang layak, hal ini sedikit banyak dapat membuatnya merasa
lebih nyaman dan aman dalam menjalani
kehidupannya sebagai seorang penyandang kusta. Karena A tidak perlu cemas tidak bisa makan dan tidak memiliki tempat tinggal. A mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta tidak perlu cemas dan pusing untuk berpikir mendapatkan tempat tinggal yang layak karena ia tinggal jauh dari keluarganya. Karena dilingkungannya sekarang ada dokter dan pegawai rumah sakit yang mau bersedia menampung A untuk tinggal dirumah mereka.
4.2.7
Fase Pemenuhan Kebutuhan Dimiliki dan Cinta Subjek A memandang cinta sebagai sesuatu yang luas, tidak
sebatas hanya dalam konteks cinta terhadap pasangan. Subjek memiliki 55
pemahaman bahwa rasa sayang dan perasaan cinta terhadap ayah, ibu, keluarga, dan temanpun sebagai bentuk dari rasa dimiliki dan cinta yang subjek rasakan. “yaa cinta buanyaakk.., cinta pada orang tua.. ade .. temenn cinta... banyanyaakk cintaa... cinta pada lingkungan hidup... buanyak...” “kalo... kaloo ... pasangan ya laeenn, tapi yang nomer satu ya orang tua... kalo pasangan mah itu nomer dua... cintanya kan ga melebihi orang tua.. kalo cinta pasangan mah... pasangan mah ya ini Cuma pelengkap aja...”
Namun itu semua bukan berarti A tidak pernah melawati fase dimana iya merasa berarti dengan memiliki seorang kekasih. A sempat memiliki kekasih bahkan sudah sempat tunangan. Namun ketika waktu pernikahan semakin dekat, dan ternyata diketahui bahwa A terkena kusta maka orang tua dari pasangan A pun tidak bersedia untuk melanjutkan proses pernikahannya tersebut. “waktu belum terkena penyakit ini... kita udah sempet ngelamar... sempet mau nikahh.. pas udah hari H-nya passs..... mau ijab qabul kan... kena kusta tuh... sampe sempet berenti ... putuss... buat berobat... nah itu... ga jadi... ga jadi sampe sekarang juga... karena orang tuaya ga menerima...”
Cinta pada pasangan bukanlah hal yang menjadi prioritas utama bagi A, karena A merasa cinta terhadap keluarga jauh lebih penting baginya. A merasa ketika dia terkena kusta dan orang-orang banyak memandang sinis keberadaannya, namun keluarganya masih tetap 56
menerima apapun keadaannya, terutama sang adik yang rela membela subjek apapun keadaannya. Subjek A merasa lebih pentingnya kehadiran keluarga dalam hidupnya dibandingkan peran seorang pasangan hidup yang tidak dapat hadir bersamanya diwaktu masa-masa sulit saat ia pertama kali terkena kusta.
4.2.8
Fase Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Pada awal saat subjek A mengetahui bahwa ia terkena kusta, ia
merasakan bahwa Tuhan tidak adil karena kenapa hanya ia saja yang harus merasakan ini semua sedangkan yang lain tidak. Subjek merasa lebih sensitif dan mudah tersinggung ketika berbicara dengan orang-orang yang tidak mengalami kusta sepertinya. “gaa nerimaa.. pass sampe sini... yaa liat orang-orang beginii.... kita juga kaget... masalahnya kita juga ggaaa nerima.. belum siap...” “eee.... ya maksudnya ngeliat orang cacat disini kann... ini.. ini..., kita gga nerima kan.. masa sih kita kusta? Keluarga kita ga ada, kakek nenek ga ada semua ga ada yang kena, Cuma kita ajaahh... sendiri, binguuung... awalnya ga percaya. Dateng ke tangerang, tes darah, Positif... udahh... kita ya ga nerima dah tuh... puyeng dah tuh... mikiriiinnn... nangis-nangis...”
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan dukungan yang begitu besarnya diterima dari keluarganya, terutama dari saudara kandung adik dan kakak-kakanya, kemudian ditambah lagi pencerahan dari ustadz 57
dan kiyai yang sempat ia datangi untuk konsultasi lambat laun subjek A dapat menerima keadaan dirinya sendiri. “... lamaaaa lamaa lamaa lamaaaa yaaaahhh nerima jugaa.. ya mau gimana lagi?, ya udahh begini.. orangorang,.. yaahh ustadz apa gitu yaahh... kiyai pun bilang... yahh kusta itu emang dari dulu juga udahh ada... dari sejak lahir penyakit adaa... Cuma tergantung dari kondisi fisiknya,.. tergantung dari pola hidupnya.... nahh... udahh ngomong-ngomong sama ustadz, sama kiyai.. itu sedikitsedikit agak bisa nerima... udahh itu... yaaa masih belum jugaaa sih... beluuummm begituu pahaamm, dalam artian belum nerima gitu... kok... yang Maha Kuasa kok... gaa adil yaahh? Gua doang yang kena kusta... kan sodarasodar gua ga ada, ade ade gua ga ada ... tapi,.. yang memang jalannya seperti itu,... kata.. orang-orang pinter mah... yaa kiyai-kiyai,.. ulama-ulama... memang jalannya seperti itu, muuuuungkiiiinn... bukan mungkinn, ini jalan yang Maha Kuasa , mungkin salah satunya ada hikmahknya, jalan terbaiknya... gitu...”
Atas dasar pencerahan dari para ulama yang diterimanya, sedikit banyak dapat membantu subjek A dalam proses penerimaan keadaan dirinya sebagai penyandang kusta. Pada awalnya mungkin subjek merasa tidak percaya diri untuk berinteraksi sosial dengan orang-orang yang tidak mengalami kusta, namun seiring dengan berjalannya waktu yang panjang subjekpun mulai terbiasa untuk menerima keadaan dirinya serta dapat berinteraksi sosial dengan banyak orang bahkan dapat bekerja bersama orang-orang yang tidak terkena kusta, bahkan hasil kerjanyapun diakui oleh dokter dan teman-teman dilingkungan tempat subjek bekerja. “hmmmm... kalo misalnya penghargaan, gaji, bonus ... ya karenaa... ibarat kita kuli yaa ya... kita kerja tanpa peritungan, dia punya rejeki lebih, tanpa peritungan juga 58
bakal ngasih ke kita... tapi itu.... ya bukan dalam bentuk suatu penghargaan sih... kita minta.. gaa,... kita nawarin jasa juga ga... Cuma kita dalam bentuk pekerjaan kita... sehari-hari ya gitu ngebantu, yaudah kita bantuin disni kerja..” Dengan sikap yang seperti ini, perlahan-lahan rasa percaya diri A mulai terbangun, A berusaha untuk mandiri dan tidak bergantung lagi pada keluarga seperti dulu, A berusaha untuk mempelajari setiap pekerjaan yang diberikan kepadanya serta berusaha untuk menyelesaikannya dengan baik. Motivasi A mulai terbangun untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga A mempunyai keyakinan tersendiri bahwa tidak ada yang tidak bisa dilakukannya jika ia mau berusaha. “... tapi biar ga bagus yaa gitu.. kita mesti minta ajarin... ohh itu caranya gini nihh... yaudah kita perbaikin... aturan kita ga tau,.. jadi tauu... ya gitu sih, dokter nyuruh ini, kerjain caranya begini,begini, begini bisa ga? Diserahin,.. yaudah kita jalaninn ..” ya kita awalnya dikasih kerjaan, suruh kesini, dimintain tolong kesini, kita bersihin bersihin bersihin sampe akhirnya ya alhamdulillah mendingan sedikit dah, karena kita rajin kerja, pokonya moto utamanya semangat kerja dan jangan putus asa, udah itu aja ... “
4.2.9
Fase Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri Pada fase ini subjek A merasa tidak memiliki keahlian khusus
