BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Duduk Perkara a. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: Fifi Tanang
Tempat Lahir
: Ujung Pandang
Umur/Tanggal Lahir
: 55 Tahun / 22 Agustus 1952
Jenis Kelamin
: Perempuan
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
: Jalan Danau Agung 15 Nomor 16 RT 007, RW 016, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta atau Apartemen Mangga Dua Court Lantai 15 Nomor 03 West Tower Jakarta Pusat
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: Pemilik Kios STEP ON dan FIFI, Ketua Pengurus Perhimpunan Penghuni Mangga Dua Court
b. Perbuatan Terdakwa Berawal pada hari Sabtu tanggal 04 November 2006 atau setidaknya pada suatu waktu tertentu dalam tahun 2006, di kantor Surat Kabar Harian Investor Daily Sudirman Tower Condominium Tower A Lantai 1 Jalan Garnisun Dalam Nomor 8 Karet Semanggi, Jakarta Selatan atau Jalan Padang Nomor 19-21 Manggarai Jakarta Selatan atau setidak-
70
tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam ia diijinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, yang dilakukan terdakwa dengan cara-cara sebagai berikut: 1) Bahwa terdakwa Fifi Tanang sebagai pemilik kios STEP ON dan FIFI yang terletak di ITC Mangga Dua Lantai 2 Blok A/98-100 lantai 4 Blok AA/10-11 Jakarta Utara, awalnya terdakwa telah membeli kios dari PT. Duta Pertiwi yang terletak di ITC Mangga Dua lantai 2 Blok A/98-100 dan lantai 4 Blok AA/10-11 dibeli dari Sudarno Tasmin sejak tanggal 1 Maret 1999 dengan bukti kepemilikan berupa: Akte Jual Beli Notaris Arikanti Natakusumah, S.H. Nomor 37/Pademangan/1999 tanggal 04 Februari 1999, Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor 205/IV/1A atas nama Fifi Tanang, kios berdiri diatas tanah SHGB Hak Atas Tanah Bersama Nomor 442/Ancol; 2) Bahwa PT. Duta Pertiwi Tbk adalah pengembang yang membangun kioskios dan rumah susun dimana sebagai Direktur Utama Mukhtar Wijaya dan Ir. Glen Hendra Gunadirja sebagai Direktur dan bidang tanah itu sejak semula adalah Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang memegang haknya adalah PEMDA DKI Jakarta masa berlaku selama 20 tahun dan akan berakhir pada tanggal 17-07-2008; 3) Bahwa dalam menerbitkan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun pada saat dilakukan transaksi penjualan kios di ITC Mangga Dua kantor
71
BPN melaksanakan penerbitan sertifikat belum seragam dengan menulis secara lengkap Sertifikat HGB di atas HPL dan sejak diterbitkannya PP No. 40 Tahun 1996 pengisian buku tanah diseragamkan dan harus ditulis secara lengkap Sertifikat HGB di atas HPL; 4) Bahwa ketika akan dilakukan perpanjangan HGB di atas tanah ada beberapa pemilik kios termasuk terdakwa yang merasa keberatan untuk mengeluarkan biaya perpanjangan HPL kepada PEMDA DKI, kemudian pada tanggal 31 Agustus 2006 Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua telah mengadakan rapat umum yang dihadiri oleh dari Kantor Pertanahan Jakarta Utara, Dinas Perumahan DKI Jakarta, para anggota Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua dan rapat umum tersebut hadir juga terdakwa Fifi Tanang untuk membahas mengenai Sertifikat HGB di atas HPL tanah ITC Mangga Dua dan pembayaran perpanjangan Sertifikat HGB di atas tanah HPL ITC Mangga Dua adalah selain membayar perpanjangan HGB juga harus membayar perpanjangan HPL kepada PEMDA DKI guna mendapatkan surat rekomendasi dari PEMDA DKI untuk perpanjangan HGB dan dilanjutkan kembali pada Rapat Umum Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua pada tanggal 11 September 2006 dan Anggota Perhimpunan Penghuni ITC Mangga Dua telah menyetujui untuk memperpanjang Sertifikat HGB di atas HPL atas tanah ITC Mangga Dua karena PT. Duta Pertiwi hanya menjual kios-kios; 5) Kemudian tanggal 13 September 2006 Ketua Pengurus Perhimpunan pemilik kios yang memberitahukan Keputusan Rapat Umum Tahunan
72
Perhimpunan ITC Mangga Dua menyetujui untuk memperpanjang Sertifikat HGB atas tanah bersama ITC Mangga Dua dengan status Sertifikat HGB di atas HPL dan terdakwa juga sebagai anggota telah menerima Surat Edaran tersebut; 6) Pada hari Sabtu tanggal 4 November 2006 telah dikirimkan Surat Edaran tentang Sertifikat HGB di atas HPL, terdakwa Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hatihati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”…bagaimana mungkin, Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada tanggal 25 agustus 2006”. 7) Bahwa benar pada tanggal 25 Agustus 2006 terdakwa Fifi Tanang melaporkan Mokhtar Wijaya dan Ir. Glen Hendra Gunadirja ke Polda Metro Jaya dan tanggal 10 November 2006 terdakwa Fifi Tanang juga telah melaporkan Mukhtar Wijaya dari PT. Duta Pertiwi ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHPidana, Pasal 266 KUHPidana dan Pasal 335 KUHPidana; 8) Bahwa laporan terdakwa ke Polda Metro Jaya tanggal 10 November 2006 terhadap Mukhtar Wijaya dari PT. Duta Pertiwi telah dihentikan
73
penyidikannya berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penghentian Penyidikan No. Pol. S. Tap/SK/170/IV/2007/Ditreskrimum tanggal 30 April 2007 karena bukan merupakan tindak pidana dan laporan terdakwa tanggal 25 Agustus 2006 terhadap Mukhtar Wijaya dan Ir. Glen Hendra Gunadirdja dari PT. Duta Pertiwi ke Polda Metro Jaya juga telah dihentikan berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penghentian Penyidikan No. Pol. S. Tap/185/V/2007/Ditreskrimum tanggal 2 Mei 2007 karena bukan merupakan tindak pidana; 9) Bahwa pernyataan terdakwa yang dimuat di Surat Kabar Harian Investor Daily yang dimuat pada Rubrik Opini halaman 9 dengan judul “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” telah mengakibatkan nama baik PT. Duta Pertiwi sebagai badan hukum maupun nama baik Mukhtar Wijaya selaku Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk dan Ir. Glen Hendra Gunadirdja selaku Direktur PT. Duta Periwi telah tercemar; 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara subsidair, yaitu sebagai berikut: a. Dakwaan Pertama Terdakwa Fifi Tanang, telah mengirim Surat ke Surat Kabar Harian Investor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 Rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”… bagaimana mungkin, Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI
74
Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada tanggal 25 Agustus 2006”. Perbuatan terdakwa Fifi Tanang mengirim Surat Pembaca yang isinya berupa tuduhan penipuan membuat PT Duta Pertiwi merasa tercemar nama baiknya. Atas perbuatan tersebut, terdakwa Fifi Tanang didakwa telah melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang memfitnah secara tertulis. Atau, b. Dakwaan Kedua Terdakwa Fifi Tanang, telah dengan sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh melakukan suatu perbuatan yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, yang dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, yang dilakukan Tedakwa dengan cara mengirim Surat ke Surat Kabar Harian Investor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 Rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”…bagaimana mungkin, Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada tanggal 25 agustus 2006”.
75
Perbuatan terdakwa Fifi Tanang mengirim Surat Pembaca yang isinya berupa tuduhan penipuan membuat PT Duta Pertiwi merasa tercemar nama baiknya. Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis. 3. Tuntutan Penuntut Umum Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum Kejaksaan Negeri di Jakarta Selatan, tanggal 19 Maret 2009 sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa Fifi Tanang bersalah melakukan perbuatan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair melanggar Pasal 311 ayat (1) KUHPidana; b. Menghukum dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dengan masa percobaan 2 (dua) tahun; c. Barang bukti berupa surat-surat: 1) 1 SKH INVESTOR DAILY tangal 2-3 Desember 2000; 2) 1 exp foto copy Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun; 3) 1 exp foto copy Perjanjian Perikatan Jual Beli; 4) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 442, 443, 444 dan 445/Ancol; 5) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Milik Bangunan Atas Satuan Rumah Susun No. 148/IV No. 205/IV/IA; Dilampirkan dalam berkas; 6) Membayar ongkos perkara Rp. 5. 000,- (lima ribu rupiah);
76
4. Putusan a. Putusan Pengadilan Negeri Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. tanggal 7 Mei 2009 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1) Menyatakan terdakwa Fifi Tanang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Nama Baik”; 2) Menjatuhkan Pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut dengan Pidana Penjara selama: 6 (enam) bulan; 3) Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak harus dijalani di dalam rumah Tahanan Negara ataupun Lembaga Pemasyarakatan, kecuali ada putusan lain yang telah kekuatan hukum sebelum berakhirnya masa percobaan selama 1 (satu) tahun; 4) Menetapkan agar barang bukti berupa: a) 1 SKH KOMPAS tanggal 22 November 2006; b) 1 SKH INVESTOR DAILY tangal 2-3 Desember 2006; c) 1 exp foto copy Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni Rumah Susun; d) 1 exp foto copy Perjanjian Perikatan Jual Beli; e) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 442, 443, 444 dan 445/Ancol;
77
f) 1 exp foto copy Sertifikat Hak Milik Bangunan Atas Satuan Rumah Susun No. 148/IV No. 205/IV/IA; g) Buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP karangan M. Yahya Harahap hal. 125, 126 dam 151; h) Buku Kemahiran dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana karangan Drs. Adam Chazawi, hal. 112, 113 dan 114; i) Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
No.