apapun yang dirasa berbeda dengan orang lain, hanya saja subjek merasa bahwa jika ia tekun dan mau belajar maka tidak ada suatu pekerjaanpun yang tidak dapat diselesaikannya meskipun subjek dalam keadaan yang 59
cacat fisik akibat kusta, namun itu semua tidak menghalanginya untuk bekerja dan melakukan segala sesuatunya secara mandiri. “ga juga sih, kita ga punya bakat... kita Cuma ngikutin aja alurnya jalaannn... kalo misalnya kita misalnya dalam bidang ini, kita ga punya bakat ya ga tau juga ya... kita misalnya kerja dalam bidang ini, misalkan kita kerja dalam bidang nyabutin rumput, nyabutin rumput kita bisaaa, bersih... lari kebidang ini, nyapu atau apa taman kita bisa... diajarin ngetik, begini, beigini,begini kita bisaa... “ “kita mesti minta ajarin... ohh itu caranya gini nihh... yaudah kita perbaikin... aturan kita ga tau,.. jadi tauu... ya gitu sih, dokter nyuruh ini, kerjain caranya begini,begini, begini bisa ga? Diserahin,.. yaudah kita jalaninn ..” “jadi klining service ... gaji sedikit juga ga apa-apa yang penting kita bisa makan, lama lama lama lamaaa kita inii... kita kerja apa ajaa ... motongin rumput atau apa... akhirnya ... yaaa orang juga ngeliat kita... cara kerja kita begini begini begini... yaa... orang ngerasa kasian atau apaa... yaa kitaa... ada insentif lebih... ya kita awalnya dikasih kerjaan, suruh kesini, dimintain tolong kesini, kita bersihin bersihin bersihin sampe akhirnya ya alhamdulillah mendingan sedikit dah, karena kita rajin kerja, pokonya moto utamanya semangat kerja dan jangan putus asa, udah itu aja ... “
Itu semua tidak terlepas dari jasa orang-orang terdekat sehingga subjek bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri, karena peran salah soerang pegawai yang memberikan kesempatan pada subjek bekerja, hingga akhirnya subjek bisa bekerja mandiri dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. “yaa kalo dari awal dekett... kaya bu ratihh.. diangkat buat kerja sama dia... sampe dokter ngeliaat... “yaudah kerja sama saya ajahh” yaaa awalnya kan dari bu ratih, kalo awalnya bu ratih ga ngambil kita kan ga mungkin kita kenal dokter-dokter... ya paling berjasa ya dia pertama... kedua, 60
ya banyak sih orang-orang kaya dokter atau orang lain yang ngebantu ,... gini, gini, gini... yaudahh, semuanya ikutt...” “yaaaaaa.... alhamdulillah banyaak... dari kita ga bisa jadi bisa, dari kita ga tau jadi tau... yaaa ampe-ampe direktur,wadir tau kerja kita kan awalnya dokter yang ngasih tau, “itu siapa?, ohhhhh dia kan orang kusta? “, iyaa,... ga selamanya orang kusta ga bisa, pasti bisa kalo dia mau kerja,semangat dan niat,... buktinya tangan keriting-keriting begini masih bisa ngetik.. heheheh tangan keriting mana adaaa orang tangan keriting bisa ngetik.. hehehhe”
Dengan keadaan fisiknya yang terlihat cacat fisik, namun subjek A ingin menunjukkan kepada rekan-rekan sesama penyandang kusta, bahwa dengan kondisi fisik cacatpun mereka dapat melakukan segala sesuatunya sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri bahkan dapat membantu pekerjaan orang lain. Subjek A menginginkan bahwa penyandang kusta itu harus mandiri dengan mengambil contoh dari dirinya sendiri. Ia ingin menunjukkan bahwa orang-orang kustapun bisa bekerja, hanya saja mereka membutuhkan peluang dan kesempatan yang sama dengan orang-orang yang tidak terkena kusta untuk bekerja.
4.3
Subjek B 4.3.1
Gambaran Umum B adalah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil yang bertugas di
RSK.Dr.Sitanala Tangerang sebagai tenaga supir ambulance, bekerja 61
bertahun-tahun menjadi supir ambulance yang harus mengantarkan para pasien kusta yang hendak berobat ke rumah sakit, dari pasien yang sedang mengalami reaksi kuman kusta hingga bahkan pasien yang telah meninggal dan mengeluarkan aroma tidak sedap harus dihadapinya setiap hari. Memaksanya harus bersentuhan langsung dengan para penyandang kusta, dan inilah yang menjadi salah satu pintu masuk bagi kuman kusta hingga B juga terkena kusta. Puluhan tahun mengabdikan diri pada negara sebagai pelayan masyarakat, bahkan B harus rela mengalami perubahan fisik akibat kusta yang dideritanya, dari awalnya tubuh yang sempurna, hingga lambat laun jari-jarinya semakin tanggal akibat kuman-kuman kusta, hingga terpaksa beberapa jari kaki dan tangannya harus diamputasi akibat kusta. Namun demikian, dengan keadaan fisik yang seperti itu bukan berarti membuat B harus pasrah begitu saja dengan keadaan, tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, dengan beranggotakan satu orang istri dan tiga orang anak membuatnya harus bertahan hidup dan tetap mengabdikan diri kepada instansi tempatnya bekerja demi untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari Dimasa menjelang pensiun, dengan keadan tubuh yang tak sesempurna dulu. B melihat dan memperhatikan lingkungan sekitarnya, bahwa anak-anak para penyandang kusta jarang yang menyelesaikan pendidikan sekolahnya sampai tingkat SMA, semua itu dikarenakan 62
kondisi fisik para orang tuanya yang mengalami kusta sehingga sulit bagi mereka untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, kemudian pendidikan anakpun akhirnya tidak menjadi perhatian utama bagi mereka. Kemudian dari sinilah timbul motif yang mendorong B untuk bergerak membentuk sebuah yayasan yang bertujuan untuk mengumpulkan dana bantuan beasiswa untuk membiayai pendidikan anak-anak para penyandang kusta. Dan hasilnya pun kini anak-anak para penyandang kusta dilingkungan sekitarnya sudah banyak yang menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMA hingga mempermudah mereka untuk mencari pekerjaan dan membantu keuangan keluraga mereka, bahkan tidak sedikit dari anak-anak itu yang melanjutkan pendidikannya sampai perguruan tinggi. Hal ini kemudian yang menjadi pencapaian dan kebanggan tersendiri bagi B, karena atas perjuangannya selama ini, anak-anak para penyandang kusta dilingkungannya dapat melankutkan pendidikannya, dan bahkan dapat membantu perekonomian keluarga mereka masing-masing. 4.3.2
Tingkah Laku dan Hal-hal Khusus Saat Wawancara Saat proses wawancara berlangsung sempat Subjek B menunjukan
Ekspresi marah karena ia tersinggung ketika peneliti menanyakan dengan kondisi keadaan B yang sudah tidak sempurna seperti dulu apa B masih bisa mengendarai mobil seperti dulu. Hal ini ditunjukan dari statement “lagi pula kalo gua diamputasi emang gua gga bisa nyupir lagi gitu... sooongooong bener luh tong... asal lu tauu.. walopun jari-jari gua pada begini gua masih sanggup bawa 63