205/Pdt.G/2007/PN.JKT.Pst; j) Surat jawaban dari PPAT Arikanto Natakusumah tertanggal 25 Juni 2007; k) Surat dan dokumen dari kantor Pertanahan Jakarta Pusat; l) 5 eksempelar Sertifikat Apartemen Mangga Dua Court; m) 2 buah Akte Jual Beli No. 254/Sawah Besar. 2007 tanggal 10 Maret 2007; n) Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Apartemen Mangga Dua Court; o) Keputusan Kakanwil BPN DKI Jakarta No. 013/03-550.2-09.01-2006; p) Surat Keterangan dari ahli Hukum Pertanahan Prof. Boedi Harsono, SH; q) Surat dari PT. Duta Pertiwi Tbk No.034/PM-MDC/HJ/III/97 tanggal 13 Maret 1997; r) Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport) dari Kantor Pertanahan Kodya Jakarta Pusat N0.330/2006 tanggal 29 Juni 2006; s) Faktur-faktur Pajak;
78
t) Komentar Prof. Boedi Harsono di Majalah Forum Keadilan No.09, 24 juni 2007; Agar tetap terlampir dalam berkas perkara; 5) Menghukum pula terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah); b. Putusan Pengadilan Tinggi Putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
No.234/Pid/2009/PT.DKI.
tanggal 07 September 2009 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 1) Menerima Permintaan Banding dari Penuntut Umum dan Terdakwa; 2) Menguatkan Putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan Nomor: 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel tanggal 07 Mei 2009 yang dimintakan banding tersebut; 3) Membebankan biaya perkara ini kepada terdakwa di dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 2.000,-; 5. Kasasi Alasan-alasan yang diajukan Pemohon Kasasi/Terdakwa Fifi Tanang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a. Pertimbangan Judex Facti tingkat Banding telah melanggar ketentuan hukum karena tidak memberikan pertimbangan hukum yang cukup dan layak (onvoldoende gemotiveerd); Bahwa Judex Facti tingkat Banding dalam mengadili dan memutus perkara
No.234/PID/2009/PT.DKI
terbukti
telah
tidak
menerapkan
peraturan hukum dan menerapkannya tidak sebagaimana mestinya. Judex
79
Facti Tingkat Banding berpendapat: “bahwa dalam memori banding tidak ada hal-hal yang dapat merubah putusan a quo, sehingga memori banding tidak
perlu
menyebabkan
dipertimbangkan Judex
Facti
lebih Tingkat
lanjut”.
Hal
Banding
tersebutlah tidak
yang
memberikan
pertimbangan hukumnya sendiri. Pertimbangan hukum yang demikian adalah pertimbangan hukum yang tidak tepat dan tidak benar. Bahwa dengan telah salah serta melanggar hukumnya Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam perkara a quo, yang tidak disertai dengan pertimbanganpertimbangan yang cukup, maka Mohon kepada Judex Juris untuk menyatakan Putusan Judex Faxti dalam a quo batal demi hukum; b. Bahwa pertimbangan Judex Facti Tingkat Pertama yang diambil alih oleh Judex Facti Tingkat Banding telah cacat hukum; Bahwa Pemohon Kasasi keberatan terhadap putusan Judex Facti karena sama sekali tidak mempertimbangkan keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon kasasi dalam nota pembelaan baik mengenai perihal yang berhubungan dengan fakta-fakta maupun yang berhubungan dengan penerapan hukumnya, dimana putusan Judex Facti sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap di persidangan. Putusan MA RI No.47/K/KR/1956 tanggal 28 Maret 1957 menyatakan sebagai berikut: “yang menjadi dasar pemeriksaan oleh Pengadilan ialah Surat Tuduhan jadi bukan tuduhan yang dibuat oleh Polisi”; Bahwa dengan demikian, antara dakwaan dan putusan haruslah bersesuaian, namun dalam perkara a quo, Pemohon Kasasi didakwa telah
80
mencemarkan nama baik PT. DUTA PERTIWI Tbk, quod non, melalui tulisan yang dimuat pada surat kabar harian Investor Daily, padahal, Pemohon Kasasi dalam tingkat Penyidikan telah disidik dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik PT. DUTA PERTIWI Tbk dalam surat kabar Harian Kompas dan Warta Kota. Sehingga terlihat bahwa tidak terdapat kesesuaian antara Berita Acara Penyidikan dan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Sedangkan, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang tidak cermat tersebut telah dijadikan sebagai dasar bagi Judex Facti dalam memutus perkara a quo. Maka putusan Judex Facti telah mengandung suatu kecacatan hukum yang harus diperbaiki oleh Judex Juris. Dengan demikian, putusan yang diambil oleh Judex Facti dengan didasarkan atas bukti-bukti yang keliru tersebut telah mengakibatkan putusan tersebut cacat hukum; c. Mengenai Judex Facti Tingkat Pertama maupun Tingkat Banding telah melanggar hukum karena tidak memperhatikan Pasal 319, Pasal 72-79 KUHP; Pasal 319 KUHP menyatakan bahwa: Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316; Bahwa selanjutnya, dalam Pasal 72 KUHP dinyatakan bahwa; Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari pada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu”
81
Bahwa dalam perkara a quo yang menjadi Pelapor atas tindak pidana yang dituduhkan bukanlah orang yang merasa tercemar nama baiknya akan tetapi oleh Saudara Dormauli Limbong, SH., MH seorang kuasa hukum yang bekerja pada kantor Pengacara Haposan Hutagalung SH & Partners, dan bukan oleh orang yang mengadu sebagai korban sendiri; Bahwa Saudara Dormauli Limbong, SH., MH bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor. Sehingga secara hukum seharusnya Laporan Polisi yang dibuat oleh saudara Dormauli Limbong, SH., MH adalah laporan yang cacat hukum karena tidak memenuhi unsur Laporan atas suatu delik pidana dengan Pengaduan Absolut. Dengan demikian, tanpa pengaduan atas tindak pidana yang dikenakan kepada Pemohon Kasasi tidak dapat dilakukan Penuntutannya. Bahwa dalam perkara a quo, Saudara Muktar Widjaja selaku Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk yang mengaku menjadi korban, tidak hanya bukan menjadi pihak yang melaporkan sebagaimana diatur oleh hukum. Sedangkan terdapat fakta bahwa Pemohon Kasasi telah ditetapkan sebagai Tersangka sebelum adanya pemeriksaan oleh Penyidik terhadapa Pelapor. Terlebih lagi, saudara Muktar Widjaja (yang mengaku menjadi korban) tidak pernah diperiksa di baik tingkat penyidikan mapun di tingkat pengadilan; Bahwa dengan demikian, oleh karena tindak pidana yang dikenakan kepada Pemohon Kasasi adalah Delik Aduan Absolut, di mana dalam ketentuan Pasal 72 KUHP, suatu delik aduan absolut haruslah dilaporkan
82
orang yang benar-benar merasa tercemar nama baiknya, sedangkan dalam perkara a quo, yang bertindak sebagi Pelapor adalah Kuasa Hukum dan bukan korban, sehingga dapat terlihat bahwa Judex Facti Tingkat Pertama mapun Judex Facti Tingkat Banding telah mengabaikan suatu ketentuan hukum yang pasti mengenai delik aduan absolut, sehingga putusan Judex Facti dalam kedua tingkatan tersebut telah bertentangan dengan undangundang yang berlaku, maka akibatnya adalah batalnya putusan yang bersangkutan; d. Judex Facti telah tidak menerapkan ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers; Bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada Pemohon Kasasi adalah tindak pidana yang menyangkut Undang-undang Pers. Undangundang Pers telah memberikan pengaturan secara lebih spesifik (Lex Specialist) mengenai segala perbuatan, termasuk perbuatan pidana yang menyangkut Pers. Dengan demikian, maka seharusnya, penyidik yang tidak mendalami mengenai Undang-undang Pers dapat mendatangkan ahli dari Dewan Pers yang dapat memberikan pendapatnya mengenai apakah Pemohon Kasasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana atau tidak. Sebab, Undang-undang Pers telah mengatur secara jelas tentang siapa yang harus bertanggung jawab apabila terdapat suatu pemberitaan yang dimuat oleh Pers. Bahwa berdasar ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Pers, telah jelas mengenai hak-hak seseorang yang merasa keberatan ataupun
83
tercemar nama baiknya sehubungan dengan adanya pemberitaan, maka dapat melaporkan dan mengadukan pers yang bersangkutan ke Dewan Pers. Apabila ternyata orang/sekelompok orang yang merasa tercemarkan nama baiknya tersebut masih kurang mersa puas, masih terbuka peluang bagi orang yang meras dirugikan tersebut untuk mengajukan gugatan kepada Penanggungjawab dari Media yang bersangkutan. Bahwa dengan telah diaturnya dalam Undang-undang Pers mengenai diajukannya gugatan kepada Penanggungjawab Media dan bukan penulis berita, maka perkara pidana yang dikenakan kepada Pemohon Kasasi telah tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana telah diatur secara Lex Specialist berdasarkan Undang-undang Pers. Oleh karenanya Judex Facti telah salah menerapkan hukum dan karenanya Putusan Judex Facti Tingkat Banding dalam perkara a quo harus dibatalkan; e. Bahwa Judex Facti Tingkat Pertama dan Judex Facti Tingkat Banding telah salah dalam menerapkan hukum mengenai Pasal 311 ayat (1) KUHP yang dikenakan kepada Pemohon Kasasi; Bahwa Pasal 311 ayat (1) KUHP yang dikenakan terhadap Pemohon Kasasi berdasar atas ketentuan hukum merupakan suatu tindak pidana yang menganut ketentuan adanya Delik Aduan Absolut. Dimana dalam ketentuan Bab VII Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam KejahatanKejahatan yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan, khususnya Pasal 72 KUHP, terhadap Pasal-Pasal Perbuatan Pidana yang mengenai Delik Aduan Absolut, harus dilaporkan/diadukan oleh orang yang benar-benar merasa
84
tercemar nama baiknya atau dengan kata lain pelaporan atau pengaduan harus dilakukan oleh orang yang menjadi korban; Bahwa unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP mensyaratkan sebagai berikut: Jika yang melakukan kejahatan, pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun; Bahwa selain hal tersebut diatas, mengenai tindak pidana pencemaran nama baik, harus dibuktikan mengenai apa yang dituduhkan oleh pelaku tindak pidana itu tidak benar. Hal ini didukung oleh Keterangan Ahli Drs. Sutiman, M.Hum, yang dibawah sumpah memberikan keterangan sebagai berikut: “Bahwa kalau tulisan tersebut ternyata benar, maka bukan termasuk Pencemaran Nama Baik”. Begitu pula dengan keterangan Ahli Dr. Rudy Satrio, SH., M.H., “Bahwa dalam Pasal 310 ayat (3) ada 2 unsur: kepentingan umum dan kepentingan pembelaan dalam proses persidangan. Kalau yang dilakukan berguna dan dapat menyelamatkan orang lain, maka hapuslah unsur pidana perbuatan tersebut.”; Bahwa kalaupun benar tulisan Pemohon Kasasi dalam Harian Investor Daily, adalah suatu tulisan yang pada intinya Pemohon Kasasi atas nama Ketua Pengurus Perhimpunan Penghuni Apartemen Mangga Dua Court merasa telah menjadi korban atas status kepemilikan tanah Apartemen Mangga Dua Court yang dalam Sertifikat Kepemilkan Pemohon Kasasi
85
beserta lainnya dinyatakan sebagai tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT. Duta Pertiwi Tbk, namun pada saat akan dilakukannya perpanjangan atas HGB tersebut ternyata status tanah yang di atasnya berdiri Apartemen Mangga Dua Court adalah tanah HGB yang berdiri di atas tanah HPL (Hak Pengelolaan) yang terdaftar atas nama Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Bahwa dengan demikian, Pemohon Kasasi merasa tertipu atas perbuatan PT. Duta Pertiwi tersebut; Bahwa mengenai permasalahan status tanah tersebut saat ini baru sampai pada pemeriksaan di Tingkat Banding dan akan segera diajukan Permohonan Kasasinya dan saat ini Pemohon Kasasi masih menunggu diterimanya relaas pemberitahuan Putusan Banding atas perkara perdata No.205/PDT.G/2007/PN.JKT.PST. Dengan demikian, belum ada putusan yang berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atas permasalahan tersebut di atas. Sehingga mengenai perbuatan Pemohon Kasasi yang dianggap telah mencemarkan nama baik PT. Duta Pertiwi Tbk seharusnya secara hukum tidak dapat dikenakan kepada Pemohon Kasasi, sebab masih terbuka luas mengenai kemungkinan bahwa apa yang menjadi objek tulisan Pemohon Kasasi adalah benar dan terbukti secara hukum dan bukanlah merupakan suatu bentuk pencemaran nama baik; Bahwa berdasarkan atas dalil-dalil tersebut diatas, Pemohon Kasasi memohon kepada Judex Juris untuk dapat mempertimbangkan kembali mengenai unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP yang dikenakan terhadap Pemohon Kasasi, sebab sebagaimana telah Pemohon Kasasi uraikan di atas,
86
bahwa mengenai isi objek tulisan Pemohon Kasasi tersebut masih diuji kebenarannya secara hukum pada pemeriksaan di tingkat Kasasi; 6. Putusan Mahkamah Agung a. Dasar Pertimbangan Berdasarkan alasan-alasan kasasi yang diajukan terdakwa Fifi Tanang, Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan oleh karena: 1) Bahwa dalam kasus ini yang menjadi objek pencemaran adalah Badan Hukum PT. Duta Pertiwi yang Dirutnya adalah Bapak Mukhtar Wijaya; 2) Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar (PT. Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbong, SH., MH kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi, sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi; 3) Bahwa dengan demikian pengaduan dianggap tidak ada; 4) Bahwa atas dasar hal tersebut terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum; b. Amar Putusan Mengadili: 1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Fifi Tanang tersebut;
87
2) Membatalkan
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
No.234/Pid/2009/PT.DKI. tanggal 07 September 2009 yang menguatkan putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. tanggal 07 Mei 2009; MENGADILI SENDIRI a. Menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran; b. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum; c. Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali terdakwa ditahan karena perkara lain; d. Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan kepada Negara; Putusan tersebut diputuskan dalam Rapat Musyawarah Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 20 Mei 2010 oleh Dr. Harifin A. Tumpa, SH., MH, yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, I Made Tara, SH., dan Prof. Dr. H. MUCHSIN, SH., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh RITA ELSY, SH., MH, Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi: Terdakwa dan Jaksa/Penuntut Umum.
88
B. PEMBAHASAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010 menyatakan bahwa terdakwa Fifi Tanang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan kejahatan maupun pelanggaran. Namun Mahkamah Agung berpendapat bahwa kasus ini tidak ada aduan dari korban yang berhak mengadu sehingga Mahkamah Agung melepaskan terdakwa Fifi Tanang dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010 serta dengan melakukan studi pustaka tentang bahan-bahan serta materi yang berhubungan dengan objek penelitian, maka dapat disusun pembahasan sebagai berikut: 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan
Nomor
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel
dan
Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI Penulis akan membahas lebih dulu mengenai penerapan unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik terhadap badan hukum melalui media massa
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
No.1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.234/Pid/2009/PT.DKI yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung menyatakan terdakwa Fifi Tanang terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya artinya Mahkamah Agung sepakat dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
Nomor
1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. yang menyatakan bahwa terdakwa Fifi Tanang
89
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencemaran Nama Baik”. Tindak pidana pencemaran nama baik masuk dalam pencemaran (smaad) dan pencemaran tertulis (smaadscrift) yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP. Pasal 310 KUHP masuk titel XVI buku II KUHP yang secara umum membahas mengenai “Penghinaan” (beleediging). Terdakwa Fifi Tanang dalam kasus ini didakwa melakukan tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan fitnah yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP. Pembahasan hasil penelitian ini akan dimulai dari semua unsur tindak pidana pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310 KUHP karena harus lebih dulu dibuktikan adanya tindak pidana pencemaran nama baik. Penulis akan membahas mengenai penerapan unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 ayat (1) KUHP berdasar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel, yaitu sebagai berikut: a. Perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-undang; 1) Pencemaran nama baik; Pasal 310 ayat (1) KUHP menentukan: Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Unsur pertama dari pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang, tindakan orang itu merupakan penghubung atau dasar untuk
90
adanya pemberian pidana. Perbuatan itu meliputi berbuat dan tidak berbuat dan yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam undangundang, yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas.106 Soedarto menyatakan bahwa perbuatan yang memenuhi atau yang mencocoki rumusan tindak pidana dalam undang-undang berarti perbuatan konkrit dari si pembuat. Dan perbuatan itu harus mempunyai ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang. Sehingga perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undangundang sebagai tindak pidana tidak dapat dipidana dan peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. 107 Berdasarkan uraian di atas tindak pidana pencemaran nama baik yang terdapat dalam Pasal 310 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut yang akan dibahas satu persatu, yaitu sebagai berikut: Unsur-Unsur Objektif: a) Unsur Barangsiapa; Kata tersebut menunjukkan “orang”, yang apabila “orang” tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dimaksudkan di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 310 KUHP maka ia dapat disebut sebagai pelaku atau “dader” dari tindak pidana tersebut. Barangsiapa yaitu siapa saja orangnya yang dapat menjadi subjek hukum dan menjadi pelaku dari suatu perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana itu. 106 107
Soedarto, 1990, op. cit, hlm. 30. Ibid. hlm. 31.