motor sama nyetir mobil sendiri... hadeeehhh jangan semena-menaa lu kalo ngomong...” Hal ini terjadi karena subjek B merasa bahwa meskipun ia mengalami cacat akibat kusta, bukan berarti orang lain dapat menganggapnya bahwa B tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian sepanjang proses wawancara berlangsung, sambil duduk dikursi yang ada diruang tamu rumah subjek B, sesekali B menaruh dan menyingkap kaki kanan diatas kaki kiri sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
4.3.3
Setting Tempat Wawancara dilakukan di ruang tamu rumah subjek yang berada di
dalam lingkungan perkampungan para penyandang kusta yang berada dalam wilayah RSK.Dr.Sitanala Tangerang. Didalm ruang tamu tersebut terdapat dua kursi kayu kecil dan satu kusri agak sedikit panjang berwarna hitam serta meja kayu yang senada dengan warna kursi yang terdapat kaca dan bunga plastik yang ditaruh diatas meja. Posisi duduk antar subjek dan peneliti saling bersebelahan hal ini dengan tujuan untuk mendekatkan alat perekam agar hasil rekaman dapat didengar dengan jelas setelah proses wawancara berlangsung. Proses wawancara berlangsung sebanyak dua sesi pada hari yang sama, yaitu pada hari sabtu tanggal 28 Desember 2013. Sesi pertama 64
berlangsung mulai pada pukul 09:10 wib dan selesai pada pukul 09:45 wib, kemudian dilanjutkan sesi kedua pada pukul 15:45 samapai dengan pukul 17:00 wib. 4.3.4
Gangguan Dari Luar Saat Wawancara Berlangsung Pada saat proses wawancara berlangsung terlihat sesekali istri dan
anak subjek yang keluar masuk rumah, kemudian pada pukul 09:40 datang seorang tamu yang memiliki keperluan dengan subjek B, sehingga subjek B meminta untuk proses wawancara dihentikan sementara dan dilanjutkan kembali pada sore hari. Oleh karena itu wawancara dilakukan dalam dua sesi pada hari yang sama. 4.3.5
Fase Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis pada tahap ini subjek B memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari
gaji yang diperoleh setiap bulannya. Status pekerjannya yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil membuatnya tetap mendapatkan gaji bulanan, uang tunjangan serta sembako untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari meskipun pada waktu itu B harus dirawat dalam waktu yang lama akibat penyakit kusta yang dieritanya. “kalo rejekimah sih alhamdulillah ada aja, apalagi kan gua udah PNS jadi alhamdulillah gaji tiap bulan walaupun kecil tapi ada... buat makan anak, sama istri jadi masih bisa dikirim ke ade buat ngasih makan anak-anak gua yang dititipin ke dia di jakarta...” Dan untuk membiayai keperluan berobat B bersukur karena dedikasinya selama bekerja di instansi tempatnya bekerja dan B juga sudah 65
diangkat sebagai pegawai negeri sipil jauh sebelum ia terkena kusta, B bisa mendapatkan pelayanan berobat gratis dengan jaminan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit tempatnya bekerja, hingga B tidak perlu menyisihkan gajinya secara khusus untuk keperluan berobat, kemudian uang tersebut dapat ditabungnya untuk keperluan sehari-hari anak yang dititipkannya pada adik B. “kalo buat berobat sih, alhamdulillah dikasih gratis di sitanala, karena gua kan juga pegawai disini... jadi masih punya jaminan kesehatan dari rumah sakit... jadi gua gga terlalu susah buat mikirin makan anak istri... ya walaupun sedikit paling ga cukup buat makan...”
4.3.6
Fase Pemenuhan Kebutuhan Keamanan Pada tahap ini subjek B merasa terhindari dari rasa cemas yang
diakibatkan oleh pengucilan sosial, tidak dapat memenuhi kebetuhan sehari-hari hingga bahkan dijauhi oleh keluarga terdekatnya. Karena sejak awal subjek terkena kusta, subjek B sudah terbiasa berada dalam lingkungan sesama para penyandang kusta, perasaan senasib yang dialami oleh subjek membuatnya lebih bisa berbesar hati untuk dapat menerima keadaannya. “yaaa kalo kalo dijauhin sih engga yah... mungkin dari awal gua kerja kan udah tinggal dilingkungan rumah sakit sitanala.. yang didalemnya juga emang udah banyak orang kustanya... “
66
Dengan penyakit kusta yang diderita, tidak lantas subjek B ditinggalkan oleh keluarga. Perhatian daari pasangan yang rela menemaninya untuk berobat walaupun tau kondisi suaminya terkena kusta dan resiko terbesar bagi sang istri adalah tertular penyakit yang sama, namun dengan sabar sang istri mau merawat dan menemani subjek B selama proses pengobatan hingga kini. “waktu itu sempet masuk juga ke bangsal buat dirawat inep.. sampe dioperasi.. tapi bini gua masih mau nemenin gua sampe ujungnya ya kaya gini... dia sendiri kena kusta karena harus nemenin gua yang waktu itu lagi reaksi... “
Keadaan lingkungan yang senasib serta perhatian dari keluarga terutama sang istri, membuat subjek B merasa berkurang rasa cemas jika harus dijauhi dan dikucilkan oleh keluarga dan lingkungannya. 4.3.7 Fase Pemenuhan Kebutuhan Dimiliki dan Cinta Berada dalam lingkungan yang sama-sama menderita kusta serta perhatian dari sang istri yang begitu besarnya dan juga perhatian dari saudara-saudara kandungnya, dari adik dan kakaknya, membuat B dapat memenuhi kebutuhan cinta karena kekurangan (Deficiency Love), karena dengan berada pada lingkungan yang sama serta hidup bersama keluarga yaitu istri dan anak membuatnya tidak merasa sendirian, karena subjek B merasa masih banyak teman-teman yang sama merasakan apa yang iya rasakan serta ada keluarga yang dapat memberikan semangat untuknya.
67
“yaaa kalo kalo dijauhin sih engga yah... mungkin dari awal gua kerja kan udah tinggal dilingkungan rumah sakit sitanala.. yang didalemnya juga emang udah banyak orang kustanya... “ “alhamdulillah sih, karena mungkin kita sodara kandung ya.... kaka sama ade juga gaa ngerasa canggung buat deket sama gua.. ade juga masih mau nampung anak-anak gua waktu gua lagi dirawat lama dirumah sakit... yaaa alhamdulillah sih gua belom pernah ngedenger omonganomongan ga enak dari keluarga gua sendiri... karena merekapun ngedukung gua biar cepet sembuh, biar cepet sehat...” seiring dengan berjalannya waktu, sambil mengamati lingkungan B tinggal, dimana banyak anak-anak para penyandang kusta dilingkungannya yang harus putus sekolah, menggerakan hati B untuk membentuk sebuah yayasan yang dapat membiayai sekolah anak-anak dilingkungannya. “yahhh gua sih gga mau muluk-muluk yahh... gua sekarang tinggal dilingkungan yang sebagian besar mereka pada kena kusta,... dan kebanyakan dari mereka udah pada berkeluarga, mereka udah dikasih tempat tinggal dilingkungan rumah sakit beginipun mungkin udah pada bersyukur, tapi kan kendalanya mereka punya keluarga... pada butuh makan, anak-anaknya perlu sekolah... nahh alhamdulillah gua sama temen-temen yang lain udah lama bikin yayasan penderita kusta... nah yayasan ini, ... biasaynya gua nyari.. ngajuin proposal-proposal buat santunan sama buat beasiswa buat anak-anak orang-orang kusta biar pada bisa sekolah... ya alhamdulillah banyak donaturnya sampe sekarang...”