91
Terdakwa Fifi Tanang, dapat dimasukkan sebagai katagori subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang. Barangsiapa dalam perkara ini, tidak lain adalah Fifi Tanang yang berdasar fakta yang diperoleh dipersidangan terbukti melakukan perbuatan pencemaran nama baik. Majelis Hakim mendasarkan pada telah diajukannya ke persidangan seorang terdakwa bernama Fifi Tanang yang ketika diperiksa identitasnya ternyata cocok dan sesuai dengan identitas yang tertulis dalam surat dakwaan Penuntut Umum sebagaimana telah dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur barangsiapa telah dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum. b) Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”; Bahwa yang dimaksud dengan ”menyerang kehormatan atau nama baik” di dalam rumusan Pasal 310 KUHP adalah setiap ucapan maupun tindakan yang menyinggung harga diri atas kehormatan, dan nama
baik
”seseorang”.
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
menafsirkan “seseorang” berdasarkan perluasan makna subjek hukum pidana
yaitu
orang
(rechtpersoon)
dan
badan
hukum
(naturlijkpersoon). “Seseorang” yang menjadi korban pencemaran nama baiknya dalam perkara ini adalah badan hukum yaitu PT. Duta Pertiwi. Mengenai bisa tidaknya suatu badan hukum menjadi korban pencemaran
nama
baik
atau
fitnah,
Hakim
menyinggung
92
yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976. Menurut Majelis Hakim, dalam putusan itu suatu badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik bukan hanya orang pribadi. Subjek hukum sendiri ada dua yaitu orang (rechtpersoon) dan badan hukum (naturlijkpersoon). Awalnya KUHP mengenal subjek hukum yaitu orang. Namun timbul pemahaman baru mengenai subjek hukum pidana karena dalam perkembangannya bukan hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum, melainkan juga perkumpulan manusia bersama-sama dapat mempunyai kemampuan untuk menjadi subjek hubungan hukum. Sekumpulan manusia itu dinamakan badan hukum dan badan hukum ini sebagai subjek hukum yang baru serta mandiri. Di sini badan hukum adalah suatu realitas di samping manusia sebagai subjek hukum.108 Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat digugat maupun menggugat. Maka dari perluasan subjek hukum tersebut dapat disimpulkan badan hukum juga mempunyai kehormatan. Karena pada dasarnya bila badan hukum dicemarkan nama baiknya pada akhirnya akan berlaku juga bagi manusia yang dicemarkan dan dihina kehormatan dan nama baiknya, yaitu orang-orang yang ada dalam badan hukum tersebut, seperti pengurus dan anggota-angotanya. Maka unsur menyerang kehormatan atau nama baik seseorang adalah
108
Chaidir Ali, op. cit. hlm. 10.
93
tindakan dari pelaku yang merusak rasa harga diri atau harkat dan martabat yang dimiliki oleh orang dalam pergaulan hidup masyarakat terhadap seseorang (pribadi) sebagai makhluk hidup maupun terhadap badan hukum (naturlijkpersoon). Penerapan unsur menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang” dalam perkara ini adalah bahwa terdakwa Fifi Tanang mencemarkan nama baik badan hukum yaitu PT Duta Pertiwi yang dalam perkembangannya merupakan subjek hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka unsur menyerang kehormatan atau nama baik seseorang telah dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum. c) Dengan menuduhkan suatu hal; Menuduhkan suatu hal juga sering diartikan sebagai menuduhkan perbuatan tertentu, sebagai terjemahan dari kata Bahasa Belanda: bepaald feit dalam arti bahwa perbuatan yang dituduhkan tersebut dinyatakan dengan jelas, baik tempat maupun waktunya. Jika tidak jelas disebut waktu dan tempat perbuatan tersebut maka perbuatan pelaku tersebut adalah penghinaan biasa (ringan), misalnya: i. kau pembohong ii. kau pencuri dan penipu iii. kau pemeras109 Perbuatan tertentu itu harus telah dituduhkan. Tuduhan terpenuhi apabila dari kata-kata secara logis dapat ditarik kesimpulan,
109
Leden Marpaung, op. cit. hlm. 15-16.
94
bahwa yang dimaksudkan adalah pemberitahuan atas suatu perbuatan yang seakan-akan dilakukan oleh seorang yang dituduh.
110
Unsur
diatas bila dihubungkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel. adalah bahwa terdakwa Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya antara lain”…..bagaimana mungkin, Sertifikat yang tidak pernah ditulis bahwa status HGB di atas HPL Pemda DKI Jakarta ternyata berstatus HGB di atas HPL siapapun pasti akan tertipu dengan kejadian ini. Perlu diketahui masalah penipuan oleh Developer PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) telah kami laporkan ke Kepolisian pada tanggal 25 agustus 2006”. Pernyataan terdakwa tersebut telah mengakibatkan nama baik PT. Duta Pertiwi sebagai badan hukum maupun nama baik Mukhtar Wijaya selaku Direktur Utama PT. Duta Pertiwi Tbk dan Ir. Glen Hendra Gunadirdja selaku Direktur PT. Duta Pertiwi telah tercemar. Terdakwa Fifi Tanang telah memenuhi unsur “dengan menuduhkan perbuatan tertentu”, karena Surat Pembaca itu menyatakan tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan perbuatan tertentu yaitu telah melakukan tindak pidana penipuan. Berdasarkan alat bukti keterangan saksi dan 1 fotocopy SKH Daily Investor tangal 2-3 Desember 2000,
110
H. A. K. Moh Anwar, op. cit, hlm. 136.
95
telah terbukti secara meyakinkan bahwa terdakwa Fifi Tanang telah menuduh PT. Duta Pertiwi telah melakukan penipuan. Unsur Subjektif: a) Dengan sengaja (opzettelijk); Menurut doktrin (ilmu pengetahuan), sengaja termasuk unsur subjektif, yang ditujukan pada perbuatan. Artinya pelaku mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-katanya yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang lain.111 Apakah pelaku tersebut bermaksud untuk menista, tidak termasuk unsur ”sengaja”. Sengaja di sini, tidak begitu jauh karena di sini tidak diperlukan ”maksud lebih jauh”, jadi tidak diperlukan animus injuriandi (niat untuk menghina), sebagaimana dimuat oleh yurisprudensi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 37 K/Kr/1957, tanggal 21 Desember 1957.112 Penerapan unsur “dengan sengaja” dalam perkara Fifi Tanang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, yaitu: dimaksud dengan sengaja adalah terdakwa Fifi Tanang menyadari sepenuhnya dan memahami perbuatannya dan apa akibatnya. Unsur ini terdapat pada fakta hukum sebagai berikut: Terdakwa Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian 111 112
Leden Marpaung, op. cit, hlm. 13. Ibid., hlm. 13-14.
96
Inverstor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hati-hati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya berupa tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi melakukan penipuan. Dari fakta hukum diatas terdakwa Fifi Tanang terbukti telah menulis Surat Pembaca secara sadar di Surat Kabar Harian Daily Investor dan terdakwa menyadari bahwa perbuatannya tersebut akan menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian unsur “dengan sengaja” terpenuhi karena terdakwa Fifi Tanang melakukan perbuatannya yaitu mengirim Surat Pembaca dengan sengaja, menyadari sepenuhnya dan memahami tentang perbuatannya dan apa akibatnya meskipun Fifi Tanang tidak ada niat untuk menghina. b) Dengan maksud yang terang (kenlijk doel) supaya tuduhan itu diketahui umum (ruchtbaarheid te geven); Hakim untuk dapat menghukum pelaku dalam perkara ini, maka disyaratkan bahwa pelaku harus terlebih dulu memenuhi unsur
delik,
kemudian
harus
memenuhi
semua
unsur
pertanggungjawaban yang merupakan unsur pelaku. Unsur ini dalam penerapannya memerlukan kecermatan karena harus dapat dibuktikan “maksud nyata untuk menyiarkan…”, misalnya: i. diberitakan kepada satu orang di hadapan umum, dengan suara yang dapat didengar oleh orang lain;
97
ii. X dan Y bertengkar, dimana Y dengan suara lantang yang dapat didengar oleh banyak orang, menuduh X telah melakukan Pencurian di rumah B pada hari Senin yang lalu.113 Unsur ini berkaitan dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP dan unsur pertanggungjawaban pidana pelaku yang akan di bahas di bawah. Penerapan unsur ini adalah bahwa terdakwa Fifi Tanang dengan sengaja telah mengirim Surat Pembaca ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang isinya berupa tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan penipuan. Fifi Tanang menyadari bahwa Surat Pembaca tersebut akan dibaca khalayak ramai karena dimuat oleh media massa. Jadi unsur “maksud nyata untuk menyiarkan..” telah terbukti dengan meyakinkan karena terdakwa Fifi Tanang dengan sengaja menyiarkan bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan penipuan melalui Surat Pembaca di media massa Investor Daily untuk diketahui oleh masyarakat umum. 2) Pencemaran nama baik secara tertulis; Pasal 310 ayat (2) KUHP, menentukan: Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-. Pasal 310 ayat (2) KUHP ini mengatur mengenai kejahatan (misdrif) penistaan (smaadmisdrif) yang dilakukan seseorang baik lewat
113
Ibid., hlm. 16.
98
gambar maupun lewat surat (tulisan). Jelas menurut rumusan pasal di atas, pelaku tindak kejahatan yang dimaksud adalah penulis atau pembuat gambar yang isinya mampu membuat nama orang lain tercemar. Berdasarkan rumusan diatas maka menista dan menista dengan tulisan mempunyai unsur-unsur yang sama, bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Unsur-unsur tersebut yaitu: i. Barangsiapa; ii. Dengan sengaja; iii. Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”; iv. Dengan tulisan atau gambar yang disiarkan; v. Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan. Kata “disiarkan” terjemahan dari bahasa Belanda atas kata verspreid yang juga dapat diterjemahkan dengan “disebarkan”. Tulisan atau gambar lebih tepat mempergunakan terjemahan “disebarkan”.114 “Disebar” atau disiarkan mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut, lebih dari satu helai atau satu eksempelar.115 “Dipertunjukkan” dimaksud bahwa tulisan atau gambar, tidak perlu jumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata “disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel di ruangan tertutup maka hal itu bukan dimaksudkan untuk diketahui orang 114 115
Ibid., hlm. 18. Ibid., hlm. 19
99
lain, atau dipertunjukkan untuk umum karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum.116 Maka unsur-unsur dalam tindak pidana penistaan dengan tulisan atau gambar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP, yaitu kejahatan penistaan itu dilakukan dengan disiarkan, dipertunjukkan dan ditempelkan. Dengan kata lain, Pelaku harus mengharapkan bahwa tulisan
atau
gambar
tersebut
diperuntukkan
untuk
diedarkan,
ditempelkan, dipertunjukkan atau dikirimkan pada khalayak umum, tulisan yang oleh pemiliknya tidak diperuntukkan guna diumumkan atau diedarkan, tidak menimbulkan kejahatan menista dengan tulisan.117 Penerapan unsur ini yaitu bahwa terdakwa Fifi Tanang telah mengirim surat ke Surat Kabar Harian Inverstor Daily yang dikirim dan dimuat pada halaman 9 rubrik Surat Pembaca dengan judul berita “Hatihati Modus Operandi Penipuan PT. Duta Pertiwi” yang isinya berupa tuduhan bahwa PT Duta Pertiwi melakukan penipuan. Pasal 310 ayat (2) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan Pasal 310 ayat (1) KUHP bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Bahwa tuduhan terdakwa Fifi Tanang telah “disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. “Disiarkan” dan “Dipertunjukkan” yaitu tulisan terdakwa Fifi Tanang di Surat Pembaca Investor Daily lebih dari satu helai atau satu 116 117
Ibid., H. A. K. Moh Anwar, op. cit, hlm. 138.
100
eksempelar agar dapat dibaca atau dilihat orang lain karena Investor Daily merupakan sebuah media massa, sehingga membuat PT. Duta Pertiwi merasa tercemar nama baiknya. Berdasarkan uraian tersebut maka terdakwa Fifi Tanang telah terbukti secara meyakinkan telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis terhadap badan hukum melalui media massa. 3) Alasan peniadaan pidana pencemaran nama baik; Pasal 310 ayat (3) KUHP, menentukan: Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Dari rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan sebagaimana dalam Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 310 ayat (2), bukan merupakan smaad atau smaadschrift, kalau perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Dengan demikian Pasal 310 ayat (3) tersebut merupakan alasan peniadaan pidana. Kalau tertuduh mengajukan alasan bahwa ia melakukan perbuatan tersebut karena kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri, maka ia harus terlebih dulu membuktikan kebenaran, bahwa hal itu untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Kalau ia tidak berhasil membuktikan
kebenaran
dalihnya
itu,
sedangkan
Jaksa
dapat
membuktikan maka ia melakukan kejahatan memfitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 aayat (1) KUHP.
101
Mengenai Pasal 310 ayat (3) Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Fifi Tanang bukan untuk kepentingan umum maupun karena terpaksa untuk bela diri. Diantara 2900 orang pemilik Rusun ITC Mangga Dua yang keberatan adalah kurang lebih 20 orang, sehingga apa yang diungkapkan oleh terdakwa bahwa tujuannya melakukan tulisan tersebut di Koran adalah untuk kepentingan umum tidaklah dapat dibenarkan, karena apabila dibandingkan yang keberatan dengan yang tidak keberatan adalah 2900 berbanding 20 orang, sehingga tidaklah dapat dikatakan mewakili pemilik Rusun ITC Mangga Dua. Hal tersebut tentunya memerlukan penafsiran dari Hakim untuk mengukur bahwa tindak pidana tersebut ditujukan sesuai dengan dasar pembenar atau tidak. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakpastian dalam penegakkan hukum. Semua unsur dalam Pasal 310 KUHP telah terpenuhi, utamanya unsur Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai tindak pidana pencemaran nama baik secara tertulis. Maka terdakwa Fifi Tanang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik seperti didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. 4) Tindak pidana fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP; Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa tindak pidana fitnah diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP yang menentukan: Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa
102
yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP tersebut tidak berdiri sendiri. Artinya tindak pidana tersebut masih terkait dengan ketentuan tindak pidana yang lain, dalam hal ini yang erat terkait adalah ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur kejahatan yang terkandung yaitu : a) Semua unsur (objektif dan subjektif) dari: I. pencemaran Pasal 310 ayat (1); atau II. pencemaran tertulis Pasal 310 ayat (2) b) Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar; c) Tetapi si pembuat tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya ; d) Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya. Sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi bahwa unsur 2, 3 dan 4 adalah berupa unsur kumulatif yang berupa tambahan agar suatu tindak pidana pencemaran atau pencemaran tertulis dapat dikatakan sebagai tindak pidana fitnah. Bahwa dengan melihat pada unsur dalam poin (2) dan (3) nampak bahwa dakwaan fitnah baru boleh dilakukan, dalam hal apabila terlebih dahulu terdakwa didakwa mengenai pencemaran atau pencemaran tertulis, dan terhadap pencemaran tersebut terdakwa telah tidak dapat dibuktikan kebenaran tuduhannya.