Dari usahanya yang dilakukan ini, dapat dikatakan bahwa subjek B dapat juga memenuhi kebutuhan Being Love dimana dari teori yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa being love adalah penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau 68
memanfaatkan orang itu. Cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang. Hal itu pula yang telah ditunjukan oleh subjek B, dengan upayanya membentuk yayasan yang dibentuk dalam rangka untuk membiaya pendidikan para anak-anak penyandang kusta, kini anak-anak penyandang kusta dilingkungannya dapat melanjutkan pendidikan hingga bangku SMA, dan setelah lulus SMA mereka dapat dengan mudah mendapatkan pekerjan kemudian dari hasil kerjanya tersebut dapat digunakan untuk membantu memperbaiki kehidupan keluarga mereka masing-masing. 4.3.8
Fase Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Dengan keadaan fisik yang berbeda dengan orang lain subjek B
merasa lebih mudah tersinggung dengan anggapan orang lain bahwa dengan keadaan fisik yang kurang maka seorang penyadandang kusta akan terbatasi aktivitas kesehariannya. Subjek A merasa marah ketika ditanya mengenai dengan keadaan fisiknya apakah dia masih bisa bekerja atau belum, karena baginya dengan keadaan fisik yang tidak sempurna bukan berarti aktivitas pekerjaan sehari-harinya terbatasi. “yaa kan waktu itu mah baru kena kusta doang... sampe bener-bener kena amputasi mah kan lama prosesnya,,,... lagi pula kalo gua diamputasi emang gua gga bisa nyupir lagi gitu... sooongooong bener luh tong... asal lu tauu.. walopun jari-jari gua pada begini gua masih sanggup bawa 69
motor sama nyetir mobil sendiri... hadeeehhh jangan semena-menaa lu kalo ngomong...”
Subjek B juga memiliki kepercayaan diri yang kuat, ia merasa dengan keadan fisik yang kekurangan bukan berarti kalau ia tidak bisa bekerja seperti orang-orang lain, bahkan ia mencoba membuktikan dengan kemampuannya dan menunjukan kepada penderita kusta yang lain, kalau B saja mampu kenapa orang-orang kusta yang lainnya juga tidak mampu. “yaaa gua yaaa kaya gini.... yaa walaupun mungkin gua kusta... bukan berarti gua ga bisa berbuat apa-apa... gua masih bisa kerja sendiri.. bisa ngapa-ngapain aja sendiri, gga perlu nyusahin orang lain... kalo bisa malahh, selagi gua bisa gua mau bantu orang-orang yang senasib kaya gua, kalo dia juga masih bisa kerja mandiri.... lahhh orang gua aja bisa, kenapa dia pada gga bisaa? Yaa kann?”
Dengan kepercayaan diri yang kuat bahwa B dapat melakukan pekerjaan sama halnya dengan orang-orang yang lain yang tidak terkena kusta, serta perasaan diri bahwa orang tidak bisa menganggap dirinya tidak mampu melakukan pekerjaan hanya karena kekurang fisik yang dialaminya. Dari sini dapat dilihat bahwa subjek memiliki kebutuhan akan pengakuan dari orang lain bahwa ia layak untuk bekerja dan melakukan pekerjaan yang sama dengan orang-orang lain yang tidak mengalami penyakit kusta, kemudian hal ini dapat dibuktikan dengan usaha kerasnya kembali bekerja untuk menjadi supir ambulance dengan keadaan fisiknya yang sudah tidak sesempurna dulu lagi. Lebih dari itu, subjek juga banyak mendorong rekan-rekan sesama penyandang kusta, mencoba dengan 70
pembuktiannya, dimana bahwa B bisa melakukan banyak hal didalam keterbatasannya sebagai penyandang kusta, maka dari itu para penyandang kusta yang lainpun seharusnya bisa melakukan apa yang mereka ingin lakukan.
4.3.9
Fase Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri Pada fase ini subjek B berusaha menjadi diri sendiri, berusaha
mencoba membuktikan bahwa dengan keterbatasan fisik yang dialaminya ia pun dapat melakukan pekerjaan yang orang-orang tidak mengalami kusta dapat melakukannya, dengan upaya yang keras untuk berusaha mengoptimalkan kemampuannya didalam keterbatasan, subjek B dapat membuktikannya bahwa iapun dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari sebagaimana halnya dilakukan oleh banyak orang. “walopun jari-jari gua pada begini gua masih sanggup bawa motor sama nyetir mobil sendiri...”
bukan hanya usaha untuk mengoptimalkan kemampuan diri sendiri, tapi subjek B juga berusaha untuk mengajak teman-teman sesama penyandang kusta untuk mandiri, bekerja sendiri memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain. “kalo bisa malahh, selagi gua bisa gua mau bantu orangorang yang senasib kaya gua, kalo dia juga masih bisa kerja mandiri.... lahhh orang gua aja bisa, kenapa dia pada gga bisaa? Yaa kann?” 71
Lebih dari sekedar usahanya untuk mendorong sesama para penyandang kusta untuk hidup mandiri, tetapi subjek B bersama rekanrekan yang lain membentuk sebuah yayasan dimana yayasan ini didirikan dengan tujuan untuk mencari dana beasiswa untuk membiayai sekolah anak-anak para penyandang kusta. Disini B melihat bahwa dia lebih beruntung dengan keadaanya yang mengalami kusta tapi dia tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tetap, sedangkan para penyandang kusta yang lain, untuk mendapatkan peluang kerjapun teramat sulit apalagi jika harus membiayai sekolah anak mereka, kemudian timbulah keinginan B untuk membentuk yayasan untuk membiyai sekolah para anak-anak penyandang kusta. “yahhh gua sih gga mau muluk-muluk yahh... gua sekarang tinggal dilingkungan yang sebagian besar mereka pada kena kusta,... dan kebanyakan dari mereka udah pada berkeluarga, mereka udah dikasih tempat tinggal dilingkungan rumah sakit beginipun mungkin udah pada bersyukur, tapi kan kendalanya mereka punya keluarga... pada butuh makan, anak-anaknya perlu sekolah... nahh alhamdulillah gua sama temen-temen yang lain udah lama bikin yayasan penderita kusta... nah yayasan ini, ... biasaynya gua nyari.. ngajuin proposal-proposal buat santunan sama buat beasiswa buat anak-anak orang-orang kusta biar pada bisa sekolah... ya alhamdulillah banyak donaturnya sampe sekarang...”
Dari usahanya untuk mengajukan proposal untuk pembiayaan sekolah anak-anak para penyandang kusta, keluar masuk perusahaan untuk mengajukan proposal. Subjek B memiliki kepuasan tersendiri ketika 72
melihat usaha yang dilakukannya selama ini membuahkan hasil, dimana anak-anak para penyandang kusta disekitarnya dapat melanjutkan pendidikan sampai jenjang SMA, dan dengan bermodalkan ijazah SMA mereka dapat bekerja dan memiliki penghasilan, kemudian dari penghasilan tersebut sedikit banyak dapat membantu perekonomian keluarga mereka masing-masing. Dari kegiatan ini dapat menggambarkan sebagai bentuk pengembangan dari potensi yang dimiliki oleh subjek, melakukan banyak hal yang mungkin tidak banyak orang berpikiran untuk melakukan hal tersebut.
4.4
Subjek C 4.4.1
Gambaran Umum C adalah seorang wanita berusia 63 tahun, kesehariannya dilakukan
untuk menjadi ibu rumah tangga, membersihkan rumah, merawat suami dan anak-anaknya. Awal mula C terkena kusta adalah ketika dia harus berbesar hati untuk merawat suami yang sudah terlebih dahulu terkena kusta, C mulai diketahui terkena kusta pada sekitar tahun 1990. Sekian lama merawat suami yang sudah terlebih dahulu terkena kusta tanpa memperhatikan kesehatannya sendiri, C pun mulai tertular dan terjangkit penyakit kusta.