103
Seperti sudah diuraikan sebelumnya bahwa perbuatan terdakwa Fifi Tanang telah memenuhi semua unsur (objektif dan subjektif) pada Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 310 ayat (2) KUHP. Berarti kini Majelis Hakim harus membuktikan unsur dalam rumusan Pasal 311 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan terdakwa Fifi Tanang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Perbuatan Fifi Tanang memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP karena Fifi Tanang tidak dapat membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya. Hal ini karena belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap bahwa PT Duta Pertiwi telah melakukan penipuan mengenai status kepemilikan tanah Apartemen Mangga Dua Court. Kasus ini sebenarnya memasuki ranah Hukum Pers, karena Fifi Tanang didakwa melakukan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media massa dengan cara menulis Surat Pembaca. Mengenai delik pers telah diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang Pers telah mengatur secara jelas tentang siapa yang harus bertanggung jawab apabila terdapat suatu pemberitaan yang dimuat oleh Pers. Prosedur keberatan bagi orang yang merasa tercemar nama baiknya adalah sebagai berikut: a) Dengan menggunakan Hak Jawab; b) Mengadukan Pers yang bersangkutan ke Dewan Pers;
104
c) Jika orang yang merasa keberatan dan tercemar nama baiknya tersebut masih belum merasa puas, maka yang bersangkutan dapat menggugat dan menuntut pertanggungjawab dalam pers itu sendiri. Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang No 40 Tahun 1999 merupakan Lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut Undang-undang No 40 Tahun 1999. Namun, apabila ditinjau dari muatan Undang-undang No. 40 Tahun 1999, maka sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh Undang-undang No. 40 Tahun 1999 praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani Hak Jawab. Pasal 63 ayat (2) KUHP menentukan: Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal diatas adalah bentuk dari asas Lex Specialis Derogat Legi Generali,
yang
artinya
undang-undang
yang
bersifat
khusus
menyampingkan undang-undang umum, jika pembuatnya sama.118 Undang-undang Pers mengatur mengenai tindak pidana pencemaran
118
156.
C.S.T. Kansil, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Jilid 1, Jakarta: Balai Pustaka, hlm.
105
nama baik melalui pers, hanya saja tidak secara rinci. Sehingga timbul pro kontra apakah Undang-undang Pers adalah Lex Specialis dari KUHP. Sampai saat ini perdebatan apakah Undang-undang Pers dapat digunakan sebagai Lex Specialis dari KUHP dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu. Pro dan kontra Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis mengemuka dengan argumentasi yang sama kuat. Di satu sisi, menjadikan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis adalah jaminan menegakkan kemerdekaan pers, namun di disi lain secara hukum formal dan material kedudukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 sebagai Lex Specialis dinilai oleh sebagian pihak belum memenuhi syarat dan memiliki banyak kelemahan. Penulis sependapat dengan yang kontra karena Undang-undang Pers tidak memuat ketentuan pidana mengenai pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pers. Alasan lainnya adalah: a) Dalam penjelasan umum Undang-undang Pers tidak secara tegas dikatakan bahwa Undang-undang Pers dijadikan Lex Spesialis. Dalam penjelasan disebutkan “untuk menghindari peraturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”. b) Baik dalam ketentuan peralihan dan ketentuan penutup maupun dalam penjalasan dari Undang-undang Pers tersebut tidak mencabut ketentuan KUHP.
106
c) Undang-undang Pers tidak menyebut soal pencemaran nama baik dan sama sekali tidak membahas soal hukum yang sangat kompleks itu. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Pers bukan Lex Specialis dari KUHP, baik spesialitas logis maupun spesialitas sistematis, karena dalam Undang-undang Pers tidak mengatur secara khusus tentang pencemaran nama baik oleh pers. Sekalipun demikian dalam membuktikan adanya pencemaran nama baik oleh Pers, aparat penegak hukum wajib memperhatikan Undang-undang Pers dan kode etik jurnalistik. 119 Pelaksanaan mekanisme hukum pers dan kode etik jurnalistik, sangat menentukan dalam adanya “sifat melawan hukum” dari suatu pemberitaan pers, yang dipandang melanggar asas praduga tidak bersalah. Tidak dapat dipandang suatu pencemaran nama baik, jika mereka yang merasa “dirugikan nama baiknya”, belum menggunakan “hak jawab” (Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 1 angka 11 Undang-undang Pers). Hal inipun dalam hal Pers dapat membuktikan bahwa yang diberitakan tersebut adalah suatu “fakta”. Tidak dapat dipandang suatu pencemaran nama baik, jika mereka yang merasa “diberitakan secara keliru” belum menggunakan “hak
koreksi” (Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 1 angka 12
Undang-undang Pers). Hal inipun dalam hal Pers dapat membuktikan
119
Chairul Huda, 2010, “Makna Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pemakainnya dalam
Praktek Pers”, Jurnal Dewan Pers Edisi 2, Jakarta: Dewan Pers, hlm. 39-40.
107
bahwa
kekeliruan
pemberitaan
tersebut
bukan
sesuatu
yang
“disengaja”.120 Mengenai pertanggungjawaban atas pemberitaan Surat Pembaca sendiri dapat dilihat dari pendapat para ahli komunikasi, yaitu Sabam Leo Batubara dan Bambang Harymurti. Mereka menguraikan pendapat tentang pertanggungjawaban dalam Surat Pembaca dalam pemeriksaannya sebagai saksi ahli dalam kasus pidana pencemaran nama baik atas nama terdakwa Khoe Seng-Seng. Sabam Leo Batubara memberikan pendapat sebagai saksi ahli dalam perkara pidana pencemaran nama baik atas nama Khoe Seng-Seng di Pengadilan Jakarta Timur, sebagai berikut: Surat pembaca adalah semua pendapat umum yang disampaikan berupa informasi dan sesuai dengan konsep Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang bertanggungjawab adalah redaktur surat pembaca karena surat pembaca melalui redaktur atau orang yang diberi wewenang. Berdasarkan pendapat tersebut, pihak perusahaan pers yang bertanggungjawab atas pemberitaan Surat Pembaca adalah redaktur atau pihak yang diberi wewenang terhadap Surat Pembaca. Selain itu, pendapat ini dipertegaskan oleh Bambang Harymurti, selaku ahli pers, yaitu pemuatan surat pembaca menurut Undang-Undang Pers adalah menjadi tanggungjawab Pemimpin Redaksi. Undang-undang Pers tidak mengatur secara tegas terhadap pertanggungjawaban terhadap penulisan Surat Pembaca secara khusus. Akan tetapi, Undang-undang No. 40 120
Ibid., hlm. 40.
108
Tahun 1999 hanya melakukan pengaturan tentang pertanggungjawaban atas segala informasi atau opini pada pers. Penulis menyimpulkan bahwa Surat Pembaca merupakan jenis opini dalam ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 5 ayat (1) menentukan: Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Sementara Pasal 12 menentukan: Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Penjelasan Pasal 12 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Tindakan fitnah yang dilakukan oleh Fifi Tanang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 karena muatan Surat Pembaca Fifi Tanang melanggar unsur praduga tak bersalah. Berdasarkan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 40 Tahun 1999
merupakan
tindak
pidana.
Sedangkan,
pihak
yang
bertanggungjawab adalah perusahaan pers. Berarti perusahaan pers dapat juga dikenakan Pasal 56 KUHP atas perannya dalam membantu Fifi Tanang melakukan tindak pidana.
109
Substansi dari Pasal 56 KUHP mengatur tentang para pihak yang membantu kejahatan, yaitu: Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: ke-1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; ke-2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan; Berdasar ketentuan pasal diatas maka perbuatan dari perusahaan pers atas peranannya menerbitkan Surat Pembaca telah memenuhi unsur sebagai pembantu kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP. Perusahaan pers seharusnya ikut dinyatakan bersalah dan dipidana, karena telah membantu Fifi Tanang untuk menyebarkan fitnah melalui Surat Pembaca. Bantuan tersebut berupa memperbolehkan tulisan dalam Surat Pembaca tersebut untuk dimuat dalam media massa yang dimiliki oleh perusahaan pers tersebut. Hal ini dikarenakan proses pemuatan Surat Pembaca masuk melalui redaksi dari perusahaan pers. Akan tetapi, perusahaan pers tersebut tidak ikut diperiksa dan dinyatakan bersalah di peradilan tersebut. Oleh karena itu, perkara ini sebenarnya para pihak yang bertanggungjawab secara pidana yang diajukan ke pengadilan kurang lengkap, karena perusahaan pers sebagai pihak yang membantu kejahatan fitnah tersebut tidak diajukan untuk diadili di Pengadilan. Berdasarkan uraian diatas maka putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1857/Pid.B/2008/PN.Jkt.Sel terdapat unsur-unsur dalam ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 dan KUHP yang tidak diterapkan dengan tepat. Begitu juga unsur-unsur Pasal 311 ayat (1)
110
KUHP yang dikenakan terhadap Fifi Tanang tidak terpenuhi sebab sebagaimana uraikan di atas, bahwa apa yang disampaikan terdakwa Fifi Tanang adalah fakta. Oleh karena itu menurut penulis terdakwa Fifi tanang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik seperti yang didakwakan. b. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum; Soedarto menyatakan salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum, yaitu: Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, atau perbuatan yang melanggar perintah di dalam undang-undang itulah perbuatan yang melawan hukum, karena bertentangan dengan apa yang dilarang oleh atau diperintahkan di dalam dalam undang-undang. Sifat melawan hukum tersebut terdiri dari sifat melawan hukum yang formil dan sifat melawan hukum yang materiil. 121 Diperoleh fakta bahwa perbuatan terdakwa Fifi Tanang merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum formil, sebab perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 310 KUHP, yaitu mengenai tindak pidana pencemaran nama baik. Namun jika dilihat dari kacamata Hukum Pers perbuatan Fifi Tanang tidak melawan hukum karena apa yang disampaikan merupakan fakta. c. Adanya kesalahan; Meskipun perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat-syarat penjatuhan pidana. Untuk adanya pemidaan
121
Soedarto, 1990, op. cit, hlm. 44.