73
Padahal pada waktu suaminya terkena kusta, bisa saja C pergi menjau dari suaminya untuk menghindari resiko tertular, dengan alasan tidak tega karena suaminya terkena kusta pun disebabkan ia harus bekerja dengan berhadapan dengan banyak orang kusta dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga itu, atas dasar perasaannya sebagai seorang istri C merasa berkewajiban untuk merawat suaminya yang sedang dalam keadaan sakit, walaupun resikonya ia juga akan tertular penyakit yang sama dengan suaminya. Akibat penyakit kusta yang dideritanya, bukan hanya karena faktor usianya saja, kini lambat laun wajahnya mulai sedikit menurun, kemudian hidungya mengecil dan tampak terlihat tertarik kedalam. Akibat kuman kusta yang menggerogoti sistem syaraf tepi dan otot, tampak terlihat otot dijari tangannya melemah sehingga sela-sela antara jari tampak terlihat kosong. Beruntung C tidak mengalami tindakan amputasi seperti suaminya dan penyandang kusta yang lainnya. Proses penuaan yang dialami karena faktor usia serta penyakit kusta yang diderita membuatnya tampak terlihat lebih tua sepuluh tahun dari usianya sekarang, jalannya agak sedikit tergopoh-gopoh dan diseret, namun keadaan yang seperti ini bukan berarti C tidak bisa melakukan apaapa, karena C masih sanggup untuk melakukan segala aktivitasnya sendiri bahkan untuk membereskan rumah dan memesak untuk suami dan anakanaknyapun dapat ia lakukan sendiri.
74
4.4.2
Tingkah Laku dan Hal-hal Khusus Saat Wawancara Pada saat proses wawancara berlangsung terlihat sesekali subjek C
menunjukan ekspresi kesedihannya, dengan mata berkaca-kaca sambil menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Perilaku ini muncul ketika subjek mencoba menceritakan bagaimana perasaan subjek ketika pertama kali harus terkena kusta, dimana subjek merasa bahwa pada saat itu hidup terasa begitu beratnya dan merasa ketidak adilan akan semua yang terjadi padanya.
4.4.3
Setting Tempat Wawancara dilakukan diruang tamu rumah subjek C. Ruang tamu
tersebut memiliki luas dengan ukuran sekitar sembilan meter persegi, didalamnya terdapat 2 buah kursi kayu berwarna hitam yang senada dengan warna meja yang berada diantara kedua kursi tersebut. ketika kita duduk di salah satu kursi yang terletak dibawah jendela, kita akan memandang lurus kedepan dimana terdapat sebuah lemari kaca yang juga terdapat sebuah televisi berukuran 21 inch. Pada saat wawancara dilakukan keadaan cuaca diluar gelap, karena wawancara dilakukan pada waktu sore hari pukul 16:00 sampai dengan 17:15 wib dengan durasi waktu 1 jam 15 menit, cuaca diluar tampak 75
mendung dimana kemungkinan besar akan turun hujan. Maka dari itu, wawancara dilakukan didalam ruang tamu rumah subjek C dengan bantuan pencahayaan lampu yang berada didalam ruangan.
4.4.4
Gangguan Dari Luar Saat Wawancara Berlangsung Saat wawancara berlangsung, sempat sesekali anak subjek tampak
keluar masuk rumah bersama teman mainnya. Karena cuaca diluar cukup gelap, tidak lama kemudian hujan turun dengan begitu deras, wawancarapun sempat dihentikan untuk beberapa menit karena subjek ingin mengangkat pakaian yang sedang dijemur diluar ruangan. Setelah subjek C selesai membereskan dan menaruh pakaiannya didalam rumah, wawancarapun dapat dilanjutkan hingga selesai. 4.4.5
Fase Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis C pada dasarnya adalah seorang ibu rumah tangga, sebagaimana
biasanya seorang ibu rumah tangga, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari banyak ditanggung oleh penghasilan dari suami. Suami C bekerja sebagai sorang pegawai negeri sipil dilingkungan RSK.Dr. Sitanala. Setelah C terkena kusta, ia sedikit terbantu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari penghasilan suami. 76
“alhamdulillah... walaupun bapa sama saya dirawat, tapi gaji bapanya kan tetep keluar... sama jatah sembako dari rumah sakit tiap bulan kan ada...”
Dengan penghasilan suami C sebagai seorang pegawai negeri sipil C juga sangat terbantu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi yang sangat membuatnya bersedih adalah saat diketahui bahwa C juga terkena kusta sama seperti suaminya, yang kemudian membuatnya untuk masuk perawatan sedangkan anak-anaknya harus tinggal bersama adik suaminya didaerah jakarta. Namun C tetap bersyukur karena gaji suami serta sembako yang diperuntukan untuk para pegawai tetap keluar meskipun untuk waktu yang lama suaminya tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk bekerja karena harus melakukan perawatan akibat penyakit kusta yang dideritanya. Gaji yang diperoleh setiap bulannya, walaupun tidak seberapa besar tapi seabagian disisihkan untuk dikirim bersamaan dengan sembako yang diperolehnya kepada adik dari suaminya utnuk keperluan hidup dan sekolah anak-anaknya. “... karena dulu kan de gaji PNS mah kecil banget... jadi paling tunjangan buat keluarga yaa tambahan sembako itu doang... terus itu juga sembakonya dikasihin ke ade, soalnya kan ade yang ngerawat anak-anak, kan anak-anak juga butuh makan...”
Uang yang diperoleh dari gaji suami setiap bulannya dapat ia sisihkan untuk keperluan anak-anaknya karena untuk berobatpun C bersukur dapat berobat secara gratis dirumah sakit tersebut, dengan 77
jaminan kesehatan yang diperoleh suaminya sebagai seorang pegawai rumah sakit, C mendapatkan pelayanan untuk pengobatan secara gratis. Untuk keperluan makan sehari-hari, karena ia masih dalam pengobatan rawat inap, C mendapatkan makanan yang disediakan oleh rumah sakit untuk para pasien, sehingga C dapat sedikit menghemat uangnya untuk keperluan hidup yang lain.
4.4.6
Fase Pemenuhan Kebutuhan Keamanan C sempat mendengarkan cerita-cerita mengenai pengucilan sosial
yang dialami oleh para penyandang kusta, ada yang dibuang kehutan, ada yang dibuang kelaut dan ada juga yang ditinggalkan oleh keluarga karena keluarga malu memiliki anggota keluarga yang terkena kusta, karena anggapan masyarakat awam bahwa kusta adalah sebuah penyakit kutukan yang mengerikan yang dilihat dari tampilan fisik si penderitanya. Namun C merasa Bersyukur karena ia tidak merasakan apa yang para penyandang kusta lainnya rasakan. Lingkungan tempat tinggalnya, dimana ia merasakan nasib yang sama membuatnya tidak merasakan pengucilan sosial sebagaimana yang dialami oleh penyandang kusta yang tinggal diluar sana. Lingkungan C tinggal adalah suatu perkampungan yang disediakan oleh pemerintah atau dalam hal ini Instansi pemerintah 78
RSK.Dr.Sitanala tangerang yang diperuntukan untuk menampung para penyandang kusta yang tinggal jauh bahkan sudah tidak diterima lagi untuk kembali pada keluarga mereka masing-masing. “yaa klo ngedenger-ngedenger cerita tetangga mah de... orang-orang yang kena kusta kaya gini dikampungnya sono... ada yang dibuang ke utaaann, dijauhinn... karena kan kata orang-orrang kampung mah taunya kusta mahhh pikirannya mistik aja mistik de... ga tau kutukan lah, santettt apa gimana... aduhh saya mah ngedengernya udah ngilu ajaa itu ngilu... aduhhh mikir-mikir mikir... allhamdulillahhh... saya mah walaupun kena kusta gini tapi ga ngalamin kaya gitu-gituannn deee... aduuhhhh gga tau saya kalo sampe digituin apa saya masih ada apa ga sampe sekarang....” “alhamdulillah... yang begitu-bengitu mah sih saya ga pernah ngerasain... soalnya kan emang lingkungan saya tinggal mah kan lingkungan orang-orang bekas sakit semua de...” Lingkungan yang dirasa sama dan senasib sedikit banyak telah mengurangi kecemasan yang dialami oleh C untuk bertahan hidup dengan penyakit kusta yang dideritanya, terhindar dari pengucilan sosial ataupun dijauhi oleh keluarga. Namun sesekali ketika C berkumpul dengan keluarga besarnya dimana hanya C yang tampak berbeda diantara keluarganya, C masih suka merasakan canggung dan risih meskipun para saudara dan keluarganya memperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan.
4.4.7
Fase Pemenuhan Kebutuhan Dimiliki dan Cinta pada tahap ini, kebutuhan cinta karena kekurangan (deviciency
love) C dapat terpenuhi oleh keadaan hidup bersama dan memiliki 79
keluarga, dimana anak-anaknya C mau tinggal bersama meskipun dengan konsisi kedua orang tuanya mengalami kusta. “yaa kalo ditanya besarnya kaya apa yaa saya juga bingungg dee... tapi yaa gitu.. anak-anak mauuu tinggal bareng sayaa... bantu-bantu dirumahh... yaa rasanyatuhhh sayaang banget sama mereka... karena kan gga tau kalo anak-anak yang laen mah apa pada terima apa ga ngeliat emaknya kusta kaya begini...”
Dengan kebersamaaan yang dirasakan bersama keluarga yaitu anak dan suami, C terhindar dari kecemasan dan perasaan sendiri dengan penyakit yang dideritanya, karena dengan keadaan fisik yang sudah tidak sempurna seperti dulu, sang anak masih tetap berbakti dan menerima kehadiran ibunya sebagai ibu mereka tanpa merasa canggung ataupun malu. 4.4.8
Fase Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain mungkin tidak
diperoleh subjek C, karena C hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki prestasi apapun, namun disisi lain, C sudah mampu menerima keadaan dirinya sebagai seorang penyandang kusta, dengan penerimaan diri terhadap penyakit kusta yang di alami C, C berusaha bersikap mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melakukan aktivitas dan bahkan untuk mengurus rumah dan keperluan anak serta suami dapat dilakukannya secara mandiri.
80
“hmmmm... kalo kesulitan sih ... yaa biasa aja sih dee... karena ibu kan dari dulu biasain diri buat belajar, ngerjain sendiri dari masak sampe ngurus-ngurus rumah, yaa alhamdulillah ga jadi kesulitan apa gimana gitu..”
Ketika berkumpul dan bergaul bersama lingkungan rumah, mungkin
subjek C tidak merasa rendah diri yang disebabkan oleh
penyakit kusta yang dideritanya, karena lingkungan kesehariannya pun banyak berinteraksi dengan sesama para pnyeandang kusta. Namun ketika ada perayaan-perayaan hari besar dan C harus berkumpul bersama keluarga besar, dimana keluarga besarnya hanya C yang mengalami kusta, terkadang C masih merasa rendah diri karena malu melihat keadaanya yang berbeda dengan saudara-saudaranya. “... tapi kan kitaanyaahh de... kitanya gitu kalo lagi kumpul sama keluarga suka ngerasa risihh gitu... suka ngerasa beda sendirii... yaa kan sodara-sodara mah pada utuh lengkap gitu pisiknya... yaa kalo sayamah kan cacatt begini dee.. jadi yaa suka minderrr...”
Perasaan rendah diri ini muncul ketika ia ada acara perayaan hari besar dimana keluarga besar C akan berkumpul dalam satu tempat, Kemudian C merasa keberadaannya berbeda dengan kebanyakan saudarasaudaranya. Meskipun perasaan ini jarang muncul, namun perasaan ini muncul ketika ia kumpul bersama keluarganya. Karena kesehariannya dilakukan bersama lingkungan yang sebagian besar adalah para penyandang kusta, sedangkan ketika berkumpul dengan saudaranya, semuanya dalam keadaan sehat kecuali C yang mengalami penyakit kusta. 81
4.4.9
Fase Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan pada subjek C,
tidak tampak usaha yang dilakukan dalam rangka mengoptimalkan kemampuan diri dalam rangka pengembangan diri. Karena pada dasarnya untuk saat ini C merasa bahwa untuk memenuhi dan mengatur kebutuhan hidup sehari-hari sudah menjadi kesulitan tersendiri, sehingga kecil keinginan untuk berusaha belajar ataupun mengikuti sebuah pelatihan rehabilitasi untuk mengoptimalkan kemampuan diri. “ohhhh rehaabb gitu yahh..... yaa kalo itu mah kan baru ada sekarang-sekarang ini de, saya mah udah tau yaa mau ngapain lagi belajar gitu-gituan,... ga sempet lagi ikut pelatihan kaya begitu, kerjaan rumah berantakan kalo saya ikut begituan...hehe” “yaa mikirin kerjaan rumah takut berantakan, belanja, masak... mikirin harga pada naekk aja uda puyeng buat ngatur duit pensiun bapanya buat makan sehari-hari, jadi udah ga kepikiran lahhhh... buat ikut gitu-gituan..”
Aktivitas keseharian C lebih banyak dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan keperluan anak serta suami, sehingga tidak terlalu memikirkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kemampuan diri.
82
Tabel 4.2 Tahapan Tahap Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis
Tahap Pemenuhan Kebutuhan Keamanan
Tabel Analisa Proses Menuju Aktualisasi Diri
A Pada awal A terkena kusta, untuk memenuhi hidup sehari-hari serta keperluan berobat, subjek banyak mendapat bantuan dari adik kandungnya. Kemudian setelah proses pengobatan selesai, ia merasa haru dapat hidup mandiri tanpa harus bergantung dengan orang lain sekalipun itu adiknya sendiri. A memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan bekerja serabutan, mulai dari tukang potong rumput, cleaning service, hingga sekarang dapat bekerja sebagai tenaga pesuruh di unit Radiologi RSK.Dr. Sitanala Tangerang. A terhindar dari rasa kecemasan dan ketakutan atas pengucilan sosial yang
B Pada waktu sebelum B terkena kusta, B sudah bekerja dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSK.Dr.Sitanala Tangerang. Sehingga untuk memenuhi hidup selama ini ia penuhi dari gaji serta tunjangan yang diterimanya setiap bulan. Meskipun pada waktu itu B sempat dirawat dalam waktu yang panjang, gaji tiap bulan serta sembako bagi para pegawai tetap diterimanya setiap bulan, serta untuk makan seharihari selama masa perawatan pun sudah disediakan oleh rumah sakit .
C Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari C beruntung karena pada waktu itu suaminya sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di RSK.Dr.Sitanala Tangerang, sehingga ia tidak perlu kesulitan untuk mencari uang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagaimana yang dialami oleh para penyandang kusta lainnya.
B tidak sempat Merasakan Pengucilan Sosial karena sejak awal bekerja dirumah
C sempat merasa cemas dan takut saat mendengarkan cerita-cerita dari
83
dialaminya, karena pada waktu itu sang adik rela berkorban demi membela diri A, meskipun dengan kondisi A yang sudah terkena kusta. Kemudian untuk saat inipun A tidak perlu cemas karena tinggal jauh dari keluarga sehingga tidak ada tempat yang bisa ditinggalinya, karena ada salah seorang dokter dan pegawai rumah sakit yang mau berbagi ruang rumah dinasnya untuk ditinggali oleh A tanpa dipungut bayaran.
Tahap Pemenuhan Kebutuhan Dimiliki dan Cinta
A mendefinisikan cinta dalam artian luas, yaitu cinta terhadap orang tua, saudara, pasangan dan bahkan terhadap lingkungan. Namun cinta dari keluarga yang dirasakan oleh A begitu besar dirasakan, terutama oleh adik A, karena keluarga masih mau menerima keadaan A, menopang kebutuhan A selama masa perawatan hingga membela A dari orangorang yang memandang sinis keadaan fisik dari A.
sakit, ia sudah tinggal dilingkungan orangorang mantan penyandang kusta yang telah selesai melakukan perawatan, perasaan kesamaan nasib yang dialaminya membuat B tidak perlu merasa takut untuk dikucilkan atau bahkan dijauhi oleh lingkungan, karena lingkungan B berada adalah lingkungan orang-orang yang sama-sama menderita penyakit kusta.