111
masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Unsur kesalahan sangat menentukan dari perbuatan seseorang, sehingga apabila seseorang dianggap bersalah oleh pengadilan, maka ia dapat dijatuhi pidana. Di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Menurut Soedarto kesalahan itu mempunyai tiga arti yaitu: 1) Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. 2) Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldnorm) yang berupa: a) Kesengajaan (dolus); b) Kealpaan (culpa). 3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam 2.b diatas.122 Selanjutnya dijelaskan bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya terdiri atas tiga unsur, yaitu sebagai berikut: 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, artinya keadaan si pembuat harus normal; 2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); 3) Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.123 Bila ketiga unsur tersebut terpenuhi maka orang bersangkutan dinyatakan bersalah atau mempunyai tanggungjawab pidana, sehingga orang tersebut dapat dipidana.124 Berikut akan diuraikan mengenai ketiga unsur kesalahan tersebut di atas: 1) Adanya kemampuan bertanggungjawab; 122
Ibid., hlm. 3. Ibid., hlm. 4. 124 Ibid. 123
112
Mengenai
kemampuan
bertanggungjawab
KUHP
tidak
menentukan secara tegas mengenai arti kemampuan bertanggungjawab, tetapi ada pasal yang menunjuk ke arah itu, yaitu Pasal 44 ayat (1) KUHP yang menentukan sebagai berikut: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ont wikkelink) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Ketentuan undang-undang ini tidak memuat apa yang dimaksud dengan “tidak dapat bertanggungjawab”, pasal ini hanya memuat alasan yang terdapat pada diri si pembuat, sehingga perbuatan yang dilakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan.125 Sebagai dasar dapatlah dikatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab adalah orang yang normal jiwanya, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaan bahwa perbuatannya itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran dan persaannya itu.126 Terdakwa mengetahui bahwa tindakan pencemaran nama baik melalui Surat Pembaca yang dikirimkan ke Surat Kabar Harian Invertor Daily adalah perbuatan yang dilarang, tapi dengan sengaja dikirimkan kepada surat kabar tersebut dan mengetahui akan akibatnya yaitu PT. Duta Pertiwi akan merasa malu dan tercemar nama baiknya. Dengan demikian terdakwa dinilai mampu bertanggungjawab dan mapu untuk
125 126
Ibid. Ibid. hlm. 5.
113
menilai bahwa perbuatan yang telah dilakukannya adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. 2) Adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); Menurut Soedarto, untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari MvT (Memorie van Tolichting) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki atau mengetahui. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.127
Perbuatan
yang
dilakukan
terdakwa
termasuk
“kesengajaan” (dolus). Terdakwa dalam melakukan perbuatannya mengetahui
akibatnya,
yaitu
dengan
maksud/sengaja
melakukan
pencemaran nama baik dengan tulisan melalui Surat Pembaca. 3) Tidak adanya alasan pemaaf; Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum), meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 51 ayat (2) KUHP keterpaksaan (moodweerexces) dan Pasal 51 ayat (2) KUHP (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang sah).128 Menurut Pasal 310 ayat (3) tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Pasal 310 ayat (3) tersebut 127
Ibid. hlm. 11.
128
Ibid.. hlm. 34.
114
merupakan alasan peniadaan pidana. Fifi Tanang terbukti bahwa dalam melakukan perbuatannya, tidak terdapat alasan pemaaf, karena perbuatan terdakwa untuk kepentingan sendiri yang kecewa terhadap PT Duta Pertiwi dan bukan untuk kepentingan umum. Kasus ini pada dasarnya merupakan delik aduan absolut sehingga harus ada aduan dari orang yang berhak mengadu agar kasus ini bisa dituntut. Pasal 319 KUHP menentukan bahwa: Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316; Dari rumusan pasal diatas jelas bahwa tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal dengan delik aduan. Berarti pengaduan termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik selain unsur-unsur yang ada pada Pasal 310 KUHP. Berkaitan dengan kasus Fifi Tanang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak mempertimbangkan sama sekali ketentuan formil mengenai delik aduan yang diatur dalam Pasal 319 KUHP. Padahal dalam kasus ini yang mengadu adalah Dormauli Limbong, SH., MH bukan Muktar Widjaya selaku Dirut PT. Duta Pertiwi yang merasa menjadi korban pencemaran nama baik. Dormauli Limbong, SH., MH bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor.
115
2. Akibat hukum apabila tindak pidana pencemaran nama baik melalui media massa tidak diadukan sendiri oleh korban menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010 Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. Hakim Mahkamah Agung sebagai salah satu aparat penegak hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam penegakkan hukum khususnya disini terhadap tindak pidana pencemaran nama baik. Hakim dalam menjatuhkan putusan terlebih dahulu menyusun pertimbangan hukum yang berisi mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan saat sidang yang menjadi dasar penentuan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Setiap putusan yang diberikan oleh hakim harus disertai dengan pertimbanganpertimbangan hukumnya sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat dan Negara. Juga mengemukakan alasan hakim untuk menjatuhkan putusan tersebut sehingga putusan yang dijatuhkan memiliki nilai yang objektif. Selain itu, dalam memutuskan suatu perkara pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang dapat ditinjau dari faktor yuridis dan faktor non yuridis. Ditinjau dari faktor yuridis, pertimbangan hakim didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan
116
yang ada. Ditinjau dari faktor non yuridis, pertimbangan hakim didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian dalam memutuskan suatu perkara hakim harus benar-benar menguasai hukumnya dengan mewakili rasa keadilan dalam masyarakat. Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 183 K/PID/2010, bahwa pertimbangan-pertimbangan hukum hakim sebagai berikut: a. Bahwa dalam kasus ini yang menjadi objek pencemaran adalah Badan Hukum PT. Duta Pertiwi yang Dirutnya adalah Bapak Mukhtar Wijaya; b. Bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar (PT. Duta Pertiwi) sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbong, SH., MH kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi, sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi; c. Bahwa dengan demikian pengaduan dianggap tidak ada; d. Bahwa atas dasar hal tersebut terdakwa harus dilepaskan dari tuntutan hukum; Mahkamah Agung sendiri memutus perkara ini belum pada pokok perkara tapi masih dalam masalah prosedural yaitu siapa yang berhak mengadu.
117
Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdakwa Fifi Tanang terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan yaitu melakukan pencemaran nama baik, tetapi terdakwa Fifi Tanang dilepas dari segala tuntutan hukum karena tidak ada pengaduan dari korban yang merasa dicemarkan. Putusan Mahkamah Agung tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Maksudnya penyebab seseorang diputus lepas dari segala tuntutan hukum adalah perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana.129 Menurut Leden Marpaung, terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan: a. Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana. Misalnya terdakwa mengambil barang untuk memakai, tidak ada niat memiliki. b. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya: karena Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP.130 Sementara untuk putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada hakikatnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum karena putusan tersebut dijatuhkan karena:
129
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, Buku 2, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 135 130
Ibid.
118
a. Pengaduan yang seharusnya sebagai penuntutan tidak ada (delik pengaduan); b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c. Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluarsa (verjaring).131 Dasar hakim memutus lepas terdakwa Fifi Tanang berdasarkan pertimbangan bahwa sebagai pelapor atas tindak pidana tersebut adalah pihak yang tercemar (PT. Duta Pertiwi) hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 319 KUHP sehingga seharusnya sebagai pelapor adalah Dirut PT. tersebut, karena Dirutlah yang mewakili suatu PT., sedangkan dalam kasus a quo yang melapor adalah Dormauli Limbong, SH., MH kuasa hukum yang mendampingi PT. Duta Pertiwi, sedangkan menurut Pasal 72 KUHP dalam Delik Aduan Absolut, seharusnya yang melapor adalah Dirut yang mewakili PT. Duta Pertiwi. Pasal 319 KUHP menentukan bahwa: Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan Pasal 316; Dari rumusan pasal diatas jelas bahwa tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari korban, yang dikenal dengan delik aduan. Berarti pengaduan termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik selain unsur-unsur yang ada pada Pasal 310 dan Pasal 311 ayat (1) KUHP. Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, pengaduan adalah suatu pemberitahuan dari seseorang kepada alat-alat kekuasaan Negara yang dianggap 131
Ibid., hlm. 134.