Berada dalam lingkungan yang sama-sama menderita kusta serta perhatian dari sang istri yang begitu besarnya dan juga perhatian dari saudara-saudara kandungnya, dari adik dan kakaknya, membuat B dapat memenuhi kebutuhan cinta karena kekurangan (Deficiency Love), karena dengan berada pada lingkungan yang sama serta hidup bersama keluarga yaitu istri dan anak membuatnya tidak merasa sendirian, karena subjek B merasa masih banyak teman-teman yang 84
tetangganya mengenai pengucilan sosial para penyandang kusta didaerah-daerah, dimana ada yang dibuang ke laut, kehutan dan lain sebagainya. Namun C dapat bersyukur karena itu semua tidak dialaminya, karena C berada dilingkungan orangorang yang samasama menderita kusta, sehingga C merasa nyaman tinggal disana karena tidak ada orangorang yang berusaha untuk menjauhinya karena kesamaan nasib yang dialaminya. pada tahap ini, kebutuhan cinta karena kekurangan (deviciency love) C dapat terpenuhi oleh keadaan hidup bersama dan memiliki keluarga, dimana anakanaknya C mau tinggal bersama meskipun dengan konsisi kedua orang tuanya mengalami kusta.
sama merasakan apa yang iya rasakan serta ada keluarga yang dapat memberikan semangat untuknya. Tahap Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri
Harga diri A dibangun atas dasar pembelaanpembelan yang dilakukan sang adik ketika awal pertama A terkena kusta, dan mulai mangalami perubahan fisik. Mulai dari situ A berusaha membangun rasa percaya dirinya untuk dapat berinteraksi dengan banyak orang, untuk dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena tidak mungkin selamanya sang adik bisa ada bersamanya dan membela keadaanya. A mampu bersikap mandiri, meskipun dalam keadaan yang tidak sesempurna dulu, A berusaha untuk mempelajari pekerjaan yang diberikan kepadanya dan berusaha utnuk menyelesaikannya dengan baik
“ya kita awalnya dikasih kerjaan, suruh kesini, dimintain tolong kesini, kita bersihin bersihin
B adalah seseorang yang tidak senang jika ia sebagai orang kusta dibilang dengan kondisi fisiknya itu dia tidak bisa melakukan apa-apa. lagi pula kalo gua diamputasi emang gua gga bisa nyupir lagi gitu... sooongooong bener luh tong... asal lu tauu.. walopun jarijari gua pada begini gua masih sanggup bawa motor sama nyetir mobil sendiri... hadeeehhh jangan semenamenaa lu kalo ngomong...” Dengan kepercayaan diri yang kuat bahwa B dapat melakukan pekerjaan sama halnya dengan orang-orang yang lain yang tidak terkena kusta, serta perasaan diri bahwa orang tidak bisa menganggap dirinya tidak mampu melakukan pekerjaan hanya karena kekurang fisik yang dialaminya. Dari sini dapat dilihat bahwa subjek memiliki kebutuhan akan 85
C berusaha untuk mandiri, melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa harus membebani oranga lain. “hmmmm... kalo kesulitan sih ... yaa biasa aja sih dee... karena ibu kan dari dulu biasain diri buat belajar, ngerjain sendiri dari masak sampe ngurus-ngurus rumah, yaa alhamdulillah ga jadi kesulitan apa gimana gitu..” Usaha untuk mandiri ini dalam teori yang dipaparkan oleh Abraham Maslow dalam teori hirarki kebutuhan manusia merupakan suatu bentuk dalam usaha untuk membanguan sikap percaya diri, untuk menjadi mandiri dan memenuhi kebutuhan hidup akan harga diri.
bersihin sampe akhirnya ya alhamdulillah mendingan sedikit dah, karena kita rajin kerja, pokonya moto utamanya semangat kerja dan jangan putus asa, udah itu aja ... “ Dengan sikapnya yang seperti ini, A berusaha menunjukan bahwa dirinya mampu untuk melakukan segala hal didalam keterbatasannya, serta pembuktian bahwa A tidak lemah dan tidak ingin bergantung dengan orang lain. .
Tahap Pemenuhan Aktualisasi Diri
A berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan diri dengan cara berusaha untuk mempelajari suatu hal yang baru. “ga juga sih, kita ga punya bakat... kita Cuma ngikutin aja alurnya jalaannn...
pengakuan dari orang lain bahwa ia layak untuk bekerja dan melakukan pekerjaan yang sama dengan orang-orang lain yang tidak mengalami penyakit kusta, kemudian hal ini dapat dibuktikan dengan usaha kerasnya kembali bekerja untuk menjadi supir ambulance dengan keadaan fisiknya yang sudah tidak sesempurna dulu lagi. Lebih dari itu, subjek juga banyak mendorong rekanrekan sesama penyandang kusta, mencoba dengan pembuktiannya, dimana bahwa B bisa melakukan banyak hal didalam keterbatasannya sebagai penyandang kusta, maka dari itu para penyandang kusta yang lainpun seharusnya bisa melakukan apa yang mereka ingin lakukan Subjek B tidak hanya berusaha untuk mengoptimalkan kemampuannya pribadi, untuk bersikap mandiri dan berusaha mengerjakan segala sesuatu sendiri tanpa membebani orang lain, namu B juga mendorong rekan86
Tidak ada usaha dan upaya yang dilakukan C dalam rangka mengoptimalkan kemampuan diri, C masih lebih memikirkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari untuk
kalo misalnya kita misalnya dalam bidang ini, kita ga punya bakat ya ga tau juga ya... kita misalnya kerja dalam bidang ini, misalkan kita kerja dalam bidang nyabutin rumput, nyabutin rumput kita bisaaa, bersih... lari kebidang ini, nyapu atau apa taman kita bisa... diajarin ngetik, begini, beigini,begini kita bisaa... “ “kita mesti minta ajarin... ohh itu caranya gini nihh... yaudah kita perbaikin... aturan kita ga tau,.. jadi tauu... ya gitu sih, dokter nyuruh ini, kerjain caranya begini,begini, begini bisa ga? Diserahin,.. yaudah kita jalaninn ..” iyaa,... ga selamanya orang kusta ga bisa, pasti bisa kalo dia mau kerja,semangat dan niat,... buktinya tangan keriting-keriting begini masih bisa ngetik.. heheheh tangan keriting mana adaaa orang tangan keriting bisa ngetik.. hehehhe”
rekan yang lain dirinya sesama penyandang keluarganya. kusta untuk bersikap mandiri. B juga berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga para penyandang kusta disekelilingnya, dengan jalan membuat sebuah yayasan yang diperuntukan untuk membiayai biaya sekolah anak-anak para penyandang kusta. Hal ini semua menggambarkan bentuk upaya dan usaha B yang tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tetapi B juga berusaha untuk memebuat suatu hal yang dapat memberikan perbaikan pada lingkungannya. Suatu hal yang jarang terpikirkan oleh siapapun sekalipun itu orang-orang yang tidak mengalami kusta. B berusaha untuk menjadikan dirinya bermaanfaat bagi lingkungan dimana ia berada.
dari usaha jerih payahnya untuk membuktikan bahwa iya dapat melakukan banyak hal didalam keterbatasannya, A juga berusaha menunjukan kepada para penyandang kusta 87
dan
yang lain, kaarena jika setiap orang kusta mau berusaha, belajar, berpenampilan bersih pasti banyak peluang untuk bekerja sebagaimana halnya yang dialami oleh A.
4.5
Analisa Antar Subjek Menggunakan Teori 4.5.1
Fase Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis ini menurut Maslow ( dalam Alwisol, 2010 )
adalah suatu kebutuhan yang sifatnya paling dasar dalam rangka menjaga keseimbangan unsur fisik seperti bernafas, makan, minum, istirahat, dan seks.
Pada tahap ini subjek A,B, dan C dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya antara lain, A pada awal terkena kusta banyak dibantu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari oleh adik A yang selalu mengirimkan uang setiap bulannya untuk A dapat berobat dan makan sehari-hari hingga A bisa hidup mandiri seperti sekarang. Sekarang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari A dapat memenuhinya dari penghasilan A yang bekerja sebagai tenaga pesuruh. Untuk subjek B dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup seharihari, B dapat memenuhi dari penghasilannya bekerja sebagai seorang 88
pegawai negeri sipil di RSK.Dr.Sitanala Tangerang. Tidak jauh berbeda dengan subjek B, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari C mendapatkannya dari penghasilan suami yang juga bekerja sebagai pegawai negeri ditempat yang sama dengan B. Selama masa pengobatan B dan C mendapatkan kemudahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena status B dan suami C yang bekerja sebagai salah seorang pegawai negeri di RSK. Dr. Sitanala tangerang. B dan C mendapatkan pengobatan dan perawatan secara gratis di rumah sakit tersebut, dan penghasilan setiap bulan pun tetap bisa dinikmati oleh B dan C, sehingga dapat juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang mereka tinggalkan selama masa pegobatan, seperti kebutuhan untuk anak-anak makan dan sekolah.
4.5.2
Fase Pemenuhan Kebutuhan Keamanan Untuk memenuhi kebutuhan pada tahap ini, subjek B dan C
terhindar dari rasa cemas yang diakibatkan oleh pengucilan sosial oleh lingkungannya, karena mereka dapat tinggal didalam lingkungan yang sama- sama menderita kusta. Untuk subjek A, A sempat mendapatkan pengucilan dari lingkungannya berada, mendapatkan ejekan dan sebagainya sehingga terkadang A merasa rendah diri. Namun ada sosok adik A yang begitu membela A dan membuatnya sedikit merasa aman dan terhindar dari ancaman-ancaman yang berasal dari lingkungan. Kemudian 89
untuk sekarang A juga dapat merasa lebih aman dan nyaman ada seorang dokter dan pegawai rumah sakit yang mau menampung A untuk tinggal dirumah mereka, sehingga A tidak perlu berpikir susah payah untuk mencara rumah tinggal. Hal ini dapat membuktikan bahwa subjek A,B dan C dapat memenuhi kebutuhan rasa aman mereka, dimana menurut Maslow ( dalam Alwisol, 2010 ) kebutuhan rasa aman adalah suatu kebutuhan seseorang akan keamanan, stabilitas, proteksi dan kebebasan dari rasa takut dan cemas.
4.5.3
Fase Pemenuhan Kebutuhan Dimiliki dan Cinta Pada tahap ini, A sempat kehilangan peran dimana A merasa
dimiliki dan bagian hidup dari pasangannya. Karena saat A dan kekasihnya ingin melangsungkan pernikahan, diketahui bahwa A terkena kusta sehingga orang tua dari kekasaihnya menginginkan untuk pernikahan mereka dibatalkan. Namun demikian, dengan kejadian itu bukan berarti membuat A harus merasa terus dibayangi rasa sedih dan kecewa. Karena A merasa hidupnya harus tetap berlanjut. Dan untuk memenuhi kebutuhan akan dimiliki dan cinta dapat A peroleh dari hubungan yang baik, serta keterbukaan keluarga, terutama adik dan kaka A yang mau menerima 90
keadaan A meskipun dalam keadaan A terkena kusta dan tidak sempurna seperti dulu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alwisol (2010) bahwa kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial, dalam hal ini adalah keluarga dan cinta manjadi tujuan yang dominan. Karena orang sangat peka dengan kesendirian, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau kehilangan cinta. Untuk subjek B dan C, karena B dan C sudah berkeluarga memiliki anak dan pasangan maka kebutuhan akan dimiliki dan cinta mereka dapat dipenuhi dari hubungan dengan pasangan dan keluarga. Dimana menurut Maslow ( dalam Alwisol, 2010) ada dua jenis cinta (dewasa) yakni deficiency love, dan being love. Dalam hal ini B dan C sudah dapat memenuhi deficiency love mereka, yaitu kebutuhan cinta yang timbul karena kekurangan, orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, yaitu hubungan hidup bersama atau perkawainan yang membuat seseorang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya.
4.5.4
Fase Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri Pada tahap ini, untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri. Subjek
A,B, dan C sama-sama memiliki usaha untuk mandiri dalam melakukan segala sesuatu sendiri didalam keterbatasannya tanpa harus membebani orang lain. Usaha untuk mandiri yang dilakukan oleh subjek A,B, dan C merupakan suatu bentuk untuk mengahargai diri mereka sendiri, bahwa 91
didalam keterbatasan fisiki yang diakibatkan oleh penyakit kusta, mereka dapat melakukan segala sesuatunya sendiri, menyelesaikan tugas dan pekerjaan sendiri tanpa harus membebani orang lain. Upaya yang dilakukan oleh subjek A,B, dan C untuk bersikap mandiri ini adalah suatu bentuk penghargaan terhadapa diri sendiri. Karena Menurut Maslow ( dalam Alwisol, 2010) penghargaan dari orang lain hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri, bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrol, yang membuatnya merasa tergantung kepada orang lain.
4.5.5
Fase Pemenuhan Kebutuhan Aktualisasi Diri Subjek A dan B berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan diri
mereka didalam keterbatasan fisik yang diakibatkan oleh kusta. A berusaha mengoptimalkan kemampuan diri dengan mempelajari dan berlatih suatu hal yang belum bisa A lakukakan. A sadar bahwa ia tidak memiliki suatu bakat khusus yang menjadi nilai lebih bagi dirinya, oleh karena itu A berusaha memaksimalkan kemampuan diri dengan terus belajar suatu hal yang belum bisa ia lakukan dengan keterbatasan fisik yang dialaminya. Hingga A dapat melakukan suatu hal ataupun pekerjaan yang sebelumnya tidak bisa ia lakukan bahkan orang lain memandangnya bahwa A tidak akan bisa melakukan pekerjaan tersebut. upaya yang sama juga dilakukan oleh subjek B untuk mengoptimalkan kemampuan diri, 92
untuk bersikap mandiri dan mengerjakan segala sesuatu sendiri tanpa harus membebani orang lain. A dan B juga memiliki keinginan yang sama untuk menunjukan kepada para penyandang kusta yang lain, bahwa dengan keterbatasan fisik yang diakibatkan oleh penyakit kusta, bukan berarti penyandang kusta tidak bisa bekerja dan tidak bisa berbuat banyak hal. Lebih jauh dari pada itu, bahkan B mampu menggerakan sesama para penyandang kusta untuk membentuk sebuah yayasan yang bertujuan untuk memberdayakan para penyandang kusta serta mencari dana beasiswa untuk membiayai pendidikan anak-anak para penyandang kusta. Suatu pemikiran yang bahkan orang-orang yang tidak mengalami kustapun jarang terpikirkan untuk melakukan hal yang dilakukan oleh B. Upaya yang dilakukan oleh A dan B ini merupakan suatu pencapaian diri atas aktualisasi diri yang dilakukan oleh A dan B. Sesuai dengan pendapat Maslow ( dalam Alwisol, 2010) bahwa aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri ( Self Fulfilment ), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Untuk subjek C sendiri, C tidak memiliki keinginan atau usaha untuk mengoptimalkan kemampuan diri. C lebih memikirikan untuk untuk usaha mengatur keuangan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik untuk dirinya maupun keluarga, karena C berpikiran untuk mengatur uang buat makan saja sudah sulit jadi C tidak memikirkan untuk 93
berusaha mengoptimalkan kemampuan diri. Oleh karena itu, C tidak dapat memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri sebagaimana yang telah dilakukan oleh subjek A dan B.
94