119
berwenang untuk menerima pengaduan tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh orang lain yang telah merugkan kepentingan hukum dirinya sendiri atau diri orang lain yang menjadi tanggungjawabnya untuk memelihara, mengawasi atau mendidik orang tersebut.132 Mengenai delik aduan diatur dalam Pasal 72 KUHP yang menentukan mengenai siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu atau yang berhak menggantikan pengadu yang orijiner. Pasal 72 ayat (1) KUHP menentukan: Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara pedata. Pasal 72 ayat (2) KUHP menentukan: Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi pengampu pengawas: juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah: a. Wali Pengawas; b. Pengampu Pengawas; c. Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas;
132
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, op.cit. hlm. 49.
120
d. Istrinya; e. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh; f. Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga (Pasal 72 ayat 2 KUHP).133 Berkaitan dengan kasus ini yang mengadu adalah Dormauli Limbong, SH., MH bukan Muktar Widjaya selaku Dirut PT. Duta Pertiwi yang merasa menjadi korban pencemaran nama baik. Dormauli Limbong, SH., MH bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor. Dalam surat kuasa tersebut Dormauli Limbong, SH., hanya diberi kuasa untuk mendampingi Mukhtar Wijaya selaku korban dalam persidangan. Dalam Surat Kuasa tersebut juga tidak terdapat permintaan kepada Dormauli Limbong, SH., M.H untuk mengadukan perbuatan terdakwa Fifi Tanang. Surat kuasa khusus harus memenuhi ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, yang menentukan: 1) Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya: a) dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan sebagainya. b) dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
133
P.A.F Lamintang, op.cit. hlm. 206.
121
2) Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Yurisprudensi MA No. 76/K/Kr/1969 tanggal 3 Februari 1972 yang menyatakan keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi sebagai berikut: “bahwa perkara ini termasuk “delik aduan yang absolut”, maka harus ada pengaduan dari yang terhina dan dalam surat pengaduan harus ada kata-kata permintaan agar peristiwa itu dituntut, tidak dapat diterima, karena klacht delicten tidak terikat pada bentuk tertentu”. Meskipun demikian ada dua unsur esensial pengaduan yaitu: a. Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang, disertai b. Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.134 Sementara itu menurut pendapat M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa undang-undang telah membagi dua kelompok pelapor, yaitu:135 a. Orang yang diberi hak melapor atau mengadu. Orang tertentu, yakni orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau orang yang menjadi korban tindak pidana terjadi, berhak menyampaikan laporan kepada penyelidik atau penyidik. Hak menyampaikan laporan atau pengaduan, tidak diberikan kepada orang yang mendengar. Menurut M. Yahya Harahap pendengaran tidak dimasukkan dalam katagori orang yang berhak melapor adalah realistis dan rasional, karena sangat sulit menjamin 134
Ibid., hlm 201. M. Yahya Harahap, 1985, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 118-119. 135
122
kebenaran atau keobjektifan pendengaran, bisa merupakan berita palsu atau bohong atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya. b. Kelompok pelapor atas dasar kewajiban hukum. Kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok a, dalam kelompok ini sifat pelaporan merupakan kewajiban bagi orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang mengetahui pemufakatan untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman umum, atau terhadap jiwa atau hak milik atau setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugas, mengetahui tentang terjadinya tindak pidana. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa hakikat dari pelaporan dan pengaduan adalah merupakan pemberitahuan oleh seseorang terhadap pejabat yang berwenang tentang suatu kejadian peristiwa pidana. Perbedaannya, pada pengaduan oleh karena sifatnya terkait pada jenis-jenis delik aduan, maka orang yang menyampaikan pemberitahuan harus orang tertentu seperti yang disebut dalam rumusan pasal pidana yang bersangkutan. Jadi, pada pengaduan, pemberitahuan hanya dapat dilakukan oleh orang yang tertentu yang menjadi korban peristiwa pidana, barulah pihak yang berwenang dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Polisi melakukan penyelidikan dalam kasus a quo terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah yang dilakukan oleh Fifi Tanang adalah berdasarkan laporan dari Saudara Dormauli Limbong, SH., MH yang bertindak sebagai Pelapor berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 24 November 2005 selaku Pendamping dan bukan selaku Pelapor.
123
Bila kita mendasarkan pada pendapat ahli pidana M. Yahya Harahap dan melihat ketentuan Pasal 72 ayat (1) KUHP dari konstruksi hukum secara argumentum a contrario terhadap delik-delik atau tindak pidana, yang merupakan delik aduan (klacht delict) hanya dapat diproses apabila adanya pengaduan langsung dari korban, kecuali apabila: korban belum berumur enam belas tahun dan/atau belum cukup umur; dan/atau orang di bawah pengampuan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan laporan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Mukhtar Wijaya tidak tepat. Walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana, namun ada perbedaan yang mendasar dengan pengaduan. Kesimpulan dari pendapat tersebut, penuntutan delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari korban atau dari seseorang yang berhak mengadu/apabila pengajuan suatu delik aduan ke pengadilan tanpa dilengkapi dengan pengaduan (tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan) harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian diatas terdapat fakta hukum bahwa tidak ada pengaduan dari korban yang merasa dicemarkan nama baiknya yaitu Dirut PT Duta Pertiwi, Mukhtar Wijaya. Berdasar pertimbangan tersebut Mahkamah Agung menyatakan perbuatan terdakwa Fifi Tanang bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran sehingga memutus terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Tidak adanya aduan sendiri merupakan dasar ketidakwenangan Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan bukan dasar peniadaan pidana. Keduanya
124
merupakan hal yang berbeda, dasar peniadaan pidana ditujukan pada hakim, sedangkan dasar ketidakwenangan Penuntut Umum melakukan penuntutan ditujukan pada penuntut umum. Dasar peniadaan pidana telah diatur dalam Buku I Bab III KUHP yaitu tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Menurut Adami Chazawi ada tujuh dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat, ialah:136 a. Adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat: ontoerekeningvatbaarheid, Pasal 44 ayat (1); b. Adanya daya paksa: overmacht, Pasal (48); c. Adanya pembelaan terpaksa: noodweer, Pasal 49 ayat (1); d. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas: noodwerexes, Pasal 49 ayat (2); e. Karena sebab menjalankan perintah UU: Pasal 51 ayat (1); f. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah: Pasal 52 ayat (1);dan g. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan I’tikad baik: Pasal 52 ayat (2). Jika Penuntut Umum dalam delik aduan, tetap menuntut pelaku meski tidak ada aduan dari korban yang berhak mengadu, maka hakim akan memutus berupa penetapan. Penetapan majelis hakim akan berisi bahwa jaksa penuntut umum tidak berwenang menuntut (niet-onvankelijk verklaring van bet Openbaar Ministerie), tidak diperlukan membuktikan tentang telah terwujud atau tidaknya tindak pidana itu. Artinya pokok perkara tidak perlu diperiksa oleh majelis sehingga juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya memutus tentang tidak berwenangnya Negara (in casu jaksa PU) menuntut perkara itu. Tindakan yang dilakukan majelis hakim ini bukanlah vonis, tetapi berupa penetapan (beschiking) belaka.137 136
Adami Chazawi, op. cit, hlm. 18. Adam Chazawi, op. cit. hlm 17.
137
125
Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntutan hukum dengan penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang mengadili juga mengandung perbedaan yang mendasar. Karena putusan lepas dari dari tuntutan hukum mengenai tindak pidana yang didakwakan atau mengenai pokok perkaranya, putusan itu tunduk pada ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya, setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde zaak), perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan penuntutan kedua kalinya. Akan tetapi, terhadap penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang menuntut, karena bukan mengenai hal tindak pidana yang didakwakan, maka penetapan majelis hakim itu tidak tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika dasar peniadaan penuntutan itu telah ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana aduan-telah dipenuhi syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa penuntut umum wajib mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan kembali.138 Berdasar uraian diatas penulis sepakat bahwa dalam perkara ini tidak ada aduan, karena berdasarkan Pasal 72 KUHP maka yang berhak mengadu adalah Muchtar Widjaja selaku Dirut PT Duta Pertiwi, sehingga putusan Mahkamah Agung yang melepaskan terdakwa Fifi Tanang dari segala tuntutan hukum sudah tepat. Kasus ini sendiri pada hakikatnya termasuk kekurangcermatan Penuntut Umum sehingga harus diputus diawal-awal persidangan berupa penetapan yang isinya bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang menuntut (niet-onvankelijk verklaring van bet Openbaar Ministerie).
138
Ibid.